Waktu sudah menunjuk pukul tujuh malam, malam yang terasa lebih mencekam dari biasanya. Di balik tembok-tembok penjara yang dingin dan suram, Alex datang menghampiri Mark seorang diri, tanpa penjaga atau pengawal yang biasanya mengiringinya.Wajahnya menampilkan senyum licik, seolah ia telah memenangkan permainan yang selama ini ia ciptakan dengan cermat. Di hadapan Mark, ia duduk dengan santai, memancarkan aura superioritas yang memuakkan.Mark, duduk di sisi lain, tak sedikit pun menoleh pada ayahnya. Ia menatap kosong ke dinding di depannya, memandang kebebasan yang kian jauh dari jangkauannya. Sementara itu, Alex menatap putranya dengan penuh rasa bangga palsu.“Sangat mudah untuk keluar dari sini, Mark,” ucap Alex perlahan, nadanya penuh tipu daya. “Tinggal patuh saja padaku, maka semuanya akan kembali seperti semula. Namamu akan bersih, seolah ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.”Sebuah senyum sinis terlukis di wajah Mark. Ia mendengar tawaran itu, tetapi baginya
Mark duduk di sudut gelap selnya, tangannya terkulai di atas lutut, sementara tatapannya kosong, menembus dinding yang dingin dan lembab.Kata-kata Alex masih terngiang di kepalanya, seperti belati yang berulang kali menghujam. Kebenaran itu datang menghancurkan dunianya—bukan CCTV palsu yang disodorkan Alex kepada polisi, tetapi kenyataan pahit yang selama ini tersembunyi dari ingatannya.Kenyataan bahwa dialah yang menyebabkan kematian Famela, ibu mertuanya sendiri.Malam yang panjang dan sunyi berlalu tanpa tidur. Mata Mark sembab, dipenuhi air mata yang tak henti-hentinya mengalir sepanjang malam. Hatinya diliputi rasa bersalah yang membara, menghantamnya tanpa ampun."Ini benar-benar di luar kendaliku," gumam Mark dengan suara parau, hampir tanpa tenaga. Tatapannya tetap kosong, seolah mencari jawaban di antara bayangan-bayangan malam."Aku tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan itu akan membawa Dania padaku... hanya saja, aku malah men
Sarah melangkah melewati halaman rumah Dania, seolah setiap langkahnya membawa beban yang semakin berat di dadanya. Jantungnya berdegup tidak beraturan, semakin kencang saat ia mendekati pintu depan.Rasa takut dan gelisah menyelimuti dirinya. Apa yang akan ia katakan kepada Dania? Mampukah Dania menerima kebenaran yang begitu menyakitkan? Sarah tahu, apapun hasilnya, ia tak bisa lagi menunda. Kebenaran harus diungkapkan, bagaimanapun pahitnya.“Ibu?”Dania menyambut Sarah dengan senyuman lembut yang selalu dipancarkannya. Tanpa ragu, ia langsung memeluk mertuanya itu, erat dan penuh kehangatan, seperti seorang anak yang bertemu ibunya setelah sekian lama terpisah.Sarah membalas pelukan itu, namun ada ketegangan di tubuhnya, seolah pelukan itu adalah pelukan terakhir sebelum badai besar menghantam mereka berdua.Di antara detik-detik yang berlalu, Sarah menghirup aroma tubuh Dania, aroma yang selalu mengingatkannya pada kebaikan dan kelembutan, dan tanpa disadari, matanya mulai meman
“Kenapa Ibu berbicara seperti ini?” tanya Dania dengan nada getir, suaranya gemetar di ujung kalimat. Mata cokelatnya yang biasanya penuh kehangatan kini tampak berkilat dengan kekecewaan dan ketidakpahaman.“Mark akan bebas. Walaupun Mark dipenjara, apa bisa dia menghidupkan ibuku lagi? Tidak, kan?”Kalimat itu jatuh seperti pukulan di antara mereka, membuat suasana semakin mencekam. Dalam hati Dania, perasaan terombang-ambing antara cinta dan kepedihan membuat setiap kata Sarah terasa seperti jarum yang menusuk kulitnya.Sarah menghela napas panjang, merasakan kesedihan yang semakin berat. “Mark ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan padamu dan ibumu, Dania,” ujarnya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.Ia mengulurkan tangannya, namun Dania hanya bisa menatapnya dengan sorot mata tak percaya. “Mark akan menerima hukuman itu. Entah hukuman seumur hidup atau hukuman mati, Mark siap untuk menerimanya.”Mata Dania membola. Pernyataan itu seperti petir yang menyamba
Malam itu begitu sunyi. Sel-sel penjara yang dingin dan suram seolah memenjarakan lebih dari sekadar tubuh Mark. Kegelapan di ruangan kecil itu seperti mencerminkan kekosongan yang merongrong jiwanya.Hanya suara napasnya yang terdengar, berat dan tergesa-gesa, ketika tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya dengan mata terbelalak, keringat dingin membasahi keningnya.“Dania!” pekiknya, penuh kecemasan yang membuncah, suaranya menggema di dalam ruang sempit tersebut. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan kesadaran yang terserak.Napasnya terengah-engah, matanya berkedip cepat seolah berusaha membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan dingin yang merambat dari telapak tangannya ke wajah yang pucat.Mark memejamkan matanya sejenak, memikirkan mimpi yang barusan menghantamnya. Di sana, ia melihat Dania, terbaring tak berdaya dengan tubuh yang menggigil, kesakitan.Darah mengalir deras dari perutnya, memenuhi pandangannya dengan horo
Kantor Bernard selalu terasa begitu megah namun dingin, dipenuhi dinding kaca dan rak buku yang tersusun rapi dengan volume hukum tebal dan penuh debu pengetahuan.Ruangan itu tak pernah sepi dari gemuruh langkah para staf yang sibuk, namun bagi Sean, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya saat ini: Mark harus bebas.Ia mengayunkan langkah dengan cepat, membuka pintu ruang kerja Bernard dengan mendesak.“Bagaimana, Bernard? Kau bisa membebaskan Mark?” tanya Sean tanpa basa-basi. Ekspresinya keras, penuh ketegangan yang telah menguasai dirinya sejak Mark pertama kali ditangkap.Bernard, yang baru saja selesai meninjau dokumen di tangannya, mendongak dan tersenyum samar, seolah sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu.Bernard mengangguk pelan, lalu menekan beberapa tombol di laptopnya. Layar monitor besar yang ada di ruangan itu mulai menampilkan rekaman CCTV yang menjadi inti dari permasalahan.Itu adalah rekaman kecelakaan yang terjadi dua belas tahun lalu—saat Mark terlibat dal
Mark duduk di ruang kerjanya yang lapang, dikelilingi oleh rak-rak buku berisi dokumen hukum dan laporan bisnis yang tertata rapi. Ia sedang memeriksa email di iPad-nya, wajahnya serius dan fokus, seolah tak ada yang bisa mengganggu konsentrasinya.Namun, suara lembut Dania memecah keheningan yang nyaman itu, mengalun seperti angin lembut yang membawa aroma nostalgia.“Mark? Kau tahu, apa yang aku harapkan di dunia ini?” tanyanya dengan suara yang tenang namun sarat kerinduan.Mark menurunkan iPad-nya, menatap istrinya dengan tatapan datar namun penuh perhatian. “Apa?” jawabnya, suaranya terdengar datar, tapi ada sebersit kehangatan yang tak bisa disembunyikan dalam sorot matanya.Dania menghela napas panjang, seakan mencoba mencari keberanian dalam setiap tarikan napasnya. Ia menatap jauh ke dalam mata Mark, berharap menemukan jawaban yang selama ini tak pernah terucap.“Aku berharap … suatu saat nanti aku bisa mengingat kembali kenangan-kenangan kita saat kita bersama. Meskipun itu
“Dania? Akhirnya kau siuman juga,” suara Sarah terdengar parau karena menahan emosi, tangannya terulur untuk mengusap lembut air mata yang tadi sempat jatuh membasahi pipinya.Ia tersenyum penuh haru saat melihat Dania mulai membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap seakan tak percaya bahwa ia telah terbangun dari kegelapan yang panjang.Dania menoleh perlahan ke kanan dan ke kiri, matanya tampak buram, mencari sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.Ada rasa gelisah yang terpancar di sorot matanya yang sayu, mencari sosok yang sudah lama ia rindukan, sosok yang tak pernah meninggalkan hatinya meski kini tak berada di sisinya.Namun, ingatan itu tiba-tiba menyeruak, membawanya kembali pada percakapan terakhir mereka.Kata-kata Sarah yang mengungkapkan keinginan Mark untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Air matanya menggenang lagi di sudut matanya, berkilau di bawah sorot lampu rumah sakit yang terang.“Aku harus bertemu dengan Mark,” ucap Dania dengan suara serak, su