Kevin duduk di kursi kulit mewahnya, tubuhnya bersandar santai, tetapi senyum licik yang menghiasi wajahnya menyiratkan kemenangan besar yang baru saja ia raih.Layar komputer di hadapannya menampilkan berita utama yang menghantam nama Mark tanpa henti—bulir-bulir penghinaan, tuduhan, dan skandal bertebaran di media, membuat Mark seolah-olah sudah divonis sebagai penjahat meski persidangan belum dimulai.Suasana ruang kerja Kevin yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan aura kemenangan yang mendidih, seolah menegaskan bahwa momen yang ia tunggu selama ini akhirnya tiba.“Kau sengaja bermain-main denganku, Mark,” gumam Kevin pelan namun penuh kebencian, matanya memicing tajam menatap nama Mark yang terpampang di layar. “Maka akan kubuat dirimu hancur ... hancur sehancur-hancurnya karena telah membuatku malu!”Ucapan itu disertai tawa kecil yang getir, bibirnya menyunggingkan senyum licik. Dalam pikirannya, Mark bukan hanya musuh biasa—dia adalah penghalang besar dalam hidupnya, orang
Ruang rapat V-One Group terasa sunyi, meski diisi oleh beberapa orang penting. Aura ketegangan menggantung di udara, menekan setiap individu yang hadir.Semua mata tertuju pada Sean, yang duduk di ujung meja besar dengan sikap tenang namun tegas. Kegentingan situasi sudah cukup jelas, bahkan sebelum pertemuan ini dimulai.Mark, sang CEO, keponakan kesayangan Sean, kini sedang dipenjara, dan desakan dari berbagai pihak agar perusahaan mengganti direksi semakin tak terbendung.Sean menghela napas pelan, menyatukan jemarinya di atas meja. Ia memahami kekhawatiran yang melanda para investor, kolega, dan rekan bisnis lainnya. Namun, Sean tidak akan membiarkan kepercayaan terhadap Mark hancur begitu saja hanya karena satu tuduhan keji.“Aku sudah mendengar permintaan dari investor, customer, dan kolega lainnya mengenai masalah ini,” Sean memulai dengan suara tenang namun mantap.Matanya menyapu wajah-wajah di depannya, satu per satu. “Dan tujuh puluh persen dari mereka tidak percaya jika Ma
Dania membuka pintu perpustakaan besar di rumah megah suaminya, Mark. Langkahnya terhenti sejenak, mengamati ruangan yang asing baginya, meskipun ia telah tinggal di rumah itu hampir setengah tahun.Rak-rak tinggi berisi deretan buku tebal tentang bisnis dan investasi, buku-buku yang selama ini menjadi dunia Mark. Namun baginya, semua itu hanya tumpukan kata-kata yang tidak ia pahami.“Hampir setengah tahun aku tinggal di sini, tapi baru kali ini aku menginjakkan kaki di perpustakaan ini,” gumamnya, lalu menghela napas panjang. Ruangan ini begitu sunyi, menciptakan atmosfer yang mendalam dan penuh kenangan.Dania melangkah ke meja di tengah ruangan, penuh dengan buku dan catatan yang tampak baru saja disentuh.Tangannya terulur, mengusap pelan lembaran-lembaran tulisan tangan Mark, seolah ingin merasakan kehadiran suaminya melalui coretan tinta itu. Perasaannya campur aduk; kerinduan yang mendalam dan kekosongan yang tak bisa ia isi tanpa kehadiran Mark.Sebuah buku kecil di antara tu
Waktu sudah menunjuk pukul tujuh malam, malam yang terasa lebih mencekam dari biasanya. Di balik tembok-tembok penjara yang dingin dan suram, Alex datang menghampiri Mark seorang diri, tanpa penjaga atau pengawal yang biasanya mengiringinya.Wajahnya menampilkan senyum licik, seolah ia telah memenangkan permainan yang selama ini ia ciptakan dengan cermat. Di hadapan Mark, ia duduk dengan santai, memancarkan aura superioritas yang memuakkan.Mark, duduk di sisi lain, tak sedikit pun menoleh pada ayahnya. Ia menatap kosong ke dinding di depannya, memandang kebebasan yang kian jauh dari jangkauannya. Sementara itu, Alex menatap putranya dengan penuh rasa bangga palsu.“Sangat mudah untuk keluar dari sini, Mark,” ucap Alex perlahan, nadanya penuh tipu daya. “Tinggal patuh saja padaku, maka semuanya akan kembali seperti semula. Namamu akan bersih, seolah ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.”Sebuah senyum sinis terlukis di wajah Mark. Ia mendengar tawaran itu, tetapi baginya
Mark duduk di sudut gelap selnya, tangannya terkulai di atas lutut, sementara tatapannya kosong, menembus dinding yang dingin dan lembab.Kata-kata Alex masih terngiang di kepalanya, seperti belati yang berulang kali menghujam. Kebenaran itu datang menghancurkan dunianya—bukan CCTV palsu yang disodorkan Alex kepada polisi, tetapi kenyataan pahit yang selama ini tersembunyi dari ingatannya.Kenyataan bahwa dialah yang menyebabkan kematian Famela, ibu mertuanya sendiri.Malam yang panjang dan sunyi berlalu tanpa tidur. Mata Mark sembab, dipenuhi air mata yang tak henti-hentinya mengalir sepanjang malam. Hatinya diliputi rasa bersalah yang membara, menghantamnya tanpa ampun."Ini benar-benar di luar kendaliku," gumam Mark dengan suara parau, hampir tanpa tenaga. Tatapannya tetap kosong, seolah mencari jawaban di antara bayangan-bayangan malam."Aku tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan itu akan membawa Dania padaku... hanya saja, aku malah men
Sarah melangkah melewati halaman rumah Dania, seolah setiap langkahnya membawa beban yang semakin berat di dadanya. Jantungnya berdegup tidak beraturan, semakin kencang saat ia mendekati pintu depan.Rasa takut dan gelisah menyelimuti dirinya. Apa yang akan ia katakan kepada Dania? Mampukah Dania menerima kebenaran yang begitu menyakitkan? Sarah tahu, apapun hasilnya, ia tak bisa lagi menunda. Kebenaran harus diungkapkan, bagaimanapun pahitnya.“Ibu?”Dania menyambut Sarah dengan senyuman lembut yang selalu dipancarkannya. Tanpa ragu, ia langsung memeluk mertuanya itu, erat dan penuh kehangatan, seperti seorang anak yang bertemu ibunya setelah sekian lama terpisah.Sarah membalas pelukan itu, namun ada ketegangan di tubuhnya, seolah pelukan itu adalah pelukan terakhir sebelum badai besar menghantam mereka berdua.Di antara detik-detik yang berlalu, Sarah menghirup aroma tubuh Dania, aroma yang selalu mengingatkannya pada kebaikan dan kelembutan, dan tanpa disadari, matanya mulai meman
“Kenapa Ibu berbicara seperti ini?” tanya Dania dengan nada getir, suaranya gemetar di ujung kalimat. Mata cokelatnya yang biasanya penuh kehangatan kini tampak berkilat dengan kekecewaan dan ketidakpahaman.“Mark akan bebas. Walaupun Mark dipenjara, apa bisa dia menghidupkan ibuku lagi? Tidak, kan?”Kalimat itu jatuh seperti pukulan di antara mereka, membuat suasana semakin mencekam. Dalam hati Dania, perasaan terombang-ambing antara cinta dan kepedihan membuat setiap kata Sarah terasa seperti jarum yang menusuk kulitnya.Sarah menghela napas panjang, merasakan kesedihan yang semakin berat. “Mark ingin bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan padamu dan ibumu, Dania,” ujarnya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.Ia mengulurkan tangannya, namun Dania hanya bisa menatapnya dengan sorot mata tak percaya. “Mark akan menerima hukuman itu. Entah hukuman seumur hidup atau hukuman mati, Mark siap untuk menerimanya.”Mata Dania membola. Pernyataan itu seperti petir yang menyamba
Malam itu begitu sunyi. Sel-sel penjara yang dingin dan suram seolah memenjarakan lebih dari sekadar tubuh Mark. Kegelapan di ruangan kecil itu seperti mencerminkan kekosongan yang merongrong jiwanya.Hanya suara napasnya yang terdengar, berat dan tergesa-gesa, ketika tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya dengan mata terbelalak, keringat dingin membasahi keningnya.“Dania!” pekiknya, penuh kecemasan yang membuncah, suaranya menggema di dalam ruang sempit tersebut. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan kesadaran yang terserak.Napasnya terengah-engah, matanya berkedip cepat seolah berusaha membedakan antara mimpi dan kenyataan. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, merasakan dingin yang merambat dari telapak tangannya ke wajah yang pucat.Mark memejamkan matanya sejenak, memikirkan mimpi yang barusan menghantamnya. Di sana, ia melihat Dania, terbaring tak berdaya dengan tubuh yang menggigil, kesakitan.Darah mengalir deras dari perutnya, memenuhi pandangannya dengan horo
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan
Bodyguard pertama yang mencoba melawan. Namun, Randy dengan cepat menghindar dan menghantamkan pukulan yang kuat.Pria itu jatuh ke lantai mengerang. Tidak bisa bergerak. Bodyguard kedua mencoba menahan Randy. Tapi tidak berhasil.Seperti seorang pria yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anaknya, Randy mengamuk, membabi buta, tidak memberi ampun.Mike tergeletak di tanah. Wajahnya penuh dengan cairan merah pekat. Dan tubuhnya semakin tak berdaya.Di sebelahnya, Randy berjongkok, memeriksa keadaan anaknya. Mike masih bernapas, meskipun dengan susah payah."Mike bertahanlah." Randy berteriak, mengguncang bahu.Mike berharap ada reaksi. Tetapi Mike tidak bergerak. Cairan merah pekat itu mengalir deras dari luka-lukanya. Dan tubuhnya terasa dingin.Emma yang masih berdiri di kejauhan, karena perkelahian bodyguardnya, menyaksikan semua amukan Randy dengan tatapan penuh kebencian."Kau akan mati, Mike. Tidak ada yang bisa m
Sementara itu, di dalam mobil, Emma duduk dengan gelisah. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya jauh melayang.Botol wine di tangan kanannya hampir kosong, dan dagunya basah oleh sisa-sisa cairan yang tumpah.Ia tampak marah, kecewa, dan sangat kesal. Rasa sakit yang menggerogoti dirinya akibat kehadiran Clara begitu menyakitkan."Stevan…!" gumamnya dengan geram, suara hatinya penuh kebencian. "Kenapa dia harus ada di sana? Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi?"Emma meneguk wine lagi, tanpa peduli dengan keadaan dirinya yang semakin kacau. Ia merasakan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi ini."Kau pikir bisa menghindar, Stevan? Tidak. Aku akan pastikan Clara tahu siapa yang sebenarnya dia hadapi. Tidak ada yang akan bisa menghalangi rencanaku!"Tangannya yang gemetar memegang kemudi, namun di dalam dirinya, ada dorongan tak terhentikan untuk melanjutkan permainan berbahaya ini.Ia tahu bahwa j
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde