Dania membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang merembes dari tubuh sang suami yang masih memeluknya erat.Ruangan remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu tidur, membuat suasana terasa hening dan damai. Di sampingnya, Mark telah terlelap dalam tidur yang lelap, beberapa saat setelah mereka tenggelam dalam keintiman yang begitu menggairahkan.Dania bisa merasakan napas Mark yang teratur, tubuhnya bergerak lembut seirama dengan alunan napas tidur yang damai. Ia terjaga, tidak mampu melepas pandangan dari wajah suaminya yang begitu dekat.Dengan hati-hati, Dania mengusap lembut sisi wajah Mark, jemarinya menelusuri garis rahang yang tegas dan kulit yang terasa hangat di bawah sentuhannya. Mark tetap terlelap, tidak menyadari sentuhan lembut istrinya.Dania tersenyum kecil, bibirnya melengkung dengan kehangatan yang penuh cinta. “Kau pasti sangat lelah, Mark. Raut wajahmu tidak bisa berbohong jika sebenarnya kau sangat letih,” bisiknya pelan, suaranya nyaris
Alex melangkah ke dapur dengan langkah yang berat, pandangannya terpaku pada punggung istrinya, Sarah, yang tengah sibuk menyiapkan makanan di meja.Ada tumpukan makanan di depan Sarah, yang terlihat berlebihan untuk sekadar makan malam sederhana. Rasa curiga mulai merayapi benak Alex, membuat amarah yang sudah lama ia tahan kembali mencuat.Ia menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan Sarah, dan akhirnya mengajukan pertanyaan dengan nada dingin, yang mencerminkan ketidakpuasan yang telah lama ia pendam."Kau mau pergi ke mana? Kenapa membawa makanan sebanyak ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan.Sarah, yang masih memunggungi Alex, tidak menoleh sedikit pun. Dia tetap fokus pada pekerjaannya, memasukkan makanan ke dalam keranjang.Wajahnya tenang, seolah-olah kehadiran Alex di dapur tidak mempengaruhinya sama sekali.Dengan nada yang dingin namun tajam, ia menjawab, "Mau pergi ke mana pun bukan urusanmu, Alex. Lagi pula, sejak kapan kau
Sarah melangkah dengan riang menuju kediaman anaknya, Mark, dan menantunya, Dania. Udara sore yang hangat menemani setiap langkahnya, membawa aroma segar masakan yang ia bawa dalam keranjang.Di depan pintu rumah, ia berhenti sejenak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin. Ia tersenyum lembut, membayangkan betapa bahagianya bisa menghabiskan waktu bersama Dania dan Mark, terutama dengan kehadiran cucunya yang masih dalam kandungan.Pintu terbuka, dan senyum sumringah segera menyambutnya. Dania berdiri di sana, matanya membulat terkejut saat melihat keranjang penuh makanan di tangan mertuanya."Oh, Ibu. Kenapa harus repot-repot membawa banyak makanan seperti ini?" tanya Dania, nada suaranya terdengar lembut namun penuh kekaguman.Sarah terkekeh kecil, matanya menyiratkan kebahagiaan. "Mark mengirim pesan padaku, katanya istri tercintanya ini ingin menyantap masakan mertuanya. Ya sudah, aku segera belanja dan memasak untukmu," jawab Sarah, menyembunyikan senyum geli y
Waktu telah menunjuk angka tujuh malam. Suasana di meja makan kediaman Mark dan Dania terasa hangat, meskipun di balik keheningan yang melingkupi mereka, ada sesuatu yang tersimpan.Ketiganya—Mark, Dania, dan Sarah—tampak sibuk menyantap hidangan yang telah dimasak dengan penuh kasih oleh Sarah. Aroma makanan memenuhi ruangan, membalut mereka dalam kehangatan yang sulit didapat dalam hari-hari yang penuh ketegangan.Sarah menatap piring di depannya, memandangi masakan yang telah ia buat dengan cermat. Ia tahu, tentu saja, bahwa Mark lah yang sebenarnya menginginkan masakan dari tangannya. Bukan Dania.Namun, dia memilih diam dan menikmati kebersamaan yang langka ini, seolah tak ada badai yang tengah mendekat dalam hidup mereka.Dania mengangkat wajah dari piringnya, lalu tersenyum manis ke arah mertuanya. "Ibu, masakanmu sangat enak. Terima kasih sudah membuatkannya untukku," katanya dengan tulus, memecah kesunyian yang ada di antara mereka.Senyum lebar muncul di bibir Sarah, senyum
Dania merasakan jantungnya berhenti sejenak, udara serasa lenyap dari paru-parunya saat nama Kevin disebut. Wajahnya memucat, seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat.Bayangan-bayangan kabur dari masa lalu berkelebat di benaknya, samar namun menyakitkan, meninggalkan sensasi ketakutan yang menggigil di tulang punggungnya."Jadi... Kevin dan ayah Mark..." suaranya serak, terhenti di tenggorokan. Kalimat itu seolah tercekik sebelum benar-benar keluar.Sarah menatap menantunya dengan ekspresi penuh empati, mengangguk pelan, seolah menyampaikan beban yang sama beratnya. “Iya,” jawabnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan yang ditelan keheningan malam.“Mereka bekerja sama. Aku tidak tahu detailnya, tapi ada sesuatu yang besar sedang mereka rencanakan.”Dania menunduk, bibir bawahnya tergigit pelan, seolah menahan gelombang perasaan yang mulai merangsek masuk. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti mencoba meresapi kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan akan muncul di
Dania memandang wajah Mark dengan hati yang berkecamuk. Tatapan suaminya begitu dingin dan penuh ketegasan, seolah tak ada ruang untuk keraguan di balik keputusannya.Di balik ekspresi itu, Dania bisa merasakan hasrat besar yang tersembunyi—hasrat untuk membalas dendam, untuk membuat Kevin menyesal karena berani mengganggu kehidupan mereka. Mark tampak begitu siap, seakan-akan sudah merencanakan setiap langkah dengan matang.Perlahan, Dania mengulurkan tangannya dan mengusap punggung tangan Mark dengan lembut, memberikan kehangatan yang ia harap bisa meredakan sedikit ketegangan di tubuh pria itu. Senyum tipis terulas di bibirnya, namun di dalam hatinya ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.“Apa pun yang ingin kau lakukan, Mark,” bisiknya lembut, penuh kasih sayang. “Aku hanya meminta padamu agar berhati-hati. Aku ingin kau baik-baik saja. Aku tidak ingin kehilanganmu.”Mark merespons dengan menggenggam erat tangan istrinya, tatapan tajamnya melembut sedikit saat ia memandang
Pagi yang dingin di sebuah kafe dekat kantor Marsha, suasana lengang membuat tempat itu terasa lebih intim, meski ada aura tegang yang tak terelakkan di antara dua orang yang kini duduk berhadap-hadapan.Marsha menatap Mark dengan tatapan datar, menyimpan rasa penasaran yang tak dapat ia sembunyikan.“Ada apa memanggilku? Tidak biasanya kau menghubungiku, apalagi ingin bertemu denganku,” suara Marsha terdengar jelas, namun ada nada terselubung yang menunjukkan bahwa ia berhati-hati.Mark menatapnya, dengan mata yang dingin dan tanpa ekspresi. “Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu,” jawabnya, suaranya terdengar berat dan datar, membuat Marsha mengernyit sedikit.Ia menaikkan alis, terkejut dengan pernyataan itu. “Tentang apa?” tanyanya lagi, kali ini dengan sedikit ketidaksabaran.Mark menghela napas panjang, tampak seperti seseorang yang sudah mengumpulkan banyak pikiran yang akan segera dilepaskan. “Aku tahu kau sedang mengandung,” katanya akhirnya, membuat Marsha terpaku se
Pagi itu, suasana kantor V-One Grup terasa sedikit berbeda. Suara langkah Mark yang tegas menggema di lorong-lorong, mengisyaratkan bahwa ia datang dengan amarah yang ditahan. Begitu tiba di ruang kerjanya, ia segera membuka pintu dengan kasar, melempar tasnya ke atas meja, dan dengan nada dingin memerintahkan, “Vicky, masuk ke ruanganku!”Vicky, yang sudah terbiasa dengan suasana tegang seperti ini, segera bergegas masuk. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mark terlihat sangat serius, bahkan lebih dari biasanya. Ia duduk di kursi kebesarannya, mengetuk-ngetukkan jari-jari di atas meja seraya menghela napas panjang, seakan mencoba menenangkan gejolak di dalam dadanya.“Ada apa, Tuan?” tanya Vicky dengan hati-hati.Mark memandang Vicky tajam. Matanya berkilat penuh amarah yang ditekan. “Kevin akan memalsukan data tentang kecelakaan Dania dan ibunya,” ujar Mark, suaranya rendah dan penuh ketegangan. “Entah sudah selesai atau belum, dia akan melaporkanku pada polisi terkait hal
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde
Apartemen Emma, malam itu.Mike duduk di sofa, menatap Emma yang sedang menuangkan sampanye ke dalam gelas kristal.Wanita itu tampak seperti seseorang yang baru saja memenangkan perang.Ia melangkah ringan, gaunnya berayun mengikuti gerak tubuhnya. Rambutnya disanggul dengan elegan, dan matanya berkilat dengan sesuatu yang hampir menyerupai kegilaan.“Kau tahu, Mike?” katanya sambil mengangkat gelasnya.“Stevan mengira dia bisa hidup tanpa aku. Dia mengira Clara adalah satu-satunya perempuan yang dia butuhkan. Tapi aku akan membuatnya sadar.”Emma meneguk sampanye itu dalam satu tarikan napas, lalu meletakkan gelasnya dengan keras di meja.“Kita harus pastikan Clara benar-benar pergi ..., oh maaf. Kau mencintai Clara, kan? maksudku tentu saja menjauh dari Stevan. Negara lain pasti menerima Sepasang kekasih yang memulai hidup baru dengan bisnis yang prospektif.”Mike menegang. "Aah itu rencanamu? Iya ... aku rasa itu bukan usul yang buruk."Emma menatapnya, bibirnya melengkung dalam s
Mike tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Stevan, lalu melirik ke arah Clara, seolah menimbang-nimbang apa yang harus ia katakan.Clara, yang merasa ketegangan meningkat di antara mereka, buru-buru berbicara. “Stevan, jangan salah paham. Kami hanya mengobrol.”Tapi Stevan tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Clara membela Mike.Ia menatap perempuan itu, matanya mencari jawaban. “Mengobrol tentang apa?”Mike akhirnya buka suara, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang Stevan harapkan. “Aku hanya ingin berterima kasih pada Clara. Dia membantuku waktu itu.”Stevan menyipitkan mata. “Membantu? Waktu itu?”Mike menoleh pada Clara seolah meminta izin, dan Clara hanya mengangguk.Mike menghela napas sebelum berkata, “Clara menyelamatkanku malam itu di jembatan.”Stevan terdiam sejenak. Lalu sesuatu dalam dirinya runtuh. Clara belum pernah mengatakan ini padanya.Ia tahu Mike mengalami masa sulit, tapi ia tidak tahu bahwa Clara—Clara-nya—sudah sejauh itu dalam membantu laki-laki ini.
Mike tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah seburuk ini. Jika beberapa bulan lalu seseorang mengatakan bahwa ia akan menjadi alat dalam permainan kotor seorang wanita obsesif, ia pasti akan menertawakan mereka.Tapi sekarang? Sekarang ia berdiri di depan cermin dengan wajah pucat, napas tersengal, dan tangan bergetar, memikirkan bagaimana cara melepaskan diri dari jebakan yang ia buat sendiri.Clara.Nama itu terus berputar di kepalanya, menghantui tiap sudut pikirannya.Clara, yang begitu tulus, yang berusaha menyelamatkannya, yang menjadi temannya mengatasi segala hal agar ia gak terpuruk.Bahkan Clara membuat alur bisnis bidang lain yang mungkin bisa di gelutinya. Bukankah Clara selalu terbaik?Clara seharusnya tak pantas terseret dalam kekacauan ini. Ia seharusnya tidak peduli. Ia seharusnya melanjutkan rencana seperti yang diperintahkan Emma.Tapi semakin ia mencoba membenarkan perbuatannya, semakin besar rasa bersalah itu menghancurkannya dari dalam.Clara wanita yang baik
Clara berjalan sendirian di trotoar kampus setelah keluar dari perpustakaan.Ia baru saja menyelesaikan tugas kelompok dan merasa butuh udara segar sebelum kembali ke apartemen. Angin musim gugur berhembus pelan, membuatnya merapatkan jaketnya.Langkahnya hampir mencapai gerbang utama ketika pandangannya menangkap sosok yang berdiri di tepi jembatan kecil dekat danau yang ia lewati.Danau itu cukup luas dan dalam. "Apa maksud Mike berdiri di sana dengan tatapan kosong?" gumam hati Clara panik. Tubuh pria itu sedikit goyah, tangannya mencengkeram pagar pembatas."Mikeee, hentikan!"Clara menahan napas. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Mike sejak kasus plagiarisme yang mencoreng namanya.Mereka bukan sahabat dekat, tapi cukup mengenal satu sama lain karena berada di lingkaran pertemanan yang sama.Namun, melihat Mike dalam kondisi seperti ini membuatnya merasa ada sesuatu yang salah.Tanpa berpikir panjang, Clara berjalan cepat mendekati Mike. Ia semakin mempercepat langkah saat Mike
Di sebuah apartemen mewah dengan jendela kaca besar menghadap cakrawala, Emma berdiri dengan tangan terlipat di dada, rahangnya mengatup keras.Di belakangnya, Mike menghempaskan tubuh ke sofa, kepalanya terbenam di kedua telapak tangan."Hanya kau yang bisa menolongku, Mike?" Suara Emma lembut, memohon. Ia sengaja memilih bersikap selembut kapas agar Mike akhirnya luluh.Mike menggeleng. "Tidak. Sekali tidak tetap tidak. Silakan pergi. Kau tahu di mana letak pintunya, bukan?"Mike meninggikan suara dan menunjuk pintu apartemennya"Mike, apa kau sebodoh itu? Semua belum hancur, Mike!" Emma menatap Mike dengan tajam, mencoba meyakinkannya.Tangannya menggenggam lengan pria itu, seolah ingin menyalurkan keberanian.Mike mendongak, matanya berkilat marah. "Aku tidak punya pilihan! Nama keluargaku hancur. Daddy telah membuat aku tidak dipercaya lagi di dunia bisnis.“Perusahaan kami sekarat, dan kau ingin aku mengejar perempuan yang bahkan tak peduli padaku? Kau egois, Emma!"Emma mendeca
Kabut tipis menggantung di puncak-puncak pegunungan yang menjulang tinggi di depan mereka.Suara angin yang lembut berdesir melalui pepohonan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar.Di kejauhan, suara lonceng sapi terdengar pelan, menyatu dengan kedamaian pedesaan Swiss.Stevan dan Clara berdiri di depan sebuah rumah kayu kecil, dikelilingi ladang hijau yang terbentang luas, tak terganggu oleh hiruk-pikuk dunia luar.Liburan semester ini Stevan membawa Clara liburan di Swiss menikmati udara pedesaan yang asri.Clara menyeka ujung hidungnya dengan jaket tebal yang ia kenakan, matanya berbinar menatap panorama yang terbentang.“Stevan ... ini begitu indah,” katanya dengan nada lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian alam.Stevan tersenyum, menatap Clara dengan penuh perhatian. “Aku tahu kau akan suka di sini. Swiss selalu punya cara untuk membuat hati terasa tenang,” jawabnya, sambil meletakkan tangan di bahu Clara, merasakan kedekatan mereka yang begitu kuat.Tak ada k
New York, langit biru cerah yang sedikit tercemar oleh kabut tipis menyambut kedatangan Mark di bandara.Ia melangkah keluar dari terminal dengan langkah cepat, meninggalkan keramaian yang masih sibuk mengejar barang-barang mereka.Tak lama, Stevan sudah menunggu di luar, berdiri dengan punggung tegak dan wajah penuh tekad. Begitu mata mereka bertemu, Stevan langsung menghampiri Mark.“Stevan, apa kabarmu?” Suara Mark terdengar berat, tetapi ada ketenangan di sana.“Kabar baik. Aku melihat pemberitaan media bahwa Randy sudah membuat pernyataan.”Mark mengangguk pasti. “Itu berarti semuanya selesai.”“Ya, selesai. Rasanya begitu lega namun masih tak percaya, Mark.” jawab Randy menatap Mark dalam.“Randy sudah mengakui perbuatannya di depan media. Semua yang kita bicarakan kemarin sudah tuntas. Namamu bersih mulai dari sekarang.” Mark meyakinkan lagi.Stevan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Terima kasih, Dad. Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa lagi.” Suaranya terdeng
Tidak membutuhkan waktu lama. Persis dua jam kemudian. Konferensi pers di gelar mendadak.Kilatan lampu kamera menyilaukan, memenuhi ruangan konferensi pers yang penuh sesak.Wartawan dari berbagai media berebut posisi terbaik, mikrofon teracung ke depan, siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Randy. Ketika langkah Rendy menuju meja konferensi."Pak Randy, apa benar Anda mengakui telah mencuri desain Stevan?" seru seorang reporter, suaranya nyaring menembus hiruk-pikuk saat Randy melangkah tergesa menuju meja utama konferensi pers."Apakah ini berarti semua tuduhan terhadap Stevan tidak benar?" tanya yang lain, matanya berbinar, mencium aroma skandal besar.Randy menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia mencoba membuka mulut, tetapi suara gemuruh kamera dan bisik-bisik wartawan membuat dadanya semakin sesak.Ia bukan lagi penguasa ruangan. Sekarang ia hanya seorang pria yang terpojok di bawah sorotan lampu.Randy berdiri di depan puluhan mic dari berbagai m