Setelah perdebatan sengit dengan Alex, Sarah merasa lelah, baik fisik maupun batin. Ia duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, hanya ditemani oleh suara detik jam yang berirama lambat, seakan mempermainkan waktu yang berlarut-larut.Di depannya, ponselnya tergeletak di meja, tak lagi aktif. Ia sudah mencoba menghubungi Dania, namun hingga dering terakhir, panggilan itu tak pernah diangkat."Ke mana kalian? Dania, kau di mana?" gumam Sarah pelan, frustrasi. Ia tahu, Mark pasti juga tidak akan menerima panggilan darinya. “Mark juga pasti sedang tidak ingin bicara denganku...,” lanjutnya lirih, matanya menerawang kosong, seolah-olah mencari jawaban di udara.Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari arah pintu. Sesyl, putri satu-satunya yang masih tinggal bersamanya, masuk ke ruangan itu dengan wajah penuh keheranan. Ia langsung duduk di samping ibunya, menggenggam tangan Sarah yang dingin dan penuh beban.“Ibu? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Sesyl dengan nada khawatir. M
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang berat, suasana antara ibu dan anak yang terisi dengan percikan percakapan terjaga. Sarah dan Sesyl duduk di sofa ruang tengah, menunggu dengan sabar. Sesekali mata mereka saling bertaut, namun tak ada kata yang terucap. Langit malam di luar jendela tampak gelap, seolah menggambarkan suasana hati yang tegang.Tak lama kemudian, Mark keluar dari kamarnya. Penampilannya sederhana—celana pendek dan kaus polos, tanpa sedikit pun menyiratkan kesan bahwa ia tengah menyimpan rahasia besar di balik sikap dinginnya. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun saat ia duduk di hadapan ibu dan adiknya, hanya sesekali tangan kasarnya memutar-mutar cincin pernikahannya."Ada apa malam-malam begini ingin bertemu denganku?" tanya Mark dengan nada datar, seolah tak ingin membuang banyak waktu untuk basa-basi.Sarah menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aku dengar dari Sesyl bahwa Dania sedang hamil. Apa itu benar, Mark?" Suaranya lembut, penuh p
Sarah menelan ludahnya, terhantam oleh kata-kata Mark yang begitu tajam dan langsung menghunjam. Matanya menatap anaknya, penuh dengan penyesalan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa Mark memendam amarah yang luar biasa. Amarah yang sudah lama tertahan, akhirnya meledak. Mata anaknya, yang dulunya penuh cinta, kini menyala dengan kemarahan yang sulit dipadamkan.“Maafkan aku, Mark...” suara Sarah terdengar pelan, nyaris seperti bisikan, tercekik oleh rasa bersalah yang begitu besar. "Aku tidak pernah bermaksud memisahkanmu dengan Dania. Ayahmu hanya… dia hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat itu." Kalimatnya terdengar seperti pembelaan yang rapuh, seolah berusaha mencari pengampunan atas dosa yang begitu berat.Mark tersenyum, tetapi senyum itu jauh dari kebahagiaan. Senyum itu dipenuhi dengan kepahitan yang mendalam. “Ya, kalian memang egois,” katanya dengan nada getir. “Meskipun aku sudah meminta untuk tetap tinggal di sana bersama Nenek, kalian tak pernah mendengarnya. K
Kegelapan malam yang pekat dan angin yang dingin merayap di sudut-sudut gudang tua itu, membuat seluruh tubuh Mark menggigil. Ia duduk meringkuk di sudut ruangan, memeluk lututnya dengan erat, mencoba menahan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.Bibirnya membiru, wajahnya pucat seperti kehilangan kehidupan. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia terkurung di sana, namun waktu terasa begitu lambat, seolah setiap detik menjadi derita yang tak tertahankan."Dania... tolong aku..." lirih suara Mark, suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam yang mengerikan itu. Matanya yang sayu terpejam, seolah mencoba mencari sedikit kehangatan dalam bayang-bayang sosok yang ia rindukan."Dania... aku ingin bertemu denganmu..." bisiknya lagi, namun tak ada jawaban, hanya sunyi yang menjawab permohonannya.Tubuhnya semakin lemas. Mark merasa tidak mampu lagi bertahan. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, ia terbaring di atas lantai dingin dan keras itu, tubuhnya gemetar h
Kata-katanya menusuk, menghancurkan atmosfer yang sebelumnya penuh dengan ketegangan. Sarah menatap suaminya dengan tatapan nanar, seluruh tubuhnya bergetar karena amarah dan kekecewaan.“Alex!” pekik Sarah, suaranya gemetar namun dipenuhi oleh luka yang dalam.“Apa?” Alex menatapnya dengan tatapan dingin, tidak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah.“Kau sendiri yang menggodaku dan membuatmu hamil. Mark tidak pernah aku harapkan lahir ke dunia ini, Sarah. Gara-gara kau, aku harus kehilangan wanita yang kucintai!”Sarah tersentak. Kata-kata Alex menamparnya keras. Rasa sakit itu seperti racun yang mengalir dalam darahnya, menghancurkan setiap serpihan harapan yang pernah ia miliki.“Jadi... itu alasanmu membencinya? Hanya karena aku?” suaranya hampir tak terdengar, seolah sisa kekuatannya terserap oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menghantam dirinya.“Seharusnya kau paham, kenapa aku memisahkan dia dengan Dania,” lanjut Alex tanpa belas kasihan. “Karena Mark harus merasakan apa yang a
Mark membuka matanya perlahan, tatapannya masih terselubung sisa-sisa mimpi yang mengguncang jiwanya. Namun, begitu ia menoleh, pandangannya tertuju pada sosok yang begitu ia cintai—Dania. Ia menatapnya dengan senyum tipis di bibir yang selalu membuat hatinya tenang, meski badai amarah dan kekecewaan kerap berkecamuk di dalam dirinya.“Kau bermimpi buruk lagi?” bisik Dania dengan suara lembut, seakan tak ingin memecah kesunyian yang menyelimuti mereka.Mark tersenyum, namun senyum itu lebih mirip garis tipis kesedihan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. “Hanya kembali ke masa lalu setelah kita berpisah,” jawabnya pelan, nadanya penuh dengan kegetiran. “Setiap kali ibuku menemuiku, bayangan itu selalu datang. Seakan-akan semua yang sudah kukubur dalam-dalam kembali menghantui.”Dania menatapnya dengan penuh kasih, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Ia meraih tangan Mark, mengusap punggung tangannya yang terasa dingin, seperti baru saja keluar dari lemari pendingin. “A
Setelah menandatangani beberapa dokumen yang sempat tertunda, Mark memberikan file tersebut kepada Vicky, asisten setianya yang selalu siap melaksanakan perintah dengan cepat dan teliti.Cahaya dari jendela ruang kerjanya memantulkan bayang-bayang lelah di wajah Mark yang tak pernah benar-benar tersenyum lepas, meskipun segalanya tampak berjalan sempurna di hidupnya yang terkesan mewah.“Kosongkan jadwal siang ini,” ucap Mark sembari menghela napas panjang, "karena aku harus menemui Hans jam dua siang nanti."Vicky mengangguk patuh, seperti biasa, penuh kesungguhan dan tanpa banyak pertanyaan. "Baik, Tuan. Akan saya re-schedule kembali pertemuan untuk hari ini."Suaranya datar, namun tersirat perhatian di balik nada resminya. Setelah berpikir sejenak, Vicky memberanikan diri bertanya, meski dengan nada yang lebih pelan, "Apakah Anda ingin saya temani?"Mark menggeleng, sedikit senyum terbit di wajahnya, meski tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang tersirat di matanya. "Tidak perlu.
Dania duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang seolah menjadi jendela kecil yang membuka pintu komunikasi antara dirinya dan suaminya, Mark.Setiap detik berlalu terasa lambat, seperti alunan waktu yang terhenti di tengah ketidakpastian. Pesan yang ia kirimkan beberapa menit lalu masih terlihat tanpa balasan, membuat perasaannya sedikit gusar."Mark. Hari ini kau akan pulang pukul berapa? Aku ingin memasak sesuatu untukmu. Apakah kau akan makan malam bersama denganku?" tulisnya di pesan singkat yang dikirim dengan penuh harapan.Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang muncul ketika kegelisahan menghampiri.Jari-jari halusnya menyusuri layar ponsel, berharap ada tanda dari Mark—tanda bahwa ia membaca dan segera membalas. Namun, yang didapatinya hanyalah hening yang tak terjawab."Kenapa lama sekali," gumamnya pelan, suara lembutnya nyaris tersapu oleh suara angin yang datang dari jendela yang sedikit terbuka.Matanya terarah pada pintu kamar, dan seiring wakt