Mark membuka matanya perlahan, tatapannya masih terselubung sisa-sisa mimpi yang mengguncang jiwanya. Namun, begitu ia menoleh, pandangannya tertuju pada sosok yang begitu ia cintai—Dania. Ia menatapnya dengan senyum tipis di bibir yang selalu membuat hatinya tenang, meski badai amarah dan kekecewaan kerap berkecamuk di dalam dirinya.“Kau bermimpi buruk lagi?” bisik Dania dengan suara lembut, seakan tak ingin memecah kesunyian yang menyelimuti mereka.Mark tersenyum, namun senyum itu lebih mirip garis tipis kesedihan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. “Hanya kembali ke masa lalu setelah kita berpisah,” jawabnya pelan, nadanya penuh dengan kegetiran. “Setiap kali ibuku menemuiku, bayangan itu selalu datang. Seakan-akan semua yang sudah kukubur dalam-dalam kembali menghantui.”Dania menatapnya dengan penuh kasih, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Ia meraih tangan Mark, mengusap punggung tangannya yang terasa dingin, seperti baru saja keluar dari lemari pendingin. “A
Setelah menandatangani beberapa dokumen yang sempat tertunda, Mark memberikan file tersebut kepada Vicky, asisten setianya yang selalu siap melaksanakan perintah dengan cepat dan teliti.Cahaya dari jendela ruang kerjanya memantulkan bayang-bayang lelah di wajah Mark yang tak pernah benar-benar tersenyum lepas, meskipun segalanya tampak berjalan sempurna di hidupnya yang terkesan mewah.“Kosongkan jadwal siang ini,” ucap Mark sembari menghela napas panjang, "karena aku harus menemui Hans jam dua siang nanti."Vicky mengangguk patuh, seperti biasa, penuh kesungguhan dan tanpa banyak pertanyaan. "Baik, Tuan. Akan saya re-schedule kembali pertemuan untuk hari ini."Suaranya datar, namun tersirat perhatian di balik nada resminya. Setelah berpikir sejenak, Vicky memberanikan diri bertanya, meski dengan nada yang lebih pelan, "Apakah Anda ingin saya temani?"Mark menggeleng, sedikit senyum terbit di wajahnya, meski tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang tersirat di matanya. "Tidak perlu.
Dania duduk di tepi tempat tidur, menatap layar ponselnya yang seolah menjadi jendela kecil yang membuka pintu komunikasi antara dirinya dan suaminya, Mark.Setiap detik berlalu terasa lambat, seperti alunan waktu yang terhenti di tengah ketidakpastian. Pesan yang ia kirimkan beberapa menit lalu masih terlihat tanpa balasan, membuat perasaannya sedikit gusar."Mark. Hari ini kau akan pulang pukul berapa? Aku ingin memasak sesuatu untukmu. Apakah kau akan makan malam bersama denganku?" tulisnya di pesan singkat yang dikirim dengan penuh harapan.Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang muncul ketika kegelisahan menghampiri.Jari-jari halusnya menyusuri layar ponsel, berharap ada tanda dari Mark—tanda bahwa ia membaca dan segera membalas. Namun, yang didapatinya hanyalah hening yang tak terjawab."Kenapa lama sekali," gumamnya pelan, suara lembutnya nyaris tersapu oleh suara angin yang datang dari jendela yang sedikit terbuka.Matanya terarah pada pintu kamar, dan seiring wakt
Dania membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang merembes dari tubuh sang suami yang masih memeluknya erat.Ruangan remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu tidur, membuat suasana terasa hening dan damai. Di sampingnya, Mark telah terlelap dalam tidur yang lelap, beberapa saat setelah mereka tenggelam dalam keintiman yang begitu menggairahkan.Dania bisa merasakan napas Mark yang teratur, tubuhnya bergerak lembut seirama dengan alunan napas tidur yang damai. Ia terjaga, tidak mampu melepas pandangan dari wajah suaminya yang begitu dekat.Dengan hati-hati, Dania mengusap lembut sisi wajah Mark, jemarinya menelusuri garis rahang yang tegas dan kulit yang terasa hangat di bawah sentuhannya. Mark tetap terlelap, tidak menyadari sentuhan lembut istrinya.Dania tersenyum kecil, bibirnya melengkung dengan kehangatan yang penuh cinta. “Kau pasti sangat lelah, Mark. Raut wajahmu tidak bisa berbohong jika sebenarnya kau sangat letih,” bisiknya pelan, suaranya nyaris
Alex melangkah ke dapur dengan langkah yang berat, pandangannya terpaku pada punggung istrinya, Sarah, yang tengah sibuk menyiapkan makanan di meja.Ada tumpukan makanan di depan Sarah, yang terlihat berlebihan untuk sekadar makan malam sederhana. Rasa curiga mulai merayapi benak Alex, membuat amarah yang sudah lama ia tahan kembali mencuat.Ia menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan Sarah, dan akhirnya mengajukan pertanyaan dengan nada dingin, yang mencerminkan ketidakpuasan yang telah lama ia pendam."Kau mau pergi ke mana? Kenapa membawa makanan sebanyak ini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan.Sarah, yang masih memunggungi Alex, tidak menoleh sedikit pun. Dia tetap fokus pada pekerjaannya, memasukkan makanan ke dalam keranjang.Wajahnya tenang, seolah-olah kehadiran Alex di dapur tidak mempengaruhinya sama sekali.Dengan nada yang dingin namun tajam, ia menjawab, "Mau pergi ke mana pun bukan urusanmu, Alex. Lagi pula, sejak kapan kau
Sarah melangkah dengan riang menuju kediaman anaknya, Mark, dan menantunya, Dania. Udara sore yang hangat menemani setiap langkahnya, membawa aroma segar masakan yang ia bawa dalam keranjang.Di depan pintu rumah, ia berhenti sejenak, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin. Ia tersenyum lembut, membayangkan betapa bahagianya bisa menghabiskan waktu bersama Dania dan Mark, terutama dengan kehadiran cucunya yang masih dalam kandungan.Pintu terbuka, dan senyum sumringah segera menyambutnya. Dania berdiri di sana, matanya membulat terkejut saat melihat keranjang penuh makanan di tangan mertuanya."Oh, Ibu. Kenapa harus repot-repot membawa banyak makanan seperti ini?" tanya Dania, nada suaranya terdengar lembut namun penuh kekaguman.Sarah terkekeh kecil, matanya menyiratkan kebahagiaan. "Mark mengirim pesan padaku, katanya istri tercintanya ini ingin menyantap masakan mertuanya. Ya sudah, aku segera belanja dan memasak untukmu," jawab Sarah, menyembunyikan senyum geli y
Waktu telah menunjuk angka tujuh malam. Suasana di meja makan kediaman Mark dan Dania terasa hangat, meskipun di balik keheningan yang melingkupi mereka, ada sesuatu yang tersimpan.Ketiganya—Mark, Dania, dan Sarah—tampak sibuk menyantap hidangan yang telah dimasak dengan penuh kasih oleh Sarah. Aroma makanan memenuhi ruangan, membalut mereka dalam kehangatan yang sulit didapat dalam hari-hari yang penuh ketegangan.Sarah menatap piring di depannya, memandangi masakan yang telah ia buat dengan cermat. Ia tahu, tentu saja, bahwa Mark lah yang sebenarnya menginginkan masakan dari tangannya. Bukan Dania.Namun, dia memilih diam dan menikmati kebersamaan yang langka ini, seolah tak ada badai yang tengah mendekat dalam hidup mereka.Dania mengangkat wajah dari piringnya, lalu tersenyum manis ke arah mertuanya. "Ibu, masakanmu sangat enak. Terima kasih sudah membuatkannya untukku," katanya dengan tulus, memecah kesunyian yang ada di antara mereka.Senyum lebar muncul di bibir Sarah, senyum
Dania merasakan jantungnya berhenti sejenak, udara serasa lenyap dari paru-parunya saat nama Kevin disebut. Wajahnya memucat, seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat.Bayangan-bayangan kabur dari masa lalu berkelebat di benaknya, samar namun menyakitkan, meninggalkan sensasi ketakutan yang menggigil di tulang punggungnya."Jadi... Kevin dan ayah Mark..." suaranya serak, terhenti di tenggorokan. Kalimat itu seolah tercekik sebelum benar-benar keluar.Sarah menatap menantunya dengan ekspresi penuh empati, mengangguk pelan, seolah menyampaikan beban yang sama beratnya. “Iya,” jawabnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan yang ditelan keheningan malam.“Mereka bekerja sama. Aku tidak tahu detailnya, tapi ada sesuatu yang besar sedang mereka rencanakan.”Dania menunduk, bibir bawahnya tergigit pelan, seolah menahan gelombang perasaan yang mulai merangsek masuk. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti mencoba meresapi kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan akan muncul di