Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kesedihan yang begitu dalam. Ia jatuh terduduk di kursi di samping ranjang Dania, tubuhnya tersungkur, air matanya mengalir deras. Rasanya seperti dunia telah menghukumnya tanpa ampun.Mata merahnya tak berhenti menatap wajah sang ayah, penuh kebencian. Sejak kecil, ia merasa tertekan oleh ayahnya, tapi hari ini, semua perasaan itu memuncak.Alex terdiam, lalu mengalihkan pandangannya. "Baiklah," gumamnya dengan nada rendah. "Aku akan memberimu waktu lima belas menit. Setelah itu, tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini." Dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apa pun, Alex melangkah pergi meninggalkan ruangan, membiarkan anaknya merasakan kesedihannya.Mark tak bergerak. Matanya tertuju pada wajah Dania yang kini mulai membuka matanya dengan perlahan. "Dania...," bisik suara lembut di sisi lain ruangan. Famela, ibu Dania, berdiri di tepi ranjang, menatap anak perempuannya dengan napas tertahan. “Dania, Nak, kau sudah siuma
Sudah satu jam lamanya Dania tak sadarkan diri, dan waktu terasa semakin lambat bagi Mark. Hatinya bergulat dengan perasaan bersalah, rindu, dan ketakutan yang meluap-luap. Setiap detik berlalu seperti pedang yang menusuk lebih dalam ke hatinya. Mark menatap wajah Dania yang tenang, namun dalam kesunyian itu, perasaannya tak tenang sama sekali.“Aku baru tahu jika kau mengalami amnesia saat kecelakaan bersama ibumu,” bisik Mark, suaranya bergetar, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi ia berharap bahwa kata-katanya bisa menembus kegelapan yang kini menyelimuti kesadaran Dania.“Awalnya aku kecewa ...,” lanjutnya pelan, matanya masih tak lepas dari wajah wanita itu, “karena kau tidak mengenalku saat pertemuan pertama kita di hotel, saat takdir mempertemukan kita kembali setelah bertahun-tahun lamanya.”“Awalnya aku bahagia karena bisa bertemu denganmu lagi. Ingin rasanya aku memelukmu saat itu. Hanya saja, kau tidak mengenalku sama sekali.”Mark tersenyum tipis, meski senyum
Ruangan itu kembali hening. Hanya suara isakan kecil Mark yang terdengar di antara detak mesin monitor yang terus berdetak dalam irama monoton. Waktu seolah beku di dalam ruang itu, sementara Mark hanya bisa berharap dan berdoa agar Dania membuka matanya, agar wanita itu kembali padanya, agar mereka bisa memulai kembali kisah yang pernah tertinggal di masa lalu.“Mark?” Suara Dania terdengar lirih, namun cukup untuk membuat jantung Mark berdegup lebih kencang. Ia mendongakkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk, menatap wanita yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk membuka mata.“Dania ... kau sudah siuman?” Senyum lirih perlahan mengembang di bibir Mark, penuh rasa syukur dan lega. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air mata yang sejak tadi tertahan agar tidak jatuh.Dania tampak masih lemah, namun matanya mulai terbuka sepenuhnya, menatap ke arah suaminya dengan ekspresi campur aduk. "Aku ... aku bermimpi," ucapnya pelan, suara seraknya memecah keheningan ruangan. "Kau menyela
Mark mengangguk pelan, matanya menatap dalam-dalam ke mata Dania, seolah-olah kata-kata yang ia simpan selama ini tak akan pernah cukup untuk menjelaskan semuanya. “Aku tidak ingin kau terluka lagi, Dania,” ucapnya lembut. “Aku sudah kehilanganmu sekali, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kukatakan, lebih dari apa pun.”Kata-kata itu menembus jauh ke dalam hati Dania, menelusup ke dalam relung-relung perasaan yang selama ini tersembunyi. Air mata perlahan membasahi sudut matanya, namun ia menahannya, mencoba tetap kuat di hadapan pria yang sudah berkorban begitu banyak untuknya.“Sebenarnya, aku ingin tahu apa saja yang kita lewati saat itu, Mark,” kata Dania dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ingin tahu semua yang terjadi antara kita, kenangan-kenangan yang aku lupa... Aku ingin mendengarnya darimu."Mark menggenggam erat tangan Dania, jemarinya yang kokoh terasa hangat di atas kulit dingin istrinya. Dia mengusap pungg
Alex melangkahkan kakinya dengan berat, gerakannya lamban namun penuh penekanan, menghampiri Sarah yang duduk dengan anggun di sofa ruang tamu.Di tangannya, Sarah menggenggam sebuah majalah, namun jarinya sibuk menyempurnakan cat kuku berwarna biru gelap yang baru saja ia kenakan.Sesekali ia meniup pelan permukaan kuku yang berkilauan, sembari matanya melirik sekilas ke arah sang suami yang mulai mendekat.Namun, ia tidak berhenti membaca. Ia tetap fokus pada halaman di depannya, seolah tidak terganggu oleh kehadiran Alex yang kian mendekat."Kau sudah tahu kan," suara Alex pecah, keras namun mengandung kemarahan yang terkekang. "Bahwa Dania yang Mark nikahi adalah Dania kecil yang telah membuat anak itu jadi membenci kita?" Nada suaranya penuh penekanan, sarat dengan dendam yang belum sirna oleh waktu.Sarah, yang awalnya tidak menghiraukan suaminya, tiba-tiba terdiam sejenak. Perlahan, ia menutup majalah tersebut dan meletakkannya di atas meja, lalu menatap Alex.Wajahnya tetap da
Sarah menatap Alex dengan tatapan lembut, namun tegas. "Aku tidak membela siapa pun, Alex. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dania telah membuat Mark kembali menemukan dirinya sendiri, setelah bertahun-tahun kita membuatnya tersesat. Jika kau benar-benar mencintai putramu, kau harus belajar menerima bahwa dia telah memilih jalannya sendiri."Alex mengepalkan tangannya, jemarinya menggenggam kuat seakan-akan bisa menghancurkan apa pun yang ada di genggamannya. Matanya yang gelap menatap lurus ke arah Sarah dengan tatapan dingin yang penuh amarah.“Mark akan semakin besar kepala karena berhasil keluar dari perusahaanku, Sarah. Dan sekarang, perusahaanku terancam gulung tikar karena ulah Mark!” Suaranya meledak-ledak, seperti api yang baru saja disulut bensin, menyala penuh kebencian yang tak tertahankan.Sarah, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, menatap Alex dengan sorot mata tajam. Wajahnya tidak lagi menyimpan sisa kelembutan yang biasa ia tunjukkan.Kali ini, kesabarann
Setelah perdebatan sengit dengan Alex, Sarah merasa lelah, baik fisik maupun batin. Ia duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, hanya ditemani oleh suara detik jam yang berirama lambat, seakan mempermainkan waktu yang berlarut-larut.Di depannya, ponselnya tergeletak di meja, tak lagi aktif. Ia sudah mencoba menghubungi Dania, namun hingga dering terakhir, panggilan itu tak pernah diangkat."Ke mana kalian? Dania, kau di mana?" gumam Sarah pelan, frustrasi. Ia tahu, Mark pasti juga tidak akan menerima panggilan darinya. “Mark juga pasti sedang tidak ingin bicara denganku...,” lanjutnya lirih, matanya menerawang kosong, seolah-olah mencari jawaban di udara.Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari arah pintu. Sesyl, putri satu-satunya yang masih tinggal bersamanya, masuk ke ruangan itu dengan wajah penuh keheranan. Ia langsung duduk di samping ibunya, menggenggam tangan Sarah yang dingin dan penuh beban.“Ibu? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Sesyl dengan nada khawatir. M
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang berat, suasana antara ibu dan anak yang terisi dengan percikan percakapan terjaga. Sarah dan Sesyl duduk di sofa ruang tengah, menunggu dengan sabar. Sesekali mata mereka saling bertaut, namun tak ada kata yang terucap. Langit malam di luar jendela tampak gelap, seolah menggambarkan suasana hati yang tegang.Tak lama kemudian, Mark keluar dari kamarnya. Penampilannya sederhana—celana pendek dan kaus polos, tanpa sedikit pun menyiratkan kesan bahwa ia tengah menyimpan rahasia besar di balik sikap dinginnya. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun saat ia duduk di hadapan ibu dan adiknya, hanya sesekali tangan kasarnya memutar-mutar cincin pernikahannya."Ada apa malam-malam begini ingin bertemu denganku?" tanya Mark dengan nada datar, seolah tak ingin membuang banyak waktu untuk basa-basi.Sarah menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aku dengar dari Sesyl bahwa Dania sedang hamil. Apa itu benar, Mark?" Suaranya lembut, penuh p