Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.Dua tahun berlalu, Dania dan Mark telah menyelesaikan sekolah dasar mereka dan bersiap melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Hari itu, suasana di rumah Mark dipenuhi ketegangan. Ayahnya, Alex, sibuk mempersiapkan perpindahan mereka ke kota besar untuk mengejar karier yang lebih menjanjikan. Tetapi, Mark tidak setuju dengan rencana itu. Ia merasa dunianya di desa ini, bersama neneknya, dan terutama bersama Dania, adalah satu-satunya tempat yang membuatnya merasa hidup."Aku tidak mau ikut dengan kalian! Aku mau tetap di sini saja!" teriak Mark dengan marah, matanya memancarkan pemberontakan yang tak terbendung. “Silakan kalian pergi, tapi aku akan tetap tinggal di sini!” Ia berdiri dengan tegas di depan pintu, menolak untuk masuk ke dalam mobil yang sudah diparkir di halaman.Alex, dengan wajah tegang dan amarah yang menggelegak, menghampiri Mark dengan langkah berat. “Tidak, Mark. Kau harus ikut dengan kami. Jika tidak, kau akan menye
Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kesedihan yang begitu dalam. Ia jatuh terduduk di kursi di samping ranjang Dania, tubuhnya tersungkur, air matanya mengalir deras. Rasanya seperti dunia telah menghukumnya tanpa ampun.Mata merahnya tak berhenti menatap wajah sang ayah, penuh kebencian. Sejak kecil, ia merasa tertekan oleh ayahnya, tapi hari ini, semua perasaan itu memuncak.Alex terdiam, lalu mengalihkan pandangannya. "Baiklah," gumamnya dengan nada rendah. "Aku akan memberimu waktu lima belas menit. Setelah itu, tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini." Dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apa pun, Alex melangkah pergi meninggalkan ruangan, membiarkan anaknya merasakan kesedihannya.Mark tak bergerak. Matanya tertuju pada wajah Dania yang kini mulai membuka matanya dengan perlahan. "Dania...," bisik suara lembut di sisi lain ruangan. Famela, ibu Dania, berdiri di tepi ranjang, menatap anak perempuannya dengan napas tertahan. “Dania, Nak, kau sudah siuma
Sudah satu jam lamanya Dania tak sadarkan diri, dan waktu terasa semakin lambat bagi Mark. Hatinya bergulat dengan perasaan bersalah, rindu, dan ketakutan yang meluap-luap. Setiap detik berlalu seperti pedang yang menusuk lebih dalam ke hatinya. Mark menatap wajah Dania yang tenang, namun dalam kesunyian itu, perasaannya tak tenang sama sekali.“Aku baru tahu jika kau mengalami amnesia saat kecelakaan bersama ibumu,” bisik Mark, suaranya bergetar, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, tetapi ia berharap bahwa kata-katanya bisa menembus kegelapan yang kini menyelimuti kesadaran Dania.“Awalnya aku kecewa ...,” lanjutnya pelan, matanya masih tak lepas dari wajah wanita itu, “karena kau tidak mengenalku saat pertemuan pertama kita di hotel, saat takdir mempertemukan kita kembali setelah bertahun-tahun lamanya.”“Awalnya aku bahagia karena bisa bertemu denganmu lagi. Ingin rasanya aku memelukmu saat itu. Hanya saja, kau tidak mengenalku sama sekali.”Mark tersenyum tipis, meski senyum
Ruangan itu kembali hening. Hanya suara isakan kecil Mark yang terdengar di antara detak mesin monitor yang terus berdetak dalam irama monoton. Waktu seolah beku di dalam ruang itu, sementara Mark hanya bisa berharap dan berdoa agar Dania membuka matanya, agar wanita itu kembali padanya, agar mereka bisa memulai kembali kisah yang pernah tertinggal di masa lalu.“Mark?” Suara Dania terdengar lirih, namun cukup untuk membuat jantung Mark berdegup lebih kencang. Ia mendongakkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk, menatap wanita yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk membuka mata.“Dania ... kau sudah siuman?” Senyum lirih perlahan mengembang di bibir Mark, penuh rasa syukur dan lega. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air mata yang sejak tadi tertahan agar tidak jatuh.Dania tampak masih lemah, namun matanya mulai terbuka sepenuhnya, menatap ke arah suaminya dengan ekspresi campur aduk. "Aku ... aku bermimpi," ucapnya pelan, suara seraknya memecah keheningan ruangan. "Kau menyela
Mark mengangguk pelan, matanya menatap dalam-dalam ke mata Dania, seolah-olah kata-kata yang ia simpan selama ini tak akan pernah cukup untuk menjelaskan semuanya. “Aku tidak ingin kau terluka lagi, Dania,” ucapnya lembut. “Aku sudah kehilanganmu sekali, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kukatakan, lebih dari apa pun.”Kata-kata itu menembus jauh ke dalam hati Dania, menelusup ke dalam relung-relung perasaan yang selama ini tersembunyi. Air mata perlahan membasahi sudut matanya, namun ia menahannya, mencoba tetap kuat di hadapan pria yang sudah berkorban begitu banyak untuknya.“Sebenarnya, aku ingin tahu apa saja yang kita lewati saat itu, Mark,” kata Dania dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ingin tahu semua yang terjadi antara kita, kenangan-kenangan yang aku lupa... Aku ingin mendengarnya darimu."Mark menggenggam erat tangan Dania, jemarinya yang kokoh terasa hangat di atas kulit dingin istrinya. Dia mengusap pungg
Alex melangkahkan kakinya dengan berat, gerakannya lamban namun penuh penekanan, menghampiri Sarah yang duduk dengan anggun di sofa ruang tamu.Di tangannya, Sarah menggenggam sebuah majalah, namun jarinya sibuk menyempurnakan cat kuku berwarna biru gelap yang baru saja ia kenakan.Sesekali ia meniup pelan permukaan kuku yang berkilauan, sembari matanya melirik sekilas ke arah sang suami yang mulai mendekat.Namun, ia tidak berhenti membaca. Ia tetap fokus pada halaman di depannya, seolah tidak terganggu oleh kehadiran Alex yang kian mendekat."Kau sudah tahu kan," suara Alex pecah, keras namun mengandung kemarahan yang terkekang. "Bahwa Dania yang Mark nikahi adalah Dania kecil yang telah membuat anak itu jadi membenci kita?" Nada suaranya penuh penekanan, sarat dengan dendam yang belum sirna oleh waktu.Sarah, yang awalnya tidak menghiraukan suaminya, tiba-tiba terdiam sejenak. Perlahan, ia menutup majalah tersebut dan meletakkannya di atas meja, lalu menatap Alex.Wajahnya tetap da
Sarah menatap Alex dengan tatapan lembut, namun tegas. "Aku tidak membela siapa pun, Alex. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dania telah membuat Mark kembali menemukan dirinya sendiri, setelah bertahun-tahun kita membuatnya tersesat. Jika kau benar-benar mencintai putramu, kau harus belajar menerima bahwa dia telah memilih jalannya sendiri."Alex mengepalkan tangannya, jemarinya menggenggam kuat seakan-akan bisa menghancurkan apa pun yang ada di genggamannya. Matanya yang gelap menatap lurus ke arah Sarah dengan tatapan dingin yang penuh amarah.“Mark akan semakin besar kepala karena berhasil keluar dari perusahaanku, Sarah. Dan sekarang, perusahaanku terancam gulung tikar karena ulah Mark!” Suaranya meledak-ledak, seperti api yang baru saja disulut bensin, menyala penuh kebencian yang tak tertahankan.Sarah, yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, menatap Alex dengan sorot mata tajam. Wajahnya tidak lagi menyimpan sisa kelembutan yang biasa ia tunjukkan.Kali ini, kesabarann
Setelah perdebatan sengit dengan Alex, Sarah merasa lelah, baik fisik maupun batin. Ia duduk terdiam di ruang tamu yang sunyi, hanya ditemani oleh suara detik jam yang berirama lambat, seakan mempermainkan waktu yang berlarut-larut.Di depannya, ponselnya tergeletak di meja, tak lagi aktif. Ia sudah mencoba menghubungi Dania, namun hingga dering terakhir, panggilan itu tak pernah diangkat."Ke mana kalian? Dania, kau di mana?" gumam Sarah pelan, frustrasi. Ia tahu, Mark pasti juga tidak akan menerima panggilan darinya. “Mark juga pasti sedang tidak ingin bicara denganku...,” lanjutnya lirih, matanya menerawang kosong, seolah-olah mencari jawaban di udara.Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar dari arah pintu. Sesyl, putri satu-satunya yang masih tinggal bersamanya, masuk ke ruangan itu dengan wajah penuh keheranan. Ia langsung duduk di samping ibunya, menggenggam tangan Sarah yang dingin dan penuh beban.“Ibu? Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Sesyl dengan nada khawatir. M
Clara melangkah keluar dari gerbang kampus dengan semangat yang terpancar di wajahnya.Matanya berbinar saat melihat Stevan berdiri bersandar di mobil hitamnya, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai namun tetap menawan.Ia tersenyum manis, melambaikan tangan, dan sedikit berlari menghampirinya. Tanpa ragu, ia memeluk pria itu erat.“Tumben sekali menjemputku? Bukankah kau sedang sibuk?” tanya Clara setelah melepas pelukan dan langsung masuk ke dalam mobil. Ia menyandarkan tubuhnya dengan nyaman, sementara Stevan mengitari mobil untuk duduk di kursi pengemudi.Stevan memasang sabuk pengamannya dengan tenang sebelum menoleh ke arah Clara. “Karena Samuel tidak bisa menjemputmu, dan kau juga malas membawa mobil sendiri. Daripada diantar pria lain, sebaiknya aku menyempatkan waktu untuk menjemputmu.”Clara terkekeh mendengar jawaban yang disampaikan dengan nada datar namun penuh sindiran itu. “Kau sangat lucu, Uncle—““Clara.” Stevan memotong dengan cepat, tata
Pukul sembilan pagi, suasana di ruangan kerja Stevan terasa hangat dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar di belakang meja kerjanya. Ia baru saja duduk dan membuka laptop ketika suara pintu diketuk ringan. Mark masuk dengan langkah santai, menyapa adik iparnya.“Selamat pagi, Stevan,” ucap Mark sambil menarik kursi di depan meja kerja.Stevan menoleh dan tersenyum. “Selamat pagi, Kak. Padahal aku yang berencana datang menemuimu. Ternyata aku kalah start,” balasnya sambil tertawa kecil. Tangannya langsung menekan interkom, memanggil asistennya. “Tolong buatkan dua cangkir kopi, ya,” pintanya singkat.Mark mengeluarkan iPad miliknya, meletakkannya di meja, lalu membuka salah satu file. “Aku sudah memutuskan desain yang akan aku gunakan untuk produk terbaru V-One,” katanya sambil menunjukkan layar iPad itu kepada Stevan.Stevan memandangi desain yang dipilih Mark, dan senyumnya merekah lebar. “Aku senang kau mau memakai desain yang aku buat, Kak,” ucapnya dengan tulus.“
Malam itu suasana rumah terasa hangat, tetapi sedikit riuh dengan suara percakapan yang mengisi ruang tengah.Clara masih berdiri di tempatnya, tangan terlipat di dada dengan ekspresi serius yang belum juga memudar.Di depannya, Mark hanya bisa menghela napas, mencoba memahami sikap putrinya yang tampaknya tak mau mundur.“Tidak! Biarkan Mommy saja yang peduli padamu,” ujar Clara dengan nada tegas, matanya menatap tajam ke arah ayahnya. “Untuk saat ini, aku sedang ingin memarahimu.”Mark mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sambil mengembungkan pipinya seperti anak kecil. Namun, di dalam hatinya, ia tidak benar-benar marah.Ia tahu Clara sedang meluapkan emosinya, dan sebagai seorang ayah, ia memilih untuk bersabar. Toh, ia pun pernah berada di posisi Clara—jatuh cinta dan begitu peduli pada seseorang.Mark pun hanya menghela napas dan mengangkat tangan seolah menyerah. “Baiklah, Tuan Putri. Daddy akan menerima semua kemarahanmu dengan lapang dada,” ujarnya dengan nada bercanda,
“Apa kau belum makan siang?” tanya Clara dengan nada lembut, tetapi ada kekhawatiran yang terselip di sana.Clara duduk berhadapan dengan Stevan, mengamati dengan penuh perhatian bagaimana pria itu begitu lahap menyantap makan siangnya.Wajah Stevan tampak sedikit lelah, tetapi matanya masih bersinar, mencerminkan semangat yang tak pernah luntur.Clara melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka dua, dan ia mengerutkan dahi kecilnya.Stevan, yang tengah sibuk dengan suapan nasi dan lauk di hadapannya, mendongak sejenak. Bibirnya membentuk senyum cengengesan khasnya.“Lebih tepatnya, belum makan sejak pagi tadi,” jawabnya santai. Ia kemudian mengusap mulutnya dengan tisu sebelum melanjutkan.“Aku lupa sarapan karena harus mengikuti meeting dengan ayahmu. Jadi, aku baru sempat mengisi perutku sekarang.”Clara mendesah pelan, matanya menatap Stevan dengan sedikit protes. “Bisa-bisanya kau bekerja dengan perut kosong. Memangnya otakmu bisa konsen?” tanyanya, me
Clara duduk di bangku taman kampus, mengerutkan kening sambil menatap layar ponselnya yang sudah redup sejak tadi. Pesannya ke Stevan tak juga mendapat balasan. Ia melirik jam di sudut layar: pukul satu siang. Waktu sudah mepet, dan dalam satu jam lagi ia harus pulang.“Ke mana Uncle Stevan?” gumam Clara sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya ke layar ponsel. Ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan lamanya saat merasa gelisah. “Tumben sekali pesanku belum dia balas.”Ia bersandar di bangku dan memandangi awan yang berarak di langit. Kecurigaan mulai merayap di benaknya.“Sepertinya Daddy mulai membuat Uncle Stevan sibuk. Bisa-bisanya sudah pukul satu dan dia belum juga online,” keluhnya, memicing curiga. Ia tahu betul bagaimana ayahnya selalu menyeret Stevan ke dalam urusan kantor, bahkan di luar jam kerja.“Clara?” Sebuah suara laki-laki yang lembut namun tegas menyapanya, memecah lamunannya.Clara mengangkat kepala, mendapati Matthew berdiri beberapa langkah darinya. Pemuda itu terseny
“Kau serius, akan menikah dengan Uncle Stevan?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.Clara menoleh, menatap Samuel dengan alis terangkat. “Kenapa?” tanyanya santai sambil meniup perlahan kukunya agar cepat kering.“Kau takut media mempermasalahkannya? Bukankah mereka sudah tahu yang sebenarnya?”Samuel menghela napas kasar, berjalan masuk dan menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat meja rias Clara.“Tidak. Aku tidak mempermasalahkan itu,” ucapnya dengan nada datar. “Justru aku bingung, kenapa Uncle Stevan bisa mencintai wanita aneh sepertimu.”Clara sontak menyunggingkan senyum sinis. Ucapan Samuel selalu punya cara untuk membuat darahnya naik, meskipun ia tahu itu hanya cara Samuel menggoda.“Kau ingin tahu jawabannya, Sam?” Clara meletakkan kuas kuteksnya, menatap Samuel dengan ekspresi penuh tantangan.“Coba menjalin hubungan, biar kau tahu bahwa cinta itu nyata!” sengalnya dengan nada yang sengaja dibuat menusuk.Samuel malah mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh sedikit pun. “
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana pesta yang digelar untuk menyambut Stevan sebagai CEO baru Kv’s Group semakin meriah.Aula megah itu dipenuhi tamu-tamu berpakaian formal, dengan gelas-gelas anggur yang berkilau di bawah cahaya lampu kristal.Denting piano dari sudut ruangan menciptakan suasana elegan, sementara obrolan dan tawa memenuhi udara.Stevan berdiri di salah satu sisi ruangan, dikelilingi oleh beberapa eksekutif perusahaan yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Wajahnya tetap tenang, meski malam itu sebenarnya menguras banyak energi emosinya.“Congrats, Uncle. Kau berhak mendapatkan ini semua,” suara Samuel memecah pikirannya. Pemuda itu menepuk pundaknya dengan senyum percaya diri yang khas.Stevan menoleh dan mengulas senyum kecil. “Terima kasih, Sam. Fokus belajar, kau harus masuk universitas terbaik untuk menggantikan posisi ayahmu suatu hari nanti.”Samuel menyeringai kecil, matanya memancarkan keyakinan. “Mudah bagiku, Uncle. Bahkan saat ini
“Setelah delapan belas tahun lamanya Kv’s Group berada di bawah naungan Tuan Mark Louis Evander,” ujarnya, menghentikan kalimatnya sejenak untuk memberi waktu pada hadirin yang kembali bertepuk tangan.“Kita semua mengakui dan sangat mengagumi keberhasilan yang telah beliau berikan pada Kv’s Group. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan ini tidak hanya bertahan tetapi berkembang menjadi salah satu konglomerasi terbesar di dunia.”Suasana ruang rapat utama Kv’s Group dipenuhi oleh para jajaran eksekutif, investor, dan awak media yang sudah siap dengan kamera dan mikrofon.Sorotan lampu terang menerangi podium yang berdiri megah di tengah ruangan, tempat Mark Louis Evander berdiri dengan karisma khasnya, tersenyum tipis di tengah riuh tepuk tangan yang membahana.Seorang pembawa memulai pidato dengan suara yang lantang dan penuh wibawa.Mark mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih, tetapi senyumnya tidak memudar sedikit pun.Pembawa acara melanjutkan, “Karena beliau telah mendapatkan
Stevan berdiri di samping mobilnya, melipat lengan di depan dada sambil mengamati gerbang megah kampus tempat Clara menuntut ilmu.Langit sore mulai memerah, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan suasana hatinya yang tengah diliputi beragam pikiran. Langkah cepat Clara yang mendekatinya menariknya kembali ke kenyataan.“Sudah lama, menunggu?” tanya Stevan seraya melirik ke arah wanita muda itu.Clara mendengus kecil, kedua tangannya terlipat di dada, matanya menatapnya tajam. “Ya! Setengah jam lamanya aku menunggumu, Uncle!” protes Clara dengan nada setengah manja, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk.Stevan hanya terkekeh menanggapi. Dengan lembut, ia mengusap pucuk kepala Clara, membuat rambut panjangnya sedikit berantakan.“Maafkan aku. Jalanan macet,” balasnya dengan nada menggoda.Clara mendengus lagi, tapi kali ini dengan nada menyerah. “Huh, alasanmu selalu macet.”Setelah itu, keduanya masuk ke dalam mobil. Stevan memutar kunci, dan suara mesin ya