Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Begitu melihat nama Dania muncul di layar, Mark dengan cepat menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan itu. Ada nada kecemasan dalam dirinya yang sulit dijelaskan."Ya, kenapa, Dania?" tanya Mark cepat, suaranya terdengar penuh perhatian."Mark … bisakah kau pulang sekarang?" Suara Dania terdengar bergetar, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar.Mark mengerutkan kening, kebingungan muncul seketika. "Dania, ada apa? Kau … mimpi buruk lagi?"“Tidak, Mark. Aku … aku menerima paket dari orang tidak dikenal. Isinya … dokumen tentang kematian ibuku,” jawab Dania terisak, membuat Mark terpaku beberapa detik."Apa?" Mark tercekat, otaknya bekerja cepat mencerna informasi yang tak diduganya. "Ba—baik. Aku segera pulang."Dengan satu gerakan cepat, Mark menutup panggilan tersebut dan menyambar kunci mobilnya. Tangannya bergerak cepat merapikan jas yang ia kenakan."Vicky, cancel semua pertemuan hari ini. Aku harus pulang," ucapnya tegas tanpa penj
Sudah hampir dua jam lamanya ia menemani Dania yang kini sudah terlelap dalam tidurnya. Namun, ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan sesuatu di sana.Namun, saat Mark bangkit dari tempat tidur, suara lembut selimut yang bergeser membangunkan Dania. Mata cokelatnya yang hangat terbuka perlahan, memancarkan kilatan bingung namun lembut di bawah cahaya sore hari.“Kau mau ke mana?” suara Dania terdengar serak, menggantung di udara, penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang terbungkus rapi dalam bisikannya.Mark menatapnya sejenak, senyum tipis tersungging di bibirnya yang terlihat lelah. "Aku harus kembali ke kantor, Dania. Ada yang harus kuselesaikan," jawabnya datar namun penuh ketegasan.Dania mengangguk perlahan, walaupun dadanya terasa sedikit berat. “Oh, baiklah. Ini baru jam tiga sore. Kau memang masih bekerja,” ucapnya dengan pelan. Merasa bersalah telah mengganggu waktu kerja Mark.Dia tidak ingin menghalang
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Mark kembali ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia membuka pintu rumah, membawa udara dingin malam itu bersamanya.Dania menunggunya di ruang makan, senyumnya hangat saat dia menatap Mark, meski sedikit lelah di matanya. “Kau pulang tepat waktu,” katanya lembut, sambil menarik kursi untuknya. Di atas meja, makan malam sudah siap, tetapi Mark tahu pikirannya jauh dari makanan itu.“Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu,” kata Dania lagi.Mark duduk di depan Dania dengan senyum tipis melengkung di bibirnya. “Wangi makanannya tercium enak,” katanya dengan pelan.“Tentu saja. Aku memasaknya dengan hati. Sudah pasti akan enak.”Mark terkekeh mendengarnya. “Selamat makan, Dania.”“Selamat makan, Mark.” Dania menerbitkan senyumnya kembali kepada suaminya yang selalu pintar menyembunyikan sesuatu darinya.Bahkan hingga saat ini Dania masih berpikir jika Mark disibukkan dengan pekerjaannya yang menggunung. Tak pernah ia berpikir ji
Dania menghela napasnya dengan panjang mendengar ucapan Mark tadi.“Aku harap semuanya baik-baik saja, Mark. Jangan terlalu memikirkan hal yang belum tentu terjadi.”Mark menatap Dania dengan tatapan datarnya. “Semuanya sudah terjadi, Dania. Bisa jadi orang itu sebenarnya mengincarmu, tapi malah ibumu yang meninggal.”Dania hanya diam. Mungkin yang dikatakan oleh ada benarnya. Karena hingga saat ini, Dania masih mendapat terror dari orang tersebut.Dania kemudian duduk di hadapan Mark. Kedua tangannya bersandar lembut di meja, sementara pandangannya terfokus pada mata tajam suaminya yang selalu membuatnya tenggelam dalam keheningan.Sorot mata Mark, meski kerap dipenuhi amarah atau kecemasan yang tersembunyi, tetap memiliki kilauan yang membuatnya tak bisa berpaling.“Ada apa?” tanya Mark pelan. “Kenapa melihatku seperti itu?” sambungnya.Dania menelengkan kepalanya, membiarkan kenangan masa lalu menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Ada sesuatu yang samar, seolah-olah dia pernah meng
Mark mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak teratur, matanya tak lepas dari layar komputer di depannya. Ucapan Dania tadi masih terngiang-ngiang di telinganya, walau kini gadis itu sudah terlelap di kamarnya, terlalu lelah dan mengantuk untuk melanjutkan obrolan mereka.Sesaat, keheningan yang memenuhi ruangan terasa mencekam. Mark tahu, waktu terus berjalan, dan ancaman yang membayangi Dania tak bisa menunggu.Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, mengetik satu nama yang sudah sejak lama berada di benaknya—Kevin.Nama itu kini masuk dalam daftar tersangka baru, orang yang mungkin terlibat dalam teror terhadap Dania."Jika bukan Kevin yang telah melakukan ini," gumamnya perlahan, menatap layar yang terus mencari informasi, "orang yang paling aku curigai selanjutnya adalah Alex." Alisnya terangkat, otaknya memutar berbagai kemungkinan. Ia tak bisa mengabaikan kemungkinan Alex terlibat, tapi seberapa besar pengetahuannya tentang Dania?Mark menghela napas panjang. "Tapi, apakah
Tawa Mark yang mengejek memenuhi ruangan sempit itu, menggema dengan nada merendahkan yang membuat udara terasa semakin pengap.Senyuman sinis tersungging di bibirnya, matanya yang tajam menyala penuh kebencian. Ucapan Kevin barusan terasa baginya seperti sebuah lelucon yang tidak pantas.“Kau ingin menggunakan senjata seperti itu untuk membuat Dania pergi dariku? Jangan bermimpi!” Mark berbicara dengan nada penuh tantangan, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati tajam yang diarahkan ke dada Kevin.Sorot matanya semakin gelap, penuh dengan kebencian yang tak terselubung, seolah-olah seluruh dunia bersekongkol untuk menghancurkannya.Namun Kevin, dengan ketenangan yang kontras, hanya menggelengkan kepala perlahan, seolah mengejek betapa tidak masuk akalnya kemarahan Mark. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin dan datar seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh ombak."Aku tidak menggunakan senjata itu, Mark. Tidak ada yang mengira hal ini akan terjadi, kan? Dan itulah yang
Mark menyunggingkan senyum tipis mendengar ucapan ayahnya, Alex. Senyum itu lebih seperti tameng dari serangan emosi yang mulai bergejolak di dalam hatinya.Dengan tenang namun tegas, dia berkata, “Wanita polos atau bukan, Dania tetap istriku. Seburuk apa pun dia di masa lalu, aku tidak peduli.”Tatapan matanya menyala, penuh determinasi, menembus ke arah Alex yang berusaha menyembunyikan kemarahannya di balik wajah tenangnya. Mark tahu betul, di balik sikap dingin itu, ada ledakan amarah yang sedang menunggu waktu untuk meledak.“Kau tidak perlu mencari tahu sampai ke akar-akarnya, Ayah. Baik Dania mantan kriminal pun, aku tidak peduli. Jadi, sekarang pergilah dari ruanganku!”Mark memalingkan wajahnya, enggan berlama-lama menatap sosok ayahnya. Setiap kali Alex hadir dengan wajah penuh keyakinan, selalu ada rasa muak yang menyeruak di dadanya.Kali ini, rasa itu semakin bertambah dengan informasi yang baru saja dilemparkan kepadanya. Informasi yang sebetulnya mengguncangnya, tapi Ma
Dania menganggukkan kepalanya, menatap dalam-dalam ke arah Mark, mencoba meresapi kata-katanya. “Ya, benar,” gumamnya pelan, suaranya bergetar tipis. “Kevin dan Marsha mengkhianatiku karena mereka gagal mendapatkan tender dari perusahaan raksasa itu.”Dania menelan salivanya dengan pelan menatap Mark dengan tatapan sayunya. “Mereka menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi selama tiga bulan lamanya sebelum akhirnya mengumumkan bahwa mereka akan menikah.”Mark menatap istrinya dengan rasa bersalah yang dalam. "Maafkan aku, Dania," katanya, suaranya penuh penyesalan. "Aku seharusnya tidak menuduhmu macam-macam. Aku terlalu cepat percaya pada apa yang dikatakan Ayah. Aku..."Dania tersenyum kecil, meskipun sorot matanya masih menyiratkan kesedihan. “Aku mengerti, Mark. Semua ini memang membingungkan. Aku pun mungkin akan bereaksi serupa kalau berada di posisimu.” Suaranya lembut, penuh pengertian.Namun, sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di benaknya. Dania menatap Mark, kebingungan mun
"Siapa yang mengizinkanmu memasuki ruanganku, Mark?" pekik Randy, suaranya melengking, dipenuhi keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Matanya membulat, seperti seekor tikus yang baru saja menemukan dirinya terperangkap dalam sarang ular."Kenapa?" Mark menjawab dengan nada sedingin es yang menetes perlahan-lahan, menusuk hingga ke tulang."Bukankah kau selalu menantangku di media? Kenapa setelah aku datang, kau malah terkejut seperti itu?" Matanya menatap Randy tajam, bagaikan elang yang mengintai mangsanya dari ketinggian, siap untuk menerkam tanpa ampun.Tatapan itu membuat Randy tersentak. Nyali yang sebelumnya membara di layar media kini menciut, redup seperti lilin di tengah badai.Kata-kata penuh keberanian yang biasa ia lontarkan berubah menjadi gumaman yang kehilangan arah."Bukan kau yang aku singgung, tapi Stevan!" ujar Randy, suaranya masih mencoba terdengar tegas, meski jelas ada getaran kecil yang mencemari nada itu."Baik aku maupun Stevan, sama saja," ujar Mark, s
"Argh! Sial!" seru Emma, suaranya melengking di tengah gemuruh musik yang menghentak.Cahaya neon ungu dan merah berkedip-kedip, membelah bayangan tubuhnya yang bergetar oleh frustrasi. Wajahnya yang memerah oleh amarah terlihat kontras dengan lipstik merah tua yang menghiasi bibirnya.Ia mencengkeram gelas koktail di tangannya hingga jari-jarinya memutih, seolah ingin menyalurkan kemarahan ke dalam benda mati itu.Sudah hampir dua bulan di New York, namun sosok Stevan yang diinginkannya masih saja tak tersentuh, bagai bayang-bayang yang terus menghindar dari cahaya."Sudahlah, Emma," ujar Rose lembut namun tajam, sambil menyandarkan tubuh rampingnya ke sofa empuk."Stevan tidak akan mau padamu. Jika dia menyukaimu, dia pasti sudah menyatakan cinta sejak kalian kuliah. Tapi itu tidak pernah terjadi, bukan?" Rose mengangkat alis, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil yang terasa seperti belati.Emma mendengus kasar, matanya menyipit dengan amarah yang membara. "Itu karena dia su
Stevan mengerutkan keningnya, sorot matanya tertuju pada Clara yang sedari tadi hanya memutar-mutar spaghettinya tanpa minat.Piring di depannya terlihat seperti kanvas yang hanya dilukis separuh hati, gerakan garpu yang berulang menciptakan pola tanpa arah, mencerminkan pikiran yang penuh gejolak.Mereka kini duduk di sebuah restoran kecil nan hangat, dindingnya dihiasi lukisan klasik yang seolah ingin membawa pengunjung ke era lampau.Di luar, matahari siang mengintip malu-malu dari balik awan kelabu, sinarnya yang redup memantul lembut di permukaan meja kayu tempat mereka duduk.“Honey?” panggil Stevan, suaranya penuh perhatian, seperti alunan nada piano yang lembut di tengah hening.“Are you okay?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, matanya menatap Clara dengan intensitas yang sulit diabaikan.Clara mendongakkan kepala, memandang Stevan dengan mata yang tampak berkilau namun terselubung bayangan kegelisahan. “Ya. I’m okay,” ucapnya lirih, bibirnya yang pucat membentuk senyum tipi
"Clara? Apa kau tidak merasakan sesuatu?"Suara Mark memecah keheningan dengan nada yang tenang namun penuh teka-teki, seperti bisikan angin malam yang membawa rahasia gelap dari kejauhan.Tatapan matanya mengunci Clara, seolah mencari jawaban yang tak pernah terucap."Apa maksudmu, Dad? Aku tidak mengerti sedikit pun," jawab Clara dengan alis yang berkerut.Ia melanjutkan kunyahannya pada cokelat batang yang mulai meleleh di sudut bibirnya, sementara matanya terpaku pada lembaran buku yang baru saja dibelinya.Mark menghela napas panjang, mengangkat kepalanya perlahan seolah mencari kata-kata yang tepat di langit-langit ruang tamu yang redup. “Sudah berapa lama kau dan Stevan menjalin hubungan?”Pertanyaan itu melayang di udara seperti percikan api kecil di tengah kabut, membakar rasa penasaran dalam dada Clara.Clara melirik ke arah ayahnya dengan pandangan setengah penasaran, setengah jengkel. Jarinya mengetuk meja, menghitung pelan.“Sepertinya sudah mau lima bulan. Kenapa, Dad? A
Mark mengundang Stevan, Sean, Amy, dan juga Lisa untuk makan malam di rumahnya. Clara sendiri tidak tahu jika Mark mengadakan makan malam ini, sehingga suasana di meja makan terasa lebih intim, namun ada juga ketegangan yang menggantung di udara.“Terima kasih atas kehadirannya di acara makan malam ini,” ucap Mark dengan suara berat, matanya menyapu ke seluruh wajah yang hadir, memberikan kesan bahwa setiap kata yang keluar dari bibirnya tidak bisa dianggap remeh.Clara menoleh ke arah Samuel, merasakan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada. Pria itu hanya mengendikan bahunya, tanda bahwa dia pun tak tahu jika Mark mengundang orang tuanya dan ibu Stevan ke rumah mereka malam ini.“Terima kasih juga sudah mengundangku pada acara ini, Mark,” ucap Lisa dengan nada lembutnya, namun ada nada yang agak dipaksakan dalam suaranya, seperti yang sering terlihat pada orang yang berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman.Mark tersenyum tip
“Apa yang kau bawa dari London? Aku sudah tidak sabar melihatnya.” Clara, yang sebelumnya bersumpah tidak akan memaafkan Stevan, justru merasa seolah tak bisa menjauh dari pria itu.Pertahanannya luluh, begitu cepat dan begitu tiba-tiba, saat tatapan Stevan menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terungkapkan.Ada sesuatu dalam mata pria itu yang begitu memikat, seakan ia menarik Clara ke dalam pusaran perasaan yang sulit ditolak.Stevan menatap wajah Clara dengan intensitas yang dalam, seakan ingin membaca setiap jejak emosi yang bersembunyi di dalamnya.Dengan gerakan yang begitu lembut namun penuh tekad, ia menarik wajah Clara mendekat.Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang begitu mendalam, tak terduga, dan penuh gairah. Ciuman itu bukan sekadar pertanda rindu, melainkan sebuah ledakan emosi yang membakar seluruh penahanan mereka.Clara terkejut, hatinya berdebar dengan cepat dan hampir tak teratur. Ciuman itu datang tanpa aba-
Dua minggu kemudian...Perpisahan Lisa dan Randy akhirnya resmi selesai, menyisakan babak baru yang dimulai dengan rasa lega bercampur keraguan.Di bawah langit kelabu New York yang seolah mengerti beratnya perjalanan ini, Lisa mengikuti langkah Stevan memasuki rumah sederhana yang telah disiapkan untuknya.“Ini rumahmu selama di sini,” ucap Stevan singkat, suaranya datar, tetapi ada sekilas kelembutan yang sulit disembunyikan.Lisa melangkah perlahan, matanya mengamati setiap sudut rumah dengan sorot yang sarat makna.Dinding putih bersih, perabotan minimalis, dan suasana hangat rumah itu memberi rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, seolah menghapus jejak beban dari masa lalunya.“Terima kasih, Nak. Aku tidak akan merepotkanmu selama di sini,” ucapnya lembut, namun suaranya mengandung getar haru.Stevan hanya mengangguk tipis, wajahnya sulit dibaca. Hatinya terbelah&
Ketika pintu apartemen terbuka dengan suara berderit yang berat, Randy berdiri di ambang pintu, tatapan matanya seperti kilatan petir yang menyambar langit malam.Udara di dalam ruangan mendadak terasa dingin, menciptakan suasana tegang yang mengancam meledak kapan saja.“Kau,” desis Randy dengan suara serak yang dipenuhi kemarahan, langkahnya mendekati Stevan dengan berat seperti membawa dendam yang membara. “Kau yang telah menghasut ibumu untuk bercerai denganku, huh?”Stevan berdiri tegak di sisi ruangan, wajahnya tenang namun matanya menyala dengan amarah terpendam.“Memangnya kau masih mengharapkan ibuku?” tanyanya, suaranya tegas seperti pisau yang menusuk ke dalam.“Selama ini kau hanya memanfaatkan ibuku agar mau membujukku untuk membangun perusahaanmu, Tuan Randy yang terhormat.”Randy menggeram, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. “Kurang ajar!” ia men
“Maaf, aku tidak memberitahumu karena urusanku sangat mendadak,” suara Stevan terdengar di seberang sana, tenang namun mengandung jejak kelelahan yang sulit disembunyikan.Clara menghela napas panjang, dadanya terasa sesak oleh kekhawatiran dan amarah yang bercampur menjadi satu. “Sekarang jelaskan, apa yang kau lakukan di sana sampai pergi mendadak seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar, antara menahan rasa kecewa dan desakan ingin tahu.“Ibuku memaksaku untuk datang,” jawab Stevan akhirnya, suaranya terdengar berat, seperti seseorang yang menanggung beban yang terlalu besar. “Suaminya mengancam akan membunuh ibuku jika aku tidak pergi, Clara. Meskipun dia sudah menyakitiku, dia tetap ibuku.”Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk relung hati Clara. Ia menelan salivanya dengan pelan, mencoba meredakan gemuruh emosinya. “Memangnya ayah tirimu sejahat itu, Uncle?” tanyanya, nada suaranya penuh dengan campuran simpati dan ketakutan.“Entahlah,” Stevan menjawab, suaranya nyaris s