"Kenapa diam, Mark?" Dania akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembutnya, penuh kehangatan namun sarat tanda tanya. Ia mendekat, matanya mencoba menangkap sedikit kebenaran yang mungkin tersembunyi di balik sorot mata Mark.
Mark menggeleng pelan, namun sorot matanya tetap tajam, mengiris keheningan itu dengan ketegasan yang tak terucapkan. "Tidak ada rahasia yang kusembunyikan dari mereka, Dania," jawabnya akhirnya, suaranya tetap tenang, meskipun ada sesuatu yang terasa getir di ujung kalimatnya.
Sejenak, keheningan kembali merayap di antara mereka. Mark menatap ke arah jendela, seolah mencari pelarian dari dunia yang tak pernah bisa ia pahami sepenuhnya. Ia menghela napas panjang, suara napasnya begitu berat, seakan ia mengusir segala kepedihan yang tertahan di dalam dadanya.
"Aku hanya muak dengan sikap egois mereka," ucap Mark dengan nada yang kini lebih tegas, ada kemarahan yang perlahan merayap keluar dari dalam dirinya. "Mereka seperti bukan keluargak
Kevin duduk di sudut ruang tamu yang sunyi, lampu-lampu yang redup menyapu ruang itu dengan cahaya lembut. Ia memandangi langit-langit, melamun, seolah mencari jawaban di antara guratan-guratan cat yang tampak menari-nari di atas sana.Pikiran-pikiran yang tidak diinginkan menyelip masuk ke dalam kesadarannya, memaksa dirinya untuk bergumul dengan rasa yang menyesakkan—rasa yang jauh melebihi sekadar keraguan yang mengganggu.Pernikahan Kevin dengan Marsha semakin dekat, namun hatinya seperti terbelah dua antara dua dunia yang berbeda.Sejak hampir sebulan yang lalu, setelah Dania menikah dengan Mark Evander—salah satu konglomerat paling terkemuka di negeri ini—Kevin merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin emosional yang tak berujung.Setiap hari, saat matahari terbenam dan langit menjadi gelap, Kevin menemukan dirinya terjebak dalam pikiran tentang Dania.Dia merasa seolah ada bagian dari dirinya yang terpecah—dalam satu sisi adalah Marsha, wanita yang diharapkan bisa memberinya
Irma mendengus, nada suaranya penuh ketidakpercayaan dan sinis. "Tentu saja Dania bisa mendapatkan Mark Evander. Pasti dia sudah menyerahkan tubuhnya lebih dulu pada Mark. Pria sebesar itu tidak akan tertarik kalau tidak ada yang spesial dari Dania," katanya, sembari memandang Kevin dengan tatapan yang tajam, seolah ucapan itu sudah menjadi kebenaran yang tak terbantahkan.Kevin tertegun. Kata-kata itu seperti tombak yang menancap di hatinya. Ia menatap ibunya, matanya dipenuhi rasa tidak percaya.Benarkah ini yang ada di benak ibunya selama ini? Bagaimana bisa wanita yang melahirkannya menaruh prasangka seburuk itu pada seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengannya?Kevin ingin membantah, ingin menolak tuduhan tak berdasar itu, namun bibirnya terkunci. Diam adalah pilihan yang diambilnya, meskipun hatinya bergejolak.Dalam batinnya, Kevin tahu bahwa ibunya salah besar. “Tidak, Bu," bisik Kevin dalam pikirannya. "Dania bahkan tidak pernah membiarkanku menyentuhnya, sekalipun ketik
Sementara di kediaman Dania.Wanita itu sedang merapikan ruang kerja Mark, menyapu debu yang menempel di rak-rak buku dan meja kerjanya.“Ruangan seseorang memang mencerminkan siapa pemiliknya. Dan ruangan ini … sangat Mark sekali,” gumam Dania sembari terus membersihkan ruang kerja suaminya itu.Semua terlihat begitu rapi, sampai pandangannya tertuju pada sebuah laci yang sedikit terbuka. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Dania membuka laci tersebut lebih lebar.“Apa ini? Kenapa Mark menyimpan benda seperti ini di sini?”Matanya terhenti pada sebuah bingkai lusuh, catnya sudah mulai mengelupas di sudut-sudutnya, tapi yang paling mengejutkan adalah bahwa bingkai itu kosong—tidak ada foto di dalamnya."Kenapa ada bingkai foto tanpa foto di sini?" gumam Dania, mengernyitkan dahi. Di samping bingkai itu, ia menemukan sebuah gantungan kunci yang sudah sangat kuno.Keduanya berwarna putih, ses
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Dania sedang sibuk merapikan rambutnya di depan cermin setelah membersihkan diri di kamar mandi. Tak berselang lama, Mark menghampirinya dengan langkah ringan.Tanpa basa-basi, Mark duduk di tepi ranjang dan menatap Dania yang terlihat masih sedikit kesal. “Dania?” panggil Mark."Kau masih marah padaku?" tanya Mark dengan nada lembut, berusaha membaca ekspresi wajah istrinya. "Kau cemburu pada masa laluku?"Dania berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin, kemudian memutar matanya dengan santai. "Siapa juga yang cemburu?" jawabnya cepat. "Biasa saja. Lagipula, wanita itu sudah menikah, kan?"Mark mengangguk pelan, seolah-olah mempercayai kata-kata Dania. “Baiklah,” gumamnya sambil tersenyum kecil, meski ia tahu, jauh di dalam hati Dania, perasaan cemburu itu tetap ada. Namun, ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah ini.“Jika memang tidak marah apalagi cemburu, seharusnya kau bersikap seperti biasa, Dania.”Dania menghela napas kas
‘Jadi, Mark tahu … kalau aku menguping pembicaraannya?’ Dania memejamkan matanya. Wajahnya sedikit memerah setelah ketahuan menguping percakapan telepon Mark.‘Aku malu sekali. Kenapa aku bodoh sekali, kalau Mark menyadari aku menguping pembicaraannya?’ Dania tampak frustasi karena harus menahan malu di depan suaminya itu.Mark menatap Dania yang masih menundukkan kepalanya karena malu. Melihat tingkah laku istrinya yang lucu itu, Mark hanya terkekeh pelan. Ia mendekati Dania, mengusap lembut kepalanya sebelum beranjak menuju pintu."Aku harus ke kantor," katanya, suaranya penuh kehangatan. "Jangan banyak gerak dulu. Lututmu masih lebam.”Dania hanya mengangguk pelan tanpa berani menatap mata Mark. Perasaannya campur aduk, antara malu dan bingung.Setelah Mark pergi, Dania masih tetap duduk di sofa, hatinya dipenuhi perasaan yang tak biasa. Ada sesuatu yang menjalar di hatinya, tapi ia tak bisa sepenuhnya mengerti."Apakah aku mulai mencintainya?" gumamnya pelan, memeluk lututnya yang
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Orang yang sudah sangat ditunggu oleh Dania akhirnya tiba. Dania dengan cepat menghampiri sang suami dan berdiri di depannya. Mark menaikan alisnya menatap Dania yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Ada apa? Kau ingin menyambutku tapi dengan cara berbeda?” tanya Mark seraya membuka dasinya ketika Dania menghampirinya, wajahnya penuh kebingungan. "Mark, aku baru saja melihat berita tentang Kevin dan Marsha," katanya perlahan, matanya menatap Mark yang terlihat lelah tapi tenang. "Mereka hampir batal menikah karena skandal Marsha."Mark menatapnya, mengangguk pelan sambil merapikan kemejanya. "Ya, aku juga baru dengar tadi," jawabnya datar, tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Seolah skandal itu bukan hal yang mengejutkan baginya.Namun, Dania merasa ada sesuatu yang harus ia pastikan. Rasa penasaran yang sejak tadi menghantuinya memaksa dirinya untuk bertanya. "Mark ... apakah ini ada hubungannya denganmu? Maksudku ... apakah kau yang
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dania menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, mengernyitkan dahinya hingga mengeluarkan keringat yang berlebih. Napasnya tersengal, matanya terbelalak penuh ketakutan.“Ibu!” jeritnya, suara itu serak, seperti baru saja keluar dari mimpi buruk yang mencekik. Tangannya gemetar, jantungnya berdebar tak karuan. Seluruh tubuhnya terasa dingin, seolah-olah baru saja ia kembali ke masa kelam itu—kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya tiga belas tahun lalu.Mark, yang tidur di sampingnya, langsung terbangun mendengar suara Dania yang penuh kecemasan. Wajahnya menunjukkan kepanikan. “Dania, ada apa?” tanyanya, segera memeluk Dania, merasakan tubuh istrinya yang gemetar dalam dekapannya.“Apa yang terjadi? Kau … mimpi buruk?” tanya Mark dengan raut wajah penuh kecemasan.Dania mulai menangis, suara tangisannya pecah, penuh kesedihan yang sudah lama ia pendam. “Aku ... aku memimpikannya lagi,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kecelakaan itu ... ibuku ... i
Pagi sudah merekah dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela, menunjuk angka tujuh tepat. Dania bangun lebih dulu dari suaminya, dan kini dia sudah berada di dapur, mengenakan gaun rumah sederhana namun elegan.Bau harum kopi dan roti panggang memenuhi udara saat ia dengan cekatan menyiapkan sarapan untuk Mark, yang sebentar lagi akan berangkat kerja.Mark, yang baru saja mengenakan setelan jas abu-abunya, berjalan pelan menuju dapur. Langkahnya terdengar ringan di lantai kayu, hingga akhirnya ia tiba di belakang Dania, memandangi punggung istrinya yang sibuk mengurus sarapan.Dia tersenyum tipis, rasa syukur karena memiliki istri seperti Dania terlintas di benaknya.“Sudah membaik, hm?” tanya Mark dengan suara lembut.Dania menoleh, bibirnya mengulas senyum hangat yang mampu meredakan kekhawatiran di hati Mark. “Ya. Sudah. Lagi pula, itu kan hanya mimpi saja. Aku tak ingin terlalu mengingatnya, Mark,” jawabnya, suaranya terdengar lebih ringan, seolah mimpi buruk yang sempat