Kata-kata itu membuat Dania terdiam. Ia menatap Mark dengan hati yang berdebar-debar, merasakan kehangatan yang memancar dari pria yang berdiri di hadapannya. Kata-kata itu sederhana, namun penuh makna.Ada sesuatu dalam tatapan Mark yang membuatnya percaya—untuk pertama kalinya, mungkin, ia merasa bahwa Mark benar-benar tulus."Aku tidak menikahimu hanya untuk melupakan seseorang," lanjut Mark dengan nada yang lebih lembut. "Aku menikahimu karena aku ingin bersamamu. Bukan karena masa lalu, tapi karena masa depan yang kita miliki bersama."Dania menatap Mark yang kini menatap ke laut seraya meneguk air mineralnya. Pun dengan Dania. Akhirnya menoleh ke arah depan.“Kau pasti paham kenapa aku berpikir seperti itu, Mark,” kata Dania pelan.Mark mengangguk. “Ya. Aku paham,” ucapnya dengan pelan.Dania menoleh kemudian menghela napasnya dengan panjang. Sebenarnya ia ingin bertanya lagi, apakah Mark telah menaruh hati untuknya. Namun, ia tahan karena terlalu dini menanyakan hal tersebut.“
Mark merasakan amarah yang bergejolak di dalam dadanya. Wajahnya memerah, dan matanya berkilat tajam, memancarkan kemarahan yang selama ini ia pendam. Suara Alex, penuh dengan keyakinan dan otoritas, menggema di dalam ruangan. Namun kali ini, Mark tidak bisa lagi menahan dirinya."Apa yang kau katakan tadi semuanya salah!" suara Mark rendah namun menggigil penuh emosi. Ia menatap tajam ke arah ayahnya, seolah-olah menantang Alex untuk mengulanginya.Alex mengangkat alisnya, tetap tenang di tengah kemarahan putranya. "Apa yang aku katakan itu benar, Mark. Bahwa wanita itu bukan orang baik. Dia bukan untukmu, Mark. Kau buta oleh perasaannya. Kau tidak bisa melihat kenyataan."Sesyl yang berada di sudut ruangan tampak cemas, matanya berkali-kali bergeser dari Mark ke Alex, merasa ketegangan yang begitu kuat di antara keduanya. Ia tahu bahwa percakapan ini akan menjadi semakin buruk, dan ia merasa tak berdaya untuk menghentikannya.‘Kenapa Ayah berpikir seperti itu tentang Dania? Seperti
Sesyl melangkah keluar dari gedung perusahaan kakaknya dengan langkah cepat. Hembusan angin kota yang hangat menyambutnya ketika ia tiba di lobi, namun pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan berat yang baru saja terjadi di lantai atas.Tanpa berpikir panjang, ia meraih ponsel dari tasnya dan mulai mencari nama yang familiar dalam daftar kontak."Dania," gumamnya pelan sambil menekan tombol panggil.Beberapa detik kemudian, suara lembut dan akrab dari Dania terdengar di ujung sana. "Ya, Sesyl? Ada apa?" tanya Dania, suaranya terdengar heran mendapati panggilan tak terduga dari adik iparnya itu.Sesyl menarik napas panjang sebelum menjawab, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya penuh dengan hal-hal yang ingin ia bicarakan."Dania, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau bisa menemuiku di Jizzi Café?" tanyanya, suaranya terdengar tegas namun tetap hangat."Huh? Kau ... ada di sini?" Dania terdengar terkejut. "Aku pikir kau masih di luar negeri, Sesyl."Sesyl
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Mark melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat. Pikirannya dipenuhi oleh tumpukan masalah yang ia hadapi sepanjang hari, seakan seluruh dunia sedang berada di atas pundaknya.Setiap langkahnya terasa lambat, menggambarkan beban mental yang tak tampak namun begitu nyata. Ketika pintu tertutup di belakangnya, ia menghela napas panjang, berharap suasana tenang di rumah akan memberi sedikit kelegaan.Namun, segala ketegangan itu luruh begitu saja ketika matanya menangkap sosok Dania yang berdiri di ruang tamu.Dengan senyum manis yang khas, Dania menyambutnya, mengenakan piyama satin hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai di bahu, menambah kesan sensual yang langsung mempengaruhi Mark. Sejenak, semua masalahnya terlupakan.“Hi, Mark. Kau baru pulang,” kata Dania lembut, menyambut kedatangan suaminya.Mark menatapnya dengan mata yang penuh hasrat, meski suaranya masih serak dan lelah. "Dania ...," bisikn
"Kenapa diam, Mark?" Dania akhirnya memecah kesunyian dengan suara lembutnya, penuh kehangatan namun sarat tanda tanya. Ia mendekat, matanya mencoba menangkap sedikit kebenaran yang mungkin tersembunyi di balik sorot mata Mark.Mark menggeleng pelan, namun sorot matanya tetap tajam, mengiris keheningan itu dengan ketegasan yang tak terucapkan. "Tidak ada rahasia yang kusembunyikan dari mereka, Dania," jawabnya akhirnya, suaranya tetap tenang, meskipun ada sesuatu yang terasa getir di ujung kalimatnya.Sejenak, keheningan kembali merayap di antara mereka. Mark menatap ke arah jendela, seolah mencari pelarian dari dunia yang tak pernah bisa ia pahami sepenuhnya. Ia menghela napas panjang, suara napasnya begitu berat, seakan ia mengusir segala kepedihan yang tertahan di dalam dadanya."Aku hanya muak dengan sikap egois mereka," ucap Mark dengan nada yang kini lebih tegas, ada kemarahan yang perlahan merayap keluar dari dalam dirinya. "Mereka seperti bukan keluargak
Kevin duduk di sudut ruang tamu yang sunyi, lampu-lampu yang redup menyapu ruang itu dengan cahaya lembut. Ia memandangi langit-langit, melamun, seolah mencari jawaban di antara guratan-guratan cat yang tampak menari-nari di atas sana.Pikiran-pikiran yang tidak diinginkan menyelip masuk ke dalam kesadarannya, memaksa dirinya untuk bergumul dengan rasa yang menyesakkan—rasa yang jauh melebihi sekadar keraguan yang mengganggu.Pernikahan Kevin dengan Marsha semakin dekat, namun hatinya seperti terbelah dua antara dua dunia yang berbeda.Sejak hampir sebulan yang lalu, setelah Dania menikah dengan Mark Evander—salah satu konglomerat paling terkemuka di negeri ini—Kevin merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin emosional yang tak berujung.Setiap hari, saat matahari terbenam dan langit menjadi gelap, Kevin menemukan dirinya terjebak dalam pikiran tentang Dania.Dia merasa seolah ada bagian dari dirinya yang terpecah—dalam satu sisi adalah Marsha, wanita yang diharapkan bisa memberinya
Irma mendengus, nada suaranya penuh ketidakpercayaan dan sinis. "Tentu saja Dania bisa mendapatkan Mark Evander. Pasti dia sudah menyerahkan tubuhnya lebih dulu pada Mark. Pria sebesar itu tidak akan tertarik kalau tidak ada yang spesial dari Dania," katanya, sembari memandang Kevin dengan tatapan yang tajam, seolah ucapan itu sudah menjadi kebenaran yang tak terbantahkan.Kevin tertegun. Kata-kata itu seperti tombak yang menancap di hatinya. Ia menatap ibunya, matanya dipenuhi rasa tidak percaya.Benarkah ini yang ada di benak ibunya selama ini? Bagaimana bisa wanita yang melahirkannya menaruh prasangka seburuk itu pada seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengannya?Kevin ingin membantah, ingin menolak tuduhan tak berdasar itu, namun bibirnya terkunci. Diam adalah pilihan yang diambilnya, meskipun hatinya bergejolak.Dalam batinnya, Kevin tahu bahwa ibunya salah besar. “Tidak, Bu," bisik Kevin dalam pikirannya. "Dania bahkan tidak pernah membiarkanku menyentuhnya, sekalipun ketik
Sementara di kediaman Dania.Wanita itu sedang merapikan ruang kerja Mark, menyapu debu yang menempel di rak-rak buku dan meja kerjanya.“Ruangan seseorang memang mencerminkan siapa pemiliknya. Dan ruangan ini … sangat Mark sekali,” gumam Dania sembari terus membersihkan ruang kerja suaminya itu.Semua terlihat begitu rapi, sampai pandangannya tertuju pada sebuah laci yang sedikit terbuka. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Dania membuka laci tersebut lebih lebar.“Apa ini? Kenapa Mark menyimpan benda seperti ini di sini?”Matanya terhenti pada sebuah bingkai lusuh, catnya sudah mulai mengelupas di sudut-sudutnya, tapi yang paling mengejutkan adalah bahwa bingkai itu kosong—tidak ada foto di dalamnya."Kenapa ada bingkai foto tanpa foto di sini?" gumam Dania, mengernyitkan dahi. Di samping bingkai itu, ia menemukan sebuah gantungan kunci yang sudah sangat kuno.Keduanya berwarna putih, ses