Tahu apa yang dilakukan oleh orang yang baru saja menghubungiku lima belas menit yang lalu. Mas Dhika sekarang sudah berada di hadapanku yang baru saja selesai menunaikan ibadah lima waktu. Dengan tatapan matanya yang tajam, dia terkesan dapat mengeluarkan laser dari sorot matanya itu.
"Susah banget itu tangan buat ngetik," sindirnya.
"Mas kok tahu aku di sini, Mas nguntit aku?" tanyaku nyolot.
"Balik." Tanpa menjawab pertanyaanku barusan, dia sudah menyeretku seperti seekor kambing.
"Aku bisa jalan sendiri!" ucapku ngegas menarik pergelangan tanganku yang selalu dicengkeramnya dengan kuat. Untung di sekitar kami sepi, setidaknya aku bisa berbuat lebih dari ini jika Mas Dhika masih memaksaku.
Mas Dhika terdengar mengembuskan napas kasar. Dia menaiki motor beatnya sembari menyodorkan helm bogo ke arahku. Setelah aku duduk di jok motor favorit kaum sejuta umat ini, dia mulai melajukan mtornya dengan kecepatan sedang. Jangan bayangkan aku akan memeluk pinggangnya, aku bahkan tidak pernah untuk sekadar memegang sisi-sisi bajunya. Kalaupun harus, lebih baik memegang bagian behel motor.
Kami hanya diam di sepanjang jalan, memang apa yang diharapkan dari dua insan yang hanya sebatas karyawan dan atasan. Aku tidak pernah tahu dengan cara berpikirnya, kenapa dia mau repot-repot mencariku ke sini dan mengantarku pulang. Apa di suruh Reksa, sepertinya mereka saling kenal walaupun tidak pernah aku lihat saling sapa. Kecuali kemarin saat Reksa malah mengumpatinya.
"Makasih," ucapku sambil menyerahkan helm ke arahnya. Dia hanya diam seperti patung. Bahkan mending lebih baik patung yang memang benda mati.
"Yung?" panggilnya menghentikan pergerakan tanganku yang mau membuka slot pintu pagar. Aku kembali menghadapnya, keningku mengernyit ketika dia mengasurkan sebuah paper bag.
"Apa ini Mas, hadiah habis umroh?" tanyaku bercanda yang cuman dibalas segaris senyuman tipis.
"Dibuka di dalam aja. Aku pergi dulu," ujarnya sambil berlalu, menyisakan beribu pertanyaan baru.
***
"Yung?" panggil Mbak Tari, aku yang masih melanjutkan mengecek barang di komputer, segera menengok ke arahnya yang sudah mengetuk-ngetuk jari-jari putih kurusnya di meja kasir.
"Kenapa Mbak, ada lagi yang harus aku urus?" tanyaku setengah menyidir. Kalau kerja di tempat lain mungkin aku langsung ditendang.
Mbak Tari mendengkus sinis. "Iya, habis ini selesain tugas Tanti," sahutnya diiringi tersenyum miring.
"Mbak!" seruku sambil menutup wajahku menggunakan notebook.
"Kamu harus nurut sama atasanmu, mau aku pecat?" Tuhkan, dia hobi sekali mengeluarkan kata pamungkasnya itu.
Aku hanya mencibirnya, kembali mengulir layar komputer dengan gerakan grusak-grusuk.
"Menurut kamu ... kalau kita nggak pernah akur sama pasangan, kenapa?"
Pertanyaannya cukup ambigu. Aku meletakan notebook di atas keyboard komputer, menghadap sepenuhnya pada Mbk Tari yang masih berdiri.
"Ya nggak tahu, memang aku punya pacar," sahutku berniat mencairkan suasana yang mendadak tegang.
"Lah, itu si Reksa siapa kamu, bukanya dia sering antar kamu?" tanyanya dengan raut penasaran.
Kenapa Mbak Tari sampai bisa tahu nama Reksa?
"Nggak baik Mbak ikut campur urusan orang."
Lalu tanganya terulur menyentil dahiku hingga meninggalkan rasa berdenyut-denyut.
Dengan tangan masih mengusap dahi, aku mulai berbicara serius, "Mungkin, kalian butuh waktu untuk berbicara lebih terbuka. Bukankah kunci keberhasilan sebuah hubungan terletak di komunikasinya ya Mbak. Setahuku sih begitu."
"Gitu ya," gumamnya sambil tersenyum samar.
"Mbak kenapa?" Aku meraih tangannya yang terasa dingin. "Mas Angkasa nggak ngapa-ngapain Mbak kan?"
"Setiap malam malah," jawabnya yang tanpa di fillter itu membuatku langsung melepas peganganku.
"Ya kalau lagi ada masalah, Mbak kan bisa diskusiin berdua dulu, cari letak masalahnya di mana, terus tinggal nentuin cara penyelesaiannya. Ingat, dengan kepala dingin, kalau salah satu jadi api yang satunya harus ngalah jadi air dulu. Terapin itu lo Mbak filosofi dari Tionghoa, "Yin dan Yang"."
Mbak Tari malah berdecak. "Ngomong sama kamu endingnya nggak memuaskan," ucapnya sambil beranjak berputar badan, lalu kembali pergi keluar toko.
Coba di mana letak tidak memuaskannya, kebanyakan begadang sama suaminya ya begitu.
***
Harusnya sekarang aku sudah berada di angkringannya Mas Dhika, membantunya menyiapkan barang dagangan atau sekadar menjadi teman patung bernyawa. Tapi Reksa malah mengajakku ke sebuah tongkrongannya yang berisi anak-anak yang punya stigma buruk di lingkungan masyarakat.
"Kenapa ke sini sih, tadi katanya mau makan," bisikku pada Reksa yang baru saja melepas helmnya.
Dia hanya bergumam entah apa, tangan kananya merangkulku sedangkan yang satunya membawa sebuah kresek hitam ukuran sedang yang isinya tidak aku ketahui.
"Gowo opo iku rek?!" teriak Fajar dengan heboh, laki-laki itu baru saja mematikan rokoknya dengan cara diinjak di tanah.
(Bawa apa itu rek)Sebelum Reksa menjawab, kresek itu sudah berpindah tangan ke Ridwan.
"Duh Gusti! Apik temenan arek iki!" teriak Ridwan ketika tangannya mengangkat satu bungkus makanan khas warteg.
(Ya Tuhan! Baik beneran anak ini)Jadi, ini alasan Reksa tadi tidak membolehkanku untuk melihat isi plastiknya.
"Aku kok pengen nangis ngene yo, suwi ora mangan iwak." Dengan gaya lebaynya Tino mengusap matanya yang sebenarnya tidak terlihat buliran air yang tergenang. Dia menatap berbinar paha ayam yang dimasak bumbu rujak.
(Aku malah pingin menangis begini sih, lama nggak makan daging)Aku tertawa melihat mereka yang dengan cukup antusias memakan bagiannya masing-masing. Kecuali Tama, laki-laki yang terkesan judes sejak pertama kami berkenalan dulu, sekarang masih sibuk dengan ponselnya.
"Koen ora mangan to rek?!" tanya Ridwan dengan mulut masih mengunyah makannya.
(Kamu tidak makan ya rek)"Mangan," jawab Reksa mengambil dua bungkus makanan.
Tersisa satu bungkus yang langsung dilemparkannya ke arah Tama yang berjarak satu meter dari sini. Untung Tama bisa menangkapnya, kalau tidak, udah berhamburan itu nasi ke wajahnya yang terbilang cukup lumayan.
"Aku lek dadi koen wes tak raupne sisan segone rek! Ancen Tama kui bocah mbuh!" umpat Tino memandang sinis ke arah Tama, sedangkan yang dipandang terlihat tidak acuh.
(Aku kalau jadi kamu sudah ku guyurkan sekalian nasinya rek! Dasar Tama itu orang nggak waras)Reksa membawaku ke kursi panjang yang berada di seberang dari mereka, menyerahkan satu bungkus ke pangkuanku.
"Uang darimana?" tanyaku berbisik yang disambut batuk-batuk iri dari Fajar.
"Yang penting halal," jawab Reksa sembari menyuapkan satu sendok ke dalam mulutku.
"Cuk! Lek arep mesra-mesran kono minggato ae!" umpat Ridwan memandang jengah ke arah kami.
(Cuk! Kalau mau mesra-mesraan sana pergilah saja)Reksa membalasnya dengan tersenyum miring.
"Aku nggak ganti kamu suapin?" tanyanya dengan wajah sok polos minta ditampol.
Aku tersenyum manis berbanding terbalik dengan yang aku bicarakan. "Itu tangan masih berfungsi kan dua-duanya."
Reksa mencibir, tapi tangannya tetap saja sesekali menyuapkan nasinya ke mulutku.
"Udah, kamu nggak makan nanti," ucapku menolak ketika dia mau menyuapkan lagi.
"Aku kenyang."
Reksa memaksaku untuk membuka mulut. Aku tetap menggeleng, Reksa menatapku gemas. Sendoknya di ayun-ayunkan seperti kapal terbang, lalu saat masih di udara ada yang melahap suapan Reksa. Dan itu Tama.
"Cuk!" umpat Reksa yang aku hadiahi pukulan di lenganya.
Tama hanya tersenyum penuh kemenangan. Dia kembali duduk setelah membuang bungkus makananya di tong sampah dari drum bekas yang sudah di cat warna-warni.
"Sa, Om Chandra," ucapku menyerahkan ponsel Reksa yang tadi dititipkannya padaku. Dia menerimanya, tapi sekadar untuk menolak panggilan itu.
"Kenapa ditolak sih?" tanyaku gemas saat dia dengan santainya malah menyulut rokok.
"Kenapa memang?" tanyanya balik setelah menghembuskan satu kepulan asap ke udara.
Aku hanya diam, terlalu capek untuk menceramahinya dari A-Z tapi tidak pernah dilaksanakan.
"Nggak terima?" tanyanya menelengkan wajah ke arahku, mulutknya bau rokok dan aku tidak suka.
Aku menggeleng, mendorong kepalanya pelan agar jauh-jauh dariku.
"Kamu nggak terima aku sudah nolak panggilan Chandra atau ... ini?"
Reksa menarik lenganku untuk menghadapnya. Dia menunjukkan satu batang rokoknya tepat di depan wajahku.
"Dua-duanya," sungutku.
Dia menghela napas gusar, tetap menyesap rokok itu lagi dan mengembuskannya berlawanan arah dariku.
"Aku banyak pikiran, aku butuh ini," ujarnya tanpa melihatku. Aku menatapnya lamat-lamat, kantong matanya yang berwarna hitam tercetak jelas di wajahnya yang putih bersih. Itu sebagai penanda yang khas kalau Reksa sedang tidak baik-baik saja.
Aku mengeratkan genggamannya, Reksa menengok ke arahku sembari tersenyum samar.
Panggilan telepon kembali terdengar, dan nama Om Chandra masih menghiasi layar ponsel Reksa.
"Angkat Sa, pasti penting," ucapku ketika dia tampak malas dan hanya memadangi layarnya ponselnya saja.
Rokoknya ditaruh di ujung bangku, dia menempelkan ponselnya dengan tidak minat. Selama berbicara raut wajah Reksa langsung terlihat memancarkan kemarahan, genggamannya di tanganku semakin menguat.
"Bangsat!" umpatnya sambil membanting keras ponselnya di bangku. Aku terkesiap, termasuk Fajar, Ridwan dan Tino yang langsung beristighfar berjamaah.
"Istighfar rek! Mending ponselmu wenehno aku ae kene," ucap Fajar yang berniat bercanda, tapi malah dihadiahi tatapan tajam dari Reksa.
(Istighfar rek! Mendingan ponselmu berikan ke aku saja sini)"Matamu pengen tak cukil ta rek," ujar Tama dengan wajah datar.
(Mata kamu pengin aku cukil rek)Reksa mengumpat pelan, kembali menyesap rokoknya lebih lama.
"Mau balik aja?" tawarku yang segera disambut gelengan pelan.
"Terus mau apa?"
"Mau kamu aja gimana?" tanyanya balik sambil tersenyum menyeringai. Aku menendang kakinya.
"Mau aku patahin kakimu?" ucapnya dengan wajah di buat menyeramkan.
"Patahin aja," sahutku menantang.
"Wah! Berani ya sekarang." Reksa menarikku mendekat, aku meronta ketika dia meminting leherku.
"Sialan. Lepas nggak?" umpatku.
"Duh Gusti! Kamu apakan Layungku heh?!" bela Ridwan memisahkanku dari pintingan Reksa.
"Ora ngene carane ngelakokne cewek. Mending dipuasne, lak yo Tam?" tanya Ridwan dengan pandagan menggoda ke arah Tama yang membalas dengan todongan kepalan tangan.
(Nggak gini cara memperlakukan cewek. Mendingan dipuaskan. Begitu kan Tam)"Lambemu pengen tak jahit ta rek?" sahut Reksa dengan senyum manis. Ridwan nyengir, kembali duduk bersama Fajar dan Tino di bawah pohon ketapang.
(Mulutmu pengin aku jahit ya rek)Reksa menarik tanganku ke pangkuannya, dia meletakkan origami bunga kertas di atas telapak tanganku.
"Tahu kenapa aku kasihnya bunga kertas, bukan bunga asli atau bunga plastik?" tanyanya dengan mimik wajah serius yang aku balas gelengan pelan.
"Karena bunga ini aku rangkai sendiri, aku buat dengan tanganku sendiri. Khusus buat kamu, hanya untuk Lembayung Swastamita," ujarnya sambil menggenggam semua tanganku.
Aku mengangguk, walaupun dalam hati tertawa miris.
"Lembayung ak--
"Mas Reksa!" teriak dari perempuan yang baru saja turun dari gojek, membuatku langsung melepaskan genggamannya.
Reksa berdecak, dia selalu bersikap demikian pada adik perempuannya yang sekarang tengah memakai seragam SMA.
"Dicariin Papa." ucapnya lirih dengan wajah tersenyum tipis.
Reksa tidak mengindahkannya, suasana terasa mencekam karena semua terdiam. Termasuk mulut Fajar dan Ridwan yang biasanya paling nyablak sekarang mendadak membisu.
"Mas Reksa Pa--
"Pergi," desisnya tajam.
"Aku nggak akan pergi kalau Mas nggak pulang bareng aku. Mama--
"Persetanan." Reksa menendang tanah dengan ujung sepatunya secara kasar.
Dia menatap tajam adiknya itu. Aku segera menariknya mundur ketika Reksa mulai berjalan mendekat sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Tubuh Ranaya bergemetar, tangannya terkepal kuat di masing-masing sisi tubuhnya.
"Pulang ya," bisikku. Tanganku mengusap lengannya pelan.
Reksa menatapku, aku mengangkuk.
"Anterin Lembayung pulang." Dia menatap Tama dengan tajam. Tama yang masih sibuk dengan ponselnya hanya mengangkat jempolnya menyetujui.
Sebelum meninggalkanku, Reksa mengusap lembut rambutku sambil tersenyum tipis. Rayana juga memberikan senyum serupa yang malah terlihat dipaksakan. Perempuan itu mengikuti langkah Reksa dengan kepala tertunduk.
Ponselku bergetar ada pesan masuk.
[Kalau masih mau kerja, datang sekarang.]
"Pagi."Aku balas tersenyum ketika sudah mendapatinya dengan pakaian cukup casual berdiri menjulang tinggi di depan pintu kosku. Hari ini Reksa hanya memakai hoodie hitam yang dipadukan dengan celana cinos coksu selutut, dan sandal jepit."Udah sarapan?""Belum," sahutku sambil menyengir kala dia mendengkus."Ya udah, jalan sekarang aja." Reksa segera meraih tanganku, menyatukan jari-jari kami hingga menjadi sebuah tautan hangat."Cuman hampiri motor lo, ngapain pakai gini." Aku mengangkat tangan kami yang tertaut, Reksa hanya berdecak pelan.Saat di perjalanan ragaku emang di sini, tapi pikiranku berkeliaran liar tanpa bisa aku kendalikan pada kejadian semalam. Saat aku yang baru turun dari motor Tama, dikejutkan dengan tarikan Mas Dhika yang lumayan kuat. Dia membawaku ke belakang, dengan napas memburu menyudutkanku ke tembok, mengurung tubuhku sambil menatapku lekat. Aku cuman diam karena merasa sedang diintimidasi. Lalu tanpa mengu
Sania sudah datang terlebih dahulu dengan segelas milshake strawberry yang sudah tandas setengah gelas. Aku menghampiri perempuan itu yang selalu sibuk sendiri dengan ponselnya."Hay Senja!" sapanya dengan mata berbinar ketika melihatku yang sudah berdiri di hadapanya. Aku hanya mengulas senyum tipis, kemudian duduk setelah dipersilahkan."Mau minum apa, atau makan apa gitu?" tawarnya dengan tangan terangkat sedikit di balik meja siap memanggil waitress."Nggak. Nggak usah.""Tapi kata Panji kalau ngajak kamu jalan jangan lupa dikasih makan," adunya dengan bibir mengerucut yang malah menambah kesan imut di wajahnya.Aku terkekeh. "Nggak usah didengerin," sahutku sambil mengibaskan tangan pelan.Sania ikutan terkekeh, wajahnya masih muram seperti punya banyak beban pikiran. Dia hanya memutar-mutar sedotan milshake-Nya."Kenapa?" tanyaku pelan."Kamu sama Panji saling suka kan ya?" tanyanya yang membuatku sediki
Ketika membuka pintu kos, aku mendapati sebuah kantong kresek hitam di atas meja. Tanganku terjulur untuk meraih, lalu mengintip isinya. Ada sekotak streoform dengan selembar kertas kecil yang di lipat satu sisi di atasnya. Sambil berlalu masuk ke dalam, aku membaca isi kertas itu. Soal tadi malam aku minta maaf, di makan ya, walaupun cuman aku pungut dari pinggir jalan. Nggak bisa ngantar kerja hari ini, aku harus ke kampus sebelum kena tendang. Aku terkekeh setelah membaca tulisannya yang selalu rapi untuk ukuran cowok. Kotak streofrom itu isinya bubur ayam yang masih hangat. Berarti Reksa tadi belum lama dari sini, kenapa nggak ketuk pintu saja. *** Setelah selesai sarapan aku baru menjalankan ritual mandi. Sampai tahap dalam memilih baju, aku dibuat berhenti sejenak. Perlahan tanganku meraih dan membuka paper bag pemberian Mas Dhika. Ada baju blouse warna kuning kunyit dengan aksen tali di bagian pinggangnya. Terlihat manis dengan lengan pen
Bolpoin di sela-sela jari telunjuk dan ibu jariku masih aku ayun-ayunkan naik turun. Isi kepalaku begitu penasaran tentang apa yang terjadi di dalam rumah tangga Mbak Tari dan suaminya. Bukannya aku mau ngegosip ya, tapi ini sekadar informasi yang aku tahu saja. Mereka menikah karena perjodohan dua keluarga yang sudah lama bersahabat. Sewaktu aku datang ke pernikahannya Mbak Tari sekitar satu tahun lalu, hanya senyum paksa yang coba ditampilkan olehnya. Apalagi Mas Angkasa, wajahnya yang selalu tampil datar dengan mata setajam Mbak Tari itu hanya mengulas senyum tipis. Dua orang dengan kepribadian yang hampir sama, lalu disatukan dalam satu atap, kira-kira menjalani rumah tangganya seperti apa.Bibirku mendesis saat ada yang menyentil dahiku kuat. Nggak Mbak Tari, Reksa, apalagi Tanti kenapa sih mereka kayak punya dendam kesumat setiap melihatku sedang meditasi."Nggak pulang?" tanyanya sebelum melangkah ke bagian loker karyawan.Aku melihat jam tangan yang terp
Bukan Reksa kalau pikirannya tidak out of the box. Sekarang aku malah diajak berkeliling jalan di sekitar lampu merah untuk mengamen. Iya mengamen, dia membawa ukulele yang di pinjamnya dari anak jalanan, sementara aku menegadahkan bucket hat warna cream polos pada setiap pengguna kendaraan. Kalau tidak memakai masker, habis ini aku bakal melakukan operasi plastik, itupun kalau ada biayanya. Aku nggak habis pikir sama Reksa, dengan suara yang lumayan bisa dibilang enak di dengarkan, dia terlihat senang sekali menyanyikan lagu-lagu dari Hindia. Kau datang saat gelapku merekah Seluruh hatiku untukmu Meidiana Reksa menatapku dengan senyuman, aku balas tersenyum. Walaupun tidak kentara karena terhalangi masker. Kau pantas dapatkan yang baik di dunia Semoga kita bertahan lama .... Dalam hati aku mengaminkan. Beberapa pengendara terpaku pada suara Reksa, apalagi kaum hawa. Ada yang diam-diam merekamnya dengan binar mata penuh kekagum
"Mbak, beneran nggak ada lagi warna yang lain?"Harus berapa kali sih aku jelasin, kalau warnanya cuman tinggal itu doang. Astaga, nggak tahu apa ya kalau kepala, telinga, dan lubang hidungku ini udah keluar asap tak kasat mata.Biarlah batinku yang mewakili, faktanya sekarang aku malah masih mengembangkan senyum ramah sembari berbicara, "Udah nggak ada Mbak, itu celana import tinggal satu-satunya."Perempuan dengan pakaian jumpsit jeans yang dipadaku dengan kaos putih pendek sebagai dalaman itu, sekarang masih memutar-mutarkan tubuhnya di depan standing mirror."Tapi lihat dong Mbak." Dia menujuk celana yang masih diletakkan di depan tubuh sejajar dengan pinggangnya. "Nggak kayak anak SD apa kalau aku pake celana warna ini?" tanyanya terdengar merengek tanpa menoleh ke arahku.Aku menghampirinya, berhenti di belakang mbak jumpsit sambil memegang kedua pundaknya, siap menerapkan ilmu penghasutan. "Nggak sama Mbak, lihat deh warnanya aja lebih
Setelah Reksa mengantarku pulang ke kosan, aku harus kembali berangkat bekerja lagi demi cuan yang harus mengalir terus. Hanya dengan berjalan kaki saja, aku sudah sampai di tempat pekerjaan sampinganku."Sore menjelang malam Mas," sapaku pada Mas Dhika, pemilik angkringan dan tentunya bosku.Mas Dhika cuman tersenyum, dia menyuruhku untuk mengambilkan barang dagangannya yang masih berada di belakang."Berat nggak?" tanyanya sudah berada di belakangku yang masih berusaha mengangkat baskom ukuran sedang. Berisi nasi kucing, aneka gorengan, dan sate-satean.Mas Dhika membantuku, bukan di depanku dengan cara mengangkat sisi lainnya, tapi di belakangku seperti memelukku. Tangannya terlurur menelingkupi peganganku pada baskom. Tentu saja aku langsung mengelak, sedangkan Mas Dhika segera mengambil alih baskom yang sudah kembali aku letakkan di atas meja kayu. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, dia berjalan menuju ke depan lagi."Ada yang bisa aku bant
Reksa segera merengkuhku, membiarkan Reyhan segera melepaskan cekalannya. Dia mengajakku berjalan meninggalkan angkringan sambil menggumamkan kalimat, "Ada aku" berulang kali. Reksa menatapku, jempol tangannya terulur mengusap lembut pipiku sebelah kanan, aku tersenyum samar. Dengan gerakan pelan, dia melepaskan jaket denim yang masih menelingkupi bahuku, dengan langkah lebar Reksa berjalan kembali menuju angkringan.Aku hanya menunduk, tidak tahu apa yang akan Reksa lakukan. Tapi begitu mendengar umpatan keras darinya, kepalaku menegak dengan pandanganku menoleh ke angkringan."Cuk! Sampai ada apa-apa lagi sama Lembayung, habis kamu," ucapnya dengan tatapan nyalang. Dia berlalu dari sana setelah menedang keras kursi panjang di angkringan Mas Dhika hingga bergeser.Reksa berjalan ke arahku sembari mengembangkan senyum. Perlahan melepas jaket boombernya, menyisahakan dalaman kaos hitam bergambar kartun one piece. Ketika tangannya membantu memakaikan jaket d