Share

3. Dia Memang Bersamaku tapi Bukan Milikku

Reksa segera merengkuhku, membiarkan Reyhan segera melepaskan cekalannya. Dia mengajakku berjalan meninggalkan angkringan sambil menggumamkan kalimat, "Ada aku" berulang kali. Reksa menatapku, jempol tangannya terulur mengusap lembut pipiku sebelah kanan, aku tersenyum samar. Dengan gerakan pelan, dia melepaskan jaket denim yang masih menelingkupi bahuku, dengan langkah lebar Reksa berjalan kembali menuju angkringan.

Aku hanya menunduk, tidak tahu apa yang akan Reksa lakukan. Tapi begitu mendengar umpatan keras darinya, kepalaku menegak dengan pandanganku menoleh ke angkringan.

"Cuk! Sampai ada apa-apa lagi sama Lembayung, habis kamu," ucapnya dengan tatapan nyalang. Dia berlalu dari sana setelah menedang keras kursi panjang di angkringan Mas Dhika hingga bergeser.

Reksa berjalan ke arahku sembari mengembangkan senyum. Perlahan melepas jaket boombernya, menyisahakan dalaman kaos hitam bergambar kartun one piece. Ketika tangannya membantu memakaikan jaket di tubuhku, dari dekat aku bisa melihat ada tahi lalat di atas sudut bibirnya sebelah kiri, kecil sekali dan hanya bisa di lihat dari jarak dekat, dari satu jengkal yang membatasi jarak wajah kami.

"Pulang atau makan?" tawarnya dengan posisi masih menunduk. Aku hanya menggeleng pelan.

"Nggak usah dipikirin, kepalamu kecil, nanti meledak lagi kalau udah nggak muat," cibirnya kemudian terkekeh setelah aku mencubit pelan lengannya.

***

Reksa tidak membawaku pulang, dia mengajakku berkeliling jalanan malam Surabaya dengan motornya. Semilir angin malam seketika menerpa wajahku, memberikan sensasi segar sekaligus tenang secara bersamaan.

Reksa cuman diam, seakan dia tahu kalau aku memang butuh waktu untuk sendirian. Motornya hanya berjalan sedang, tidak pelan dan tidak cepat.

Dia memberhentikan motornya di tempat lumayan sepi. Mengajakku untuk turun dan duduk di pinggir trotoar.

"Beneran nggak mau makan?" tanyanya lagi dengan arah pandang menuju ke depan, ke jalanan yang hanya dilintasi beberapa kendaraan saja, itupun jaraknya lumayan jauh.

"Nggak." 

Suaraku serak nyaris tercekat. Aku mengikutinya menghadap ke depan. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Senyap dan sepi, tapi amat riuh di isi kepala.

"Mau nangis?" 

Reksa mengucapkannya dengan berbisik di telingaku, membuatku merinding seperti habis mendengar bisikan setan. 

Aku terkekeh miris. Kepalaku langsung menelungkup di antara lipatan lutut. Aku ingin menangis malam ini, untuk malam ini saja.

Kurasakan Reksa mendekatiku, dia segera merengkuhku dan membawaku ke dalam pelukannya yang terasa hangat dan nyaman. Tangannya mengusap-usap lembut punggungku, dagunya ditumpukkan di atas kepalaku. Aku semakin menenggelamkan tangisanku di balik dadanya. Tanganku mencengkeram kuat sisi-sisi kaosnya.

"Aku nggak tahu cara nenangin perempuan nangis itu gimana, aku nggak punya pengalaman," gumamnya diiringi kekehan renyah. "Tapi dulu waktu aku terjatuh dari sepeda, terus cuman diam nahan sakit, malah kena omel Mama." Dia masih terkekeh, tapi kini lebih terdengar miris. "Kata Mama waktu itu, "Kamu kok nggak nangis, jangan ditahan keluarin saja, kalau sakit bilang sakit, kalau mau nangis ya nangis. Nangis bukan berarti kamu lemah. Itu sifatnya alamiah, bentuk pengungkapan dari rasa sakit itu sendiri"."

Aku semakin mengeratkan pelukanku, bukan hanya memegang sisi kaosnya saja, tapi kini tanganku ikut telurur menelingkupi pinggangnya dan memeluknya erat.

Setelah terasa lebih reda, aku mengurai pelukannya dan meloloskan diri darinya. Masing-masing jempol Reksa dengan sigap mengusap sisa-sisa bulir air mataku yang masih tertinggal di pipi.

"Jelek banget sumpah," cibirnya dengan wajah mengejek menyebalkan.

Aku hanya terkekeh, menyeruput ingus yang mau menetes keluar.

"Mana tangan kamu," pintanya yang aku sambut dengan uluran tangan cepat.

Origami bintang sudah di letakkan di atas telapak tanganku. 

"Sesekali kamu kasih aku uang segepok, bolehlah Sa," candaku yang dibalas cibirian pelan.

"Merusak suasana," sungutnya.

"Kamu tahu kan bintang letaknya jauh di angkasa. Nggak bisa di gapai .... 

"Kayak kamu," ujarku dalam hati.

"Tapi kalau bintang yang ini." Reksa menunjuk origami bintang berwarna navy, lalu tanganku ditangkupnya, tangan besarnya menelingkupi tanganku yang lebih kecil darinya. "Bahkan sekarang bisa kamu pegang dan genggam." Dia menyunggingkan senyum lebar, tercetak jelas lesung pipitnya di pipi sebelah kanan.

"Kalau ada hal yang lebih bisa di gapai dengan mudah, kamu nggak perlu memaksakan diri menggapai yang mustahil bisa kamu raih," lanjutnya sambil mengunci manik mataku.

Apa secara nggak sadar dia menyuruhku untuk pergi.

"Bukan begitu," ucapnya lagi seakan mengerti isi pikiranku. "Maksudku kamu nggak harus kerja lagi di tempat tadi, kamu--

"Sa, aku bukan anak pejabat.

Aku butuh uang. Kenapa sih kamu larang-larang aku terus, apa kamu mau biayain hidupku?" sungutku sambil memalingkan wajah, dadaku rasanya kembali sesak.

"Iya," sahutnya dengan nada santai yang membuatku terkekeh sambil melepaskan genggamannya dalam sekali hentakan.

"Aku nggak setahu diri itu," ucapku sarkas sambil beranjak berdiri.

Reksa segera menarikku dan kembali membawaku kedalam pelukannya lagi.

"Kamu kalau marah nyeremin ya," gumamnya diiringi kekehan.

Tanganku bergerak memukulinya brutal.

Reksa semakin mendekapku seiring pukulanku yang melemah. Kurasakan dia memberi kecupan-kecupan ringan di pucuk kepalaku.

"Aku nggak akan pernah biarin siapun nyakitin kamu, 'siapapun'." tegasnya kini sudah menangkup wajahku.

Perlahan wajah Reksa maju mendekati wajahku. Hembusan napasnya yang terasa hangat mulai menerpa wajahku. Aku segera menutup mata, ketika hidung kami mulai bersentuhan. Tapi hanya itu, aku tidak merasakan sensasi lain dan hembusan napasnya lagi. Saat aku membuka mata, Reksa sudah menatapku dengan wajah tengilnya.

"Ciah, minta dicium ya!" ledeknya sambil menunjuk-nunjuk pipiku yang mungkin sudah berubah merah seperti tomat matang.

Aku mendengus, memalingkan wajah dengan hati kesal. Reksa kembali menangkup wajahku, menatapku dalam, manik matanya seakan menyelami kedalaman netraku. Tangannya menyusup di balik helain rambutku yang berjatuhan di sekitar perpotongan leher, perlahan menarik tengkukku. Tangannya yang lain menarik pinggangku mendekat. Ku cengkeram masing-masing lengannya kuat ketika dahi kami sudah saling menempel. Aku bisa melihat mata monolidnya menyipit, lalu wajahnya meneleng ke samping kanan, semakin rendah, dan ....

"Hey, mau mesum ya!"

Segera ku dorong Reksa sampai terjungkal ke belakang. Spontan aku berdiri, mengabaikan suara Reksa yang masih mengaduh dengan tubuh masih terlentang di atas trotoar.

Dari jarak sekitar tiga meteran dari sini, seorang bapak-bapak dengan pakaian patroli lengkap mulai berlari ke arah kami.

"Berhenti kalian! Dasar Anak muda jaman sekarang nggak tahu privasi!" Bapak itu terus menyerocos untuk menghentikan langkah kami yang sudah menaiki motor.

Dengan masih menggerutu pelan, Reksa membawaku kembali berpacu dengan motornya. Aku hanya terkekeh dibalik punggunggunya dengan kedua tangan melingkari perutnya seiring tarikan gasnya yang semakin cepat.

***

"Layung, ini stock barang habis kok nggak lapor aku?" 

Mbak Tari menatapku garang, aku menyengir sambil mengusap leher.

"Lupa Mbak, kemarin tahu sendiri rame banget."

"Tapi ini habisnya udah lama, banyak yang nanyain dari satu minggu yang lalu." 

Mbak Tari seakan punya jawaban pembenaran yang seketika akan membungkam mulutku dengan telak.

"Kok aku aja yang dimarahin, itu Tanti nggak?" 

Tanti yang mendengar namanya di bawa-bawa hanya memberiku pelototan tajam.

"Tanti udah aku beri tugas lain, kamu tuh ...." Perempuan 27 tahun itu mengusap wajahnya kasar, aku bisa melihat ada kantung mata yang tercetak jelas di bawah matanya. Apa Mbak Tari memang seambis ini orangnya.

"Cepat sana, cek barang yang habis." Mbak Tari mengasurkan notebook dan bolpoin ke arahku dengan gerakan kasar.

Mbak Tari kenapa sih.

Aku mulai mengecek stok barang satu per satu, mataku begitu teliti menghitung barang, dan kalau lupa harus hitung balik lagi. Habis ini akan di cek ulang di komputer, apakah stok barang sesuai dengan yang ada di komputer atau tidak. Mataku terasa pedih, selama satu jam hanya memandangi layar dan notebook secara bergantian.

"Udah, lanjut nanti aja. Itu aku beliin boba bagi juga sama Tanti," ujar Mbak Tari sudah berdiri di hadapanku dengan tangan meletakkan satu paper bag di atas meja kasir.

Belum juga aku mengucap terima kasih, Mbak Tari sudah berjalan ke belakang, di bagian pojok yang sudah terdapat bean bag bewarna abu-abu. Dia merebahkan badannya di sana, mengambil boneka teddy bear ungu ukuran sedang, dan segera dipeluknya dengan mata mulai terpejam.

Aku menghampiri Tanti yang sedang memberi label harga pada barang jualan. Tanganku terlurur memberikan satu cup bobba yang diterimanya dengan sangat baik tanpa melihat ke arahku.

"Mbak Tari kenapa?" bisikku yang dibalas gedikan bahu dari Tanti.

Aku hanyak berdecak kesal, Tanti ini orangnya sangat irit bicara, kalau pun bicara hanya seperlunya saja. Sebenarnya kami bekerja di sini di bagi menjadi dua shift. Aku mengambil shift pagi-sore sedangkan Tanti sore-malam. Tapi karena kemarin tidak masuk, Mbak Tari menyuruhnya untuk bekerja full kalau gaji Tanti nggak mau dipotong. Kadang cara berpikir Mbak Tari terlalu out of the box.

Pengunjung hari ini tidak lumayan banyak, hanya beberapa orang dan kebanyakan tidak jadi beli alias hanyak sekadar cuci mata.

Langkahku sudah terayun ke luar toko ketika jam kerjaku sudah habis. Aku melihat-lihat kondisi Mall yang ramai dan kebanyakan di penuhi anak muda yang terkadang membuat iri hatiku mulai bermunculan. Sudah ratusan kata 'andai' yang sering terdengar di isi kepala, apalagi melihat satu keluarga dengan bahagianya bisa berkumpul, bercanda tawa, jalan bareng seakan tidak punya beban hidup.

Kapan ya aku bisa seperti mereka.

"Senja!" Lambain tangan riang dari perempuan yang berada sekitar dua meter dari hadapanku, menarik perhatianku sepenuhnya. Sania berjalan tergesa ke arahku, bahkan nyaris terjatuh karena menggunakan hig heels yang lumayan tinggi.

"Udah pulang?" tanyanya terdengar cukup antusias. Suaranya terdengar  lembut dan merdu, seakan bisa menarik perhatian siapapun ketika baru saja mendengarkannya.

"Udah, kamu sama siapa di sini?" tanyaku sambil memberinya senyum. 

Dengan santainya Sania sudah mengapit lenganku, membawaku menuruni tangga eskalator dengan wajah berseri-seri. Cantik, satu kata itu yang akan aku ucapkan setiap kali bertemu dengan perempuan yang hari ini memakai dress summer floral selutut.

"Panji." sahutnya sambil menyunggingkan senyum manis hingga menampakan gigi gingsulnya di sebelah kiri.

Aku hanya ber 'oh' riang, tidak terkejut sama sekali karena sudah sering melihatnya berjalan dengan orang yang dia sebut barusan.

"Dan Mama," lanjutnya membuatku seketika memberhentikan langkah.

"Kenapa?" tanyanya dengan raut bingung.

Dan seseorang yang baru saja memanggil namanya, membuatku langsung tertuju pada perempuan berumur kisaran lima puluh tahunan yang masih terlihat cantik sekali.

"Sania, darimana saja kamu?" tanyanya terdengar sangat khawatir. Saat ekor matanya melihat keberadaanku dengan lengan masih di apit Sania, dengan gerakan pelan dia melepaskan cekalan itu.

"Apa sih Ma." Sania memutar bola mata malas. "Tadi aku ke atas mau cari dress baru, malah ketemu Senja. Yaudah aku ajak aja deh," lanjutnya sambil terkekeh kecil.

Tante Maurin alias mamanya Sania balas tersenyum ke arah anaknya sembari mengusap rambutnya pelan.

"Ayo kesana, Reksa udah menunggu lama, kasihan kan." Tante Maurin mengapit lengan anaknya, berniat membawa Sania pergi.

Tapi pada dasarnya Sania yang entah mengapa selalu suka membuat suasana semakin runyam malah kembali mengapitku, mengajakku untuk ikut bersamanya.

"Aku ajak Senja ya, please?" ucapnya memohon dengan mata bulatnya yang berbinar indah. Tante Maurin mengangguk pelan, dia membiarkan Sania mengandengku.

"Aku pulang aja deh, ada keperluan," ucapku dengan intonasi rendah. 

Sania langsung memberengut dan mengelengkan kepala cepat. Apa boleh buat, kalau sudah begini aku harus memulai mempersiapkan diri untuk bermain di K-Drama secara live. 

Apalagi setelah melihat laki-laki yang amat aku kenali sedang duduk dengan tangan fokus bermain game di ponsel. Ketika Sania memanggilnya, dan netra kami kembali bertemu, Reksa secara spontan menjatuhkan ponselnya ke lantai.

"Kok dijatuhin sih, mentang-mentang anak sultan." 

Sania berjalan menghampiri Reksa yang masih tampak syok dengan keberadaanku. Dengan penuh perhatian, Sania mengelap ponsel yang sekarang sudah berpindah di tangannya menggunakan tisu, lalu mengasurkannya ke arah pemiliknya.

Reksa hanya berdeham pelan sambil menerimanya tanpa menyahut sepatah apapun. Dan sekarang aku yang gantian di buat terkejut. Sania mengecup singkat pipi Reksa, lalu segera duduk di dekatnya dengan tangan memeluk pinggang Reksa serta kepala bersandar di pundaknya.

Tidak hanya aku saja yang terkejut, sepertinya Reksa pun sama. Apalagi saat dia memasang wajah pucat pasi ke arahku seakan tengah berbicara, "Aku tidak tahu akan terjadi seperti ini."

Tante Maurin mengajakku duduk di bangku seberang dengan posisi aku berhadapn dengan Sania, dan beliau berhadapan dengan Reksa. Sebelum benar-benar menyuruhku duduk, dia berbisik lirih kepadaku yang membuatku langsung mengepalkan tangan kuat. "Kamu lihat, mereka cocok sekali bukan. Jadi, sudah tahu kan di mana tempatmu sekarang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status