"Jadi gimana Sa?"
Mulai Tante Maurin dengan tersenyum hangat ke arah sepasang manusia berbeda gender yang sekarang sudah melepas pelukannya.
"Apasih Ma." Sania tampak tidak suka dengan arah pembicaraannya. "Itu privasi kami, iya kan Ji?" tanya Sania ke arah Reksa yang ekor matanya masih mencuri-curi pandang ke arahku.
"Hm."
"Yaudah, tapi jangan lama-lama ya. Mama pengen cepat-cepat pakai kebaya yang udah jadi," ujar Tante Maurin. Di wajahnya terkembang senyum lebar, seakan membayangkan tubuh sedikit berisinya itu memakai kebaya yang akan mencetak jelas lekuk tubuhnya.
Kenapa aku jadi hobi julidin hidup orang begini sih.
"Nanti kamu datang ya ke acara tunangannya Sania," ujarnya sambil meletakkan tangannya di atas pahaku. Bukan hanya sebatas memegang, tapi meremasnya pelan.
Perlahan aku menurunkan tangannya itu, membalas senyuman palsunya tak kalah lebar, "Pasti dong Tan, nanti banyak makanannya kan, di sana?" tanyaku balik dengan menarik satu sudut bibirku lebih tinggi.
Terdengar kekehan dari seberang, Reksa memalingkan wajahnya berlawanan dari Sania. Dasar kaum receh.
"Hm ... dan tentunya kamu belum pernah lihat dan makan sebelumnya," balasnya dengan nada tenang, perlahan menyesap black coffee di hadapannya.
Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul, ikut menyeruput Icead coffee pesananku.
"Nanti kalau udah nikah tinggal di rumah Mama aja ya Sa, kan Sania cuman anak satu-satunya Mama."
Reksa cuman memberinya senyum tipis, sedangkan Sania sibuk memotret secangkir kopi 3D latte art-Nya, foam milk-Nya berbentuk kepala tiga kucing.
"Nanti bulan madunya mau kemana? Perancis, Italia, atau Spanyol?" tanya Tante Maurin lebih antusias lagi.
Ini orang lagi nawarin jasa travel apa gimana dah.
"Oh!" seru Tante Maurin yang terdengar keras membuat Sania berdecak pelan. Perempuan itu segera menyeruput latte-Nya dengan tidak sabaran. Membuat foam milk-Nya tertinggal di sudut-sudut bibirnya.
Lalu kalau mataku masih berfungsi dengan normal, Reksa dengan gerakan perlahan mengusap sudut bibir Sania menggunakan selembar tisu. Aku melirik ke samping, tampak Tante Maurin tersenyum puas.
"Atau mau lokal aja ya kalian. Bali kayaknya cocok deh, Reksa kan suka yang--
"Eh, kamu ada jadwal kuliah kan Ji hari ini?" Sania menyela omongan mamanya. Setelah melihat layar ponselnya, dia dengan nada cukup antusias menyerongkan badan ke arah Reksa.
Reksa tampak mengerutkan alisnya, Sania semakin mengembangkan senyumnya ditambah dengan mata terbuka lebar-lebar. Baru Reksa mengangguk paham.
"Yaudah biar cepet lulus dan nikah ya kalian," sambung Tante Maurin.
"Kami keluar duluan ya Ma," pamit Sania sambil mengulurkan tangan ke arah Tante Maurin yang dibalas usapan lembut di kepalanya. Reksa pun melakukan adegan yang sama, dan aku ....
"Senja ayo, aku mau minta bantuan kamu," ujar Sania tahu-tahu sudah mengapit lenganku. Aku yang mau memberi salam pada Tante Maurin, segera ku urungkan ketika dia lebih memilih menggapai dan menyeruput black coffee-Nya kembali.
Sania berada di tengah, dia menggapit aku di sisi kiri dan Reksa di sisi kanan. Tubuhnya yang lebih pendek sedikit dariku meskipun sudah memakai high heels, sekarang mirip seperti seorang adik yang wajib dilindungi.
"Oke. Makasih kerja samanya hari ini," ucapnya setelah melepas pegangannya. Sania cengengesan sendiri.
Aku hanya saling melempar pandang dengan Reksa, bingung dengan tingkah yang tidak bisa ditebak dari seorang Sania Ratu Dewanta.
"Haduh, kok masih pada renggang gini sih!" Sania menggeser tubuhku sampai menempel dengan tubuh Reksa. "Nah, gini baru pas," ucapnya sambil menyatukan masing-masing jari jempol dan telunjung membentuk huruf L, lalu di sambungkan dengan tangan satunya hingga membentuk persegi panjang, matanya di kedipkan satu seperti sedang membidik.
"So sorry Senja, tadi cuman refleks aja. Selepas ini gosok aja muka dia pakai kembang tujuh rupa," cetusnya sambil menunjuk pipi Reksa yang tadi di kecupnya dengan gerakan bibir mengejek.
Reksa berdecak pelan, menurunkan perlahan jari telunjuk Sania yang sudah berpindah terarah ke matanya.
Sania terkekeh, dia kembali sibuk dengan ponselnya. Tak berselang lama lagi seseorang pria datang dengan motor vespa matic, dia memakai helm fullface, hanya sepasang mata yang tajam seperti elang yang dapat aku lihat.
"Jangan bilang-bilang Mama lo ya," desisnya ke arah Reksa dengan gerakan dua jari membentuk huruf V, di arahkan bergantian dari matanya sendiri ke mata Reksa.
"Nggak peduli," balas Reksa dengan nada malas.
"See you later my honey," pamit Sania. Sebelum benar-benar beranjak pergi, dia menyempatkan menginjak kencang kaki Reksa yang terbalut sepatu converse menggunakan ujung high heels-Nya yang runcing.
"Setan!" umpat Reksa diiringi bibir mendesis.
Sania hanya terkekeh ketika sudah naik di atas jok motor itu. Tangannya melambai ke arahku yang aku balas lambaian pelan.
"Akhirnya," desah Reksa sambil mengangkat satu tangan ke udara. Lalu mulai merangkulku dan membawaku pergi dari mall yang hari ini terasa seperti di panggang di atas bara api.
***
"Sa-
"Yang," sela Reksa sambil terkikik geli ketika melihat raut wajahku yang langsung terpasang mode jengah.
"Kenapa, ada yang bisa saya bantu Mbak Lembayung?" tanyanya dengan nada seperti petugas bank.
Kami sekarang berada di Pantai Kenjeran. Waktu di perjalanan Reksa hanya diam, seakan mempunyai beban pikiran yang jarang di ungkapkannya kepadaku.
Sembari menanti semburat orange di langit yang hari ini terlihat cerah, kami berjalan meniti jembatan. Berhenti di tengah jalan menghadap langit yang mulai tampat samar semburat-semburat warna kuning keemesan. Tanganku bertumpu pada pembatas jembatan, Reksa pun melakukan demikian dengan mata terpejam sambil bibir menyunggingkan senyum tipis.
"Kamu ... nggak apa-apa?" tanyaku pelan masih melihat wajahnya dari samping.
Reksa menengok ke arahku, netra kami bertemu lalu saling beradu menjadi satu. Tangannya merangkulku dan membawaku semakin merapat ke arahnya. Aku bisa merasakan lengannya yang terasa keras, tapi selalu bikin candu.
"Emang aku kenapa?" tanyanya balik dengan mata mengerling jahil.
Aku memutuskan kontak mata lebih dulu, kini menatap senja yang sudah terbentang indah di cakrawala.
"Nggak tahu, aku nggak pernah tahu kamu kenapa," ucapku samar dengan senyuman getir.
"Apa yang mau kamu tahu dari aku?" tanya Reksa kembali, kepalanya meneleng ke arahku.
"Banyak."
Terdengar kekehan dari mulutnya, Reksa menumpukkan kepalanya di atas kepalaku, tangannya kini berpindah mendekap kepalaku dan mengusapnya lembut.
"Bukanya aku nggak mau ngasih tahu, tapi aku terlau malas menjelaskan lewat kata-kata."
Aku mendengkus, malas katanya. Hei, terus selama ini kata-kata yang selalu dia selipkan dalam setiap origaminya itu namanya apa.
"Aku nggak pernah nyembunyiin sesuatu, kamu percaya kan?" tanyanya lagi dengan wajah menunduk ketika aku mendongak.
Aku menggangguk, Reksa menempelkan dahi kami. Dia kembali berucap, "Nggak usah dengerin kata mereka, aku nggak pernah anggap mereka ada."
Dulu waktu awal kami bertemu, aku menemuinya sedang meringkuk di pinggir jalan, duduk di bawah lampu jalan yang minim pencahayaan. Dia menangis sendirian di tengah sunyinya malam. Entah sadar atau tidak karena setelah itu tertawa keras yang malah terdengar miris. Ketika aku masih berdiri di hadapannya, dengan terbata dia berucap, "Ma-maku pergi, dia me-milih pergi, kena-pa dia pergi ya? Ka-mu tahu nggak kenapa dia memilih per-gi?
Karena aku masih mempunyai sisi empati walaupun hanya sedikit, kuulurkan sapu tangan ke arahnya. Bukannya menerimanya, dia malah menarik lenganku dengan gerakan cepat, merengkuhku tubuhku, dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku yang masih syok hanya seperti benda mati. Saat dia semakin menenggelamkan kepalanya di ceruk leherku, kesadaranku terenggut kembali. Segera ku dorong sekaligus memakinya yang malah di balas dengan cengiran lebar seperti orang tidak waras.Tanpa sadar aku terkekeh ketika mengingat pertemuan absurd itu.
"Kesambet kamu?" tanya Reksa sambil menumpukkan telapak tangannya di atas kepalaku. Mulutnya mengucapkan sederet mantra pengusir makhluk halus yang malah lebih mirip seperti orang tengah berkumur. Kelakuannya itu membuatku semakin melepaskan tawa.
"Heh!" Reksa sekarang menguncang cepat tubuhku yang membuat kepalaku mulai pening. "Keluar kamu, hush keluar, jangan ganggu calon masa depanku."
Calon masa depan katanya.
Merasakan kepalaku semakin pusing dan perut sudah memberontak bergejolak mual, kakiku segera saja melayanugkan tendangan ke tulang keringnya. Reksa mengerang, dia melepaskan tubuhku dan segera mengusap kaki kirinya sendiri.
"KDRT mulu, kenapa sih hidupku harus di kelilingi orang-orang kasar," dumelnya kini menarik kedua pipiku kencang. Aku memukul masing-masing lengannya.
Reksa memelukku, aku dapat menghirup aroma tubuhnya yang menguarkan aroma aquatic yang selalu menenangkan.
Ditengah pelukan kami yang mirip sepasang kekasih tengah berbahagia. Ditemani matahari yang perlahan tenggelam meninggalkan pelabuhan, semesta ternyata masih saja tidak suka melihatku bersenang-senang hanya dalam sekejap mata.
Seseorang yang amat aku kenali berlari ke arah kami dengan alas kaki sudah berganti menjadi sandal jepit. Sania memisahkan pelukan kami yang belum sepenuhnya bisa membayar besarnya rindu.
"Sa, ayo pulang! Papa kamu ada di rumahku!" teriak Sania dengan muka khawatir bercampur rasa bersalah.
Reksa berdecak dengan tangan menggandengku, dia mengikuti langkah Sania yang sudah berjalan di depan dengan langkah lebar.
"Aku antar Lembayung dulu."
"Seriously?" tanya Sania diselingi tawa mengejek ketika sudah berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah kami. "Nggak usah nyari perkara lagi. Buruan, sebelum aku lempar kamu ke laut," tekannya kembali berjalan duluan meninggalkan kami.
Reksa mengusap wajahnya kasar, dia memalingkan wajah sekadar untuk mengumpat pelan. Aku mengeratkan genggamannya.
Reksa merogoh kantong kemeja kota-kotaknya. Dia mengeluarkan sebuah origami perahu kertas dari kertas koran. Meletakkannya di atas telapak tanganku yang masih bertaut dengannya.
"Mau sejauh apapun aku pergi nanti, dermagaku cuman kamu seorang," ucapnya dengan senyuman mengembang.
Di belakangnya, aku bisa melihat matahari yang mulai temaram. Meninggalakan siluet hitam pada tubuh Reksa dan kapal-kapal yang bersandar di bibir pantai.
"Panji Reksa!" teriak Sania yang kembali lagi dengan wajah dua kali lebih garang.
Aku mendorongnya pelan. Reksa terkekeh, tangannya mengacak rambutku pelan. Segera berlalu pergi dengan berjalan mundur masih memasang senyum manisnya. Aku hanya melambaikan tangan, yang dibalasnya dengan memberikan ciuman jarak jauh. Belum sempat aku menjawabnya, Sania sudah lebih dulu menarik lengan Reksa dengan tidak sabaran. Sedangkan Reksa melawan dengan cara meminting leher Sania, mereka malah saling serang membuatku tanpa sadar malah terkekeh hambar.
Siluet mereka sudah hilang, aku menghadap ke langit yang cahanya semakin remang. Tak lama ponselku bergetar, ada panggilan dari Mas Dhika.
"Kenapa Mas?"
["Di mana?"]
"Di mana-mana hatiku senang." sahutku kesal mengingat tragedi kemarin.
["Share lock."]
Lalu sambungan di putus sepihak, membuatku langsung berdecak.
Share lock katanya, jangan harap.
***
Yang mulai panas, yuk berendam dulu.
Terima kasih ya masih setia sampai sini. Masih sanggup lanjut kan? Harus dong, kan anak kuat wkwk
Tahu apa yang dilakukan oleh orang yang baru saja menghubungiku lima belas menit yang lalu. Mas Dhika sekarang sudah berada di hadapanku yang baru saja selesai menunaikan ibadah lima waktu. Dengan tatapan matanya yang tajam, dia terkesan dapat mengeluarkan laser dari sorot matanya itu."Susah banget itu tangan buat ngetik," sindirnya."Mas kok tahu aku di sini, Mas nguntit aku?" tanyaku nyolot."Balik." Tanpa menjawab pertanyaanku barusan, dia sudah menyeretku seperti seekor kambing."Aku bisa jalan sendiri!" ucapku ngegas menarik pergelangan tanganku yang selalu dicengkeramnya dengan kuat. Untung di sekitar kami sepi, setidaknya aku bisa berbuat lebih dari ini jika Mas Dhika masih memaksaku.Mas Dhika terdengar mengembuskan napas kasar. Dia menaiki motor beatnya sembari menyodorkan helm bogo ke arahku. Setelah aku duduk di jok motor favorit kaum sejuta umat ini, dia mulai melajukan mtornya dengan kecepatan sedang. Jangan bayangkan aku akan memeluk
"Pagi."Aku balas tersenyum ketika sudah mendapatinya dengan pakaian cukup casual berdiri menjulang tinggi di depan pintu kosku. Hari ini Reksa hanya memakai hoodie hitam yang dipadukan dengan celana cinos coksu selutut, dan sandal jepit."Udah sarapan?""Belum," sahutku sambil menyengir kala dia mendengkus."Ya udah, jalan sekarang aja." Reksa segera meraih tanganku, menyatukan jari-jari kami hingga menjadi sebuah tautan hangat."Cuman hampiri motor lo, ngapain pakai gini." Aku mengangkat tangan kami yang tertaut, Reksa hanya berdecak pelan.Saat di perjalanan ragaku emang di sini, tapi pikiranku berkeliaran liar tanpa bisa aku kendalikan pada kejadian semalam. Saat aku yang baru turun dari motor Tama, dikejutkan dengan tarikan Mas Dhika yang lumayan kuat. Dia membawaku ke belakang, dengan napas memburu menyudutkanku ke tembok, mengurung tubuhku sambil menatapku lekat. Aku cuman diam karena merasa sedang diintimidasi. Lalu tanpa mengu
Sania sudah datang terlebih dahulu dengan segelas milshake strawberry yang sudah tandas setengah gelas. Aku menghampiri perempuan itu yang selalu sibuk sendiri dengan ponselnya."Hay Senja!" sapanya dengan mata berbinar ketika melihatku yang sudah berdiri di hadapanya. Aku hanya mengulas senyum tipis, kemudian duduk setelah dipersilahkan."Mau minum apa, atau makan apa gitu?" tawarnya dengan tangan terangkat sedikit di balik meja siap memanggil waitress."Nggak. Nggak usah.""Tapi kata Panji kalau ngajak kamu jalan jangan lupa dikasih makan," adunya dengan bibir mengerucut yang malah menambah kesan imut di wajahnya.Aku terkekeh. "Nggak usah didengerin," sahutku sambil mengibaskan tangan pelan.Sania ikutan terkekeh, wajahnya masih muram seperti punya banyak beban pikiran. Dia hanya memutar-mutar sedotan milshake-Nya."Kenapa?" tanyaku pelan."Kamu sama Panji saling suka kan ya?" tanyanya yang membuatku sediki
Ketika membuka pintu kos, aku mendapati sebuah kantong kresek hitam di atas meja. Tanganku terjulur untuk meraih, lalu mengintip isinya. Ada sekotak streoform dengan selembar kertas kecil yang di lipat satu sisi di atasnya. Sambil berlalu masuk ke dalam, aku membaca isi kertas itu. Soal tadi malam aku minta maaf, di makan ya, walaupun cuman aku pungut dari pinggir jalan. Nggak bisa ngantar kerja hari ini, aku harus ke kampus sebelum kena tendang. Aku terkekeh setelah membaca tulisannya yang selalu rapi untuk ukuran cowok. Kotak streofrom itu isinya bubur ayam yang masih hangat. Berarti Reksa tadi belum lama dari sini, kenapa nggak ketuk pintu saja. *** Setelah selesai sarapan aku baru menjalankan ritual mandi. Sampai tahap dalam memilih baju, aku dibuat berhenti sejenak. Perlahan tanganku meraih dan membuka paper bag pemberian Mas Dhika. Ada baju blouse warna kuning kunyit dengan aksen tali di bagian pinggangnya. Terlihat manis dengan lengan pen
Bolpoin di sela-sela jari telunjuk dan ibu jariku masih aku ayun-ayunkan naik turun. Isi kepalaku begitu penasaran tentang apa yang terjadi di dalam rumah tangga Mbak Tari dan suaminya. Bukannya aku mau ngegosip ya, tapi ini sekadar informasi yang aku tahu saja. Mereka menikah karena perjodohan dua keluarga yang sudah lama bersahabat. Sewaktu aku datang ke pernikahannya Mbak Tari sekitar satu tahun lalu, hanya senyum paksa yang coba ditampilkan olehnya. Apalagi Mas Angkasa, wajahnya yang selalu tampil datar dengan mata setajam Mbak Tari itu hanya mengulas senyum tipis. Dua orang dengan kepribadian yang hampir sama, lalu disatukan dalam satu atap, kira-kira menjalani rumah tangganya seperti apa.Bibirku mendesis saat ada yang menyentil dahiku kuat. Nggak Mbak Tari, Reksa, apalagi Tanti kenapa sih mereka kayak punya dendam kesumat setiap melihatku sedang meditasi."Nggak pulang?" tanyanya sebelum melangkah ke bagian loker karyawan.Aku melihat jam tangan yang terp
Bukan Reksa kalau pikirannya tidak out of the box. Sekarang aku malah diajak berkeliling jalan di sekitar lampu merah untuk mengamen. Iya mengamen, dia membawa ukulele yang di pinjamnya dari anak jalanan, sementara aku menegadahkan bucket hat warna cream polos pada setiap pengguna kendaraan. Kalau tidak memakai masker, habis ini aku bakal melakukan operasi plastik, itupun kalau ada biayanya. Aku nggak habis pikir sama Reksa, dengan suara yang lumayan bisa dibilang enak di dengarkan, dia terlihat senang sekali menyanyikan lagu-lagu dari Hindia. Kau datang saat gelapku merekah Seluruh hatiku untukmu Meidiana Reksa menatapku dengan senyuman, aku balas tersenyum. Walaupun tidak kentara karena terhalangi masker. Kau pantas dapatkan yang baik di dunia Semoga kita bertahan lama .... Dalam hati aku mengaminkan. Beberapa pengendara terpaku pada suara Reksa, apalagi kaum hawa. Ada yang diam-diam merekamnya dengan binar mata penuh kekagum
"Mbak, beneran nggak ada lagi warna yang lain?"Harus berapa kali sih aku jelasin, kalau warnanya cuman tinggal itu doang. Astaga, nggak tahu apa ya kalau kepala, telinga, dan lubang hidungku ini udah keluar asap tak kasat mata.Biarlah batinku yang mewakili, faktanya sekarang aku malah masih mengembangkan senyum ramah sembari berbicara, "Udah nggak ada Mbak, itu celana import tinggal satu-satunya."Perempuan dengan pakaian jumpsit jeans yang dipadaku dengan kaos putih pendek sebagai dalaman itu, sekarang masih memutar-mutarkan tubuhnya di depan standing mirror."Tapi lihat dong Mbak." Dia menujuk celana yang masih diletakkan di depan tubuh sejajar dengan pinggangnya. "Nggak kayak anak SD apa kalau aku pake celana warna ini?" tanyanya terdengar merengek tanpa menoleh ke arahku.Aku menghampirinya, berhenti di belakang mbak jumpsit sambil memegang kedua pundaknya, siap menerapkan ilmu penghasutan. "Nggak sama Mbak, lihat deh warnanya aja lebih
Setelah Reksa mengantarku pulang ke kosan, aku harus kembali berangkat bekerja lagi demi cuan yang harus mengalir terus. Hanya dengan berjalan kaki saja, aku sudah sampai di tempat pekerjaan sampinganku."Sore menjelang malam Mas," sapaku pada Mas Dhika, pemilik angkringan dan tentunya bosku.Mas Dhika cuman tersenyum, dia menyuruhku untuk mengambilkan barang dagangannya yang masih berada di belakang."Berat nggak?" tanyanya sudah berada di belakangku yang masih berusaha mengangkat baskom ukuran sedang. Berisi nasi kucing, aneka gorengan, dan sate-satean.Mas Dhika membantuku, bukan di depanku dengan cara mengangkat sisi lainnya, tapi di belakangku seperti memelukku. Tangannya terlurur menelingkupi peganganku pada baskom. Tentu saja aku langsung mengelak, sedangkan Mas Dhika segera mengambil alih baskom yang sudah kembali aku letakkan di atas meja kayu. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, dia berjalan menuju ke depan lagi."Ada yang bisa aku bant