Share

6. Bermain Peran

"Pagi." 

Aku balas tersenyum ketika sudah mendapatinya dengan pakaian cukup casual berdiri menjulang tinggi di depan pintu kosku. Hari ini Reksa hanya memakai hoodie hitam yang dipadukan dengan celana cinos coksu selutut, dan sandal jepit.

"Udah sarapan?"

"Belum," sahutku sambil menyengir kala dia mendengkus.

"Ya udah, jalan sekarang aja." Reksa segera meraih tanganku, menyatukan jari-jari kami hingga menjadi sebuah tautan hangat.

"Cuman hampiri motor lo, ngapain pakai gini." Aku mengangkat tangan kami yang tertaut, Reksa hanya berdecak pelan.

Saat di perjalanan ragaku emang di sini, tapi pikiranku berkeliaran liar tanpa bisa aku kendalikan pada kejadian semalam. Saat aku yang baru turun dari motor Tama, dikejutkan dengan tarikan Mas Dhika yang lumayan kuat. Dia membawaku ke belakang, dengan napas memburu menyudutkanku ke tembok, mengurung tubuhku sambil menatapku lekat. Aku cuman diam karena merasa sedang diintimidasi. Lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun, Mas Dhika malah meninggalkanku sendirian setelah mengembuskan napas kasar.

Sebuah sntilan jari di dahiku membuatku tersadar kalau sudah sampai. Aku bahkan tidak sadar kapan turun dan melepas helm.

"Mikirin apa sih?" tanya Reksa sembari mengelus dahiku pelan. Aku menggeleng, tidak mau menambah beban pikirannya.

Reksa membawaku ke warung makan lontong balap. Tempatnya cukup sederhana, di bagian depan terdapat gerobak penjualnya, di bagian dalam ada beberapa meja kayu memanjang, tidak ada kursi karena konsepnya duduk lesehan. Reksa mengambil tempat paling belakang bagian pojok kanan. Aku disuruh duduk dekat tembok, baru dia duduk di sampingku.

"Makan apa?" 

"Apa aja," jawabku ketus. 

Memang ada apalagi menunya selain sepiring lontong balap itu.

"Batu mau," candanya yang aku hadiahi pukulan pelan pada lengannya.

"Pak pesen dua porsi ya, yang satu porsinya banyakin." 

"Siap Mas."

"Aku nggak pesen banyak ya," ucapku tegas karena sudah paham betul kalau itu nanti untukku.

"Percaya diri sekali Anda," cibirnya sambil menyentil dahiku kembali.

Aku balas mencibir. Reksa berdiri untuk sekadar mengambil satu botol air kemasan yang letaknya berada di dekat pintu masuk.

"Aku yang bayar ya." 

"Patungan hey," sahutnya setelah duduk di sebelahku kembali.

"Ya, tapi aku yang bayar lebih," sahutku ngotot saat Reksa sudah menatapku sengit.

Reksa cuman diam, matanya mengendar melihat-lihat kondisi ruangan. Dia selalu seperti itu kalau tidak mau menanggapi lebih.

"Kita ini apa sih Yung?" tanyanya tiba-tiba.

Aku yang sedang mengecek ponsel, otomatis menegakkan kepala. Reksa sudah menatapku dengan tatapan serius.

"Manusialah, masa orang-orangan sawah," candaku yang dibalas ulasan senyum tipis. Reksa mengulurkan tangannya mengelus rambutku pelan, lalu turun ke pipi dan mencubitnya gemas.

"Sakit." Aku mendesis berusaha menurunkan tangannya agar melepaskan cubitannya.

"Sari pati tanah kalau dikasih nyawa ngelunjak ya," cibirnya. 

Sekarang tangan Reksa mengelus bekas cubitannya tadi dengan usapan pelan.

Aku mengembungkan pipi, membuat pipiku yang sudah sering diejek mirip bakpau ini semakin mengembang. Reksa cuman fokus pada pipiku, tidak menatap mataku seperti biasanya. Aku mengamati wajahnya yang tampak lelah, seperti raganya di sini tapi jiwanya entah berkelana kemana.

"Ada apa?" tanyaku pelan saat ada mbak-mbak yang mengantarkan pesanan kami.

Reksa menarik tangannya, dia cuman menggeleng sambil tersenyum samar.

"Makan dulu," suruhnya saat aku masih menatapnya.

Aku menatap lontong balap dengan taburan bawang goreng di atasnya. Siraman kuah berwana kecoklatan yang masih mengepulkan asap terlihat cukup menggoda perut, tapi tidak bisa menarik perhatianku seantusias biasanya. Aku melirik piring Reksa dan benar saja punyaku lebih banyak. Aku mendengus, dia tidak bisa dipercaya soal urusan makanan. Kami makan dengan tenang, seperti biasa Reksa akan diam tanpa banyak bicara saat sedang makan. Aku masih berusaha mencuri-curi pandang padanya yang tampak biasa saja masih bisa makan dengan lahap. Reksa memergokiku, aku melengos, pura-pura makan cepat seperti orang tidak makan selama tiga hari. Dia hanya mengusap rambutku pelan, kemudian melanjutkan acara santap paginya.

"Sini aku yang bayarin," ucapku menengadahkan tangan padanya.

Reksa memberiku uang dua ribu, lecek pula. Aku ingin protes, tapi ya biarlah hitung-hitung berbuat amal.

Dia mengantarku ke tempat kerja, selama perjalanan kami diam dengan isi kepala masing-masing. Aku bertanya-tanya ada apa dengannya, apa ada hal buruk yang terjadi kemarin. Tapi kenapa dia tidak berterus terang kepadaku seperti dulu. Sulitkah, atau memang itu menyangkut ranah privasi keluarganya.

***

"Sekarang lagi hobi banget ngelamun ya," sindirnya saat kami sudah sampai di tempat parkir. 

Aku nyengir segera turun dan melepas helm. Membuat rambutku yang hari ini terurai, terlihat awut-awutan seperti rambut singa. Reksa menarikku mendekat, dia merapikan rambutku dengan menyisirnya menggunakan jari-jarinya. Aku berusaha melihat sorot matanya, begitu tenang, tapi seakan menyimpan banyak beban. 

"Jangan lihatin aku terus, entar susah moveon-Nya," candanya yang bagiku itu mempunyai arti berbeda. 

Apa baru saja secara tersirat Reksa bilang kalau kami tidak mungkin bisa bersama. Aku cuman menanggapi ucapannya dengan tersenyum miris, sedangkan dia malah terkekeh seakan itu tadi memang cuman sebuah bualan semata.

"Kerja, jangan pacaran mulu." cibir seseorang yang aku tahu suara siapa dia. 

Mbak Tari yang baru turun dari mobil CVT hitamnya dengan pakaian formal melirik ke arahku diiringi tersenyum miring.

Aku diam-diam mencibirnya saat dia sudah berjalan beberapa langkah di depan. Pandanganku teralih lagi pada Reksa, tatapan laki-laki itu terpaku pada Mbak Tari yang hari ini memakai long dress warna peach lengan sabrina yang dipadaukan dengan high heels warna silver.

"Kamu kenal Mbak Tari?" tanyaku sambil menurunkan tangannya perlahan yang masih berada di atas kepalaku.

Tampak raut keterkejutan dari wajah Reksa. Lalu berubah semringah saat iris matanya beradu pandang denganku. Dia berubah terkekeh lirih, membuatku berjalan mundur sedikit demi sedikit. 

"Cemburu?" tanyanya dengan nada mengejek sambil menarik tanganku untuk mendekat kembali.

"Nggaklah!" balasku ngengas.

Reksa mengulum bibirnya, kedua tangannya terlurur menyentuh pipiku dan menekannya sampai membuat bibirku mengerucut. Dia tertawa kesenangan, sedangkan aku hanya pasrah sambil melihat binar matanya yang tampak lebih baik.

"Pengen nyium deh," gumamnya setelah menjauhkan tangannya dari pipiku.

"Boleh kan?" tawarnya sambil memajukan wajahnya. Aku meronta sambil memukul kedua lengannya yang sudah bertengger di kedua bahuku.

"Belum juga diapa-apain." cibirnya yang aku balas tatapan sengit.

"Minta sana sama Sania," ucapku asal mulai berjalan meninggalkannya.

"Kenapa Sania?" tanyanya terdengar pelan tapi cukup menusuk di telinga kiriku. Dia memelukku dari belakang dengan dagunya ditaruh di atas bahuku.

"Lepas, banyak orang," desisku berusaha melepaskan pelukannya.

Reksa menggeleng dia kembali bergumam, "Kalau nggak banyak orang, boleh dong lebih dari ini?"

Sinting. Dalam hati aku mengumpatinya lebih dari kata itu.

"Apa sih Sa," desisku kembali berusaha melepaskan pelukannya yang malah semakin mengerat.

"Bercanda," kekehnya sambil mengurai dan melepaskan pelukannya. Reksa memutar tubuhku, sekarang kembali berhadapan lagi dengannya.

Dia mengambil sesuatu dari kantong hoodie hitamnya.

"Origami anjing," gumamku. "Kamu nyamain aku sama anjing?" Kini aku sepenuhnya melotot ketika origami itu sudah berpindah tangan padaku.

"Iya, soalnya cuman kamu yang setia di saat aku lagi down," jawabnya diiringi tersenyum manis.

"Gombal banyak tuh di pasar." Aku mendengkus melihat origami anjing warna coklat di tanganku.

(Gombal=pakaian)

"Siapa yang ngegombal," balasnya sambil memegang kedua bahuku kembali. "Anjing itu salah satu hewan yang setia, jadi boleh nggak kalau aku berharap kamu ngelakuin hal yang sama?" Reksa menatapku lekat, aku masih berusaha mencerna ucapannya.

"Bukankah harusnya aku yang ngomong kayak gitu," sahutku dengan kepala tertunduk.

Reksa mengangkat daguku perlahan, "Aku udah bilang kan, kalau ngomong jangan nunduk. Tatap mata aku," ucapnya lembut menatapku penuh kedamain. 

"Aku nggak akan ninggalin kamu." Reksa menelengkan kepalanya ke arah kanan. Dia berbisik, "Siapapun itu, aku nggak akan biarin ada orang yang berusaha misahin kita." 

Aku hanya mengangguk saja, terlalu sulit untuk mengeluarkan kata-kata.

"Udah sana kerja." 

Dengan nggak sopannya dia membalik tubuhku dan mendorongku lumayan kencang. Untung aku bisa mengendalikan tubuhku segera dan nggak berakhir nyungsep. Aku berbalik sekadar untuk mengacungkan kepalan tangan ke arahnya yang malah dibalas dengan lambain tangan riang. 

Di sela-sela kekehanku saat tanganku masih menggoyang-goyangkan origami anjing pemberiannya, ponselku bergetar.

"Halo."

["Bisa ketemu nanti habis kerja?"]

"Bisa sih, asal nggak lama."

["Okay, have a nice day Senja!"] sahutnya girang sebelum memutuskan sambungan telepon lebih dulu.

Aku tidak terlalu berpikir soal ajakan Sania yang terbilang mendadak. Pikiranku lebih tertarik pada sepasang manusia berbeda gender yang sekarang saling bersitatap tajam di dalam toko Mbak Tari. 

Aku buru-buru bersembunyi di balik tembok toko sebelah ketika melihat tubuh Mas Angkasa keluar dari toko dengan tampangnya yang selalu datar.

Saat langkahnya sudah lumayan jauh, aku menghampiri Mbak Tari yang bersiap ikut menyusul langkah suaminya.

"Mau kemana Mbak?" tanyaku pelan saat atmosfer di sekitarnya memancarkan aura kurang menyenangkan.

"Keluar sebentar, titip toko," sahutnya tanpa melihatku. 

Mbak Tari berjalan dengan langkah pelan dan cukup anggun. Berbeda sekali dengan keseharinya yang terlihat biasa saja tanpa memperdulikan penampilan dan langkah kakinya.

Apa semua orang memang seperti itu. Senang bermain peran dan bersandiwara di hadapan orang-orang yang cukup berarti di dalam kehidupannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status