"Pagi."
Aku balas tersenyum ketika sudah mendapatinya dengan pakaian cukup casual berdiri menjulang tinggi di depan pintu kosku. Hari ini Reksa hanya memakai hoodie hitam yang dipadukan dengan celana cinos coksu selutut, dan sandal jepit.
"Udah sarapan?"
"Belum," sahutku sambil menyengir kala dia mendengkus.
"Ya udah, jalan sekarang aja." Reksa segera meraih tanganku, menyatukan jari-jari kami hingga menjadi sebuah tautan hangat.
"Cuman hampiri motor lo, ngapain pakai gini." Aku mengangkat tangan kami yang tertaut, Reksa hanya berdecak pelan.
Saat di perjalanan ragaku emang di sini, tapi pikiranku berkeliaran liar tanpa bisa aku kendalikan pada kejadian semalam. Saat aku yang baru turun dari motor Tama, dikejutkan dengan tarikan Mas Dhika yang lumayan kuat. Dia membawaku ke belakang, dengan napas memburu menyudutkanku ke tembok, mengurung tubuhku sambil menatapku lekat. Aku cuman diam karena merasa sedang diintimidasi. Lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun, Mas Dhika malah meninggalkanku sendirian setelah mengembuskan napas kasar.
Sebuah sntilan jari di dahiku membuatku tersadar kalau sudah sampai. Aku bahkan tidak sadar kapan turun dan melepas helm.
"Mikirin apa sih?" tanya Reksa sembari mengelus dahiku pelan. Aku menggeleng, tidak mau menambah beban pikirannya.
Reksa membawaku ke warung makan lontong balap. Tempatnya cukup sederhana, di bagian depan terdapat gerobak penjualnya, di bagian dalam ada beberapa meja kayu memanjang, tidak ada kursi karena konsepnya duduk lesehan. Reksa mengambil tempat paling belakang bagian pojok kanan. Aku disuruh duduk dekat tembok, baru dia duduk di sampingku.
"Makan apa?"
"Apa aja," jawabku ketus.
Memang ada apalagi menunya selain sepiring lontong balap itu.
"Batu mau," candanya yang aku hadiahi pukulan pelan pada lengannya.
"Pak pesen dua porsi ya, yang satu porsinya banyakin."
"Siap Mas."
"Aku nggak pesen banyak ya," ucapku tegas karena sudah paham betul kalau itu nanti untukku.
"Percaya diri sekali Anda," cibirnya sambil menyentil dahiku kembali.
Aku balas mencibir. Reksa berdiri untuk sekadar mengambil satu botol air kemasan yang letaknya berada di dekat pintu masuk.
"Aku yang bayar ya."
"Patungan hey," sahutnya setelah duduk di sebelahku kembali.
"Ya, tapi aku yang bayar lebih," sahutku ngotot saat Reksa sudah menatapku sengit.
Reksa cuman diam, matanya mengendar melihat-lihat kondisi ruangan. Dia selalu seperti itu kalau tidak mau menanggapi lebih.
"Kita ini apa sih Yung?" tanyanya tiba-tiba.
Aku yang sedang mengecek ponsel, otomatis menegakkan kepala. Reksa sudah menatapku dengan tatapan serius.
"Manusialah, masa orang-orangan sawah," candaku yang dibalas ulasan senyum tipis. Reksa mengulurkan tangannya mengelus rambutku pelan, lalu turun ke pipi dan mencubitnya gemas.
"Sakit." Aku mendesis berusaha menurunkan tangannya agar melepaskan cubitannya.
"Sari pati tanah kalau dikasih nyawa ngelunjak ya," cibirnya.
Sekarang tangan Reksa mengelus bekas cubitannya tadi dengan usapan pelan.
Aku mengembungkan pipi, membuat pipiku yang sudah sering diejek mirip bakpau ini semakin mengembang. Reksa cuman fokus pada pipiku, tidak menatap mataku seperti biasanya. Aku mengamati wajahnya yang tampak lelah, seperti raganya di sini tapi jiwanya entah berkelana kemana.
"Ada apa?" tanyaku pelan saat ada mbak-mbak yang mengantarkan pesanan kami.
Reksa menarik tangannya, dia cuman menggeleng sambil tersenyum samar.
"Makan dulu," suruhnya saat aku masih menatapnya.
Aku menatap lontong balap dengan taburan bawang goreng di atasnya. Siraman kuah berwana kecoklatan yang masih mengepulkan asap terlihat cukup menggoda perut, tapi tidak bisa menarik perhatianku seantusias biasanya. Aku melirik piring Reksa dan benar saja punyaku lebih banyak. Aku mendengus, dia tidak bisa dipercaya soal urusan makanan. Kami makan dengan tenang, seperti biasa Reksa akan diam tanpa banyak bicara saat sedang makan. Aku masih berusaha mencuri-curi pandang padanya yang tampak biasa saja masih bisa makan dengan lahap. Reksa memergokiku, aku melengos, pura-pura makan cepat seperti orang tidak makan selama tiga hari. Dia hanya mengusap rambutku pelan, kemudian melanjutkan acara santap paginya.
"Sini aku yang bayarin," ucapku menengadahkan tangan padanya.
Reksa memberiku uang dua ribu, lecek pula. Aku ingin protes, tapi ya biarlah hitung-hitung berbuat amal.
Dia mengantarku ke tempat kerja, selama perjalanan kami diam dengan isi kepala masing-masing. Aku bertanya-tanya ada apa dengannya, apa ada hal buruk yang terjadi kemarin. Tapi kenapa dia tidak berterus terang kepadaku seperti dulu. Sulitkah, atau memang itu menyangkut ranah privasi keluarganya.
***
"Sekarang lagi hobi banget ngelamun ya," sindirnya saat kami sudah sampai di tempat parkir.
Aku nyengir segera turun dan melepas helm. Membuat rambutku yang hari ini terurai, terlihat awut-awutan seperti rambut singa. Reksa menarikku mendekat, dia merapikan rambutku dengan menyisirnya menggunakan jari-jarinya. Aku berusaha melihat sorot matanya, begitu tenang, tapi seakan menyimpan banyak beban.
"Jangan lihatin aku terus, entar susah moveon-Nya," candanya yang bagiku itu mempunyai arti berbeda.
Apa baru saja secara tersirat Reksa bilang kalau kami tidak mungkin bisa bersama. Aku cuman menanggapi ucapannya dengan tersenyum miris, sedangkan dia malah terkekeh seakan itu tadi memang cuman sebuah bualan semata.
"Kerja, jangan pacaran mulu." cibir seseorang yang aku tahu suara siapa dia.
Mbak Tari yang baru turun dari mobil CVT hitamnya dengan pakaian formal melirik ke arahku diiringi tersenyum miring.
Aku diam-diam mencibirnya saat dia sudah berjalan beberapa langkah di depan. Pandanganku teralih lagi pada Reksa, tatapan laki-laki itu terpaku pada Mbak Tari yang hari ini memakai long dress warna peach lengan sabrina yang dipadaukan dengan high heels warna silver.
"Kamu kenal Mbak Tari?" tanyaku sambil menurunkan tangannya perlahan yang masih berada di atas kepalaku.
Tampak raut keterkejutan dari wajah Reksa. Lalu berubah semringah saat iris matanya beradu pandang denganku. Dia berubah terkekeh lirih, membuatku berjalan mundur sedikit demi sedikit.
"Cemburu?" tanyanya dengan nada mengejek sambil menarik tanganku untuk mendekat kembali.
"Nggaklah!" balasku ngengas.
Reksa mengulum bibirnya, kedua tangannya terlurur menyentuh pipiku dan menekannya sampai membuat bibirku mengerucut. Dia tertawa kesenangan, sedangkan aku hanya pasrah sambil melihat binar matanya yang tampak lebih baik.
"Pengen nyium deh," gumamnya setelah menjauhkan tangannya dari pipiku.
"Boleh kan?" tawarnya sambil memajukan wajahnya. Aku meronta sambil memukul kedua lengannya yang sudah bertengger di kedua bahuku.
"Belum juga diapa-apain." cibirnya yang aku balas tatapan sengit.
"Minta sana sama Sania," ucapku asal mulai berjalan meninggalkannya.
"Kenapa Sania?" tanyanya terdengar pelan tapi cukup menusuk di telinga kiriku. Dia memelukku dari belakang dengan dagunya ditaruh di atas bahuku.
"Lepas, banyak orang," desisku berusaha melepaskan pelukannya.
Reksa menggeleng dia kembali bergumam, "Kalau nggak banyak orang, boleh dong lebih dari ini?"
Sinting. Dalam hati aku mengumpatinya lebih dari kata itu.
"Apa sih Sa," desisku kembali berusaha melepaskan pelukannya yang malah semakin mengerat.
"Bercanda," kekehnya sambil mengurai dan melepaskan pelukannya. Reksa memutar tubuhku, sekarang kembali berhadapan lagi dengannya.
Dia mengambil sesuatu dari kantong hoodie hitamnya.
"Origami anjing," gumamku. "Kamu nyamain aku sama anjing?" Kini aku sepenuhnya melotot ketika origami itu sudah berpindah tangan padaku.
"Iya, soalnya cuman kamu yang setia di saat aku lagi down," jawabnya diiringi tersenyum manis.
"Gombal banyak tuh di pasar." Aku mendengkus melihat origami anjing warna coklat di tanganku.
(Gombal=pakaian)"Siapa yang ngegombal," balasnya sambil memegang kedua bahuku kembali. "Anjing itu salah satu hewan yang setia, jadi boleh nggak kalau aku berharap kamu ngelakuin hal yang sama?" Reksa menatapku lekat, aku masih berusaha mencerna ucapannya.
"Bukankah harusnya aku yang ngomong kayak gitu," sahutku dengan kepala tertunduk.
Reksa mengangkat daguku perlahan, "Aku udah bilang kan, kalau ngomong jangan nunduk. Tatap mata aku," ucapnya lembut menatapku penuh kedamain.
"Aku nggak akan ninggalin kamu." Reksa menelengkan kepalanya ke arah kanan. Dia berbisik, "Siapapun itu, aku nggak akan biarin ada orang yang berusaha misahin kita."
Aku hanya mengangguk saja, terlalu sulit untuk mengeluarkan kata-kata.
"Udah sana kerja."
Dengan nggak sopannya dia membalik tubuhku dan mendorongku lumayan kencang. Untung aku bisa mengendalikan tubuhku segera dan nggak berakhir nyungsep. Aku berbalik sekadar untuk mengacungkan kepalan tangan ke arahnya yang malah dibalas dengan lambain tangan riang.
Di sela-sela kekehanku saat tanganku masih menggoyang-goyangkan origami anjing pemberiannya, ponselku bergetar.
"Halo."
["Bisa ketemu nanti habis kerja?"]
"Bisa sih, asal nggak lama."
["Okay, have a nice day Senja!"] sahutnya girang sebelum memutuskan sambungan telepon lebih dulu.
Aku tidak terlalu berpikir soal ajakan Sania yang terbilang mendadak. Pikiranku lebih tertarik pada sepasang manusia berbeda gender yang sekarang saling bersitatap tajam di dalam toko Mbak Tari.
Aku buru-buru bersembunyi di balik tembok toko sebelah ketika melihat tubuh Mas Angkasa keluar dari toko dengan tampangnya yang selalu datar.
Saat langkahnya sudah lumayan jauh, aku menghampiri Mbak Tari yang bersiap ikut menyusul langkah suaminya.
"Mau kemana Mbak?" tanyaku pelan saat atmosfer di sekitarnya memancarkan aura kurang menyenangkan.
"Keluar sebentar, titip toko," sahutnya tanpa melihatku.
Mbak Tari berjalan dengan langkah pelan dan cukup anggun. Berbeda sekali dengan keseharinya yang terlihat biasa saja tanpa memperdulikan penampilan dan langkah kakinya.
Apa semua orang memang seperti itu. Senang bermain peran dan bersandiwara di hadapan orang-orang yang cukup berarti di dalam kehidupannya.
Sania sudah datang terlebih dahulu dengan segelas milshake strawberry yang sudah tandas setengah gelas. Aku menghampiri perempuan itu yang selalu sibuk sendiri dengan ponselnya."Hay Senja!" sapanya dengan mata berbinar ketika melihatku yang sudah berdiri di hadapanya. Aku hanya mengulas senyum tipis, kemudian duduk setelah dipersilahkan."Mau minum apa, atau makan apa gitu?" tawarnya dengan tangan terangkat sedikit di balik meja siap memanggil waitress."Nggak. Nggak usah.""Tapi kata Panji kalau ngajak kamu jalan jangan lupa dikasih makan," adunya dengan bibir mengerucut yang malah menambah kesan imut di wajahnya.Aku terkekeh. "Nggak usah didengerin," sahutku sambil mengibaskan tangan pelan.Sania ikutan terkekeh, wajahnya masih muram seperti punya banyak beban pikiran. Dia hanya memutar-mutar sedotan milshake-Nya."Kenapa?" tanyaku pelan."Kamu sama Panji saling suka kan ya?" tanyanya yang membuatku sediki
Ketika membuka pintu kos, aku mendapati sebuah kantong kresek hitam di atas meja. Tanganku terjulur untuk meraih, lalu mengintip isinya. Ada sekotak streoform dengan selembar kertas kecil yang di lipat satu sisi di atasnya. Sambil berlalu masuk ke dalam, aku membaca isi kertas itu. Soal tadi malam aku minta maaf, di makan ya, walaupun cuman aku pungut dari pinggir jalan. Nggak bisa ngantar kerja hari ini, aku harus ke kampus sebelum kena tendang. Aku terkekeh setelah membaca tulisannya yang selalu rapi untuk ukuran cowok. Kotak streofrom itu isinya bubur ayam yang masih hangat. Berarti Reksa tadi belum lama dari sini, kenapa nggak ketuk pintu saja. *** Setelah selesai sarapan aku baru menjalankan ritual mandi. Sampai tahap dalam memilih baju, aku dibuat berhenti sejenak. Perlahan tanganku meraih dan membuka paper bag pemberian Mas Dhika. Ada baju blouse warna kuning kunyit dengan aksen tali di bagian pinggangnya. Terlihat manis dengan lengan pen
Bolpoin di sela-sela jari telunjuk dan ibu jariku masih aku ayun-ayunkan naik turun. Isi kepalaku begitu penasaran tentang apa yang terjadi di dalam rumah tangga Mbak Tari dan suaminya. Bukannya aku mau ngegosip ya, tapi ini sekadar informasi yang aku tahu saja. Mereka menikah karena perjodohan dua keluarga yang sudah lama bersahabat. Sewaktu aku datang ke pernikahannya Mbak Tari sekitar satu tahun lalu, hanya senyum paksa yang coba ditampilkan olehnya. Apalagi Mas Angkasa, wajahnya yang selalu tampil datar dengan mata setajam Mbak Tari itu hanya mengulas senyum tipis. Dua orang dengan kepribadian yang hampir sama, lalu disatukan dalam satu atap, kira-kira menjalani rumah tangganya seperti apa.Bibirku mendesis saat ada yang menyentil dahiku kuat. Nggak Mbak Tari, Reksa, apalagi Tanti kenapa sih mereka kayak punya dendam kesumat setiap melihatku sedang meditasi."Nggak pulang?" tanyanya sebelum melangkah ke bagian loker karyawan.Aku melihat jam tangan yang terp
Bukan Reksa kalau pikirannya tidak out of the box. Sekarang aku malah diajak berkeliling jalan di sekitar lampu merah untuk mengamen. Iya mengamen, dia membawa ukulele yang di pinjamnya dari anak jalanan, sementara aku menegadahkan bucket hat warna cream polos pada setiap pengguna kendaraan. Kalau tidak memakai masker, habis ini aku bakal melakukan operasi plastik, itupun kalau ada biayanya. Aku nggak habis pikir sama Reksa, dengan suara yang lumayan bisa dibilang enak di dengarkan, dia terlihat senang sekali menyanyikan lagu-lagu dari Hindia. Kau datang saat gelapku merekah Seluruh hatiku untukmu Meidiana Reksa menatapku dengan senyuman, aku balas tersenyum. Walaupun tidak kentara karena terhalangi masker. Kau pantas dapatkan yang baik di dunia Semoga kita bertahan lama .... Dalam hati aku mengaminkan. Beberapa pengendara terpaku pada suara Reksa, apalagi kaum hawa. Ada yang diam-diam merekamnya dengan binar mata penuh kekagum
"Mbak, beneran nggak ada lagi warna yang lain?"Harus berapa kali sih aku jelasin, kalau warnanya cuman tinggal itu doang. Astaga, nggak tahu apa ya kalau kepala, telinga, dan lubang hidungku ini udah keluar asap tak kasat mata.Biarlah batinku yang mewakili, faktanya sekarang aku malah masih mengembangkan senyum ramah sembari berbicara, "Udah nggak ada Mbak, itu celana import tinggal satu-satunya."Perempuan dengan pakaian jumpsit jeans yang dipadaku dengan kaos putih pendek sebagai dalaman itu, sekarang masih memutar-mutarkan tubuhnya di depan standing mirror."Tapi lihat dong Mbak." Dia menujuk celana yang masih diletakkan di depan tubuh sejajar dengan pinggangnya. "Nggak kayak anak SD apa kalau aku pake celana warna ini?" tanyanya terdengar merengek tanpa menoleh ke arahku.Aku menghampirinya, berhenti di belakang mbak jumpsit sambil memegang kedua pundaknya, siap menerapkan ilmu penghasutan. "Nggak sama Mbak, lihat deh warnanya aja lebih
Setelah Reksa mengantarku pulang ke kosan, aku harus kembali berangkat bekerja lagi demi cuan yang harus mengalir terus. Hanya dengan berjalan kaki saja, aku sudah sampai di tempat pekerjaan sampinganku."Sore menjelang malam Mas," sapaku pada Mas Dhika, pemilik angkringan dan tentunya bosku.Mas Dhika cuman tersenyum, dia menyuruhku untuk mengambilkan barang dagangannya yang masih berada di belakang."Berat nggak?" tanyanya sudah berada di belakangku yang masih berusaha mengangkat baskom ukuran sedang. Berisi nasi kucing, aneka gorengan, dan sate-satean.Mas Dhika membantuku, bukan di depanku dengan cara mengangkat sisi lainnya, tapi di belakangku seperti memelukku. Tangannya terlurur menelingkupi peganganku pada baskom. Tentu saja aku langsung mengelak, sedangkan Mas Dhika segera mengambil alih baskom yang sudah kembali aku letakkan di atas meja kayu. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, dia berjalan menuju ke depan lagi."Ada yang bisa aku bant
Reksa segera merengkuhku, membiarkan Reyhan segera melepaskan cekalannya. Dia mengajakku berjalan meninggalkan angkringan sambil menggumamkan kalimat, "Ada aku" berulang kali. Reksa menatapku, jempol tangannya terulur mengusap lembut pipiku sebelah kanan, aku tersenyum samar. Dengan gerakan pelan, dia melepaskan jaket denim yang masih menelingkupi bahuku, dengan langkah lebar Reksa berjalan kembali menuju angkringan.Aku hanya menunduk, tidak tahu apa yang akan Reksa lakukan. Tapi begitu mendengar umpatan keras darinya, kepalaku menegak dengan pandanganku menoleh ke angkringan."Cuk! Sampai ada apa-apa lagi sama Lembayung, habis kamu," ucapnya dengan tatapan nyalang. Dia berlalu dari sana setelah menedang keras kursi panjang di angkringan Mas Dhika hingga bergeser.Reksa berjalan ke arahku sembari mengembangkan senyum. Perlahan melepas jaket boombernya, menyisahakan dalaman kaos hitam bergambar kartun one piece. Ketika tangannya membantu memakaikan jaket d
"Jadi gimana Sa?"Mulai Tante Maurin dengan tersenyum hangat ke arah sepasang manusia berbeda gender yang sekarang sudah melepas pelukannya."Apasih Ma." Sania tampak tidak suka dengan arah pembicaraannya. "Itu privasi kami, iya kan Ji?" tanya Sania ke arah Reksa yang ekor matanya masih mencuri-curi pandang ke arahku."Hm.""Yaudah, tapi jangan lama-lama ya. Mama pengen cepat-cepat pakai kebaya yang udah jadi," ujar Tante Maurin. Di wajahnya terkembang senyum lebar, seakan membayangkan tubuh sedikit berisinya itu memakai kebaya yang akan mencetak jelas lekuk tubuhnya.Kenapa aku jadi hobi julidin hidup orang begini sih."Nanti kamu datang ya ke acara tunangannya Sania," ujarnya sambil meletakkan tangannya di atas pahaku. Bukan hanya sebatas memegang, tapi meremasnya pelan.Perlahan aku menurunkan tangannya itu, membalas senyuman palsunya tak kalah lebar, "Pasti dong Tan, nanti banyak makanannya kan, di sana?" tanyaku balik denga