Adam POV
.
.
.
Malam semakin memanas di lapangan Badminton. Semangatku semakin terpompa dan membara mengalahkan semua lawan-lawanku. Smash demi smash kuberikan hingga tak satupun dari mereka yang berkutik menghadapiku. Bagai para anak itik yang diterkam elang, mereka meronta, memohon. Tetapi aku tidak melepaskan mereka.
“Brengsek kau Dam!” Suara para lelaki mengumpatku. Tidak begitu serius, mereka hanya meluapkan kekesalannya karena kalah bertanding.
Tersenyum aku menjawab mereka sembari mengambil sebotol air mineral dingin yang diulurkan kepadaku. Segar, itu yang kurasakan kala tanganku menyentuh botol dingin itu.
“Thanks San,” ucapku kepada sahabatku Sandra, seorang wanita diantara geng kami.
“Sama-sama Dam,” sahutnya dengan penuh kelembutan, “Oh, iya. Aku pinjam raketmu ya?” tanpa basa-basi Sandra langsung saja menyambar raket yang kupegang.
Seperti biasa, Sandra selalu lupa membawa raketnya dan dia meminjam milikku seusai aku bermain. Alhasil, aku selalu menunggunya selesai, baru setelahnya aku bisa pulang ke rumah. It’s oke! Tidak masalah buatku. Lagipula besok adalah akhir pekan. Tidak ada pekerjaan dan tidak ada acara kantor. Aku bisa menikmati malam ini dengan sedikit lebih santai.
“Sialan kau Dam!” Suara sahabatku yang lain mengagetkanku. Hendry, dengan wajah memerahnya telah bersiap untuk memukul lenganku.
"Aww... Slow bro," ucapku memohon maaf atas kekhilafanku di pertandingan tadi. Dari awal, dia memang sudah kalah telak. Tentu aku tidak bisa disalahkan atas kekalahannya. Aku kemudian terkikih melihat wajahnya yang penuh keringat itu. “Ckck … santai kawan. Kita masih bisa bermain lagi. Apa kau mau tanding ulang?” tantangku kepadanya. Mungkin, sekali lagi dia mau mencoba? batinku sedikit menggodanya.
“Brensek! Kau mengejekku Dam? Cih!” Henry berdesis meluapkan kekesalannya. Meskipun begitu, ia tetap memberiku sekaleng soda dingin dengan butiran-butiran air es yang mengitarinya.
Pertandingan mempererat persahabatan kami semua. Kami tidak pernah bertengkar dan kami tidak pernah mencampuri urusan pribadi masing-masing. Bahkan, aku sendiri tidak tahu apakah semua sahabatku sudah menikah atau belum. Dan begitupun dengan mereka. Oh, tunggu, kecuali Sandra. Dia belum menikah, aku tahu akan hal itu. Tentu saja, dia adalah rekan kerjaku di kantor. Jadi, aku mengetahuinya.
Mengambil kaleng soda dari tangan Henry, aku langsung membukanya. “Thanks Bro,” ucapku kepadanya yang telah duduk disampingku.
Bersama, kami lalu memperhatikan Sandra. Dia begitu energik dan ya, meskipun dia wanita tetapi kemahirannya menyamai kami para kaum laki-laki yang ada disana. Begitulah Sandra!
“Wuhu! Ayo San!” teriak kami bersama-sama.
Dengan nyaring, kami semua menyorakinya bersamaan dengan suara tepuk tangan disertai dengan keriuhan yang berasal dari botol-botol bekas yang saling bertabrakan. Kami semua memberi semangat hingga Sandra mengedipkan satu matanya ke arah kami.
“Fokus San!” sahutku mengingatkannya.
Sandra kembali menyunggingkan senyumnya dan hal itu membuat Tomy jatuh bangun dibuatnya. “Aduh, San … jantungku berdebar karena senyumanmu.” Rayu Tomy di-ikuti canda tawa kami semua.
Tetapi tidak dengan Sandra! Wanita itu malah memandangku dan membuang wajahnya seakan-akan aku berbuat salah. Hey! Itu Tomy. Bukan aku! Batinku sembari menaikkan bahuku. Sandra memang selalu begitu. Setiap kali anggota kami mengganggunya, ia selalu saja menyalahkanku.
****
Tanpa terasa malam telah semakin larut. Suasana di lapangan telah mencapai puncaknya dan akhirnya Sandra menyelesaikan pertandingannya. Tentu saja, kemenangan ada ditangannya dan itu membuat kami semua tertawa lepas.
Gemuruh dan riuh memenuhi lapangan itu. Suara teriakan-teriakan saling sahut menyahut meluapkan semua rasa stress ditempat kerja yang mereka semua dapatkan. Sama seperti diriku, sebagian besar anggota club ini adalah kalangan menengah atas yang sangat sibuk dengan urusan-urusan bisnis mereka. Dengan ber-olahraga, kami semua terhibur dan bisa menyalurkan semua rasa penat seminggu yang telah berlalu.
Tetapi sepertinya tidak begitu yang dirasakan oleh Henry. Sedari tadi ia tampak gelisah. Aku heran dengannya.
“Hey bro, kau kenapa?” tanyaku kepadanya yang telah menenteng tas dibahunya.
“Guys, you all. Sorry banget. Malam ini sepertinya aku tidak bisa ikut hang-out buat mid-night snack,” sahutnya kemudian kepada kami semua yang telah berkumpul.
“Ah, its’s Ok,” Jawabku kepada Henry.
“What’s up man? Kenapa buru-buru sih?” Tomy menyela diantara percakapan kami.
“Ah biasa. Ini sudah terlalu malam dan aku harus segera pulang,” sahutnya langsung berlalu begitu saja.
Aku tidak begitu menghiraukan ucapannya. Sejak dahulu pada masa kuliah, diantara kami, memang dialah yang selalu pulang terlebih dahulu.
Berlalu dari sana, kami yang masih tersisa lalu pergi ke sebuah café dan menikmati malam dengan obrolan-obrolan ringan seputar masa-masa menyenangkan ketika kami kuliah dulu.
Nostalgia itu begitu seru. Aku bahkan masih ingat bahwa rambut Tomy pernah dijatuhi kotoran burung. Ckck … sontak semua tertawa dengan kopi panas ditangan mereka masing-masing. Kecuali Sandra, dia tidak suka kopi, tetapi lebih suka susu hangat. Dan aku selalu memesankannya segelas susu dengan rasa strawberry di dalamnya.
****
Adam POV...Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sump
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba
Adam POV...Pagi terasa begitu dingin menerpa wajahku yang terlihat sedikit kusut. Di depan cermin mobilku, aku melihat rambut-rambut pada dagu dan kumisku yang mulai tumbuh. Biasanya, setiap dua hari sekali, Maharani selalu memaksaku untuk bercukur. Tetapi tidak kali ini. Aku bahkan tidak mengetahui keberadaan alat cukurku, dan juga tidak tahu dimana foamnya berada. Ah sudahlah! batinku. Namanya juga lelaki.Sambil menunggu Sandra di depan rumahnya, aku lalu mengecek ponsel milikku. Rasanya hampa dan kosong manakala tidak ada satu pesanpun darinya. Biasanya, dia selalu cerewet. Tetapi tidak kali ini. Sesaat, ada kerinduan di dalam hatiku kepadanya. Tetapi sekali lagi, perasaan itu kembali aku lawan.“Hai Dam, kamu sudah sampai rupanya,” sapa Sandra kepadaku dengan senyum sumringahnya.“Iya San. Tumben kamu minta dijemput. Biasanya juga berangkat sendiri,” celetukku karena Sandra dari kemarin terus saja meng
...Mas Adam melihatku dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Sepertinya dia terkejut dengan perubahan yang aku lakukan. Matanya menyipit, alisnya sedikit naik, dan dahinya berkerut. Aku bisa memastikan arti pandangan itu. Benar, dia tidak suka!“Apa yang kamu pakai itu Ran?” tanyanya kepadaku.Tubuhnya menjulang tinggi dan berdiri tegak tepat di depanku yang baru saja turun dari mobil Winda. Dia pasti menungguku karena ini adalah pertama kali aku ke kantornya.“Rok mini Mas, apakah ada masalah? Mas sudah melihatnya, jadi ironi sekali kalau masih bertanya,” jawabku dengan ketus.“Pulang!” serunya dengan suara baritonnya, “Ganti pakaianmu,” perintahnya seraya menudingkan jari telunjuknya ke rok yang aku kenakan.Cih! hatiku mengejek Mas Adam. Dia pasti ingin aku tampil ala kadarnya dengan penampilan yang mengenaskan. Hidup menderita karena ditinggalkannya. Oh! Hello? Tid
...Tempat kerja Mas Adam lumayan luas. Ada dua resepsionis di ruang depan, beberapa cleaning service berseragam hitam, dan juga belasan karyawan yang duduk di meja bersekat-sekat di dalam sana. Mereka semua berpakaian rapi dengan laptop dan perangkat lunak di depan mereka. Tentu, aku merasa asing dengan suasana formal disana. Jadi aku sedikit gugup dan tanganku berkeringat.Seraya mengikuti langkah kaki Mas Adam, sesekali aku melirik ke kanan dan ke kiri. Di sepanjang jalan menuju ke kantornya, ada begitu banyak pasang mata yang mengikuti kami. Aku terheran-heran apakah ada yang salah dengan diriku sebelum akhirnya aku mendengar seseorang berceletuk.“Eh, siapa cewek itu?” kata seorang karyawan berpakaian merah kepada teman disebelahnya.“Engga tahu, mungkin karyawan baru,” sahutnya dengan nada bicara yang membuatku tidak nyaman.“Wah, saingan baru kita nih,” timpal yang lainnya.“En