.
.
.
“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku," dapat kudengar dengan jelas suara Mas Adam. Kamar kami bersebelahan.
Hembusan AC di kamarku terasa begitu dingin, menusuk ke tulang-tulang. Sama dengan perkataan Mas Adam yang tidak sengaja terdengar barusan. Aku akan disingkirkan. Entah mengapa, rasa sakit bercampur marah kembali menggerogoti jantungku. Tidak terasa air mataku kembali bercucuran. Mas Adam memang sudah tidak menginginkanku lagi. Aku merasa tertolak, tetapi apa yang bisa kulakukan?
Kembali menutup tubuh telanjangku dengan daster, aku lalu keluar hendak menyiapkan makan malam. Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti di ambang pintu kala suara baritonenya memanggilku.
“Rani, Mas mau pergi,” katanya dengan tegas.
Aku meliriknya sekilas dan kulihat dia sudah berpakaian sangat tampan dengan pakaian badmintonnya. Pasti, dia akan main badminton lagi sampai larut malam bersama kawan-kawannya. Biasanya, melihat hal itu aku akan langsung naik pitam apabila dia memaksa untuk pergi dengan gerombolannya sementara aku hanya sendirian di rumah.
Tetapi masih bisakah aku marah? Sebentar lagi kami juga akan bercerai. 3 Bulan usaha mediasi hanya akan mengulur waktu perceraian itu. Tetap saja, kami akan bercerai. Di hati suamiku sudah tidak ada aku. Bukan barusaja, tetapi aku memang sudah hilang dari benaknya sejak beberapa tahun silam. Bodohnya aku karena baru menyadarinya.
“Aku tidak masalah. Pergilah Mas,” sahutku memandang wajah Mas Adam.
Sejenak dia menatap ke arahku dengan ragu. Tetapi sepertinya dia senang dengan jawaban yang didengarnya. Mungkin, itulah yang selama ini dinantikannya. Kehidupan bebas, tidak ada ocehan, tidak ada larangan, dan tidak ada orang sepertiku yang mengawasinya. Mungkin dengan melepasnya, dia akan bahagia dan begitupun dengan diriku.
“Jangan tunggu aku pulang,” terangnya melewatiku begitu saja. Bagai dikejar hantu, dia lekas-lekas pergi. Mungkin dia berpikir bahwa aku akan mengomel dan berubah pikiran hingga dia sebegitu cepatnya melangkahkan kakinya.
****
Malam telah semakin larut dan Mas Adam belum juga pulang dari olahraga Badmintonnya. Ya, dia hanya bisa melakukan hobinya itu di malam hari karena paginya dia sibuk bekerja. Biasanya aku akan membawa kemoceng di depan pintu dan bersiap untuk memukulnya tepat saat dia pulang jam 12 malam. Tetapi mulai malam ini hal itu tidak lagi kulakukan. Tadi pagi aku mengingat dengan jelas kata-kata mas Adam.
“Setelah hari ini kita tidak saling terikat. Jangan ikut campur lagi urusanku. Uruslah dirimu sendiri, Rani. Aku berharap kau menemukan jodoh lain,” ucapnya sebelum kami memasuki ruang pengadilan.
Aku menangkap jelas arti kata-katanya itu. Meskipun perceraian kami masih dalam proses, tetapi baginya, kami bukanlah sepasang suami-isteri lagi. Perkataan itu menusukku begitu dalam. Sebegitukah dia ingin segera terlepas dariku? Dalam keheningan malam di lantai dua, aku kembali menangis dan mencoba melupakan perkataan itu.
Rasanya aku ingin menghubungi ayahku. Aku ingin memeluknya, dan aku ingin menangis dalam dekapannya. Tetapi aku tidak bisa melakukannya. Beliau memiliki penyakit jantung dan aku harus menjaga hatinya itu. “Hiks … Hiks …,” sekali lagi, air mataku turun membasahi kedua pipiku. Tidak terbendung lagi, bagai aliran anak sungai, air mata itu semakin lama semakin membeludak membanjiri seluruh bantal yang ada di bawah kepalaku.
“Ayah … aku minta maaf. Aku tidak sanggup lagi memegangnya. Aku melepasnya,” gumamku yang hanya bisa kudengar sendiri di sela-sela isakanku.
Pernikahanku telah gagal.
Pernikahanku telah gagal.
Pernikahanku telah gagal.
Isi pikiranku dipenuhi dengan kata-kata itu. Sebentar lagi, aku bukan lagi seorang isteri dari Adam Kanzani. Aku tidak akan lagi dipanggil Bu Adam. Dan aku tidak berhak lagi untuk mengatur semua hal di rumahnya.
Mengusap air mataku, aku yang hanya wanita tidak berpendidikan, masih tahu diri. Kami hanya tinggal menunggu surat cerai, lalu untuk apa aku berlama-lama disana? Bergegas aku mengusap air mataku dan mulai mengemasi barang-barangku. Satu persatu, seluruh ruangan itu aku susuri. Aku mengambil barang milikku dan meninggalkan barang-barang milik pria itu.
Disela-sela kesibukanku aku menghubungi sahabatku, Winda. Hanya dia harapanku saat ini.
“Iya Ran, ada apa? Tumben malam-malam menghubungiku,” tanya Winda penasaran.
Winda adalah sahabat SMA-ku. Sebelum menikah, kami dahulu selalu pergi bersama-sama. Sayangnya, aku menikah duluan dan dia melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang sangat tinggi. Setelah itu, kami begitu jarang bertemu. Tetapi sekarang, aku terpaksa menghubunginya. Selain dia aku tidak memiliki tujuan lainnya.
“Win …,” kataku mencoba menahan nada bicaraku yang telah mulai begetar, “Win …,” sekali lagi aku mencoba tetapi aku tidak bisa lagi membendung isakanku yang begitu saja terlepas.
“Rani, ada apa? Cepat katakan Ran? Apa kau sakit atau bagaimana?” Winda bertanya dengan begitu cemasnya.
Tidak ada lagi yang bisa kusembunyikan dari sahabatku itu. Meskipun malu, tetapi itulah fakta yang harus kuhadapi saat ini.
“Aku cerai Win,” sahutku dengan suara tangis yang pecah begitu saja. Aku begitu sedih dan Winda sepertinya juga bisa merasakannya.
“Astaga Ran. Lalu dimana kau sekarang?” tanyanya dengan begitu khawatir.
“Aku masih di rumah Win. Aku sedang mengemasi barang-barangku. Apakah kau bisa menjemputku Win?” dengan nada lirih, aku memohon kepadanya.
“Tentu saja Ran, aku akan kesana sekarang juga,” katanya langsung menutup sambungan telepon kami.
Setelah selesai memasukkan ponsel milikku ke dalam tas kecil kesayanganku, aku lalu mengarahkan pandanganku ke seisi rumah itu. Semuanya terasa sedikit berbeda saat aku pertama kali masuk didalamnya. Sambil menunggu Winda, aku kemudian menata ulang perabot dirumah itu kembali seperti sedia kala. Sebelum aku ada disana. Sebelum aku mengubahnya. Dan sebelum aku masuk untuk menjadi isteri dari tuan rumahnya. Sebisa mungkin kuhapus semua jejakku. Bahkan sehelai rambutku-pun tidak kubiarkan jatuh di tempat itu.
Adam POV...Malam semakin memanas di lapangan Badminton. Semangatku semakin terpompa dan membara mengalahkan semua lawan-lawanku. Smash demi smash kuberikan hingga tak satupun dari mereka yang berkutik menghadapiku. Bagai para anak itik yang diterkam elang, mereka meronta, memohon. Tetapi aku tidak melepaskan mereka.“Brengsek kau Dam!” Suara para lelaki mengumpatku. Tidak begitu serius, mereka hanya meluapkan kekesalannya karena kalah bertanding.Tersenyum aku menjawab mereka sembari mengambil sebotol air mineral dingin yang diulurkan kepadaku. Segar, itu yang kurasakan kala tanganku menyentuh botol dingin itu.“Thanks San,” ucapku kepada sahabatku Sandra, seorang wanita diantara geng kami.“Sama-sama Dam,” sahutnya dengan penuh kelembutan, “Oh, iya. Aku pinjam raketmu ya?” tanpa basa-basi Sandra langsung saja menyambar raket yang kupegang.Seperti biasa, Sandra s
Adam POV...Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sump
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba
Adam POV...Pagi terasa begitu dingin menerpa wajahku yang terlihat sedikit kusut. Di depan cermin mobilku, aku melihat rambut-rambut pada dagu dan kumisku yang mulai tumbuh. Biasanya, setiap dua hari sekali, Maharani selalu memaksaku untuk bercukur. Tetapi tidak kali ini. Aku bahkan tidak mengetahui keberadaan alat cukurku, dan juga tidak tahu dimana foamnya berada. Ah sudahlah! batinku. Namanya juga lelaki.Sambil menunggu Sandra di depan rumahnya, aku lalu mengecek ponsel milikku. Rasanya hampa dan kosong manakala tidak ada satu pesanpun darinya. Biasanya, dia selalu cerewet. Tetapi tidak kali ini. Sesaat, ada kerinduan di dalam hatiku kepadanya. Tetapi sekali lagi, perasaan itu kembali aku lawan.“Hai Dam, kamu sudah sampai rupanya,” sapa Sandra kepadaku dengan senyum sumringahnya.“Iya San. Tumben kamu minta dijemput. Biasanya juga berangkat sendiri,” celetukku karena Sandra dari kemarin terus saja meng
...Mas Adam melihatku dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Sepertinya dia terkejut dengan perubahan yang aku lakukan. Matanya menyipit, alisnya sedikit naik, dan dahinya berkerut. Aku bisa memastikan arti pandangan itu. Benar, dia tidak suka!“Apa yang kamu pakai itu Ran?” tanyanya kepadaku.Tubuhnya menjulang tinggi dan berdiri tegak tepat di depanku yang baru saja turun dari mobil Winda. Dia pasti menungguku karena ini adalah pertama kali aku ke kantornya.“Rok mini Mas, apakah ada masalah? Mas sudah melihatnya, jadi ironi sekali kalau masih bertanya,” jawabku dengan ketus.“Pulang!” serunya dengan suara baritonnya, “Ganti pakaianmu,” perintahnya seraya menudingkan jari telunjuknya ke rok yang aku kenakan.Cih! hatiku mengejek Mas Adam. Dia pasti ingin aku tampil ala kadarnya dengan penampilan yang mengenaskan. Hidup menderita karena ditinggalkannya. Oh! Hello? Tid