.
.
.
Perasaanku begitu kacau. Sudah dengan sekuat tenaga aku berusaha melupakan Mas Adam. Tetapi pria itu … dia malah bersikap manis dan membuat jantungku berdetak kembali manakala dia memandangku. Dan seperti sekarang, aku bahkan dibuat tertarik untuk mencuri pandang kepada pria yang sedang membantu memperbaiki lampu yang padam di luar.
“Ehem!” sebuah suara tiba-tiba saja menyadarkanku.
Aku terkejut karena ibuku mendadak datang ke dapur dan menepukku dari belakang. “Eh, Ibuk kenapa ngagetin Maharani sih?” keluhku seraya meletakkan apel yang baru saja kucuci ke atas piring buah didepanku.
“Ran, kamu itu yang kenapa? Dari tadi ibuk manggil kamu tapi kamu itu malah fokus ngelirik suamimu terus dari jendela. Memangnya kamu engga puas apa liat dia siang-malam? Kayak lagi pacaran aja,” sahut ibuku yang dapat didengar oleh Mas Adam dari luar.
Aku menutup mulutku karena merasa sangat malu. Astaga, kenapa ibuk mengatakan hal itu sih?!
...Akhirnya aku menyetujui perkataan Mas Adam. Mau bagaimana lagi, Pak Hakim akan mengadakan inspeksi dan besok aku juga harus membayar arisan. Jadi, ya, aku tidak memiliki pilihan selain kembali ke rumah.Dan sekarang, kami telah masuk area perumahan kami. Suasananya cukup ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 19.00 malam. Beberapa anak muda terlihat sedang bersama-sama hendak pergi ke suatu tempat. Dan beberapa keluarga juga nampak sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Tak heran, ini adalah sabtu malam minggu. Waktu yang tepat bagi orang untuk bersenang-senang, batinku sebelum aku berbicara kepada Mas Adam.“Mas Adam, nanti mau pergi lagi?” tanyaku kepadanya.Ya, Mas Adam dahulu sering merasa terkekang karena aku selalu menuntutnya di rumah setiap malam minggu. Mengingat itu, aku jadi merasa sedih. Jadi aku sekarang sudah menyiapkan hati andaikala dia ingin bersama dengan teman-temannya.“Engga Ran,&r
...Hidup tidak melulu seperti dongeng. Dalam cerita fantasi, pernikahan adalah sebuah akhir dari perjalanan cinta. Dimana-mana ada hamparan bunga penuh warna. Matahari berkilauan bagai permata. Begitu indah dan mengagungkan. Tetapi tidak dengan kisah kami. Kebahagiaan itu hanyalah sebuah bayangan semu yang samar-samar nampak. Mudah ditiup oleh hembusan angin dan menguap begitu saja bersama mimpi. Jangankan hamparan bunga, kebun ilalang disebelah rumah, rasanya lebih baik daripada kehidupan pernikahan kami.Hampa tak berasa. Pahit bagai biji mahoni. Berisik setiap hari bagai suara kucing yang mau kawin. Aku tentu saja merasa jengah dengan semua itu. Dan aku rasa, begitupun dengan dirinya.“Aku mau cerai,” kataku dengan begitu yakin kepada hakim mediator di depanku.Dia hanya terdiam dan menatapku dari ujung kaki ke ujung rambut. Sepertinya dia sedikit ragu. Beberapa kali bahkan dia tampak menghela nafasnya dengan berat. Hingga
...Maharani. Itulah namaku. Dulu aku tidak tahu yang namanya kehidupan. Setelah lulus bangku SMA, tiba-tiba saja seorang pengusaha muda melamarku. Ckck … waktu itu aku masih berusia 18 tahun. Apa yang kutahu tentang kehidupan? Begitu polos dan lugu aku menerima lamarannya. Meninggalkan mimpiku dan rencana kuliahku, hanya untuk hidup sebagai isteri dari Adam Kanzani.Cinta. Dulu aku tergiur olehnya. Hanya satu bulan berkenalan kemudian kami menikah. Dikala itu aku bahagia dan semua orang tertawa, menyangka bahwa kehidupanku akan berubah layaknya cerita putri Cinderella. Tetapi siapa yang menyangka jika di dalamnya, bukan kemewahan yang kudapat. Bukan manis madu, dan juga bukan rangkaian bunga!Penuh kepalsuan. Cintanya kepadaku tidak begitu dalam bagai embun pagi yang menetes dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan! Rapuh dan tidak bisa digenggam. Andai aku dulu tahu akan menjadi seperti ini, mungkin aku tidak akan tergiur dengan paras ta
...“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku," dapat kudengar dengan jelas suara Mas Adam. Kamar kami bersebelahan.Hembusan AC di kamarku terasa begitu dingin, menusuk ke tulang-tulang. Sama dengan perkataan Mas Adam yang tidak sengaja terdengar barusan. Aku akan disingkirkan. Entah mengapa, rasa sakit bercampur marah kembali menggerogoti jantungku. Tidak terasa air mataku kembali bercucuran. Mas Adam memang sudah tidak menginginkanku lagi. Aku merasa tertolak, tetapi apa yang bisa kulakukan?Kembali menutup tubuh telanjangku dengan daster, aku lalu keluar hendak menyiapkan makan malam. Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti di ambang pintu kala suara baritonenya memanggilku.“Rani, Mas mau pergi,” katanya dengan tegas.Aku meliriknya sekilas dan kulihat dia sudah berpakaian sangat tampan dengan pakaian badmintonnya. Pasti, dia akan main badminton lagi sampai larut malam bersama kawan-kawannya. Biasanya, melihat ha
Adam POV...Malam semakin memanas di lapangan Badminton. Semangatku semakin terpompa dan membara mengalahkan semua lawan-lawanku. Smash demi smash kuberikan hingga tak satupun dari mereka yang berkutik menghadapiku. Bagai para anak itik yang diterkam elang, mereka meronta, memohon. Tetapi aku tidak melepaskan mereka.“Brengsek kau Dam!” Suara para lelaki mengumpatku. Tidak begitu serius, mereka hanya meluapkan kekesalannya karena kalah bertanding.Tersenyum aku menjawab mereka sembari mengambil sebotol air mineral dingin yang diulurkan kepadaku. Segar, itu yang kurasakan kala tanganku menyentuh botol dingin itu.“Thanks San,” ucapku kepada sahabatku Sandra, seorang wanita diantara geng kami.“Sama-sama Dam,” sahutnya dengan penuh kelembutan, “Oh, iya. Aku pinjam raketmu ya?” tanpa basa-basi Sandra langsung saja menyambar raket yang kupegang.Seperti biasa, Sandra s
Adam POV...Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sump
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...Akhirnya aku menyetujui perkataan Mas Adam. Mau bagaimana lagi, Pak Hakim akan mengadakan inspeksi dan besok aku juga harus membayar arisan. Jadi, ya, aku tidak memiliki pilihan selain kembali ke rumah.Dan sekarang, kami telah masuk area perumahan kami. Suasananya cukup ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 19.00 malam. Beberapa anak muda terlihat sedang bersama-sama hendak pergi ke suatu tempat. Dan beberapa keluarga juga nampak sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Tak heran, ini adalah sabtu malam minggu. Waktu yang tepat bagi orang untuk bersenang-senang, batinku sebelum aku berbicara kepada Mas Adam.“Mas Adam, nanti mau pergi lagi?” tanyaku kepadanya.Ya, Mas Adam dahulu sering merasa terkekang karena aku selalu menuntutnya di rumah setiap malam minggu. Mengingat itu, aku jadi merasa sedih. Jadi aku sekarang sudah menyiapkan hati andaikala dia ingin bersama dengan teman-temannya.“Engga Ran,&r
. . . Perasaanku begitu kacau. Sudah dengan sekuat tenaga aku berusaha melupakan Mas Adam. Tetapi pria itu … dia malah bersikap manis dan membuat jantungku berdetak kembali manakala dia memandangku. Dan seperti sekarang, aku bahkan dibuat tertarik untuk mencuri pandang kepada pria yang sedang membantu memperbaiki lampu yang padam di luar. “Ehem!” sebuah suara tiba-tiba saja menyadarkanku. Aku terkejut karena ibuku mendadak datang ke dapur dan menepukku dari belakang. “Eh, Ibuk kenapa ngagetin Maharani sih?” keluhku seraya meletakkan apel yang baru saja kucuci ke atas piring buah didepanku. “Ran, kamu itu yang kenapa? Dari tadi ibuk manggil kamu tapi kamu itu malah fokus ngelirik suamimu terus dari jendela. Memangnya kamu engga puas apa liat dia siang-malam? Kayak lagi pacaran aja,” sahut ibuku yang dapat didengar oleh Mas Adam dari luar. Aku menutup mulutku karena merasa sangat malu. Astaga, kenapa ibuk mengatakan hal itu sih?!
Adam Pov...Malam telah berganti pagi di kediaman mertuaku di Bandung. Samar-samar, aku dapat mendengar suara nafas Maharani yang mengalun begitu lembut. Aku tahu dia begitu lelah, karena dini hari tadi aku sempat membangunkannya untuk sekedar berciuman hingga akhirnya aku khilaf dan hampir saja menidurinya andai saja dia tidak mengatakan bahwa dirinya sedang datang bulan.Dan lihatlah, sekarang leher putihnya itu sudah penuh dengan tanda kebiruan. Hanya saja, aku belum begitu puas karena Maharani terus saja berusaha menutupi bagian dadanya yang sedari sebulan lalu sudah membuatku sangat penasaran itu.Ah! Tidak apa-apa! Mungkin sekarang memang belum waktunya bagiku untuk meminta lebih. Jadi aku tidak ingin memaksanya, batinku merasa yakin bahwa hubungan kami akan kembali seperti semula.Sejenak, aku mengamatinya tidur. Isteriku itu sebenarnya memang sangat cantik. Alisnya begitu tebal dan terbentuk secara alami. Bulu matanya begit
...Dari jendela lantai atas, aku dapat melihat Mas Adam dan para pria bercengkerama dengan begitu asyiknya. Ah, aku tidak ingin mengganggu mereka. Jadi tadi aku dan ibu memilih makan di dapur sambil bercerita singkat.Dan sekarang, aku bingung sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sebentar lagi, para bapak-bapak itu akan pulang dan Mas Adam akan naik ke lantai atas. Lalu bagaimana ya kalau Mas Adam tahu kalau aku akan tidur sekamar dengan dia? Batinku.Sambil menggigit jariku, aku berpikir serius. Aku yakin Mas Adam tidak akan suka jika aku tidur sekamar dengan dia. Aku masih ingat, 3 tahun lalu dia mengatakan bahwa dia lebih suka tidur sendiri karena aku hanya akan mengganggunya tidur.Memang benar sih! Dulu aku selalu saja menggelendoti dia. Kalau dia tidur, aku suka memeluk dia dengan erat sampai dia merasa kepanasan dan susah bernafas. Tapi mau bagaimana lagi? Aku dulu kan memang mencari perhatiannya.Mengingat it
...Setelah Maharani pergi, Bapak terlihat menghela nafasnya dengan berat. Sambil membolak-balikkan ayam bakar itu kembali, Bapak kembali berbicara denganku.“Maharani itu masih kecil, Dam,” ujar Bapak secara tiba-tiba kepadaku. “Teman-teman seumurannya banyak yang masih main-main, jadi kalau Maharani kurang melayani kamu sebagai isteri, Bapak harap kamu bisa mengerti,” tambah Bapak.Mendengar itu, aku menggelengkan kepalaku pelan. Maharani sampai lupa merawatku? Mustahil Pak, batinku seraya mengingat kehebohan isteriku itu dalam melayaniku selama 7 tahun ini.“Tidak Pak, Maharani sangat bisa melayaniku, jangan khawatir,” sahutku sambil mengambil ayam lain untuk kuletakkan ke atas perapian."Baguslah kalau begitu. Itu memang tugas seorang isteri untuk merawat suaminya. Kalau Maharani sampai cuek sama kamu, kamu harus bilang ke Bapak ya, biar Bapak nasihati dia," ucap Bapak."Iya Pak,"
...Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu 3 jam. Setelah travel menurunkanku di pinggir jalan, aku langsung menderek koperku untuk menuju ke rumah besar dengan warna kuning gading disana. Itu adalah rumah warisan kakek untuk Bapak. Melihat bahwa lampu di dalam rumah masih menyala terang, aku langsung tersenyum. Sudah tidak sabar aku untuk bertemu dengan kedua orangtuaku sehingga aku mempercepat langkahku untuk lekas sampai kesana.“Bapak, Ibu, Maharani pulang … “ sapaku kepada rumah yang nampak sepi itu.Eh? Ini baru pukul 8 malam, pintu tidak dikunci dan lampu masih menyala terang, tetapi mengapa orang-orang sudah pada tidur? Batinku seraya menarik koperku untuk masuk ke dalam rumah.“Ibu… aku pulang,” kataku kembali.Bergegas, aku lalu meletakkan koperku di dekat kursi meja makan. Setelah itu, aku meletakkan tas plastic besar berisi oleh-oleh dari Jakarta dan mengeluarkan isinya satu-persat
. . . Sesampainya di rumah, aku masih merasakan kehampaan itu. Suasana rumah nampak begitu sepi ketika aku memasukinya. Meja-meja mulai tertutup debu dan juga barang-barang milikku mulai berantakan. Sungguh sangat berbeda dari bulan lalu dimana Maharani masih ada di dalam rumah kami. Setelah meletakkan tas kerjaku di atas meja, aku langsung terduduk lemas. Aku heran mengapa aku jadi tidak semangat bekerja seperti ini. Biasanya, aku selalu terpacu untuk mencari uang. Tetapi sekarang, rasanya tidak ada bensin yang membakar semangatku. Mengendurkan dasi biru bergaris hitam milikku, aku lalu merenung dan menyandarkan tubuhku ke atas sofa berwarna putih di rumah kami. Astaga, ada apa denganku? Batinku sebelum aku mendengar suara ketukan dari luar. Tok! Tok! Tok! “Iya, tunggu sebentar,” jawabku. Bergegas, aku keluar untuk membuka pintu rumah. Dan ternyata, disana ada Ibu Halimah yang telah berdiri dengan daster kebang
...Sudah satu bulan berlalu, aku telah resmi menjadi model dari Michelle. Karena kondisiku yang masih menjadi sekretaris orang, Michelle memberiku jadwal untuk melakukan pemotretan hanya pada sore atau malam hari. Tidak lama, setiap pemotretan hanya memakan waktu sekitar dua jam pada setiap sesinya dengan jadwal 3 kali dalam seminggu.Dan sekarang, aku telah bersiap untuk mengikuti pemotretan ke-limaku yang bertema jungle pada bulan ini. Beberapa fotografer asing telah siap dengan kamera-kamera besar mereka, para make-up artis telah memberikan polesan terakhir pada make-up yang kukenakan, dan Michelle dengan tangannya sendiri sudah selesai menata gaun sutera hijau keluaran Channel yang sedang kupakai.“OK, girl. Are you ready? 1 … 2 … 3 … pose!” Cekrek! Cekrek! Cekrek!“Hold on! One more time. Ok, good …!” Cekrek! Cekrek! Cekrek!
...Aduh, bagaimana ini? kataku pada diriku sendiri. Adikku tidak bisa pindah universitas karena dia akan skripsi. Itu artinya, keperluan Bram tetaplah besar meskipun dia sudah setuju pindah kos dan menghemat uang jajannya. Menghela nafasku, aku lalu mulai memikirkan pekerjaan yang mungkin aku bisa lakukan ke depannya untuk tetap bisa menyekolahkannya. Tetapi apa itu? batinku sebelum aku mendengar sebuah suara ketukan dari luar.“Selamat sore, Mbak Maharani. Ada yang sedang menunggu mbak di lobi kantor,” ucap Santi reseptionis yang tiba-tiba datang menemuiku di kantor Mas Adam.Eh, siapa? batinku penasaran sebelum akhirnya aku melirik Mas Adam yang sedang asyik berdiskusi dengan Sandra di meja kerjanya. Kali ini, rasa cemburu di dalam hatiku tidak lebih besar dari rasa bersalah yang kurasakan terhadap Mas Adam. Mungkin, selama ini, aku memang telah menjadi beban bagi Mas Adam. Sehingga tidak heran, jika Mas Adam setuju saja untuk menc