Adam POV
.
.
.
Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.
Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.
“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”
Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.
Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sumpahku sendiri. Kala itu, aku ingat, aku meminta Rani kepada orangtuanya dengan janji untuk menjaganya. Tetapi aku gagal melakukannya. Bukannya aku tidak mencoba, hanya saja, karakter kami sangatlah berbeda. Aku tidak mengerti pemikirannya dan aku menyerah dengan semuanya itu sebelum aku mencoba.
Maaf. Mungkin hanya itu yang bisa kukatakan kepada wanita yang telah menemaniku selama 7 tahun ini. Bagaimanapun, aku adalah seorang pria. Perceraian ini murni adalah tanggung-jawabku dan bukan Maharani. Tetapi aku memastikan akan tetap menghidupinya.
Menggelengkan kepalaku keras, aku mencoba mengusir rasa bersalahku. Hal itu tidak akan kubiarkan mengusikku dan menghancurkan kebahagiaanku. Malam ini, aku telah begitu bahagia tanpa Rani yang memburuku. Untuk apa aku memikirkan hal-hal yang hanya akan merusak suasana hatiku? Batinku dalam hati memantapkan langkahku untuk masuk ke dalam rumah kami berdua.
“Rani, aku pulang,” kataku sekedar berbasa-basi. Aku tahu Maharani mungkin sudah tidur mengingat aku sudah memberitahunya untuk tidak mencampuri urusanku kala kami masih di depan pintu pengadilan pagi tadi.
Tidak ada jawaban. Yups! Aku merasa sangat lega. Tidak ada omelan dan tidak ada kemoceng dari isteriku. Maharani rupanya sudah mulai tahu batasannya. Menghela nafasku, aku lalu menyusuri ruang tamu yang terasa sepi, tidak seperti biasanya. Tetapi aku tidak tahu apa perbedaannya, meskipun aku mengamatinya.
Mataku menyipit dan aku mulai menaikkan kewaspadaanku. Memasuki ruang dapur, aku kembali merasakan keganjalan yang menggelitikku dengan sangat. Sepertinya, ada sesuatu yang salah disana. Sejenak, aku merenungkan keanehan yang kurasakan hingga tanganku memegang sebuah cangkir yang biasa aku pakai untuk minum.
“Papa”
Begitulah tulisan pada cangkir berwarna hitam itu. Tanpa kusadari memoriku seketika berputar di otakku. Aku teringat, dahulu, cangkir itu adalah kado pernikahan yang aku dan Rani terima. Kala itu, wajah Rani merona dan ia berkata kepadaku.
“Mas, coba lihat kado ini,” katanya menunjukkan sepasang cangkir berwarna hitam dan putih.
“Bagus ya. Dari siapa?” tanyaku kepadanya.
“Dari Winda, Mas. Dia itu temanku,” sahutnya kemudian.
“Oh. Bagus,” seketika aku menimpali perkataannya.
Dengan malu-malu, Rani lantas menyodorkan cangkir berwarna hitam itu kepadaku, sementara dia memegang yang berwarna putih.
“Papa” dan “Mama”
Kedua tulisan itu tercetak pada masing-masing cangkir yang kami pegang. Dan sejak saat itu, kami berdua selalu memakainya.
Tetapi sekarang, hanya ada milikku saja disana. Dimana milik Rani? Batinku dengan penasaran. Melangkahkan kakiku, aku mencoba mengintip ke dalam wastafel yang bersih itu. Tidak ada cangkir Rani disana. Aku semakin penasaran hingga aku mulai membuka semua almari di dapur itu. Semuanya bersih dan tertata rapi.
Aku semakin bingung. Ada apa denganku? Seruku di dalam batinku sembari kedua mataku terus mengamati seluruh ruangan yang ada di lantai satu. Beberapa detik aku mulai berpikir sampai aku menangkap suasana ruang tamu dan ruang keluarga yang nampak sama sekali berbeda.
Tidak ada vas bunga. Tidak ada korden berenda-renda. Tidak ada buku-buku memasak di meja itu. Tidak ada foto-foto kami berdua. Sebaliknya, yang ada disana, hanyalah sofa dan perabot yang terasa begitu datar.
Seketika dadaku berdegup dengan kencang. Rasa takut menyelimutiku dan tiba-tiba aku merasakan keringat dingin mulai keluar dari dahiku. Rani, apakah dia … sebelum sempat melanjutkan kata-kataku, aku segera berlari menuju ke kamar miliknya.
“Ran? Rani? Apa kau ada di dalam?” tanyaku lekas membuka pintu kamarnya yang telah kosong.
Plas!
Seketika ada gelenjar aneh yang meledak di dalam dadaku. Rasanya, ada sesuatu yang terlepas dari genggamanku. Rasanya tidak nyaman dan hatiku menjerit merasa tidak rela.
“Shit!” aku mengumpat.
Menyugar rambutku, aku merasa kebingungan sendiri. Kamar itu telah kosong, begitupun dengan seisi rumah kami. Aku mengatur nafasku. Dadaku ingin meledak, entah itu rasa sedih, takut atau marah. Aku sampai tidak bisa mendefinisikanya.
Kejadian ini terlalu mendadak bagiku. Dan otakku tidak bisa memprosesnya. Rani, isteriku itu tidak pernah keluar rumah. Temanpun dia tidak punya. Kemana dia bisa pergi? batinku dengan linglung.
Bergegas, aku merogoh ponselku dan segera menekan nomor miliknya.
“Tut! Tut! Tut! Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada diluar jangkauan,” seketika aku membantingnya! Rani pasti telah mematikan ponselnya.
Aku menjadi semakin khawatir. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Rani? Bagaimanapun, dia masih isteriku! batinku semakin panik.
Bergegas, aku lalu mengambil kunci mobil untuk mencarinya, “Pak, apakah anda melihat isteriku?” tanyaku kepada petugas keamanan yang sedang berjaga di komplek perumahan kami.
Alis satpam itu naik sebelah. Ia sepertinya merasa aneh dengan pertanyaanku. Ya, aku tahu aku aneh dengan menanyakan isteriku sendiri kepada orang asing. Tetapi bisakah dia cepat menjawabnya tanpa berpikir yang macam-macam? gerutuku dalam hati.
“Maaf Pak Adam, isteri anda tidak di rumah?” satpam itu malah berbalik bertanya kepadaku.
Aku sudah tahu, dari ekspresinya ia pasti tidak melihat Rani. Menancapkan gas, aku lalu melaju untuk menyusuri semua jalan-jalan disana. Satupun, tidak ada jalan yang terlewat. Dan Nihil! Rani tetap tidak kutemukan.
“Brengsek!” aku memukul setir mobilku dengan kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari dan Rani belum juga kutemukan.
Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing. Aku tidak mampu berpikir lagi sampai-sampai aku hendak melaporkan hilangnya isteriku ke kantor polisi terdekat. Sayangnya itu tidak jadi kulakukan setelah aku menerima sebuah pesan darinya.
“Mas, aku di rumah Winda,” tulisnya pada pesan itu yang membuatku bernafas dengan lega.
"Rani, kau hampir membuatku gila!" gumamku dengan lirih.
Isteriku itu begitu polos. Dia tidak pernah bepergian jauh, tidak pernah naik taxi sendiri dan tidak mengenal jalan-jalan di kota itu. Aku menyangka dia akan tersesat atau mungkin hal-hal buruk terjadi padanya. Dan hal itu membuat jantungku rasanya mau copot!
Memutar kemudiku, aku segera kembali ke rumah kami yang sepi itu. Ada sesuatu yang hilang ketika aku kembali memasukinya. Dengan perasaan hampa, aku terus masuk dan menuju ke dalam kamarku. Mungkin dengan tidur, aku bisa mengusir perasaan aneh yang sedari tadi mengusikku. Bukankah seharusnya aku senang dengan kepergian Maharani?
****
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba
Adam POV...Pagi terasa begitu dingin menerpa wajahku yang terlihat sedikit kusut. Di depan cermin mobilku, aku melihat rambut-rambut pada dagu dan kumisku yang mulai tumbuh. Biasanya, setiap dua hari sekali, Maharani selalu memaksaku untuk bercukur. Tetapi tidak kali ini. Aku bahkan tidak mengetahui keberadaan alat cukurku, dan juga tidak tahu dimana foamnya berada. Ah sudahlah! batinku. Namanya juga lelaki.Sambil menunggu Sandra di depan rumahnya, aku lalu mengecek ponsel milikku. Rasanya hampa dan kosong manakala tidak ada satu pesanpun darinya. Biasanya, dia selalu cerewet. Tetapi tidak kali ini. Sesaat, ada kerinduan di dalam hatiku kepadanya. Tetapi sekali lagi, perasaan itu kembali aku lawan.“Hai Dam, kamu sudah sampai rupanya,” sapa Sandra kepadaku dengan senyum sumringahnya.“Iya San. Tumben kamu minta dijemput. Biasanya juga berangkat sendiri,” celetukku karena Sandra dari kemarin terus saja meng
...Mas Adam melihatku dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Sepertinya dia terkejut dengan perubahan yang aku lakukan. Matanya menyipit, alisnya sedikit naik, dan dahinya berkerut. Aku bisa memastikan arti pandangan itu. Benar, dia tidak suka!“Apa yang kamu pakai itu Ran?” tanyanya kepadaku.Tubuhnya menjulang tinggi dan berdiri tegak tepat di depanku yang baru saja turun dari mobil Winda. Dia pasti menungguku karena ini adalah pertama kali aku ke kantornya.“Rok mini Mas, apakah ada masalah? Mas sudah melihatnya, jadi ironi sekali kalau masih bertanya,” jawabku dengan ketus.“Pulang!” serunya dengan suara baritonnya, “Ganti pakaianmu,” perintahnya seraya menudingkan jari telunjuknya ke rok yang aku kenakan.Cih! hatiku mengejek Mas Adam. Dia pasti ingin aku tampil ala kadarnya dengan penampilan yang mengenaskan. Hidup menderita karena ditinggalkannya. Oh! Hello? Tid
...Tempat kerja Mas Adam lumayan luas. Ada dua resepsionis di ruang depan, beberapa cleaning service berseragam hitam, dan juga belasan karyawan yang duduk di meja bersekat-sekat di dalam sana. Mereka semua berpakaian rapi dengan laptop dan perangkat lunak di depan mereka. Tentu, aku merasa asing dengan suasana formal disana. Jadi aku sedikit gugup dan tanganku berkeringat.Seraya mengikuti langkah kaki Mas Adam, sesekali aku melirik ke kanan dan ke kiri. Di sepanjang jalan menuju ke kantornya, ada begitu banyak pasang mata yang mengikuti kami. Aku terheran-heran apakah ada yang salah dengan diriku sebelum akhirnya aku mendengar seseorang berceletuk.“Eh, siapa cewek itu?” kata seorang karyawan berpakaian merah kepada teman disebelahnya.“Engga tahu, mungkin karyawan baru,” sahutnya dengan nada bicara yang membuatku tidak nyaman.“Wah, saingan baru kita nih,” timpal yang lainnya.“En
...Mengikuti langkah kaki Mas Adam, sampailah aku di dalam ruang kantor berukuran 5x6 meter dengan cat dinding berwarna putih gading. Melayangkan pandanganku, aku melihat, ada meja kerja minimalis dengan tumpukan-tumpukan kertas di atasnya, sofa berwarna hitam, dan sebuah lukisan bola.Aku lalu mengalihkan pandanganku dan melihat Mas Adam sudah duduk di kursinya. Dia nampak diam saja hingga aku harus bertanya kepadanya.“Selama 3 bulan ke depan, pekerjaanku apa Mas?” tanyaku berdiri tidak jauh dari mejanya.Dia malah melihatku ke atas dan ke bawah. Entah apa yang ada dipikirannya. Tetapi sepertinya dia tidak sedang berada pada suasana hati yang baik.“Hari ini lakukan apa yang kamu mau. Aku tidak memiliki pekerjaan untukmu,” sahutnya tiba-tiba.Mas Adam tidak mau menatapku. Dia malah membuka laptopnya dan sepertinya malah sibuk sendiri dengan pekerjaan disana.“Apa? Tidak ada pekerjaan un