.
.
.
Mengikuti langkah kaki Mas Adam, sampailah aku di dalam ruang kantor berukuran 5x6 meter dengan cat dinding berwarna putih gading. Melayangkan pandanganku, aku melihat, ada meja kerja minimalis dengan tumpukan-tumpukan kertas di atasnya, sofa berwarna hitam, dan sebuah lukisan bola.
Aku lalu mengalihkan pandanganku dan melihat Mas Adam sudah duduk di kursinya. Dia nampak diam saja hingga aku harus bertanya kepadanya.
“Selama 3 bulan ke depan, pekerjaanku apa Mas?” tanyaku berdiri tidak jauh dari mejanya.
Dia malah melihatku ke atas dan ke bawah. Entah apa yang ada dipikirannya. Tetapi sepertinya dia tidak sedang berada pada suasana hati yang baik.
“Hari ini lakukan apa yang kamu mau. Aku tidak memiliki pekerjaan untukmu,” sahutnya tiba-tiba.
Mas Adam tidak mau menatapku. Dia malah membuka laptopnya dan sepertinya malah sibuk sendiri dengan pekerjaan disana.
“Apa? Tidak ada pekerjaan un
...Jam kerja telah berakhir. Tepat pada pukul 17.00 sore, orang-orang mulai sibuk untuk membereskan barang-barang mereka. Tentu saja, kecuali Mas Adam. Aku heran, apalagi yang akan dikerjakannya sampai sebuah suara mengagetkan kami di ruangan itu.“Halo! Dam, ini ada permintaan iklan dari Perusahaan Permata Persada. Apa kau ada waktu untuk mempelajarinya bersamaku?” tanya wanita itu langsung saja masuk menghampiri meja Mas Adam.“Iya San, sebentar lagi aku selesai dengan yang ini. Setelah itu, aku akan melihat permintaan iklan yang kamu bawa.Tanganku menggenggam erat. Aku telah menemukan jawaban dari pertanyaanku selama ini. Oh! Ternyata, selama ini Mas Adam suka pulang larut malam karena lembur berduaan dengan wanita itu. Sejenak, aku langsung mengarahkan mataku pada dinding kaca di depan. Dapat terlihat jelas orang-orang berlalu-lalang pulang satu per-satu hingga semuanya pergi. Suasana menjadi hening karena hanya ter
. . . 1 jam telah berlalu. Aku saat ini sedang ada di dalam mobil dengan Mas Adam. Suasana hening di antara kami karena kami sama-sama marah. “Sedih ya tidak jadi di antar sama Raka?” tanyanya tiba-tiba. Nada bicara Mas Adam ketus. Dengan kedua tangan menyentuh kemudi, dia melirikku tajam untuk mengintimidasiku. “Sedih? Mungkin bukan aku, tapi Mas yang sedih!” sahutku balik memelototinya sembari kembali berkata, “Apalagi hari ini gagal berduaan dengan kak Sandra,” sindirku. “Eh, hati-hati bicaranya ya, Ran! Aku sama Sandra itu mau meeting!” terangnya mulai memelankan laju mobilnya. Sesekali dia melirikku untuk mengetahui responku. Tetapi aku membuang wajahku dan menggerutu dengan pelan. “Meeting kok berduaan. Apalagi kantornya sepi. Pantas aja selama ini suka pulang malam!” keluhku. Mendengar keluhanku, Mas Adam lalu meminggirkan mobilnya hingga kami berhenti di bawah pohon yang rindang
. . . “Eh, Ran, kenapa dengan bajumu?” tanya Winda sesaat setelah aku memasuki rumahnya. Mas Adam masih di depan. Dia sepertinya menungguku masuk sehingga aku tidak bisa langsung bercerita kepada Winda. “Sttt … bentar ya Win. Tunggu genderuwonya pergi,” kataku berbisik sembari memberikan tanda supaya Winda melihat dari kaca siapa yang sedang nongkrong di depan pagar disana. Winda sepertinya terkejut. Dari balik jendela kaca di ruang tamu, dia mengintip Mas Adam yang masih ada di depan. “Ran, itu beneran Mas Adam nganter kamu pulang?” tanyanya dengan lirih supaya Mas Adam tidak mendengar. Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban dari pertanyaan. Hingga beberapa menit kemudian, kami dapat mendengar suara mobil mulai menjauh dari sana. Mas Adam pasti sudah pergi, batinku ikut mengintip dari celah korden untuk memastikannya. Memang benar, Mas Adam telah pergi, jadi aku langsung duduk diikuti oleh Winda yang la
...Pagi hari ini lalu lintas terlihat begitu padat dari biasanya. Orang-orang mulai berangkat kerja yang membuat jalanan terasa begitu penuh dan sesak. Untung saja, tadi aku menjemput Sandra lebih pagi. Jadi kami berdua tidak akan terlambat masuk ke kantor.“Dam, thanks ya …,” ucap Sandra sembari mengeluarkan lipstiknya, “Sorry, aku pakai lipstick di sini. Kamu kepagian sih jemputnya,” imbuhnya.“It’s, Oke San. Aku jemput lebih pagi karena nanti kita ada rapat dengan client,” sahutku.“Dam, menurutmu, warna lipstiknya bagus ga?” tanyanya.Aku mengernyitkan alisku. Kali ini aku tidak tertarik untuk melihat Sandra memakai lipstiknya. Dan akupun tidak tertarik untuk mengomentari warnanya. Karena aku tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya sekedar mengangguk hanya supaya dia lega.Aku masih saja berfokus kepada jalanan di depanku. Jika waktunya masih cukup, mungkin ak
...Mas Adam masih ada pertemuan diluar dengan koleganya. Karena jam kantor telah usai, aku langsung pergi bersama Winda tanpa menghubunginya. Persetan dengan Mas Adam! Meskipun aku adalah isteri sekaligus sekretarisnya, rupanya dia lebih memilih Sandra untuk mendampinginya pada jamuan makan itu! gerutuku dalam hati.“Eh, Ran. Kamu kenapa melamun?” tanya Winda kepadaku.Aku menggelengkan kepalaku. Ini adalah acara penting Winda. Jadi aku tidak boleh membuatnya sedih karena masalah rumah tanggaku, batinku.“Aku baik-baik aja, Ran. Thanks ya, udah ajak aku kemari. Tempatnya bagus banget,” sahutku sembari melemparkan senyum kepadanya.“Sudah kuduga kamu pasti suka. Oh iya Rani, tunggu disini dulu ya. Aku mau mengantarkan baju-baju ini ke belakang panggung,” katanya seraya menenteng tas besar ditangannya.“Ok, Win. Semangat ya!” sahutku.Dunia fashion bukanlah sesuatu yang as
...Pria dengan kemeja putih dan dasi berwarna biru bergaris hitam itu menatapku sinis. Ditangannya, dia memegang sebuah ponsel yang siap untuk digunakannya. Hingga beberapa saat, aku melihatnya mengetik sesuatu dengan sangat cepat. Bahkan, sepertinya dia tidak perlu melihat kepada layar karena kedua matanya terus terpaku kepadaku.Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan, sampai akhirnya aku mendengar bunyi notifikasi pesan pada ponsel milikku.Ting!“Wah, senengnya ketemu cinta lama!” sindirnya dengan jemari yang masih lincah untuk mengetik pesan berikutnya.Itu adalah pesan dari Mas Adam. Ternyata dia juga datang ke acara ini dengan Sandra yang duduk disampingnya. Entah sejak kapan dia ada disana, tetapi sepertinya keberadaannya cukup lama untuk mendengar pembicaraanku dengan Raka.“Pantas saja, tadi di kantor tidak ada. Ternyata ada disini lagi bertemu dengan gebetan,” tambahnya lagi.Aku
...Meninggalkan gedung fashion show itu, Mas Adam membawaku ke sebuah café yang terletak di bukit Palma. Disana, kami sengaja memilih tempat duduk di sudut luar café dengan pemandangan pusat kota yang terlihat dari atas. Bukan karena ngin menikmati panorama, tetapi hal itu kami lakukan supaya kami bisa berbicara lebih leluasa karena tidak begitu terganggu oleh alunan musik atau lalu-lalang pengunjung yang datang silih berganti.Tepat dihadapanku, Mas Adam terlihat sedang mendekapkan kedua lengannya. Begitu tajam, dia memandangku lurus dan hampir tidak mengedipkan kedua matanya seolah aku telah melakukan sebuah kesalahan.“Aku tidak suka,” katanya.Untuk pertama kalinya, Mas Adam mengucapkan kalimat itu dalam 7 tahun pernikahan kami. Selama ini, dia tidak memperdulikan hal semacam ini karena memang aku tidak pernah punya teman pria.“Apa kau tidak dengar, Ran? Aku tidak suka kamu berteman den
Light Kiss after a Coffee?Adam POV...Beberapa hari setelah kesepakatan yang terjadi di café itu, suasana di antara aku dan Maharani berangsur-angsur tenang. Aku tidak perlu marah-marah karena Maharani selalu menolak Raka yang mulai datang terus ke kantorku untuk mendekatinya. Dan Maharani juga tidak perlu marah, karena aku juga sudah membatasi kedekatanku dengan Sandra.Suasana tenang seperti ini, sebenarnya sudah sangat lama aku rindukan. Tetapi, herannya, baru sekarang aku mendapatkannya, batinku sedikit merutuki kebodohanku yang tidak pernah mengajaknya berdiskusi bersama. Andai kata, sejak pertama aku mendiskusikan ketidak-sukaanku terhadap sikapnya, apakah mungkin kami berdua tidak akan sampai pada tahap perceraian? Batinku di dalam hati sebelum suara Maharani mengejutkanku.“Mas, ini kopinya,” katanya sambil membawa secangkir kopi hangat ditangannya.Seperti hari-hari sebelumnya semenjak perjanjian