.
.
.
Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.
“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.
Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan.
"Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.
“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.
“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.
Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong. Terdiam, aku mengolah situasi yang ada disana.
“Ran, apa kau baik-baik saja?” tanya Winda mendekatiku.
Sesaat setelah dia menyentuh bahuku, getaran rasa pedih kembali menyambar hatiku bagai luapan topan yang bergulung begitu saja. Sudah lama aku menahannya seorang diri. Sekarang sudah tidak sanggup lagi.
“Win … Hiks …,” aku menangis dalam dekapannya. Kutaruh pisau dapurku dan kuhentikan apa yang kukerjakan. Mas Adam telah menjadi rutinitasku. Terpatri kuat dan menjadi kompas, bahkan meskipun aku telah pergi dari sana.
Biasanya setiap bangun pagi, aku akan menyiapkan sarapan pagi untuk pria itu. Setiap sendok yang dia suap kuperhatikan, untuk mengetahui hal yang dia suka atau tidak. Kutulis. Kutandai. Dan kuingat-ingat. Seluruh otakku kuhabiskan untuk memikirkan dan melayaninya. Bahkan mulutku sampai kering untuk menasihatinya.
Tetapi apa yang dilakukan oleh pria itu? Dia tidak pernah puas! Bagai menggarami lautan, semua yang kulakukan adalah kesia-siaan. Dia tidak pernah suka. Memujiku adalah sebuah kenajisan baginya. Dan suaraku dianggap gangguan olehnya.
Kutatap Winda dan kukeluarkan seluruh asa yang selama ini kupendam sendirian. Sampai semua tercurah dan aku merasa lega.
“Sorry Win, aku mendadak teringat Mas Adam,” jelasku sembari mengusap air mataku. Aku tidak tahu dengan perasaanku sendiri yang sangat kacau. Rasa sedih, terluka dan marah seketika bercampur aduk menjadi satu. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.
“Rani, tenanglah. Hari ini jangan pikirkan tentang dia. Hm?” ucap Winda seraya memberikan sebuah koper berwarna merah menyala kepadaku.
Sejenak aku termenung memandang koper sebesar itu. Sedangkan Winda, dia malah tersenyum melihat ekspresiku.
Bagai busur pelangi yang Sang Esa bentangkan di awan-awan, isi di koper itu penuh warna. Berbagai macam gaya busana ada disana dengan style kekinian. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Menyipitkan kedua mataku aku mencoba mencerna maksud sahabatku itu. Seluruh baju itu …
“Lihatlah Ran. Ini semua untukmu,” katanya kepadaku.
Baju-baju itu pasti sangat mahal, batinku dengan perasaan tidak nyaman. Bukan karena aku tidak suka, tetapi aku tidak mau merepotkan sahabatku itu.
“Win … Ini-“ Aku mencoba mengutarakan kesungkananku, tetapi Winda terlebih dahulu memotongnya.
“Rani, tenanglah. Aku tidak memberinya gratis padamu. Aku sekarang menjadi seorang desyner dan merintis butikku sendiri. Aku memerlukan seorang model untuk baju-bajuku Ran. Untuk itu, mulai sekarang, kau akan menjadi modelku bagaimana?” Winda menerangkan maksudnya yang membuatku merasa lega. Setidaknya aku tidak perlu berhutang banyak padanya kelak.
“Model? Tapi Win… apa aku bisa melakukannya? Aku kan hanya seorang ibu rumah tangga,” jelasku dengan penuh keraguan.
“Ckck … Tidak lagi Ran. Kau bukan lagi seorang ibu rumah tangga. Kau adalah Maharani, seorang primadona di SMA dulu. Apakah aku perlu mengingatkanmu?” sahut Winda sedikit melirik ke arah tubuhku yang hanya mengenakan sebuah daster bermotif bunga-bunga.
Aku sedikit menunduk seakan mengerti dengan maksud Winda. Dia benar. Karena selalu berada di rumah, aku hampir tidak pernah memakai baju bagus. Aku tidak pernah memakai lipstick atau sejenisnya. Bahkan seringkali aku lupa mencuci rambutku yang begitu lebat. Aku merasa tidak ada orang yang akan melihatku sehingga aku tidak memperhatikan diriku sendiri sampai mungkin aku tidak menyadari jika aku terlihat sedikit lusuh.
Tawaran Winda seketika menyirami kegersangan hatiku. Mengguyurnya hingga menumbuhkan satu tunas harapan untuk menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Primadona SMA, itulah diriku sebelum dinikahi oleh Mas Adam.
“Lalu apa yang bisa aku kerjakan sebagai modelmu Win? Dan apa yang harus kulakukan dengan semua pakaian pemberianmu ini?” tanyaku kepadanya.
Tersenyum dengan lembut, Winda lalu mengambil satu diantaranya, “Mulai sekarang, setiap hari dan setiap saat, kau harus memakai semua baju buatanku Ran. Dengan kata lain, jadilah promosi berjalanku, termasuk saat kau menjadi sekretaris esok hari. Apa kau bisa?”
Aku berkedip beberapa kali, tawaran Winda begitu menggiurkan. Meskipun yang sebenarnya, aku tahu maksud yang terselubung di dalam tawaran itu. Dia telah mengemasnya dengan sangat baik supaya aku tidak terluka. Winda hanya tidak mau aku dipermalukan di sana, di kantor suami yang mau menceraikanku.
“Baik Win. Aku setuju untuk menjadi promosi berjalanmu,” ungkapku mengikuti scenario sahabatku yang ingin membangkitkan harga diriku.
Mendengarnya, Winda begitu senang. Dia bahkan sampai melonjak kegirangan. Dan setelahnya, ia langsung saja menarikku untuk pergi bersamanya.
“Eh, Win. Tunggu dulu. Aku belum menyiapkan sarapan untuk kita berdua,” kataku kepadanya.
“Ckck … ” Winda hanya tertawa mendengarnya. Sepertinya perkataanku membuatnya merasa geli. “Astaga Rani, 'kan tadi sudah kubilang kalau kamu itu bukan ibu rumah tangga lagi. Berlakulah layaknya gadis. Kita ini masih 25 tahun Ran. Ayo kita makan diluar dan setelahnya mempermak dirimu,” ucapnya terus menarikku untuk menjauh dari dapur yang dianggapnya neraka itu.
"Nikmati aroma kebebasanmu, Ran. Sejenak lupakan sengketamu dengan Mas Adam," Winda mengerlingkan satu matanya kepadaku.
Sengketa? Entah mengapa aku tertawa. Benar sekali. Aku telah menghabiskan waktu 7 tahun hanya untuk mengomeli suamiku bagai dua orang yang selalu bersengketa. Rasanya sudah cukup! Dan sekarang, aku juga ingin mencium aroma kebebasanku, sama seperti dirinya.
****
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba
Adam POV...Pagi terasa begitu dingin menerpa wajahku yang terlihat sedikit kusut. Di depan cermin mobilku, aku melihat rambut-rambut pada dagu dan kumisku yang mulai tumbuh. Biasanya, setiap dua hari sekali, Maharani selalu memaksaku untuk bercukur. Tetapi tidak kali ini. Aku bahkan tidak mengetahui keberadaan alat cukurku, dan juga tidak tahu dimana foamnya berada. Ah sudahlah! batinku. Namanya juga lelaki.Sambil menunggu Sandra di depan rumahnya, aku lalu mengecek ponsel milikku. Rasanya hampa dan kosong manakala tidak ada satu pesanpun darinya. Biasanya, dia selalu cerewet. Tetapi tidak kali ini. Sesaat, ada kerinduan di dalam hatiku kepadanya. Tetapi sekali lagi, perasaan itu kembali aku lawan.“Hai Dam, kamu sudah sampai rupanya,” sapa Sandra kepadaku dengan senyum sumringahnya.“Iya San. Tumben kamu minta dijemput. Biasanya juga berangkat sendiri,” celetukku karena Sandra dari kemarin terus saja meng
...Mas Adam melihatku dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Sepertinya dia terkejut dengan perubahan yang aku lakukan. Matanya menyipit, alisnya sedikit naik, dan dahinya berkerut. Aku bisa memastikan arti pandangan itu. Benar, dia tidak suka!“Apa yang kamu pakai itu Ran?” tanyanya kepadaku.Tubuhnya menjulang tinggi dan berdiri tegak tepat di depanku yang baru saja turun dari mobil Winda. Dia pasti menungguku karena ini adalah pertama kali aku ke kantornya.“Rok mini Mas, apakah ada masalah? Mas sudah melihatnya, jadi ironi sekali kalau masih bertanya,” jawabku dengan ketus.“Pulang!” serunya dengan suara baritonnya, “Ganti pakaianmu,” perintahnya seraya menudingkan jari telunjuknya ke rok yang aku kenakan.Cih! hatiku mengejek Mas Adam. Dia pasti ingin aku tampil ala kadarnya dengan penampilan yang mengenaskan. Hidup menderita karena ditinggalkannya. Oh! Hello? Tid
...Tempat kerja Mas Adam lumayan luas. Ada dua resepsionis di ruang depan, beberapa cleaning service berseragam hitam, dan juga belasan karyawan yang duduk di meja bersekat-sekat di dalam sana. Mereka semua berpakaian rapi dengan laptop dan perangkat lunak di depan mereka. Tentu, aku merasa asing dengan suasana formal disana. Jadi aku sedikit gugup dan tanganku berkeringat.Seraya mengikuti langkah kaki Mas Adam, sesekali aku melirik ke kanan dan ke kiri. Di sepanjang jalan menuju ke kantornya, ada begitu banyak pasang mata yang mengikuti kami. Aku terheran-heran apakah ada yang salah dengan diriku sebelum akhirnya aku mendengar seseorang berceletuk.“Eh, siapa cewek itu?” kata seorang karyawan berpakaian merah kepada teman disebelahnya.“Engga tahu, mungkin karyawan baru,” sahutnya dengan nada bicara yang membuatku tidak nyaman.“Wah, saingan baru kita nih,” timpal yang lainnya.“En
...Mengikuti langkah kaki Mas Adam, sampailah aku di dalam ruang kantor berukuran 5x6 meter dengan cat dinding berwarna putih gading. Melayangkan pandanganku, aku melihat, ada meja kerja minimalis dengan tumpukan-tumpukan kertas di atasnya, sofa berwarna hitam, dan sebuah lukisan bola.Aku lalu mengalihkan pandanganku dan melihat Mas Adam sudah duduk di kursinya. Dia nampak diam saja hingga aku harus bertanya kepadanya.“Selama 3 bulan ke depan, pekerjaanku apa Mas?” tanyaku berdiri tidak jauh dari mejanya.Dia malah melihatku ke atas dan ke bawah. Entah apa yang ada dipikirannya. Tetapi sepertinya dia tidak sedang berada pada suasana hati yang baik.“Hari ini lakukan apa yang kamu mau. Aku tidak memiliki pekerjaan untukmu,” sahutnya tiba-tiba.Mas Adam tidak mau menatapku. Dia malah membuka laptopnya dan sepertinya malah sibuk sendiri dengan pekerjaan disana.“Apa? Tidak ada pekerjaan un
...Jam kerja telah berakhir. Tepat pada pukul 17.00 sore, orang-orang mulai sibuk untuk membereskan barang-barang mereka. Tentu saja, kecuali Mas Adam. Aku heran, apalagi yang akan dikerjakannya sampai sebuah suara mengagetkan kami di ruangan itu.“Halo! Dam, ini ada permintaan iklan dari Perusahaan Permata Persada. Apa kau ada waktu untuk mempelajarinya bersamaku?” tanya wanita itu langsung saja masuk menghampiri meja Mas Adam.“Iya San, sebentar lagi aku selesai dengan yang ini. Setelah itu, aku akan melihat permintaan iklan yang kamu bawa.Tanganku menggenggam erat. Aku telah menemukan jawaban dari pertanyaanku selama ini. Oh! Ternyata, selama ini Mas Adam suka pulang larut malam karena lembur berduaan dengan wanita itu. Sejenak, aku langsung mengarahkan mataku pada dinding kaca di depan. Dapat terlihat jelas orang-orang berlalu-lalang pulang satu per-satu hingga semuanya pergi. Suasana menjadi hening karena hanya ter