.
.
.
Maharani. Itulah namaku. Dulu aku tidak tahu yang namanya kehidupan. Setelah lulus bangku SMA, tiba-tiba saja seorang pengusaha muda melamarku. Ckck … waktu itu aku masih berusia 18 tahun. Apa yang kutahu tentang kehidupan? Begitu polos dan lugu aku menerima lamarannya. Meninggalkan mimpiku dan rencana kuliahku, hanya untuk hidup sebagai isteri dari Adam Kanzani.
Cinta. Dulu aku tergiur olehnya. Hanya satu bulan berkenalan kemudian kami menikah. Dikala itu aku bahagia dan semua orang tertawa, menyangka bahwa kehidupanku akan berubah layaknya cerita putri Cinderella. Tetapi siapa yang menyangka jika di dalamnya, bukan kemewahan yang kudapat. Bukan manis madu, dan juga bukan rangkaian bunga!
Penuh kepalsuan. Cintanya kepadaku tidak begitu dalam bagai embun pagi yang menetes dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan! Rapuh dan tidak bisa digenggam. Andai aku dulu tahu akan menjadi seperti ini, mungkin aku tidak akan tergiur dengan paras tampannya itu!
Tetapi nasi telah menjadi bubur. Sekarang usiaku sudah 25 tahun. 7 tahun kusia-siakan menjadi ibu rumah tangga yang hanya melakukan pekerjaan rumah. Tidak memiliki pendidikan tinggi. Tidak punya keahlian khusus. Dan tidak memiliki pergaulan. Bagai seekor burung gelatik buruk rupa aku terkungkung dalam sangkar.
Sedangkan dia, Adam Kanzani, suamiku itu, dia masih sangat tampan. Menginjak usia 30 tahun kariernya begitu berjaya. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, pekerjaannya, kawan-kawannya, dan juga hobinya. Mungkin saja, begitu banyak wanita sedang menunggunya untuk menjadi duda.
Rasa-rasanya, aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri. Mengusap air mataku, aku lalu memandang ke hadapan cermin di depanku. Pantulan diriku sendiri membuatku tersentak. Maharani, dimanakah dirimu yang dulu? gumamku kepada jiwaku yang sedang sengsara.
Tenanglah hai jiwaku, tenanglah hai batinku! Esok hari, kau akan menjadi pribadi yang baru. Seraya bergumam, aku mengelus hatiku untuk mengurangi rasa sakitnya. Setelahnya, kutanggalkan semua baju lusuh itu, kubuka ikat rambutku untuk melihat seberapa banyak aku telah berubah.
****
Adam POV
Pada waktu yang sama di kamar sebelah ….
“Shit!” teriakku di dalam kamar.
Keputusan hakim mediator hari ini membuatku naik darah. Awalnya aku berpikir bahwa program mediasi yang dimaksud hanyalah akan berupa sesi kelas bagi kami. Tetapi siapa yang menyangka, hakim itu malah meminta dia untuk menjadi sekretarisku di kantor.
Aku mengacak rambutku karena merasa jengah. Di rumah saja, aku sudah mengecap rasanya api neraka. Wanita itu selalu menyulut emosiku dan merusak suasana hatiku. Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selama tiga bulan ke depannya bersama wanita itu.
Sesekali hatiku memberontak. Bagai seorang petinju aku ingin menghancurkan kertas bermeterai dihadapanku. Memukulnya, menginjakkan, dan bahkan merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Sayangnya tidak bisa! Aku telah terikat hukum dengan menanda-tanganinya.
Bagai sebuah drama, pengadilan menyuruhku untuk bersamanya di kantor. Ckck ... aku menertawakan ide konyol itu. Semua hanya akan menjadi kesia-siaan. Jika dengan pertemuan singkat saja kami selalu terlibat adu mulut, bagaimana dengan kebersamaan yang begitu panjang di dalam kantor?!
Berbaring sejenak, aku ingin menenangkan diriku sejenak. Hari ini terlalu melelahkan bagiku. Semua emosi dan pikiranku terkuras hanya untuk mengurusi masalah perceraian. Padahal hidupku tidak tentang hal itu saja. Ada begitu banyak proyek besar yang menungguku di depan. Pikiranku tidak boleh terpecah, dan fokusku tidak boleh terbagi!
Hanya tiga bulan, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk bertahan. Setelah itu, aku akan terbebas dari belenggu berat yang mengikatku.
Maharani atau biasa kupanggil Rani. Dia adalah isteri yang kunikahi 7 tahun lalu. Waktu itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia begitu lucu, lugu dengan memakai seragam SMA yang sudah dicorat-coret dengan spidol warna-warni. Benar, saat itu adalah hari kelulusannya. Entah mengapa saat itu hatiku berdegup kencang dan aku mengikutinya dari belakang. Setelah mengetahui alamatnya, aku langsung melamarnya begitu saja.
Bagai sebuah jebakan, aku masuk ke dalamnya. Rani ternyata bukanlah isteri idamanku. Dia masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Baru beberapa tahun bersama, aku sudah merasa lelah dengannya. Kami tidak satu pikiran maupun satu tujuan. Aku bahkan tidak bisa mengerti ada apa di otaknya yang kecil itu.
Semakin hari, dia semakin lusuh dan tidak bisa diajak bicara. Sinarnya memudar dan aku menjadi hilang hasrat dengannya. Salahkah aku jika menyuruhnya untuk pindah ke kamar lain? Sudah tiga tahun kami tidak tidur seranjang, dan dia masih tidak mengerti akan hal itu.
Yang ada dipikirannya hanyalah memasak dan memasak. Memang, menu masakannya selalu bertambah dan semuanya enak. Tetapi apa dia kira aku akan senang dengan semua makanan itu?!
Bukan itu! Aku tidak butuh makanan buatannya. Yang kuperlukan hanyalah ketenangan dan pengertiannya, bukannya ocehan yang membuatku tidak berselera makan setiap harinya.
“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku,” gumamku dengan lirih.
Percuma kami bersama! Bagai dipersimpangan jalan, aku harus memilih, antara dia atau kebahagiaanku. Dan aku telah memilih untuk bahagia. Tentu saja, tanpa dia di dalam hidupku. Apapun akan kulakukan untuk menyingkirkan keberadaannya yang menjemukan itu dan keluar dari jebakan pernikahan ini.
...“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku," dapat kudengar dengan jelas suara Mas Adam. Kamar kami bersebelahan.Hembusan AC di kamarku terasa begitu dingin, menusuk ke tulang-tulang. Sama dengan perkataan Mas Adam yang tidak sengaja terdengar barusan. Aku akan disingkirkan. Entah mengapa, rasa sakit bercampur marah kembali menggerogoti jantungku. Tidak terasa air mataku kembali bercucuran. Mas Adam memang sudah tidak menginginkanku lagi. Aku merasa tertolak, tetapi apa yang bisa kulakukan?Kembali menutup tubuh telanjangku dengan daster, aku lalu keluar hendak menyiapkan makan malam. Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti di ambang pintu kala suara baritonenya memanggilku.“Rani, Mas mau pergi,” katanya dengan tegas.Aku meliriknya sekilas dan kulihat dia sudah berpakaian sangat tampan dengan pakaian badmintonnya. Pasti, dia akan main badminton lagi sampai larut malam bersama kawan-kawannya. Biasanya, melihat ha
Adam POV...Malam semakin memanas di lapangan Badminton. Semangatku semakin terpompa dan membara mengalahkan semua lawan-lawanku. Smash demi smash kuberikan hingga tak satupun dari mereka yang berkutik menghadapiku. Bagai para anak itik yang diterkam elang, mereka meronta, memohon. Tetapi aku tidak melepaskan mereka.“Brengsek kau Dam!” Suara para lelaki mengumpatku. Tidak begitu serius, mereka hanya meluapkan kekesalannya karena kalah bertanding.Tersenyum aku menjawab mereka sembari mengambil sebotol air mineral dingin yang diulurkan kepadaku. Segar, itu yang kurasakan kala tanganku menyentuh botol dingin itu.“Thanks San,” ucapku kepada sahabatku Sandra, seorang wanita diantara geng kami.“Sama-sama Dam,” sahutnya dengan penuh kelembutan, “Oh, iya. Aku pinjam raketmu ya?” tanpa basa-basi Sandra langsung saja menyambar raket yang kupegang.Seperti biasa, Sandra s
Adam POV...Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sump
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba
Adam POV...Pagi terasa begitu dingin menerpa wajahku yang terlihat sedikit kusut. Di depan cermin mobilku, aku melihat rambut-rambut pada dagu dan kumisku yang mulai tumbuh. Biasanya, setiap dua hari sekali, Maharani selalu memaksaku untuk bercukur. Tetapi tidak kali ini. Aku bahkan tidak mengetahui keberadaan alat cukurku, dan juga tidak tahu dimana foamnya berada. Ah sudahlah! batinku. Namanya juga lelaki.Sambil menunggu Sandra di depan rumahnya, aku lalu mengecek ponsel milikku. Rasanya hampa dan kosong manakala tidak ada satu pesanpun darinya. Biasanya, dia selalu cerewet. Tetapi tidak kali ini. Sesaat, ada kerinduan di dalam hatiku kepadanya. Tetapi sekali lagi, perasaan itu kembali aku lawan.“Hai Dam, kamu sudah sampai rupanya,” sapa Sandra kepadaku dengan senyum sumringahnya.“Iya San. Tumben kamu minta dijemput. Biasanya juga berangkat sendiri,” celetukku karena Sandra dari kemarin terus saja meng