.
.
.
Maharani. Itulah namaku. Dulu aku tidak tahu yang namanya kehidupan. Setelah lulus bangku SMA, tiba-tiba saja seorang pengusaha muda melamarku. Ckck … waktu itu aku masih berusia 18 tahun. Apa yang kutahu tentang kehidupan? Begitu polos dan lugu aku menerima lamarannya. Meninggalkan mimpiku dan rencana kuliahku, hanya untuk hidup sebagai isteri dari Adam Kanzani.
Cinta. Dulu aku tergiur olehnya. Hanya satu bulan berkenalan kemudian kami menikah. Dikala itu aku bahagia dan semua orang tertawa, menyangka bahwa kehidupanku akan berubah layaknya cerita putri Cinderella. Tetapi siapa yang menyangka jika di dalamnya, bukan kemewahan yang kudapat. Bukan manis madu, dan juga bukan rangkaian bunga!
Penuh kepalsuan. Cintanya kepadaku tidak begitu dalam bagai embun pagi yang menetes dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan! Rapuh dan tidak bisa digenggam. Andai aku dulu tahu akan menjadi seperti ini, mungkin aku tidak akan tergiur dengan paras tampannya itu!
Tetapi nasi telah menjadi bubur. Sekarang usiaku sudah 25 tahun. 7 tahun kusia-siakan menjadi ibu rumah tangga yang hanya melakukan pekerjaan rumah. Tidak memiliki pendidikan tinggi. Tidak punya keahlian khusus. Dan tidak memiliki pergaulan. Bagai seekor burung gelatik buruk rupa aku terkungkung dalam sangkar.
Sedangkan dia, Adam Kanzani, suamiku itu, dia masih sangat tampan. Menginjak usia 30 tahun kariernya begitu berjaya. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, pekerjaannya, kawan-kawannya, dan juga hobinya. Mungkin saja, begitu banyak wanita sedang menunggunya untuk menjadi duda.
Rasa-rasanya, aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri. Mengusap air mataku, aku lalu memandang ke hadapan cermin di depanku. Pantulan diriku sendiri membuatku tersentak. Maharani, dimanakah dirimu yang dulu? gumamku kepada jiwaku yang sedang sengsara.
Tenanglah hai jiwaku, tenanglah hai batinku! Esok hari, kau akan menjadi pribadi yang baru. Seraya bergumam, aku mengelus hatiku untuk mengurangi rasa sakitnya. Setelahnya, kutanggalkan semua baju lusuh itu, kubuka ikat rambutku untuk melihat seberapa banyak aku telah berubah.
****
Adam POV
Pada waktu yang sama di kamar sebelah ….
“Shit!” teriakku di dalam kamar.
Keputusan hakim mediator hari ini membuatku naik darah. Awalnya aku berpikir bahwa program mediasi yang dimaksud hanyalah akan berupa sesi kelas bagi kami. Tetapi siapa yang menyangka, hakim itu malah meminta dia untuk menjadi sekretarisku di kantor.
Aku mengacak rambutku karena merasa jengah. Di rumah saja, aku sudah mengecap rasanya api neraka. Wanita itu selalu menyulut emosiku dan merusak suasana hatiku. Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selama tiga bulan ke depannya bersama wanita itu.
Sesekali hatiku memberontak. Bagai seorang petinju aku ingin menghancurkan kertas bermeterai dihadapanku. Memukulnya, menginjakkan, dan bahkan merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Sayangnya tidak bisa! Aku telah terikat hukum dengan menanda-tanganinya.
Bagai sebuah drama, pengadilan menyuruhku untuk bersamanya di kantor. Ckck ... aku menertawakan ide konyol itu. Semua hanya akan menjadi kesia-siaan. Jika dengan pertemuan singkat saja kami selalu terlibat adu mulut, bagaimana dengan kebersamaan yang begitu panjang di dalam kantor?!
Berbaring sejenak, aku ingin menenangkan diriku sejenak. Hari ini terlalu melelahkan bagiku. Semua emosi dan pikiranku terkuras hanya untuk mengurusi masalah perceraian. Padahal hidupku tidak tentang hal itu saja. Ada begitu banyak proyek besar yang menungguku di depan. Pikiranku tidak boleh terpecah, dan fokusku tidak boleh terbagi!
Hanya tiga bulan, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk bertahan. Setelah itu, aku akan terbebas dari belenggu berat yang mengikatku.
Maharani atau biasa kupanggil Rani. Dia adalah isteri yang kunikahi 7 tahun lalu. Waktu itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia begitu lucu, lugu dengan memakai seragam SMA yang sudah dicorat-coret dengan spidol warna-warni. Benar, saat itu adalah hari kelulusannya. Entah mengapa saat itu hatiku berdegup kencang dan aku mengikutinya dari belakang. Setelah mengetahui alamatnya, aku langsung melamarnya begitu saja.
Bagai sebuah jebakan, aku masuk ke dalamnya. Rani ternyata bukanlah isteri idamanku. Dia masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Baru beberapa tahun bersama, aku sudah merasa lelah dengannya. Kami tidak satu pikiran maupun satu tujuan. Aku bahkan tidak bisa mengerti ada apa di otaknya yang kecil itu.
Semakin hari, dia semakin lusuh dan tidak bisa diajak bicara. Sinarnya memudar dan aku menjadi hilang hasrat dengannya. Salahkah aku jika menyuruhnya untuk pindah ke kamar lain? Sudah tiga tahun kami tidak tidur seranjang, dan dia masih tidak mengerti akan hal itu.
Yang ada dipikirannya hanyalah memasak dan memasak. Memang, menu masakannya selalu bertambah dan semuanya enak. Tetapi apa dia kira aku akan senang dengan semua makanan itu?!
Bukan itu! Aku tidak butuh makanan buatannya. Yang kuperlukan hanyalah ketenangan dan pengertiannya, bukannya ocehan yang membuatku tidak berselera makan setiap harinya.
“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku,” gumamku dengan lirih.
Percuma kami bersama! Bagai dipersimpangan jalan, aku harus memilih, antara dia atau kebahagiaanku. Dan aku telah memilih untuk bahagia. Tentu saja, tanpa dia di dalam hidupku. Apapun akan kulakukan untuk menyingkirkan keberadaannya yang menjemukan itu dan keluar dari jebakan pernikahan ini.
...“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku," dapat kudengar dengan jelas suara Mas Adam. Kamar kami bersebelahan.Hembusan AC di kamarku terasa begitu dingin, menusuk ke tulang-tulang. Sama dengan perkataan Mas Adam yang tidak sengaja terdengar barusan. Aku akan disingkirkan. Entah mengapa, rasa sakit bercampur marah kembali menggerogoti jantungku. Tidak terasa air mataku kembali bercucuran. Mas Adam memang sudah tidak menginginkanku lagi. Aku merasa tertolak, tetapi apa yang bisa kulakukan?Kembali menutup tubuh telanjangku dengan daster, aku lalu keluar hendak menyiapkan makan malam. Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti di ambang pintu kala suara baritonenya memanggilku.“Rani, Mas mau pergi,” katanya dengan tegas.Aku meliriknya sekilas dan kulihat dia sudah berpakaian sangat tampan dengan pakaian badmintonnya. Pasti, dia akan main badminton lagi sampai larut malam bersama kawan-kawannya. Biasanya, melihat ha
Adam POV...Malam semakin memanas di lapangan Badminton. Semangatku semakin terpompa dan membara mengalahkan semua lawan-lawanku. Smash demi smash kuberikan hingga tak satupun dari mereka yang berkutik menghadapiku. Bagai para anak itik yang diterkam elang, mereka meronta, memohon. Tetapi aku tidak melepaskan mereka.“Brengsek kau Dam!” Suara para lelaki mengumpatku. Tidak begitu serius, mereka hanya meluapkan kekesalannya karena kalah bertanding.Tersenyum aku menjawab mereka sembari mengambil sebotol air mineral dingin yang diulurkan kepadaku. Segar, itu yang kurasakan kala tanganku menyentuh botol dingin itu.“Thanks San,” ucapku kepada sahabatku Sandra, seorang wanita diantara geng kami.“Sama-sama Dam,” sahutnya dengan penuh kelembutan, “Oh, iya. Aku pinjam raketmu ya?” tanpa basa-basi Sandra langsung saja menyambar raket yang kupegang.Seperti biasa, Sandra s
Adam POV...Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sump
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba
Adam POV...Pagi terasa begitu dingin menerpa wajahku yang terlihat sedikit kusut. Di depan cermin mobilku, aku melihat rambut-rambut pada dagu dan kumisku yang mulai tumbuh. Biasanya, setiap dua hari sekali, Maharani selalu memaksaku untuk bercukur. Tetapi tidak kali ini. Aku bahkan tidak mengetahui keberadaan alat cukurku, dan juga tidak tahu dimana foamnya berada. Ah sudahlah! batinku. Namanya juga lelaki.Sambil menunggu Sandra di depan rumahnya, aku lalu mengecek ponsel milikku. Rasanya hampa dan kosong manakala tidak ada satu pesanpun darinya. Biasanya, dia selalu cerewet. Tetapi tidak kali ini. Sesaat, ada kerinduan di dalam hatiku kepadanya. Tetapi sekali lagi, perasaan itu kembali aku lawan.“Hai Dam, kamu sudah sampai rupanya,” sapa Sandra kepadaku dengan senyum sumringahnya.“Iya San. Tumben kamu minta dijemput. Biasanya juga berangkat sendiri,” celetukku karena Sandra dari kemarin terus saja meng
...Akhirnya aku menyetujui perkataan Mas Adam. Mau bagaimana lagi, Pak Hakim akan mengadakan inspeksi dan besok aku juga harus membayar arisan. Jadi, ya, aku tidak memiliki pilihan selain kembali ke rumah.Dan sekarang, kami telah masuk area perumahan kami. Suasananya cukup ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 19.00 malam. Beberapa anak muda terlihat sedang bersama-sama hendak pergi ke suatu tempat. Dan beberapa keluarga juga nampak sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Tak heran, ini adalah sabtu malam minggu. Waktu yang tepat bagi orang untuk bersenang-senang, batinku sebelum aku berbicara kepada Mas Adam.“Mas Adam, nanti mau pergi lagi?” tanyaku kepadanya.Ya, Mas Adam dahulu sering merasa terkekang karena aku selalu menuntutnya di rumah setiap malam minggu. Mengingat itu, aku jadi merasa sedih. Jadi aku sekarang sudah menyiapkan hati andaikala dia ingin bersama dengan teman-temannya.“Engga Ran,&r
. . . Perasaanku begitu kacau. Sudah dengan sekuat tenaga aku berusaha melupakan Mas Adam. Tetapi pria itu … dia malah bersikap manis dan membuat jantungku berdetak kembali manakala dia memandangku. Dan seperti sekarang, aku bahkan dibuat tertarik untuk mencuri pandang kepada pria yang sedang membantu memperbaiki lampu yang padam di luar. “Ehem!” sebuah suara tiba-tiba saja menyadarkanku. Aku terkejut karena ibuku mendadak datang ke dapur dan menepukku dari belakang. “Eh, Ibuk kenapa ngagetin Maharani sih?” keluhku seraya meletakkan apel yang baru saja kucuci ke atas piring buah didepanku. “Ran, kamu itu yang kenapa? Dari tadi ibuk manggil kamu tapi kamu itu malah fokus ngelirik suamimu terus dari jendela. Memangnya kamu engga puas apa liat dia siang-malam? Kayak lagi pacaran aja,” sahut ibuku yang dapat didengar oleh Mas Adam dari luar. Aku menutup mulutku karena merasa sangat malu. Astaga, kenapa ibuk mengatakan hal itu sih?!
Adam Pov...Malam telah berganti pagi di kediaman mertuaku di Bandung. Samar-samar, aku dapat mendengar suara nafas Maharani yang mengalun begitu lembut. Aku tahu dia begitu lelah, karena dini hari tadi aku sempat membangunkannya untuk sekedar berciuman hingga akhirnya aku khilaf dan hampir saja menidurinya andai saja dia tidak mengatakan bahwa dirinya sedang datang bulan.Dan lihatlah, sekarang leher putihnya itu sudah penuh dengan tanda kebiruan. Hanya saja, aku belum begitu puas karena Maharani terus saja berusaha menutupi bagian dadanya yang sedari sebulan lalu sudah membuatku sangat penasaran itu.Ah! Tidak apa-apa! Mungkin sekarang memang belum waktunya bagiku untuk meminta lebih. Jadi aku tidak ingin memaksanya, batinku merasa yakin bahwa hubungan kami akan kembali seperti semula.Sejenak, aku mengamatinya tidur. Isteriku itu sebenarnya memang sangat cantik. Alisnya begitu tebal dan terbentuk secara alami. Bulu matanya begit
...Dari jendela lantai atas, aku dapat melihat Mas Adam dan para pria bercengkerama dengan begitu asyiknya. Ah, aku tidak ingin mengganggu mereka. Jadi tadi aku dan ibu memilih makan di dapur sambil bercerita singkat.Dan sekarang, aku bingung sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sebentar lagi, para bapak-bapak itu akan pulang dan Mas Adam akan naik ke lantai atas. Lalu bagaimana ya kalau Mas Adam tahu kalau aku akan tidur sekamar dengan dia? Batinku.Sambil menggigit jariku, aku berpikir serius. Aku yakin Mas Adam tidak akan suka jika aku tidur sekamar dengan dia. Aku masih ingat, 3 tahun lalu dia mengatakan bahwa dia lebih suka tidur sendiri karena aku hanya akan mengganggunya tidur.Memang benar sih! Dulu aku selalu saja menggelendoti dia. Kalau dia tidur, aku suka memeluk dia dengan erat sampai dia merasa kepanasan dan susah bernafas. Tapi mau bagaimana lagi? Aku dulu kan memang mencari perhatiannya.Mengingat it
...Setelah Maharani pergi, Bapak terlihat menghela nafasnya dengan berat. Sambil membolak-balikkan ayam bakar itu kembali, Bapak kembali berbicara denganku.“Maharani itu masih kecil, Dam,” ujar Bapak secara tiba-tiba kepadaku. “Teman-teman seumurannya banyak yang masih main-main, jadi kalau Maharani kurang melayani kamu sebagai isteri, Bapak harap kamu bisa mengerti,” tambah Bapak.Mendengar itu, aku menggelengkan kepalaku pelan. Maharani sampai lupa merawatku? Mustahil Pak, batinku seraya mengingat kehebohan isteriku itu dalam melayaniku selama 7 tahun ini.“Tidak Pak, Maharani sangat bisa melayaniku, jangan khawatir,” sahutku sambil mengambil ayam lain untuk kuletakkan ke atas perapian."Baguslah kalau begitu. Itu memang tugas seorang isteri untuk merawat suaminya. Kalau Maharani sampai cuek sama kamu, kamu harus bilang ke Bapak ya, biar Bapak nasihati dia," ucap Bapak."Iya Pak,"
...Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu 3 jam. Setelah travel menurunkanku di pinggir jalan, aku langsung menderek koperku untuk menuju ke rumah besar dengan warna kuning gading disana. Itu adalah rumah warisan kakek untuk Bapak. Melihat bahwa lampu di dalam rumah masih menyala terang, aku langsung tersenyum. Sudah tidak sabar aku untuk bertemu dengan kedua orangtuaku sehingga aku mempercepat langkahku untuk lekas sampai kesana.“Bapak, Ibu, Maharani pulang … “ sapaku kepada rumah yang nampak sepi itu.Eh? Ini baru pukul 8 malam, pintu tidak dikunci dan lampu masih menyala terang, tetapi mengapa orang-orang sudah pada tidur? Batinku seraya menarik koperku untuk masuk ke dalam rumah.“Ibu… aku pulang,” kataku kembali.Bergegas, aku lalu meletakkan koperku di dekat kursi meja makan. Setelah itu, aku meletakkan tas plastic besar berisi oleh-oleh dari Jakarta dan mengeluarkan isinya satu-persat
. . . Sesampainya di rumah, aku masih merasakan kehampaan itu. Suasana rumah nampak begitu sepi ketika aku memasukinya. Meja-meja mulai tertutup debu dan juga barang-barang milikku mulai berantakan. Sungguh sangat berbeda dari bulan lalu dimana Maharani masih ada di dalam rumah kami. Setelah meletakkan tas kerjaku di atas meja, aku langsung terduduk lemas. Aku heran mengapa aku jadi tidak semangat bekerja seperti ini. Biasanya, aku selalu terpacu untuk mencari uang. Tetapi sekarang, rasanya tidak ada bensin yang membakar semangatku. Mengendurkan dasi biru bergaris hitam milikku, aku lalu merenung dan menyandarkan tubuhku ke atas sofa berwarna putih di rumah kami. Astaga, ada apa denganku? Batinku sebelum aku mendengar suara ketukan dari luar. Tok! Tok! Tok! “Iya, tunggu sebentar,” jawabku. Bergegas, aku keluar untuk membuka pintu rumah. Dan ternyata, disana ada Ibu Halimah yang telah berdiri dengan daster kebang
...Sudah satu bulan berlalu, aku telah resmi menjadi model dari Michelle. Karena kondisiku yang masih menjadi sekretaris orang, Michelle memberiku jadwal untuk melakukan pemotretan hanya pada sore atau malam hari. Tidak lama, setiap pemotretan hanya memakan waktu sekitar dua jam pada setiap sesinya dengan jadwal 3 kali dalam seminggu.Dan sekarang, aku telah bersiap untuk mengikuti pemotretan ke-limaku yang bertema jungle pada bulan ini. Beberapa fotografer asing telah siap dengan kamera-kamera besar mereka, para make-up artis telah memberikan polesan terakhir pada make-up yang kukenakan, dan Michelle dengan tangannya sendiri sudah selesai menata gaun sutera hijau keluaran Channel yang sedang kupakai.“OK, girl. Are you ready? 1 … 2 … 3 … pose!” Cekrek! Cekrek! Cekrek!“Hold on! One more time. Ok, good …!” Cekrek! Cekrek! Cekrek!
...Aduh, bagaimana ini? kataku pada diriku sendiri. Adikku tidak bisa pindah universitas karena dia akan skripsi. Itu artinya, keperluan Bram tetaplah besar meskipun dia sudah setuju pindah kos dan menghemat uang jajannya. Menghela nafasku, aku lalu mulai memikirkan pekerjaan yang mungkin aku bisa lakukan ke depannya untuk tetap bisa menyekolahkannya. Tetapi apa itu? batinku sebelum aku mendengar sebuah suara ketukan dari luar.“Selamat sore, Mbak Maharani. Ada yang sedang menunggu mbak di lobi kantor,” ucap Santi reseptionis yang tiba-tiba datang menemuiku di kantor Mas Adam.Eh, siapa? batinku penasaran sebelum akhirnya aku melirik Mas Adam yang sedang asyik berdiskusi dengan Sandra di meja kerjanya. Kali ini, rasa cemburu di dalam hatiku tidak lebih besar dari rasa bersalah yang kurasakan terhadap Mas Adam. Mungkin, selama ini, aku memang telah menjadi beban bagi Mas Adam. Sehingga tidak heran, jika Mas Adam setuju saja untuk menc