.
.
.
Hidup tidak melulu seperti dongeng. Dalam cerita fantasi, pernikahan adalah sebuah akhir dari perjalanan cinta. Dimana-mana ada hamparan bunga penuh warna. Matahari berkilauan bagai permata. Begitu indah dan mengagungkan. Tetapi tidak dengan kisah kami. Kebahagiaan itu hanyalah sebuah bayangan semu yang samar-samar nampak. Mudah ditiup oleh hembusan angin dan menguap begitu saja bersama mimpi. Jangankan hamparan bunga, kebun ilalang disebelah rumah, rasanya lebih baik daripada kehidupan pernikahan kami.
Hampa tak berasa. Pahit bagai biji mahoni. Berisik setiap hari bagai suara kucing yang mau kawin. Aku tentu saja merasa jengah dengan semua itu. Dan aku rasa, begitupun dengan dirinya.
“Aku mau cerai,” kataku dengan begitu yakin kepada hakim mediator di depanku.
Dia hanya terdiam dan menatapku dari ujung kaki ke ujung rambut. Sepertinya dia sedikit ragu. Beberapa kali bahkan dia tampak menghela nafasnya dengan berat. Hingga akhirnya dia mengalihkan pandangannya dariku dan menatap pria disebelahku. Keduanya saling berpandangan. Dan keheningan tidak dapat terelakkan. Hanya sesaat, tetapi rasanya aku sudah tidak betah menanti kedua orang itu berbicara.
“Aku ma-"
“Aku juga mau cerai,” sahut suamiku memotong begitu saja perkataanku.
Seketika, ruangan dimana kami berada terasa begitu dingin. Menusuk sampai ke tulang-tulang dan membuat bulu romaku berdiri. Tidak ada dari kami yang berbicara. Semua menutup mulut rapat-rapat. Kami sudah lelah. Semenjak dari rumah, kami sudah adu mulut dan bertengkar. Tidak hanya hari ini saja, tetapi pertengkaran itu sudah berlangsung sejak lama.
Duduk di depan meja mediasi, aku dan suamiku saling berpandangan. Bukan cinta, tetapi kami saling menyalurkan amarah dan kekesalan. Mata memicing, hidung mendengus, dan gigi-gigi yang bergemeretak. Hakim itu pasti bisa melihat semburat amarah di wajah kami berdua.
“Apa kalian yakin?” tanya hakim itu membuyarkan peperangan batin yang kami lakukan.
“Ya!” serentak, kami menjawabnya.
Aku sudah tidak sanggup berbicara. Rasanya ingin menangis, tetapi aku juga masih punya harga diri untuk menangis di depan pria itu. Sekuat tenaga aku menahannya dengan memikirkan hal-hal buruk tentang dia. Setiap hari pulang larut malam. Tidak mau makan di rumah. Bahkan selama tiga tahun ini sudah tidak mau lagi tidur denganku. Sepertinya dia memiliki dunianya sendiri. Dan dia tidak ingin aku ada di dalamnya.
“Sayangnya tidak semudah itu,” timpal hakim itu menarik perhatian kami berdua.
“Kenapa?” suamiku bertanya dengan ketus.
Aku yakin dia sudah tidak tahan untuk bercerai. Cih! Bukan dia saja, aku juga tidak sudi tinggal dengan pria dingin dan ketus seperti dia.
“Ada peraturan baru di pengadilan,” hakim mediator itu melepas kaca-matanya dan menyodorkan beberapa lembar kertas kepada kami berdua, “Coba kalian bacalah,” imbuhnya.
Hakim itu lalu menangkupkan kedua tangannya. Dia menunggu, sementara aku dan suamiku berebutan membaca kertas-kertas itu.
“Syarat Perceraian,” demikianlah judul dokumen itu.
“Kedua pasangan harus melalui 3 bulan masa mediasi dan melakukan semua program dari balai pengadilan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan. Baik menyangkut bidang pekerjaan, hobi, relasi dan segala sesuatu di rumah tangga.”
Aku membacanya dengan lirih, sementara suamiku sepertinya mengintip dari balik rambutku. Tentu saja, karena aku telah menguasai kertas-kertas itu.
“Bau sekali,” ucapnya tiba-tiba kembali menyulut emosiku. Dari nada bicaranya, pria itu sengaja mengejekku di depan hakim tua itu.
“Apa yang kau katakan barusan Mas?” tanyaku dengan emosi yang mulai kembali terbakar.
Suasana yang tadinya beku seketika memanas. Di dahiku sudah mulai timbul keringat-keringat karena uap panas yang menggerogoti hatiku. Bergetar, gunung api di dalam diriku tidak dapat dikendalikan. Dengan spontan, aku menyambar kertas dan melemparkannya pada wajah dingin itu.
Plak!
Sebuah suara terdengar disertai dengan warna merah yang membekas di pipinya. Selama ini aku memang ingin memukul wajah tengik itu, tetapi aku menahannya. Sekarang, di meja perceraian, aku tidak perlu lagi memperhatikan sopan santunku. Semuanya telah berakhir dan aku tidak perlu repot-repot menjadi isteri yang baik.
“Kau!” suara baritonnya terdengar memenuhi ruangan itu. Suamiku marah. Dia menunjuk wajahku dan aku berbalik memelototinya.
Sesaat, kami berdua kembali beradu pandang. Kali ini, pusaran angin seakan menggulung kami ke dalam pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Saat aku mengambil nafas panjang untuk mengumpatnya, hakim itu telah terlebih dahulu melerai pertarungan kami.
“Ehem …, ” dengan penuh wibawa dia berdeham. Lalu kemudian dia mengambil kertas yang tadi kupegang, “Apakah kalian tahu sedang berada dimana?” tanyanya menyindir sopan santun kami berdua.
Rasanya memalukan melakukannya di depan orang lain. Tetapi aku juga tidak mungkin melemparkan kertas itu jika suamiku tidak menyulutnya terlebih dahulu. Sejenak, kami berdua terdiam dan kembali memusatkan tekad kepada kertas yang dipegang oleh hakim itu.
“Kalian telah membaca syaratnya. Selama tiga bulan, kalian akan mengikuti program mediasi. Dan itu dipantau dengan ketat. Apakah kalian yakin sanggup melakukannya? Jika tidak sangup, lebih baik kalian lupakan saja niat untuk bercerai,” jelas hakim mediator itu menantang keyakinan kami berdua.
“Cih!” sahut suamiku sembari melirikku dengan sinisnya, “Hanya 3 bulan. Aku bisa melakukannya.” dengan penuh keyakinan, ia segera membubuhkan tanda tangannya pada kertas perjanjian bermeterai itu.
Dalam hati, akupun mengejeknya. Bukan hanya dia, tetapi aku juga tidak sudi berlama-lama untuk tinggal bersamanya. Memantapkan hati, aku lalu mengambil pena dan segera membubuhkan tanda tanganku disebelahnya. Hanya 3 bulan! Itu tidak terlalu lama dibandingkan penderitaan yang sudah kualami selama bertahun-tahun menikah dengannya.
...Maharani. Itulah namaku. Dulu aku tidak tahu yang namanya kehidupan. Setelah lulus bangku SMA, tiba-tiba saja seorang pengusaha muda melamarku. Ckck … waktu itu aku masih berusia 18 tahun. Apa yang kutahu tentang kehidupan? Begitu polos dan lugu aku menerima lamarannya. Meninggalkan mimpiku dan rencana kuliahku, hanya untuk hidup sebagai isteri dari Adam Kanzani.Cinta. Dulu aku tergiur olehnya. Hanya satu bulan berkenalan kemudian kami menikah. Dikala itu aku bahagia dan semua orang tertawa, menyangka bahwa kehidupanku akan berubah layaknya cerita putri Cinderella. Tetapi siapa yang menyangka jika di dalamnya, bukan kemewahan yang kudapat. Bukan manis madu, dan juga bukan rangkaian bunga!Penuh kepalsuan. Cintanya kepadaku tidak begitu dalam bagai embun pagi yang menetes dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan! Rapuh dan tidak bisa digenggam. Andai aku dulu tahu akan menjadi seperti ini, mungkin aku tidak akan tergiur dengan paras ta
...“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku," dapat kudengar dengan jelas suara Mas Adam. Kamar kami bersebelahan.Hembusan AC di kamarku terasa begitu dingin, menusuk ke tulang-tulang. Sama dengan perkataan Mas Adam yang tidak sengaja terdengar barusan. Aku akan disingkirkan. Entah mengapa, rasa sakit bercampur marah kembali menggerogoti jantungku. Tidak terasa air mataku kembali bercucuran. Mas Adam memang sudah tidak menginginkanku lagi. Aku merasa tertolak, tetapi apa yang bisa kulakukan?Kembali menutup tubuh telanjangku dengan daster, aku lalu keluar hendak menyiapkan makan malam. Tapi tiba-tiba langkah kakiku terhenti di ambang pintu kala suara baritonenya memanggilku.“Rani, Mas mau pergi,” katanya dengan tegas.Aku meliriknya sekilas dan kulihat dia sudah berpakaian sangat tampan dengan pakaian badmintonnya. Pasti, dia akan main badminton lagi sampai larut malam bersama kawan-kawannya. Biasanya, melihat ha
Adam POV...Malam semakin memanas di lapangan Badminton. Semangatku semakin terpompa dan membara mengalahkan semua lawan-lawanku. Smash demi smash kuberikan hingga tak satupun dari mereka yang berkutik menghadapiku. Bagai para anak itik yang diterkam elang, mereka meronta, memohon. Tetapi aku tidak melepaskan mereka.“Brengsek kau Dam!” Suara para lelaki mengumpatku. Tidak begitu serius, mereka hanya meluapkan kekesalannya karena kalah bertanding.Tersenyum aku menjawab mereka sembari mengambil sebotol air mineral dingin yang diulurkan kepadaku. Segar, itu yang kurasakan kala tanganku menyentuh botol dingin itu.“Thanks San,” ucapku kepada sahabatku Sandra, seorang wanita diantara geng kami.“Sama-sama Dam,” sahutnya dengan penuh kelembutan, “Oh, iya. Aku pinjam raketmu ya?” tanpa basa-basi Sandra langsung saja menyambar raket yang kupegang.Seperti biasa, Sandra s
Adam POV...Waktu telah menunjukkan tepat pukul 12 malam. Dengan hati senang aku bersandung sembari memarkirkan mobilku di garasi rumah kami. Bagai seorang bujangan aku merasa bebas, lepas dan tanpa beban.Rani malam ini tidak memburuku untuk pulang. Tidak ada pesan dan tidak ada dering suara ponsel darinya yang mengganggu pertandinganku. Sepertinya, perceraian memang adalah solusi terbaik diantara kami berdua. Dan aku senang Rani juga berpikir demikian.“Begitukah menurutmu? Apa kau yakin itu yang kau inginkan?”Aku tersentak! Suara batinku kembali menerobos menembus logika di otakku hingga aku menghentikan langkah kakiku. Tunggu! Suara itu selalu saja muncul dan mengganggu keyakinanku. Sekilas ada rasa sesak di dalam dadaku. Aku tidak tahu itu apa, tetapi aku mengartikannya sebagai sebuah rasa bersalah. Eith, jangan salah! Itu bukanlah penyesalan.Aku bersalah karena telah melanggar janji dan sump
...Di rumah Winda, aku terhenyak ketika bangun.“Mas Adam,” kataku tiba-tiba sembari menyibak selimut dan bergegas menyiapkan sarapan pagi untuknya.Suasana dapur sedikit berbeda, nampak lebih sempit dari biasanya. Bahan-bahan disana juga tak sesuai dengan seleranya. Aku merasa linglung harus memasak apa dengan bahan yang tidak biasa kugunakan."Mas Adam, cepat bangun! Jangan malas! Taruh baju kotormu di keranjang. Jangan lupa nanti pulang tepat waktu. Makan di rumah. Aku tidak suka mas kalau kamu itu lembur terus. Dan juga tiap akhir pekan jangan badminton melulu mas." gerutuku disela-sela aktifitasku memotong sayur. Sampai akhirnya sebuah suara membuyarkan fatamorgana yang kukerjakan.“Rani, kau sedang apa?” tanya sahabatku melongo melihat tingkah anehku.“Eh? Win ...,” sahutku mencoba mencerna situasi dihadapanku.Kutatap pisau ditanganku dan potongan wortel yang sudah kupotong.
Adam POV...“Apa kau yakin ini yang kau inginkan?” suara itu kembali mengejutkanku hingga aku bangun dari tidurku. Begitu mengusik, bagai suara gerimis yang mulai terjatuh siang hari ini.Tersentak, aku lalu bangun dan membuka pintu kamarku. Kosong, hening, seperti sebelumnya. Maharani benar-benar pergi meninggalkan rumah kami membawa seluruh jejaknya bersamanya.“Arkkk…!” tanpa sadar aku berteriak dengan kencang.Maharani benar-benar membuatku gila! Bukannya menunggu sehabis cerai, dia malah sudah meninggalkan rumah kami tanpa pamit. Sebenarnya aku tidak masalah dengan hal ini. Itu juga yang aku inginkan selama beberapa waktu terakhir. Keheningan dan ketenangan tanpa Rani disekitarku. Tetapi bukan begini juga caranya! gerutuku dengan pikiranku yang mulai kacau.Andai saja dia perginya menunggu aku pulang, mungkin aku juga tidak akan segelisah ini."Sial!" umpatku kemudian.
...“Mbak Maharani, saya lihat Mas Adam membawa wanita masuk rumah. Saya tadi pagi tidak melihat Mbak Rani belanja, jadi saya tahu Mbak Rani tidak di rumah. Makanya saya kasih tahu. Ya, sudah ya Mbak, saya mau masak dulu.”Aku tercekat manakala aku mendapat sebuah pesan masuk di dalam ponselku. Berkali-kali aku menatap layar itu. Aku tidak sanggup berkedip. Tatapanku seketika menjadi kosong. Tubuhku sedikit bergetar tetapi aku mencoba untuk menahannya sekuat tenaga.Tidak terasa air mata kembali membasahi kedua pipiku. Mas Adam, apakah kau benar-benar telah … tidak bisa melanjutkan dugaanku, aku kembali menatap isi pesan whatsapp itu. Setelah beberapa saat, akupun membalasnya.“Iya, Bu Halimah. Terima kasih informasinya,” dengan gemetar, aku lalu mengirimkan pesan itu sebelum akhirnya sebuah pesan lain masuk mengejutkanku.“Oh, iya Mbak, pintu rumah Jenengan juga tadi langsung ditutup sama Mas Ad
...Pagi telah menjelang, aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor Mas Adam. Tentu saja dengan penampilan baruku layaknya seorang wanita single. No daster! No drama! No air mata! Aku melakukan ini bukan untuk menggaet hati Mas Adam karena sejatinya perasaanku telah hilang dibawa kabur oleh angin. Entah dibawa kemana perasaan itu, akupun tidak tahu!Hanya saja, mulai sekarang aku harus menunjukkan eksistensiku sebagai seorang wanita mandiri. Aku tidak mau terhina dan direndahkan oleh pria itu. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan dunianya, karena aku juga akan berbuat demikian.Pesan dari Bu Halimah kemarin cukup memberikanku pelajaran berharga. Pria adalah makhluk yang paling tidak bisa dipercayai di dunia! Ternyata itu termasuk suamiku sendiri. Ckck … aku lalu mengibaskan rambut panjangku yang bergelombang itu seaka menghempaskan dia jauh-jauh dari kehidupanku.Entah beberapa waktu lamanya aku berdiri di cepan cermin, tiba-tiba