Home / CEO / Terjebak Skandal Dengan Sang CEO / Chapter 3 - Ancaman Bunuh Diri

Share

Chapter 3 - Ancaman Bunuh Diri

"Gila, gila, gila! Gue stress banget!." Alya menggebrak pelan meja yang ada di hadapannya. Sebenarnya dia ingin melakukan lebih dari itu, tapi dia takut Bara akan menyeretnya keluar karena rasa malu.

"Kenapa lagi, sih?" timpal Bara cuek sambil menuliskan pesananannya pada kertas menu yang tadi diberikan pelayan.

Alya tidak langsung menjawab, dia memilih memejamkan mata, dan mengatur jalan pernapasannya-berusaha menenangkan gejolak emosi yang membara dalam dirinya. Jika tidak mengontrol emosi, bisa-bisa dia sungguhan akan menghampiri Gavi dan menjambak rambut laki-laki itu.

Bagaimana Alya tidak emosi? laki-laki itu Sudah berjanji akan melupakan kejadian beberapa hari lalu, tapi hari ini justru terang-terangan dengan sengaja mengungkit masalah tersebut di depan orang lain. Bukankah sudah jelas bahwa Gavi sengaja mencari ribut dengannya?

Usai menyebutkan menu yang dia inginkan pada Bara, Alya lanjut ngedumel panjang lebar, tanpa menyebutkan inti permasalahan, dan siapa sebenarnya sosok yang dia sebutkan.

"Jadi, dia yang lo maksud itu siapa?"

Alya Sedikit kelabakan dengan pertanyaan Bara barusan, "temen gue" dengan nada penuh kebohongan. Untuk merespon hal tersebut, Bara menatap Alya dengan kening mengernyit, mereka sudah bersahabat bertahun-tahun, tentu saja bukan hal sulit bagi Bara untuk mendeteksi kebohongan pada ekspresi Alya.

Demi mengalihkan kecurigaan Bara, Alya pura-pura meminum air mineral yang ada di hadapannya sambil mengamati suasana restoran yang nampak mulai ramai. Sepertinya ada banyak staf Media Times yang memilih nongkrong di tempat ini, untuk istirahat sebentar sebelum lembur.

"Alya, lo jujur sama gue. Ada sesuatu yang nggak beres, ‘kan"

"Nggak ada apa-apa, Bara. Nggak usah lebay deh," kilah Alya sambil sekali lagi menolak panggilan masuk yang entah sudah kali keberapa mengganggunya.

Kali ini, mata Bara menangkap siapa sosok penelpon. "dia masih gangguin, elo?"

Alya membuang napas dengan malas. Untuk masalah yang satu ini, mustahil baginya bisa menutupi dari Bara. "dasar cowok brengsek," celetuk Bara dengan nada penuh kebencian.

"kenapa nggak lo block aja sih?"

"menurut lo, belum?"

"terus itu?"

"dia pake nomor ibunya. Sebrengsek-brengseknya dia, tapi ibunya baik sama gue,"

Raut wajah Bara jelas sekali masih dipenuhi oleh emosi. Sosok yang sering mengganggu Alya adalah Dimas-mantan kekasih Alya saat dulu duduk di bangku kuliah. Sebenarnya mereka hanya berpacaran selama satu tahun menjelang kelulusan. Namun bahkan setelah bertahun-tahun berlalu laki-laki itu masih saja terus meneror kehidupan Alya.

"Sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia memang baik sih,"

"Baik, lo bilang? Cowok tukang selingkuh kaya gitu lo baik Al? Gila lo!" Bara tidak sependapat dengan opini Alya. Dia enggan melanjutkan pembicaraan jika itu tentang Dimas dan Dimas lagi. Bisa-bisa Bara terkena serangan hipertensi-saking emosinya.

Menurut Bara, Dimas itu bukan hanya brengsek karena telah menyelingkuhi Alya, namun lebih dari itu, Dimas adalah seseorang dengan gangguan jiwa yang seharusnya dibawa ke pihak medis. Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun lamanya Dimas terus meneror Alya, dia sering kedapatan menguntit gadis tersebut, mengirimi hadiah-hadiah tidak jelas, bahkan juga beberapa kali nekat mendatangi rumah Alya-yang untungnya dia tidak pernah bertemu dengan ayah Alya yang super galak.

"Lo nggak akan laporin ini semua ke Om Bian?" tanya Bara, sekalian berusaha membujuk sahabatnya untuk kesekian kalinya.

"Kalau ayah tahu, pasti urusannya makin runyam. Nggak mungkin Dimas nggak diseret ke penjara,"

"justru itu tujuannya, Alya. Biar dia berhenti gangguin elo"

Tergurat ekspresi dilema di wajah Alya, kini pikiran dan perasaannya lagi-lagi dikuasai oleh masalah Dimas, bahkan dengan sekejap dia melupakan masalah Gavi yang tadi begitu membara di hatinya. Ya, Dimas memang seperti duri dalam hidup Alya. "lo terus-terusan kasihan sama dia, sedangkan dia? Emang dia pernah kasihan sama lo?"

"Bar, lo kan juga tahu, nyokapnya dia-"

"Udah-udah-udah. Gue males bahas masalah itu." Bara buru-buru memotong, enggan kembali memperdebatkan masalah yang entah sudah berapa ratus kali mereka bicarakan.

Di sisi lain, ponsel Alya tidak berhenti berbunyi-rentetan pesan masuk terus dia terima. Akhirnya dia memilih untuk mematikan handphonenya, mengabaikan semua pesan masuk dari Dimas.

Hal berikutnya yang kedua sahabat itu lakukan adalah, membicarakan omong kosong tentang gosip-gosip selebriti yang mungkin bisa jadi bahan untuk tulisan Alya nanti. Jangan lupa, pekerjaan Alya adalah sebagai seorang penulis berita selebriti.

Pada kesempatan tersebut Alya juga sempat meminta bantuan Bara untuk dicarikan informasi seputar laporan hukum tentang Haidan-penyanyi yang dicurigai banyak pihak tengah melakukan kencan dengan gadis di bawah umur. Jika Alya berhasil mengungkap skandal ini, maka bisa dipastikan bahwa potensi Alya untuk naik jabatan jadi editor senior akan semakin dekat. Bagaimanapun, sebenarnya Alya sudah mulai lelah melakukan pekerjaan pengintaian seperti saat ini. Dia hanya ingin duduk di kantor dan memeriksa berkas-berkas berita.

"Lagian, lo kenapa nggak gabung sama Om Bian, aja sih?"

"No! gue adalah manusia anti nepotisme. Kalau gue gabung ke firma hukum Ayah, pasti banyak orang yang hanya melihat gue sebagai gadis beruntung yang memanfaatkan privilege"

"bukannya emang itu fungsi privilege? Untuk dimanfaatkan"

Alya melakukan rolling eyes, dia masih sering kesal saat membicarakan masalah ini. Namun saat dia hendak membalas kalimat Bara, tiba-tiba mata Alya menangkap sosok Dimas yang sedang berdiri di luar restoran sambil memandangnya. Saat mata mereka bertemu, Dimas menyunggingkan senyum yang bagi orang lain pasti akan terlihat menyeramkan.

Alya memejamkan mata, dia tahu setelah ini pasti akan ada keributan. Dan benar saja, saat Bara menyadari arah tatapannya, dia langsung berdiri dan berjalan menghampiri Dimas yang masih berdiri di luar-seolah memang sengaja menanti untuk didatangi.

Dengan cepat Alya menyusul langkah Bara, takut jika sahabatnya itu nekat. Tapi sialnya, Bara yang memang sudah berapi-api, tanpa babibu langsung melayangkan satu tinjuan tepat di depan pipi kanan Dimas.

"Gue udah sering memperingatkan elo, jangan ganggu Alya lagi!" Alya berusaha menarik Bara, tidak ingin ada keributan lebih besar. Saat ini orang-orang di dalam restoran Sudah menatap penuh ingin tahu ke arah mereka. Bahkan orang-orang yang tidak sengaja lewat juga memelankan langkah mereka-seolah akan rugi jika tidak melihat pertunjukan ini.

Di sisi lain, Dimas yang baru saja mendapatkan pukulan dan ancaman kini justru tertawa menatap Bara. Tawa yang dipenuhi sorot kebencian, tawa yang terdengar menyeramkan, dan benar kata Bara-Dimas mulai sakit jiwa. "kenapa gue nggak boleh deketin Alya, sedangkan elo setiap hari selalu ambil kesempatan buat deket-deket sama dia? Ha?!-" kini giliran Dimas yang menaikan nada suaranya.

"jangan lo pikir gue nggak tahu, kalau elo selama ini cinta sama Alya, dan terus menerus memanfaatkan kedok persahabatan lo!"

Kali ini giliran Alya yang maju satu langkah dan menghadapi Dimas secara langsung, ada senyum sengit yang tersungging di bibir atas si gadis, "gue heran, bahkan setelah kita putus bertahun-tahun pun, Elo nggak berubah. Lo nggak sadar sepanjang satu tahun kita pacaran masalah terbesar yang terus kita ributin soal apa?,"

"Dia Al, dia! Semua gara-gara, dia!" kata Dimas sambil menunjuk Bara

Alya menggeleng, "semua bukan gara-gara Bara, tapi karena rasa cemburuan dan curigaan lo yang nggak jelas! Bahkan ujung-ujungnya malah lo yang selingkuh. Lo lupa, di sini siapa yang berkhianat?"

Dengan cepat raut wajah Dimas berubah panik, dia bahkan segera berlutut di hadapan Alya dan mulai menangis. Dia terus meminta maaf. Permintaan maaf yang terdengar memuakan bagi Alya. Sebenarnya, selama ini Alya sudah maafkan Dimas soal perselingkuhan itu, dia tidak sebegitunya mencintai Dimas sampai masih harus menyimpan dendam masa lalu. Namun, masalahnya adalah Dimas yang justru terus-terusan melakukan hal semacam ini.

Bara yang lagi-lagi tidak bisa menahan emosi, dengan cepat menarik tangan Alya dan hendak membawanya kembali ke kantor. Namun, langkah mereka terhenti saat tiba-tiba Dimas juga menyusul dan menarik tangan kiri Alya "ALLL!" teriak Dimas, membuat lebih banyak orang yang menaruh perhatian pada keributan ini.

Alya memejamkan mata, banyak diantara orang-orang yang melihat adalah rekan kerjanya, besok pasti akan tersebar kabar yang tidak-tidak. Tidak ingin ini berlarut-larut, akhirnya Alya memilih untuk melepaskan pegangan tangan Bara, dan menghadapi Dimas.

Lalu, dengan cepat Dimas membisikan sebuah kalimat yang langsung membuat Alya membeku di tempat "jam 9 malam ini, temui aku di Beach Club, kalau kamu datang aku berjanji akan menghentikan semua kegilaan aku. Kalau kamu nggak dateng, aku akan bunuh diri. Tapi, sebelum itu, aku akan bunuh Bara, dulu"

Alya menatap Dimas dengan penuh kebencian, tangannya mengepal kuat, tapi yang ditatap justru tersenyum ringan. "jangan lupa Al, aku gila. Dan semua ini karena kamu." lanjut Dimas sambil mulai berjalan pergi.

"Dia bisikin apa ke elo?" desak Bara ingin tahu karena sadar ada yang tidak beres.

Alya memilih menyimpan semua ini sendirian, Bara tidak boleh tahu. Karena bisa-bisa malam ini bukan Dimas yang membunuh Bara, tapi justru sebaliknya. Meskipun Alya emosian dan keras kepala, tapi Bara juga tidak berbeda jauh darinya. Apalagi jika hal ini menyangkut Dimas si manusia brengsek. "nggak, dia nggak ngomong apa-apa. Cuma ngomong kata-kata cinta kayak biasanya."

"Lo bohong Al, muka lo panik"

Dengan cepat Alya mengontrol ekspresi di wajahnya, lalu menghela napas pura-pura cuek, "ini bukan panik, tapi jijik. Udah ah, gue balik duluan. Lo jangan lupa bayar dulu makanannya"

"Gue naterin"

"Nggak usah, lo kan ada lembur"

"Tapi gimana kalau Dimas mengikuti elo, Al?"

"Lo lupa, gue pernah belajar taekwondo?"

Bara tahu Alya sangat pemberani dan keras kepala. Mau sebagaimana dia melarang, jika gadis itu Sudah bertekad maka semua larangan pasti tidak akan dia dengar. Al hasil, dia hanya bisa membiarkan Alya pulang sendirian-sebagaimana keinginan gadis tersebut.

Dalam perjalanan pulang, hati Alya masih bimbang. Haruskah dia menemui Dimas malam ini? Tapi, bukan kah itu adalah sebuah club? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk padanya? Segalanya selalu berubah rumit jika itu berurusan dengan Dimas.

                                                                   BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status