"Gila, gila, gila! Gue stress banget!." Alya menggebrak pelan meja yang ada di hadapannya. Sebenarnya dia ingin melakukan lebih dari itu, tapi dia takut Bara akan menyeretnya keluar karena rasa malu.
"Kenapa lagi, sih?" timpal Bara cuek sambil menuliskan pesananannya pada kertas menu yang tadi diberikan pelayan.
Alya tidak langsung menjawab, dia memilih memejamkan mata, dan mengatur jalan pernapasannya-berusaha menenangkan gejolak emosi yang membara dalam dirinya. Jika tidak mengontrol emosi, bisa-bisa dia sungguhan akan menghampiri Gavi dan menjambak rambut laki-laki itu.
Bagaimana Alya tidak emosi? laki-laki itu Sudah berjanji akan melupakan kejadian beberapa hari lalu, tapi hari ini justru terang-terangan dengan sengaja mengungkit masalah tersebut di depan orang lain. Bukankah sudah jelas bahwa Gavi sengaja mencari ribut dengannya?
Usai menyebutkan menu yang dia inginkan pada Bara, Alya lanjut ngedumel panjang lebar, tanpa menyebutkan inti permasalahan, dan siapa sebenarnya sosok yang dia sebutkan.
"Jadi, dia yang lo maksud itu siapa?"
Alya Sedikit kelabakan dengan pertanyaan Bara barusan, "temen gue" dengan nada penuh kebohongan. Untuk merespon hal tersebut, Bara menatap Alya dengan kening mengernyit, mereka sudah bersahabat bertahun-tahun, tentu saja bukan hal sulit bagi Bara untuk mendeteksi kebohongan pada ekspresi Alya.
Demi mengalihkan kecurigaan Bara, Alya pura-pura meminum air mineral yang ada di hadapannya sambil mengamati suasana restoran yang nampak mulai ramai. Sepertinya ada banyak staf Media Times yang memilih nongkrong di tempat ini, untuk istirahat sebentar sebelum lembur.
"Alya, lo jujur sama gue. Ada sesuatu yang nggak beres, ‘kan"
"Nggak ada apa-apa, Bara. Nggak usah lebay deh," kilah Alya sambil sekali lagi menolak panggilan masuk yang entah sudah kali keberapa mengganggunya.
Kali ini, mata Bara menangkap siapa sosok penelpon. "dia masih gangguin, elo?"
Alya membuang napas dengan malas. Untuk masalah yang satu ini, mustahil baginya bisa menutupi dari Bara. "dasar cowok brengsek," celetuk Bara dengan nada penuh kebencian.
"kenapa nggak lo block aja sih?"
"menurut lo, belum?"
"terus itu?"
"dia pake nomor ibunya. Sebrengsek-brengseknya dia, tapi ibunya baik sama gue,"
Raut wajah Bara jelas sekali masih dipenuhi oleh emosi. Sosok yang sering mengganggu Alya adalah Dimas-mantan kekasih Alya saat dulu duduk di bangku kuliah. Sebenarnya mereka hanya berpacaran selama satu tahun menjelang kelulusan. Namun bahkan setelah bertahun-tahun berlalu laki-laki itu masih saja terus meneror kehidupan Alya.
"Sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia memang baik sih,"
"Baik, lo bilang? Cowok tukang selingkuh kaya gitu lo baik Al? Gila lo!" Bara tidak sependapat dengan opini Alya. Dia enggan melanjutkan pembicaraan jika itu tentang Dimas dan Dimas lagi. Bisa-bisa Bara terkena serangan hipertensi-saking emosinya.
Menurut Bara, Dimas itu bukan hanya brengsek karena telah menyelingkuhi Alya, namun lebih dari itu, Dimas adalah seseorang dengan gangguan jiwa yang seharusnya dibawa ke pihak medis. Bagaimana tidak? Selama bertahun-tahun lamanya Dimas terus meneror Alya, dia sering kedapatan menguntit gadis tersebut, mengirimi hadiah-hadiah tidak jelas, bahkan juga beberapa kali nekat mendatangi rumah Alya-yang untungnya dia tidak pernah bertemu dengan ayah Alya yang super galak.
"Lo nggak akan laporin ini semua ke Om Bian?" tanya Bara, sekalian berusaha membujuk sahabatnya untuk kesekian kalinya.
"Kalau ayah tahu, pasti urusannya makin runyam. Nggak mungkin Dimas nggak diseret ke penjara,"
"justru itu tujuannya, Alya. Biar dia berhenti gangguin elo"
Tergurat ekspresi dilema di wajah Alya, kini pikiran dan perasaannya lagi-lagi dikuasai oleh masalah Dimas, bahkan dengan sekejap dia melupakan masalah Gavi yang tadi begitu membara di hatinya. Ya, Dimas memang seperti duri dalam hidup Alya. "lo terus-terusan kasihan sama dia, sedangkan dia? Emang dia pernah kasihan sama lo?"
"Bar, lo kan juga tahu, nyokapnya dia-"
"Udah-udah-udah. Gue males bahas masalah itu." Bara buru-buru memotong, enggan kembali memperdebatkan masalah yang entah sudah berapa ratus kali mereka bicarakan.
Di sisi lain, ponsel Alya tidak berhenti berbunyi-rentetan pesan masuk terus dia terima. Akhirnya dia memilih untuk mematikan handphonenya, mengabaikan semua pesan masuk dari Dimas.
Hal berikutnya yang kedua sahabat itu lakukan adalah, membicarakan omong kosong tentang gosip-gosip selebriti yang mungkin bisa jadi bahan untuk tulisan Alya nanti. Jangan lupa, pekerjaan Alya adalah sebagai seorang penulis berita selebriti.
Pada kesempatan tersebut Alya juga sempat meminta bantuan Bara untuk dicarikan informasi seputar laporan hukum tentang Haidan-penyanyi yang dicurigai banyak pihak tengah melakukan kencan dengan gadis di bawah umur. Jika Alya berhasil mengungkap skandal ini, maka bisa dipastikan bahwa potensi Alya untuk naik jabatan jadi editor senior akan semakin dekat. Bagaimanapun, sebenarnya Alya sudah mulai lelah melakukan pekerjaan pengintaian seperti saat ini. Dia hanya ingin duduk di kantor dan memeriksa berkas-berkas berita.
"Lagian, lo kenapa nggak gabung sama Om Bian, aja sih?"
"No! gue adalah manusia anti nepotisme. Kalau gue gabung ke firma hukum Ayah, pasti banyak orang yang hanya melihat gue sebagai gadis beruntung yang memanfaatkan privilege"
"bukannya emang itu fungsi privilege? Untuk dimanfaatkan"
Alya melakukan rolling eyes, dia masih sering kesal saat membicarakan masalah ini. Namun saat dia hendak membalas kalimat Bara, tiba-tiba mata Alya menangkap sosok Dimas yang sedang berdiri di luar restoran sambil memandangnya. Saat mata mereka bertemu, Dimas menyunggingkan senyum yang bagi orang lain pasti akan terlihat menyeramkan.
Alya memejamkan mata, dia tahu setelah ini pasti akan ada keributan. Dan benar saja, saat Bara menyadari arah tatapannya, dia langsung berdiri dan berjalan menghampiri Dimas yang masih berdiri di luar-seolah memang sengaja menanti untuk didatangi.
Dengan cepat Alya menyusul langkah Bara, takut jika sahabatnya itu nekat. Tapi sialnya, Bara yang memang sudah berapi-api, tanpa babibu langsung melayangkan satu tinjuan tepat di depan pipi kanan Dimas.
"Gue udah sering memperingatkan elo, jangan ganggu Alya lagi!" Alya berusaha menarik Bara, tidak ingin ada keributan lebih besar. Saat ini orang-orang di dalam restoran Sudah menatap penuh ingin tahu ke arah mereka. Bahkan orang-orang yang tidak sengaja lewat juga memelankan langkah mereka-seolah akan rugi jika tidak melihat pertunjukan ini.
Di sisi lain, Dimas yang baru saja mendapatkan pukulan dan ancaman kini justru tertawa menatap Bara. Tawa yang dipenuhi sorot kebencian, tawa yang terdengar menyeramkan, dan benar kata Bara-Dimas mulai sakit jiwa. "kenapa gue nggak boleh deketin Alya, sedangkan elo setiap hari selalu ambil kesempatan buat deket-deket sama dia? Ha?!-" kini giliran Dimas yang menaikan nada suaranya.
"jangan lo pikir gue nggak tahu, kalau elo selama ini cinta sama Alya, dan terus menerus memanfaatkan kedok persahabatan lo!"
Kali ini giliran Alya yang maju satu langkah dan menghadapi Dimas secara langsung, ada senyum sengit yang tersungging di bibir atas si gadis, "gue heran, bahkan setelah kita putus bertahun-tahun pun, Elo nggak berubah. Lo nggak sadar sepanjang satu tahun kita pacaran masalah terbesar yang terus kita ributin soal apa?,"
"Dia Al, dia! Semua gara-gara, dia!" kata Dimas sambil menunjuk Bara
Alya menggeleng, "semua bukan gara-gara Bara, tapi karena rasa cemburuan dan curigaan lo yang nggak jelas! Bahkan ujung-ujungnya malah lo yang selingkuh. Lo lupa, di sini siapa yang berkhianat?"
Dengan cepat raut wajah Dimas berubah panik, dia bahkan segera berlutut di hadapan Alya dan mulai menangis. Dia terus meminta maaf. Permintaan maaf yang terdengar memuakan bagi Alya. Sebenarnya, selama ini Alya sudah maafkan Dimas soal perselingkuhan itu, dia tidak sebegitunya mencintai Dimas sampai masih harus menyimpan dendam masa lalu. Namun, masalahnya adalah Dimas yang justru terus-terusan melakukan hal semacam ini.
Bara yang lagi-lagi tidak bisa menahan emosi, dengan cepat menarik tangan Alya dan hendak membawanya kembali ke kantor. Namun, langkah mereka terhenti saat tiba-tiba Dimas juga menyusul dan menarik tangan kiri Alya "ALLL!" teriak Dimas, membuat lebih banyak orang yang menaruh perhatian pada keributan ini.
Alya memejamkan mata, banyak diantara orang-orang yang melihat adalah rekan kerjanya, besok pasti akan tersebar kabar yang tidak-tidak. Tidak ingin ini berlarut-larut, akhirnya Alya memilih untuk melepaskan pegangan tangan Bara, dan menghadapi Dimas.
Lalu, dengan cepat Dimas membisikan sebuah kalimat yang langsung membuat Alya membeku di tempat "jam 9 malam ini, temui aku di Beach Club, kalau kamu datang aku berjanji akan menghentikan semua kegilaan aku. Kalau kamu nggak dateng, aku akan bunuh diri. Tapi, sebelum itu, aku akan bunuh Bara, dulu"
Alya menatap Dimas dengan penuh kebencian, tangannya mengepal kuat, tapi yang ditatap justru tersenyum ringan. "jangan lupa Al, aku gila. Dan semua ini karena kamu." lanjut Dimas sambil mulai berjalan pergi.
"Dia bisikin apa ke elo?" desak Bara ingin tahu karena sadar ada yang tidak beres.
Alya memilih menyimpan semua ini sendirian, Bara tidak boleh tahu. Karena bisa-bisa malam ini bukan Dimas yang membunuh Bara, tapi justru sebaliknya. Meskipun Alya emosian dan keras kepala, tapi Bara juga tidak berbeda jauh darinya. Apalagi jika hal ini menyangkut Dimas si manusia brengsek. "nggak, dia nggak ngomong apa-apa. Cuma ngomong kata-kata cinta kayak biasanya."
"Lo bohong Al, muka lo panik"
Dengan cepat Alya mengontrol ekspresi di wajahnya, lalu menghela napas pura-pura cuek, "ini bukan panik, tapi jijik. Udah ah, gue balik duluan. Lo jangan lupa bayar dulu makanannya"
"Gue naterin"
"Nggak usah, lo kan ada lembur"
"Tapi gimana kalau Dimas mengikuti elo, Al?"
"Lo lupa, gue pernah belajar taekwondo?"
Bara tahu Alya sangat pemberani dan keras kepala. Mau sebagaimana dia melarang, jika gadis itu Sudah bertekad maka semua larangan pasti tidak akan dia dengar. Al hasil, dia hanya bisa membiarkan Alya pulang sendirian-sebagaimana keinginan gadis tersebut.
Dalam perjalanan pulang, hati Alya masih bimbang. Haruskah dia menemui Dimas malam ini? Tapi, bukan kah itu adalah sebuah club? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk padanya? Segalanya selalu berubah rumit jika itu berurusan dengan Dimas.
BERSAMBUNG
Sesampainya di rumah, Alya langsung menyalakan ponsel, dia memeriksa semua pesan masuk dari Dimas. Dan benar saja, mantan kekasihnya itu mengirim banyak pesan, yang banyak diantaranya adalah permohonan dan ancaman agar Alya datang ke Beach Club malam ini."Ahhhh, sinting! Kenapa sih dulu gue bisa pacaran sama manusia macam dia?!!!" Alya geregetan sendiri dengan tingkah bodohnya di masa lalu. Kini dia terus mondar-mandir, menimbang apakah harus menemui Dimas atau tidak.Sebenarnya Alya bisa saja mengabaikan Dimas seperti biasa, tapi di sisi lain di takut laki-laki itu akan nekat melakukan ucapannya. Karena segila-gilanya Dimas, sebelumnya dia tidak pernah memberikan ancaman seperti ini. Dia khawatir akan ada orang-orang yang terluka karena rasa acuh tak acuhnya."Ah masa bodoh deh, gue pikirin nanti" sekarang sudah pukul 7 malam, setidaknya masih ada waktu satu jam lagi, jika dia ingin menempuh perjalanan ke Beach Club. Meskipun Alya tidak pernah mengunjungi tempat terlarang tersebut,
"Mau sampai kapan sih kamu kayak gini?!""Seumur hidup"Suara ribut-ribut di luar adalah yang membuat Alya pada akhirnya terbangun dari tidurnya. Begitu membuka mata, satu-satunya hal yang langsung menyerang dirinya adalah rasa panik dan takut. Karena, sadar dia bangun di tempat asing.Alya menyibak selimut untuk memastikan pakaiannya tidak tertanggal dari tubuh, dan untungnya benar, dia masih berpakaian lengkap. Gadis itu lalu memejamkan mata sebentar, mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya, dan betapa murkanya dia saat nama Dimas, keluar dari salah satu laci memorinya, kemudian disusul rentetan kejadian menyebalkan sekaligus mengerikan yang terjadi tadi malam."Dimas, brengsek!" Desisnya. Dia yakin, di luar adalah suara Dimas dan ibunya yang sedang ribut. Apapun yang terjadi hari ini, jangan panggil dia Alya Tifany Pramana, jika dia tidak bisa membuat Dimas terkapar di rumah sakit dan nyaris mati!Dengan gontai dan amarah membuncah Alya mulai melangkahkan kaki, lalu membuka
Demi bumi dan seluruh isinya, sungguh Alya berusaha memutar cepat ide-ide yang ada di kepala, dia ingin bisa segera mengendalikan situasi saat ini. Karena nampaknya, Gavi sama sekali tidak terlihat ingin membantu. "Hmm Tante, sebenarnya meskipun saya menginap namun saya jamin tidak ada yang terjadi diantara kami-,""sayang," tiba-tiba Gavi menyela. "kamu lupa apa yang terjadi tadi malam?." wajahnya dibuat pura-pura sedih saat mengatakan kalimat tersebut. Terang saja, hal itu membuat Alya panik karena menduga hal yang tidak-tidak telah terjadi diantara mereka."Pak, eh maksud aku, kamu jangan becanda deh hehe. Nanti Mama kamu salah paham.”"Mama nggak akan salah paham. Iya kan, Ma?" sengaja benar Gavi memper erat rangkulannya di pinggang Alya.Amira tentu saja bahagia dengan pemandangan tersebut. Akhirnya dia bisa melihat putranya mulai membuka lembaran baru.Sedangkan Alya, dalam hati lagi-lagi mengucapkan sumpah serapah untuk bossnya yang senang sekali membuat dia terjebak pada situa
Alya masih terus memijat lengannya karena merasa pegal luar biasa. Beruntungnya dia, karena sang Ayah tadi malam mau berbelas kasihan menerima laporan intropeksi diri yang seadanya. Meskipun itu juga dia dapatkan dari duduk bersimpuh selama lebih dari dua jam untuk memohon pada ampun dan keringanan.Apa kalian pikir ayah Alya kejam? Percayalah, bagi Alya tidaklah demikian. Dia tahu, kakeknya dulunya merupakan seorang jendral, sehingga hal tersebut membuat pola didik sang ayah sangat keras sedari kecil.Meskipun dirinya adalah seorang perempuan, namun sedari kecil dia terus dilatih untuk bisa menjadi kuat. Karenanya, jangan heran pula jika Alya memiliki sifat dan sikap yang terbilang lumayan bar-bar.Di sisi lain, Gavi yang sedang duduk kursinya sesekali masih mencuri pandang pada Alya yang sudah lama tidak ia lihat, karena katanya gadis tersebut mendadak mengambil cuti selama satu minggu. "Apa kejadian waktu itu sangat mempengaruhi dia?" batin Gavi.Di tengah rapat, kini pikirannya j
Akibat serangan rasa panik, secara spontan Alya mendorong tubuh Gavi dengan cukup kuat, membuat laki-laki tersebut jatuh ke sisi. Sungguh siapapun yang melihat posisi barusan pasti akan sangat salah paham dan mengira mereka sedang melakukan perbuatan yang tidak-tidak. 'Ah sial, lagi-lagi kesalah pahaman menyebalkan!' geritu Alya sambil mencoba menenangkan detak jantungnya yang berderu akibat 'ketangkap basah'."Sorry. Kami tunggu di luar saja," ujar salah seorang pria sambil berjalan mundur."lanjut saja. Silahkan," sahut yang satunya lagi sambil hendak kembali menutup pintu. Alya bisa menjamin bahwa mereka menyunggingkan sebuah senyuman yang mengejek dirinya. Apa mereka pikir Alya adalah staf perempuan yang sedang menggoda bossnya?! Hell, big no!Namun, berbeda dengan dua laki-laki tadi yang tampak santai dan terkesan menggoda, Laura kini menghujani Alya dengan tatapan penuh kebencian."TUNGGU!," teriak Alya saat pintu hendak tertutup kembali. Buru-buru dia berdiri, "Anda semua sal
Siapapun yang melihat langkah serta ekspresi Alya siang ini, pasti dengan mudah bisa menduga bahwa gadis tersebut sedang diliputi amarah yang sangat besar."Akhirnya hari ini datang juga." Kata Alya pada dirinya sendiri dengan tatapan yang hanya lurus menghujani Dimas.Bahkan panggilan dari teman-temannya sama sekali tidak ia pedulikan. Terang saja mereka dibuat bingung dengan sikap Alya yang tiba-tiba memancarkan aura membunuh."Al-"Tanpa sudi mendengar Dimas menyelesaikan kata, Alya dengan cepat menarik tangan laki-laki tersebut, satu kakinya ia buat maju untuk mematahkan kuda-kuda dimas, dan dalam hitungan sepersekian detik saja dia langsung membanting tubuh Dimas dengan sangat keras di atas trotoar."AAAAAKKH!" suara pekikan terdengar dari banyak orang yang menyaksikan kejadian barusan. Tentu saja mereka kaget dengan keributan dan kekerasan yang tiba-tiba terjadi. Persetan, Alya tidak peduli dengan semua orang yang memandangnya ngeri. Hari ini, dia ingin lepas kendali untuk menu
Menit-menit berlalu, Gavi masih terus memeluk Alya dan mencoba memberikan ketenangan. Berbeda dengan semua orang yang merasa bingung dan tidak mengerti, mengapa Alya tiba-tiba menghajar Dimas, Gavi tentu sangat tahu alasannya.Saat dia mengatakan, akan membantu Alya jika ada di tempat kejadian, itu bukan sebuah candaan. Jangan lupa, bahwa Gavi belum sempat membuat perhitungan pada orang yang sudah membuat dadanya dijahit.Hingga, pada akhirnya dering telepon Gavi, adalah yang membuat mereka berdua tersadar dan saling menjauhkan badan-melepas pelukan."Hallo, Ma?" Kata Gavi sambil menempelkan benda pipih ke telinganya."Kamu, di mana? Mama lagi di ruangan, kamu""Di rooftop,""Sama, Alya? Tadi mama, mau cari dia ke ruangannya, tapi takut bikin staf lain curiga.""Iya Ma, aku kagi sama Alya," jawab Gavi sambil dengan ringan menggunakan ibu jarinya untuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Alya.Sungguh, Gavi tidak akan pernah tahu, bahwa perlakuannya barusan, membuat hati Alya
"Vania, kamu sekolah di mana?!"Sedikit kaget dengan pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Alya dengan penuh semangat, Vania menjawab, "SMA Tutwuri," Gavi menatap bingung pada binar mata Alya yang masih terlihat begitu jelas. Hello? Kemana perginya gadis murung yang sedang bersedih tadi?"Besok kamu pulang jam berapa? Apa Kakak boleh jemput kamu?"Kali ini, kernyitan di dahi Gavi kian dalam. Namun, tentu hal berbeda diperlihatkan oleh Vania. Remaja perempuan tersebut kini nampak tak kalah berbinar dari Alya."Gimana kalau besok, Kakak bantuin aku ambil rapot?""Maksudnya?""Jadi, besok aku ada acara ambil rapot. Tapi, orangtua aku lagi dinas ke luar negeri sampai lusa. Lalu, Tante Amira nanti malam mau nemenin Om Natan kondangan ke Suarabaya. Makanya, niatnya aku ke sini mau minta tolong ke Bang Gavi. Tapi, kayaknya lebih seru kalo Kak Alya aja yang ambilin rapot aku!" Alya langsung mengangguk, menyanggupi permintaan Vania. Baginya, yang terpenting kini dia bisa melihat remaja