Share

Chapter 2 – Gavin Narendra

Saat memasuki ruang divisinya, ternyata kini rekan-rekan Alya sedang berkumpul di meja Roni yang sepertinya juga baru kembali dari suatu tempat. Kedatangan Alya sontak membuat semua orang langsung menatapnya, beberapa diantara mereka jelas ada yang menaruh curiga padanya.

Ditambah lagi, tiba-tiba Roni mengatakan satu kalimat yang membuat Alya layak untuk dicurigai, “Sepertinya gue tahu, siapa gadis itu,” 

Setengah mati, Alya berusaha mengendalikan dirinya. Dia harus berpura-pura, dan mengambil alih situasi. "Kalian pikir perempuan itu gue? Emangnya, masuk akal?." ujarnya dengan nada yang dibuat sesantai mungkin.

Karin menggeleng cepat, menyahuti pertanyaan Alya yang penuh nada meyakinkan. Ya, siapa saja tentu tidak akan berpikir bahwa perempuan itu adalah Alya. Melihat tampilan Alya yang cukup casual, nampaknya sangat jauh berbeda dengan perempuan-perempuan seksi yang biasanya diposting di i*******m Gavi. Belum lagi, tingkah Alya yang juga bisa dibilang bar-bar. Ah sepertinya tidak mungkin!

Selain itu, dari semua staf wanita yang begitu mengidolakan Gavi, Alya adalah sedikit perempuan yang tidak begitu tertarik pada pesona laki-laki itu. Alasannya, Gavi sangat jauh dari tipe pria idealnya. Bukan hanya sangat jauh, namun sungguh keterbalikan.

"Lo dari mana, Al?"

"Ruang meeting. Habis menginterogasi salah satu kenalan gue yang sempat jadi fashion stylistnya, Haidan." kilah Alya, sambil pura-pura membuka Microsoft word pada komputernya-pura-pura mengetik laporan.

Meskipun tidak bergabung dengan meja Roni, namun dengan jelas Alya bisa mendengar bahwa keempat rekannya bertekad untuk membongkar siapa perempuan misterius yang katanya terlibat skandal dengan Gavi.

Tim Besar Media Times

Gue dapet info dari anak Potret, katanya Pak Gavi punya skandal sama salah satu staff.’

Lagi-lagi mata Alya membelalak saat membaca isi chat dari grup perusahaannya. Dasar Roni si mulut besar! Rasanya ingin sekali Alya mengumpati rekannya tersebut. Tapi apa boleh buat, dia tidak bisa melakukan hal itu sama sekali, karena jika dia melakukannya maka sama artinya dengan membongkar rahasia yang dia jaga mati-matian.

Sekarang seluruh staff kantor pasti sedang heboh, menebak-nebak siapa perempuan sial yang telah memikat Gavi. Karena jika identitas perempuan misterius itu sampai terbongkar yang sudah pasti akan terjadi adalah, dia akan dimusuhi oleh para pemuja Gavi garis keras. Selain itu, reputasinya juga pasti akan hancur. Membayangkannya saja sudah membuat Alya pening dan mual.

“Atau jangan-jangan, perempuan yang terlibat skandal itu, Bu Laura?” Roni tiba-tiba teringat satu nama, yang sangat mungkin untuk mereka jadikan suspend.

Kening Laras mengernyit, “tapi gue agak ragu sih,”

“Kenapa?” timpal Alya mendadak ingin tahu. Bukan kah selama ini, Pak Gavin memang dekat dengan Bu Laura.

“Sejauh yang gue tahu, Bu Laura masih ada hubungan saudara sama Pak Gavin. Makanya, meskipun terlihat jelas Bu Laura ngebet, tapi hubungan mereka terlihat stuck aja,”

Roni dan Alya kompak mengangguk. Memang benar apa yang dikatakan oleh Laras. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Laura terlihat sangat tertarik dengan Gavin, namun meski sering terlihat dekat, tidak pernah satu kali pun ada pernyataan bahwa keduanya resmi bersama.

***

Gavi Narendra, adalah anak tunggal dari direktur utama Media Times-perusahaan yang menaungi majalah Potret. Selain itu, di majalah Potret dia adalah seorang Pimpinan Redaksi. Jadi, soal karir dan kekayaan milik seorang Gavi, tentu tidak perlu lagi dipertanyakan. Selain itu, Laki-laki tersebut juga memiliki paras yang tampan menawan. Ah jangan lupakan pula, dia juga dilengkapi dengan kepribadian baik-sangat ramah dan murah senyum.

Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh para gadis lain ketika melihat sosok Gavin. Sedangkan bagi Alya Tifany, Gavin tidak lebih dari laki-laki brengsek yang hobi gonta-ganti pasangan. Jadi, untuk Alya yang mempercayai adanya cinta sejati, tentu saja nama Gavin tidak mungkin masuk dalam daftar pria idaman.

Karenanya, selama ini Alya hanya menganggap Gavin sebagai atasannya, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada perasaan apapun-bahkan setelah tadi mereka tidak sengaja 'berciuman'.

"Gosip itu bener?" Rey-sahabat Gavin sekali lagi mengajukan pertanyaan saat mereka hendak masuk ke dalam lift.

"Berisik," jawabnya nampak malas, sambil mengangkat pandangannya, dan tepat saat itu matanya bersisobek dengan Alya yang kentara sekali berusaha menunjukan tatapan acuh tak acuh.

"Selamat siang, Pak," sapa Alya mencoba terlihat ramah. Bagaimanapun, Gavi adalah atasannya. Meski dalam hati, dia merutuk karena lagi-lagi harus mengalami kesialan bertemu dengan lelaki tersebut, pada saat situasi sedang runyam. Dia berharap lift bisa berjalan lebih cepat dari seharusnya. Karena kini di dalam lift hanya ada mereka bertiga saja.

"Anak perempuan orang jangan dimainin. Kalo cewek-cewek di club sih gak apa-apa, mereka juga sudah pasti hafal watak seorang Gavin, jadi mereka tidak akan gak pakai perasaan."

Gavin tidak menanggapi kalimat Reynald barusan. Dia memilih melipat kedua tangannya di depan dada, dan meluruskan pandangan, dari situ ia bisa melihat pantulan wajah Alya yang Nampak tidak nyaman.

"Rey, menurut mu, jika ada perempuan dan laki-laki yang bibirnya bersentuhan, itu ciuman bukan?,"

Tanpa bisa dicegah mata Alya langsung melotot dan menatap Gavi yang berdiri tepat di hadapannya. Tanpa Alya tahu, kini Gavi sedang tersenyum merdeka-menikmati ekspresinya yang terlihat lucu.

"Apa masih harus dipertanyakan?,"

Gavi mengangkat bahu, merespon jawaban Reynald, "karena ada yang bilang, katanya itu bukan ciuman, tapi bersenggolan. Atau bahkan lebih mirip sama kaki kita yang tidak sengaja terinjak di dalam lift."

"AUUUU. Ngapain sih?!" Rey menunjukan protes karena Gavi benar-benar menginjak kakinya.

"Sorry, aku cuma mempraktekan aja. Kira-kira situasinya beneran mirip atau tidak," jawab Gavi santai sambil lagi-lagi memperhatikan ekspresi Alya yang kini sepertinya berubah jadi kesal. "Kalau menurut Alya, kejadian tadi ciuman atau bukan?," lanjutnya sambil sedikit membalikan badan. Jelas itu adalah sebuah provokasi.

"Maaf, kejadian yang mana ya, Pak?" dengan cepat Alya mengendalikan emosi di wajahnya, dia pura-pura tenang dan tidak tahu apa-apa.

"situasi yang saya tanyakan pada sahabat saya barusan,"

"kalau bibir mereka bersentuhan dengan sengaja tentu saja itu ciuman. Tapi kalau bibir mereka bersentuhan dengan tidak sengaja, maka itu artinya bukan. Anggap saja-"

"seperti tidak sengaja bersenggolan dengan orang asing di bus kota, atau kaki terinjak di dalam lift?," Gavi menyela kalimat Alya, dan kini dia sudah membalikan badan sepenuhnya sambil menatap Alya-menggoda.

Untungnya, tepat saat itu lift terbuka di lobby, sehingga dengan cepat Alya bisa meloloskan diri dari permainan konyol yang dibuat oleh atasannya.

"Maaf Pak, saya sudah sampai tujuan. Dan menurut undang-undang pekerja, saya rasa tidak ada pasal yang menjelaskan bahwa saya harus menjawab pertanyaan pribadi dari atasan selama jam kerja. Permisi."

Seketika itu tawa Gavi pecah, namun dia tidak menghalangi Alya yang ingin segera meninggalkannya. "Dia, lucu banget, ‘kan? Seperti kucing yang diinjak ekornya, hahaha"

Rey tahu, ada sesuatu di antara Gavi dan Alya, sungguh tidak sulit baginya untuk mendeteksi hal itu. Dia sudah bersahabat dengan Gavi sejak SMA dan gelagat Gavi hari ini tentu saja aneh di matanya.

"Dia?" tanya Rey

Dengan cepat Gavi mengangguk, "Iya, lucu sekali bukan?"

"Yang ku maksud, apa dia perempuan yang terlibat skandal dengan mu?"

Tawa Gavi mulai mereda, namun wajahnya masih tetap santai, matanya masih menatap ke arah Alya yang berjalan dengan gontai menuju pintu lobby. "Kau tidak usah ikut-ikutan lebay. Itu bukan skandal. Kami hanya tidak sengaja ci–eh maksudnya tidak sengaja bersenggolan."

Seketika kening Reynald langsung mengernyit, dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi di sisi lain dia juga percaya bahwa ini hanya permainan Gavi. Mungkin satu atau dua hari lagi, semua gosip itu toh juga akan mereda.

Di sisi lain, kini Alya terlihat sedang menggandeng lengan Bara-sahabatnya yang bekerja di divisi legal Media Times. Tatapan Gavi masih terus mengikuti langkah Alya yang sepertinya menuju cafe samping kantor.

"Nggak mau coba serius sama dia?" goda Reynal yang menyadari arah tatapan Gavin.

"Jangan melantur. Dia cuma bawahan ku," sanggahnya.

Meski demikian, Reynald masih tak kehabisan kata, "katanya, dia lucu,"

"Jika begitu, apa kucing-kucing pinggir jalan yang aku bilang lucu, juga harus aku pacarin?," sahutnya acuh tak acuh sambil membuka pintu mobil.

"Kita mampir ke apart. Berangkat ke Beach Club agak malaman saja." setelah mengatakan kalimat itu, Gavi langsung tancap gas, melajukan mobilnya untuk membelah macetnya jalanan ibu kota di sore hari.

Rey menyerah. Penyakit tidak percaya cinta sepertinya memang sudah mendarah daging di tubuh sahabatnya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya terus berdoa agar suatu saat ada gadis baik yang bisa mematahkan sikap skeptis Gavi terhadap cinta sejati.

Mungkinkah gadis pematah kutukan itu akan hadir di hidup Gavi?

                                                                       

                                                                           BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status