Saat memasuki ruang divisinya, ternyata kini rekan-rekan Alya sedang berkumpul di meja Roni yang sepertinya juga baru kembali dari suatu tempat. Kedatangan Alya sontak membuat semua orang langsung menatapnya, beberapa diantara mereka jelas ada yang menaruh curiga padanya.
Ditambah lagi, tiba-tiba Roni mengatakan satu kalimat yang membuat Alya layak untuk dicurigai, “Sepertinya gue tahu, siapa gadis itu,”
Setengah mati, Alya berusaha mengendalikan dirinya. Dia harus berpura-pura, dan mengambil alih situasi. "Kalian pikir perempuan itu gue? Emangnya, masuk akal?." ujarnya dengan nada yang dibuat sesantai mungkin.
Karin menggeleng cepat, menyahuti pertanyaan Alya yang penuh nada meyakinkan. Ya, siapa saja tentu tidak akan berpikir bahwa perempuan itu adalah Alya. Melihat tampilan Alya yang cukup casual, nampaknya sangat jauh berbeda dengan perempuan-perempuan seksi yang biasanya diposting di i*******m Gavi. Belum lagi, tingkah Alya yang juga bisa dibilang bar-bar. Ah sepertinya tidak mungkin!
Selain itu, dari semua staf wanita yang begitu mengidolakan Gavi, Alya adalah sedikit perempuan yang tidak begitu tertarik pada pesona laki-laki itu. Alasannya, Gavi sangat jauh dari tipe pria idealnya. Bukan hanya sangat jauh, namun sungguh keterbalikan.
"Lo dari mana, Al?"
"Ruang meeting. Habis menginterogasi salah satu kenalan gue yang sempat jadi fashion stylistnya, Haidan." kilah Alya, sambil pura-pura membuka Microsoft word pada komputernya-pura-pura mengetik laporan.
Meskipun tidak bergabung dengan meja Roni, namun dengan jelas Alya bisa mendengar bahwa keempat rekannya bertekad untuk membongkar siapa perempuan misterius yang katanya terlibat skandal dengan Gavi.
Tim Besar Media Times
‘Gue dapet info dari anak Potret, katanya Pak Gavi punya skandal sama salah satu staff.’
Lagi-lagi mata Alya membelalak saat membaca isi chat dari grup perusahaannya. Dasar Roni si mulut besar! Rasanya ingin sekali Alya mengumpati rekannya tersebut. Tapi apa boleh buat, dia tidak bisa melakukan hal itu sama sekali, karena jika dia melakukannya maka sama artinya dengan membongkar rahasia yang dia jaga mati-matian.
Sekarang seluruh staff kantor pasti sedang heboh, menebak-nebak siapa perempuan sial yang telah memikat Gavi. Karena jika identitas perempuan misterius itu sampai terbongkar yang sudah pasti akan terjadi adalah, dia akan dimusuhi oleh para pemuja Gavi garis keras. Selain itu, reputasinya juga pasti akan hancur. Membayangkannya saja sudah membuat Alya pening dan mual.
“Atau jangan-jangan, perempuan yang terlibat skandal itu, Bu Laura?” Roni tiba-tiba teringat satu nama, yang sangat mungkin untuk mereka jadikan suspend.
Kening Laras mengernyit, “tapi gue agak ragu sih,”
“Kenapa?” timpal Alya mendadak ingin tahu. Bukan kah selama ini, Pak Gavin memang dekat dengan Bu Laura.
“Sejauh yang gue tahu, Bu Laura masih ada hubungan saudara sama Pak Gavin. Makanya, meskipun terlihat jelas Bu Laura ngebet, tapi hubungan mereka terlihat stuck aja,”
Roni dan Alya kompak mengangguk. Memang benar apa yang dikatakan oleh Laras. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Laura terlihat sangat tertarik dengan Gavin, namun meski sering terlihat dekat, tidak pernah satu kali pun ada pernyataan bahwa keduanya resmi bersama.
***
Gavi Narendra, adalah anak tunggal dari direktur utama Media Times-perusahaan yang menaungi majalah Potret. Selain itu, di majalah Potret dia adalah seorang Pimpinan Redaksi. Jadi, soal karir dan kekayaan milik seorang Gavi, tentu tidak perlu lagi dipertanyakan. Selain itu, Laki-laki tersebut juga memiliki paras yang tampan menawan. Ah jangan lupakan pula, dia juga dilengkapi dengan kepribadian baik-sangat ramah dan murah senyum.
Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh para gadis lain ketika melihat sosok Gavin. Sedangkan bagi Alya Tifany, Gavin tidak lebih dari laki-laki brengsek yang hobi gonta-ganti pasangan. Jadi, untuk Alya yang mempercayai adanya cinta sejati, tentu saja nama Gavin tidak mungkin masuk dalam daftar pria idaman.
Karenanya, selama ini Alya hanya menganggap Gavin sebagai atasannya, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada perasaan apapun-bahkan setelah tadi mereka tidak sengaja 'berciuman'.
"Gosip itu bener?" Rey-sahabat Gavin sekali lagi mengajukan pertanyaan saat mereka hendak masuk ke dalam lift.
"Berisik," jawabnya nampak malas, sambil mengangkat pandangannya, dan tepat saat itu matanya bersisobek dengan Alya yang kentara sekali berusaha menunjukan tatapan acuh tak acuh.
"Selamat siang, Pak," sapa Alya mencoba terlihat ramah. Bagaimanapun, Gavi adalah atasannya. Meski dalam hati, dia merutuk karena lagi-lagi harus mengalami kesialan bertemu dengan lelaki tersebut, pada saat situasi sedang runyam. Dia berharap lift bisa berjalan lebih cepat dari seharusnya. Karena kini di dalam lift hanya ada mereka bertiga saja.
"Anak perempuan orang jangan dimainin. Kalo cewek-cewek di club sih gak apa-apa, mereka juga sudah pasti hafal watak seorang Gavin, jadi mereka tidak akan gak pakai perasaan."
Gavin tidak menanggapi kalimat Reynald barusan. Dia memilih melipat kedua tangannya di depan dada, dan meluruskan pandangan, dari situ ia bisa melihat pantulan wajah Alya yang Nampak tidak nyaman.
"Rey, menurut mu, jika ada perempuan dan laki-laki yang bibirnya bersentuhan, itu ciuman bukan?,"
Tanpa bisa dicegah mata Alya langsung melotot dan menatap Gavi yang berdiri tepat di hadapannya. Tanpa Alya tahu, kini Gavi sedang tersenyum merdeka-menikmati ekspresinya yang terlihat lucu.
"Apa masih harus dipertanyakan?,"
Gavi mengangkat bahu, merespon jawaban Reynald, "karena ada yang bilang, katanya itu bukan ciuman, tapi bersenggolan. Atau bahkan lebih mirip sama kaki kita yang tidak sengaja terinjak di dalam lift."
"AUUUU. Ngapain sih?!" Rey menunjukan protes karena Gavi benar-benar menginjak kakinya.
"Sorry, aku cuma mempraktekan aja. Kira-kira situasinya beneran mirip atau tidak," jawab Gavi santai sambil lagi-lagi memperhatikan ekspresi Alya yang kini sepertinya berubah jadi kesal. "Kalau menurut Alya, kejadian tadi ciuman atau bukan?," lanjutnya sambil sedikit membalikan badan. Jelas itu adalah sebuah provokasi.
"Maaf, kejadian yang mana ya, Pak?" dengan cepat Alya mengendalikan emosi di wajahnya, dia pura-pura tenang dan tidak tahu apa-apa.
"situasi yang saya tanyakan pada sahabat saya barusan,"
"kalau bibir mereka bersentuhan dengan sengaja tentu saja itu ciuman. Tapi kalau bibir mereka bersentuhan dengan tidak sengaja, maka itu artinya bukan. Anggap saja-"
"seperti tidak sengaja bersenggolan dengan orang asing di bus kota, atau kaki terinjak di dalam lift?," Gavi menyela kalimat Alya, dan kini dia sudah membalikan badan sepenuhnya sambil menatap Alya-menggoda.
Untungnya, tepat saat itu lift terbuka di lobby, sehingga dengan cepat Alya bisa meloloskan diri dari permainan konyol yang dibuat oleh atasannya.
"Maaf Pak, saya sudah sampai tujuan. Dan menurut undang-undang pekerja, saya rasa tidak ada pasal yang menjelaskan bahwa saya harus menjawab pertanyaan pribadi dari atasan selama jam kerja. Permisi."
Seketika itu tawa Gavi pecah, namun dia tidak menghalangi Alya yang ingin segera meninggalkannya. "Dia, lucu banget, ‘kan? Seperti kucing yang diinjak ekornya, hahaha"
Rey tahu, ada sesuatu di antara Gavi dan Alya, sungguh tidak sulit baginya untuk mendeteksi hal itu. Dia sudah bersahabat dengan Gavi sejak SMA dan gelagat Gavi hari ini tentu saja aneh di matanya.
"Dia?" tanya Rey
Dengan cepat Gavi mengangguk, "Iya, lucu sekali bukan?"
"Yang ku maksud, apa dia perempuan yang terlibat skandal dengan mu?"
Tawa Gavi mulai mereda, namun wajahnya masih tetap santai, matanya masih menatap ke arah Alya yang berjalan dengan gontai menuju pintu lobby. "Kau tidak usah ikut-ikutan lebay. Itu bukan skandal. Kami hanya tidak sengaja ci–eh maksudnya tidak sengaja bersenggolan."
Seketika kening Reynald langsung mengernyit, dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi di sisi lain dia juga percaya bahwa ini hanya permainan Gavi. Mungkin satu atau dua hari lagi, semua gosip itu toh juga akan mereda.
Di sisi lain, kini Alya terlihat sedang menggandeng lengan Bara-sahabatnya yang bekerja di divisi legal Media Times. Tatapan Gavi masih terus mengikuti langkah Alya yang sepertinya menuju cafe samping kantor.
"Nggak mau coba serius sama dia?" goda Reynal yang menyadari arah tatapan Gavin.
"Jangan melantur. Dia cuma bawahan ku," sanggahnya.
Meski demikian, Reynald masih tak kehabisan kata, "katanya, dia lucu,"
"Jika begitu, apa kucing-kucing pinggir jalan yang aku bilang lucu, juga harus aku pacarin?," sahutnya acuh tak acuh sambil membuka pintu mobil.
"Kita mampir ke apart. Berangkat ke Beach Club agak malaman saja." setelah mengatakan kalimat itu, Gavi langsung tancap gas, melajukan mobilnya untuk membelah macetnya jalanan ibu kota di sore hari.
Rey menyerah. Penyakit tidak percaya cinta sepertinya memang sudah mendarah daging di tubuh sahabatnya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya terus berdoa agar suatu saat ada gadis baik yang bisa mematahkan sikap skeptis Gavi terhadap cinta sejati.
Mungkinkah gadis pematah kutukan itu akan hadir di hidup Gavi?
BERSAMBUNG
"Gila, gila, gila! Gue stress banget!." Alya menggebrak pelan meja yang ada di hadapannya. Sebenarnya dia ingin melakukan lebih dari itu, tapi dia takut Bara akan menyeretnya keluar karena rasa malu."Kenapa lagi, sih?" timpal Bara cuek sambil menuliskan pesananannya pada kertas menu yang tadi diberikan pelayan.Alya tidak langsung menjawab, dia memilih memejamkan mata, dan mengatur jalan pernapasannya-berusaha menenangkan gejolak emosi yang membara dalam dirinya. Jika tidak mengontrol emosi, bisa-bisa dia sungguhan akan menghampiri Gavi dan menjambak rambut laki-laki itu.Bagaimana Alya tidak emosi? laki-laki itu Sudah berjanji akan melupakan kejadian beberapa hari lalu, tapi hari ini justru terang-terangan dengan sengaja mengungkit masalah tersebut di depan orang lain. Bukankah sudah jelas bahwa Gavi sengaja mencari ribut dengannya?Usai menyebutkan menu yang dia inginkan pada Bara, Alya lanjut ngedumel panjang lebar, tanpa menyebutkan inti permasalahan, dan siapa sebenarnya sosok y
Sesampainya di rumah, Alya langsung menyalakan ponsel, dia memeriksa semua pesan masuk dari Dimas. Dan benar saja, mantan kekasihnya itu mengirim banyak pesan, yang banyak diantaranya adalah permohonan dan ancaman agar Alya datang ke Beach Club malam ini."Ahhhh, sinting! Kenapa sih dulu gue bisa pacaran sama manusia macam dia?!!!" Alya geregetan sendiri dengan tingkah bodohnya di masa lalu. Kini dia terus mondar-mandir, menimbang apakah harus menemui Dimas atau tidak.Sebenarnya Alya bisa saja mengabaikan Dimas seperti biasa, tapi di sisi lain di takut laki-laki itu akan nekat melakukan ucapannya. Karena segila-gilanya Dimas, sebelumnya dia tidak pernah memberikan ancaman seperti ini. Dia khawatir akan ada orang-orang yang terluka karena rasa acuh tak acuhnya."Ah masa bodoh deh, gue pikirin nanti" sekarang sudah pukul 7 malam, setidaknya masih ada waktu satu jam lagi, jika dia ingin menempuh perjalanan ke Beach Club. Meskipun Alya tidak pernah mengunjungi tempat terlarang tersebut,
"Mau sampai kapan sih kamu kayak gini?!""Seumur hidup"Suara ribut-ribut di luar adalah yang membuat Alya pada akhirnya terbangun dari tidurnya. Begitu membuka mata, satu-satunya hal yang langsung menyerang dirinya adalah rasa panik dan takut. Karena, sadar dia bangun di tempat asing.Alya menyibak selimut untuk memastikan pakaiannya tidak tertanggal dari tubuh, dan untungnya benar, dia masih berpakaian lengkap. Gadis itu lalu memejamkan mata sebentar, mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya, dan betapa murkanya dia saat nama Dimas, keluar dari salah satu laci memorinya, kemudian disusul rentetan kejadian menyebalkan sekaligus mengerikan yang terjadi tadi malam."Dimas, brengsek!" Desisnya. Dia yakin, di luar adalah suara Dimas dan ibunya yang sedang ribut. Apapun yang terjadi hari ini, jangan panggil dia Alya Tifany Pramana, jika dia tidak bisa membuat Dimas terkapar di rumah sakit dan nyaris mati!Dengan gontai dan amarah membuncah Alya mulai melangkahkan kaki, lalu membuka
Demi bumi dan seluruh isinya, sungguh Alya berusaha memutar cepat ide-ide yang ada di kepala, dia ingin bisa segera mengendalikan situasi saat ini. Karena nampaknya, Gavi sama sekali tidak terlihat ingin membantu. "Hmm Tante, sebenarnya meskipun saya menginap namun saya jamin tidak ada yang terjadi diantara kami-,""sayang," tiba-tiba Gavi menyela. "kamu lupa apa yang terjadi tadi malam?." wajahnya dibuat pura-pura sedih saat mengatakan kalimat tersebut. Terang saja, hal itu membuat Alya panik karena menduga hal yang tidak-tidak telah terjadi diantara mereka."Pak, eh maksud aku, kamu jangan becanda deh hehe. Nanti Mama kamu salah paham.”"Mama nggak akan salah paham. Iya kan, Ma?" sengaja benar Gavi memper erat rangkulannya di pinggang Alya.Amira tentu saja bahagia dengan pemandangan tersebut. Akhirnya dia bisa melihat putranya mulai membuka lembaran baru.Sedangkan Alya, dalam hati lagi-lagi mengucapkan sumpah serapah untuk bossnya yang senang sekali membuat dia terjebak pada situa
Alya masih terus memijat lengannya karena merasa pegal luar biasa. Beruntungnya dia, karena sang Ayah tadi malam mau berbelas kasihan menerima laporan intropeksi diri yang seadanya. Meskipun itu juga dia dapatkan dari duduk bersimpuh selama lebih dari dua jam untuk memohon pada ampun dan keringanan.Apa kalian pikir ayah Alya kejam? Percayalah, bagi Alya tidaklah demikian. Dia tahu, kakeknya dulunya merupakan seorang jendral, sehingga hal tersebut membuat pola didik sang ayah sangat keras sedari kecil.Meskipun dirinya adalah seorang perempuan, namun sedari kecil dia terus dilatih untuk bisa menjadi kuat. Karenanya, jangan heran pula jika Alya memiliki sifat dan sikap yang terbilang lumayan bar-bar.Di sisi lain, Gavi yang sedang duduk kursinya sesekali masih mencuri pandang pada Alya yang sudah lama tidak ia lihat, karena katanya gadis tersebut mendadak mengambil cuti selama satu minggu. "Apa kejadian waktu itu sangat mempengaruhi dia?" batin Gavi.Di tengah rapat, kini pikirannya j
Akibat serangan rasa panik, secara spontan Alya mendorong tubuh Gavi dengan cukup kuat, membuat laki-laki tersebut jatuh ke sisi. Sungguh siapapun yang melihat posisi barusan pasti akan sangat salah paham dan mengira mereka sedang melakukan perbuatan yang tidak-tidak. 'Ah sial, lagi-lagi kesalah pahaman menyebalkan!' geritu Alya sambil mencoba menenangkan detak jantungnya yang berderu akibat 'ketangkap basah'."Sorry. Kami tunggu di luar saja," ujar salah seorang pria sambil berjalan mundur."lanjut saja. Silahkan," sahut yang satunya lagi sambil hendak kembali menutup pintu. Alya bisa menjamin bahwa mereka menyunggingkan sebuah senyuman yang mengejek dirinya. Apa mereka pikir Alya adalah staf perempuan yang sedang menggoda bossnya?! Hell, big no!Namun, berbeda dengan dua laki-laki tadi yang tampak santai dan terkesan menggoda, Laura kini menghujani Alya dengan tatapan penuh kebencian."TUNGGU!," teriak Alya saat pintu hendak tertutup kembali. Buru-buru dia berdiri, "Anda semua sal
Siapapun yang melihat langkah serta ekspresi Alya siang ini, pasti dengan mudah bisa menduga bahwa gadis tersebut sedang diliputi amarah yang sangat besar."Akhirnya hari ini datang juga." Kata Alya pada dirinya sendiri dengan tatapan yang hanya lurus menghujani Dimas.Bahkan panggilan dari teman-temannya sama sekali tidak ia pedulikan. Terang saja mereka dibuat bingung dengan sikap Alya yang tiba-tiba memancarkan aura membunuh."Al-"Tanpa sudi mendengar Dimas menyelesaikan kata, Alya dengan cepat menarik tangan laki-laki tersebut, satu kakinya ia buat maju untuk mematahkan kuda-kuda dimas, dan dalam hitungan sepersekian detik saja dia langsung membanting tubuh Dimas dengan sangat keras di atas trotoar."AAAAAKKH!" suara pekikan terdengar dari banyak orang yang menyaksikan kejadian barusan. Tentu saja mereka kaget dengan keributan dan kekerasan yang tiba-tiba terjadi. Persetan, Alya tidak peduli dengan semua orang yang memandangnya ngeri. Hari ini, dia ingin lepas kendali untuk menu
Menit-menit berlalu, Gavi masih terus memeluk Alya dan mencoba memberikan ketenangan. Berbeda dengan semua orang yang merasa bingung dan tidak mengerti, mengapa Alya tiba-tiba menghajar Dimas, Gavi tentu sangat tahu alasannya.Saat dia mengatakan, akan membantu Alya jika ada di tempat kejadian, itu bukan sebuah candaan. Jangan lupa, bahwa Gavi belum sempat membuat perhitungan pada orang yang sudah membuat dadanya dijahit.Hingga, pada akhirnya dering telepon Gavi, adalah yang membuat mereka berdua tersadar dan saling menjauhkan badan-melepas pelukan."Hallo, Ma?" Kata Gavi sambil menempelkan benda pipih ke telinganya."Kamu, di mana? Mama lagi di ruangan, kamu""Di rooftop,""Sama, Alya? Tadi mama, mau cari dia ke ruangannya, tapi takut bikin staf lain curiga.""Iya Ma, aku kagi sama Alya," jawab Gavi sambil dengan ringan menggunakan ibu jarinya untuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Alya.Sungguh, Gavi tidak akan pernah tahu, bahwa perlakuannya barusan, membuat hati Alya