“Papa tidak akan memberiku ampun jika dia tahu putrinya sudah hamil di luar nikah,” ucap Tiana sembari memperhatikan bayangan dirinya di depan cermin. Wajahnya tampak pucat. Belakangan dia bahkan sering merasa mual dan muntah secara sembunyi-sembunyi.Tiana melewati hari-harinya dalam kecemasan dan penantian. Dia cemas terus menyembunyikan kehamilannya. Apalagi gejala-gejala tak biasa mulai muncul dan membuatnya tidak nyaman. Dia takut lama-kelamaan orang tuanya akan merasa curiga.Bagai menyimpan sebuah bangkai, Tiana sadar lama kelamaan fakta kehamilannya pasti akan terbongkar. Tapi sebelum itu terjadi, sebisa mungkin dia sudah mendapatkan kepastian sikap dari Adrian. Dia harus mendesak laki-laki itu.Jika berbicara perihal kesiapan, sebenarnya Tiana juga tidak siap secepat itu untuk menjadi seorang istri lebih-lebih seorang ibu. Tapi keadaan benar-benar sudah memaksanya. Mau tidak mau dia harus menjadi ibu. Janin itu sudah terlanjur ada dalam rahimnya. Tiana jelas tidak mau jika ha
Adrian membawa Tiana ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dia menunggu dengan cemas di depan ruangan saat dokter melakukan pemeriksaan. Sebenarnya dia tidak berniat untuk menjadi laki-laki pengecut yang tidak bertanggung jawab. Hanya saja di usianya dia belum siap untuk membangun rumah tangga apalagi menjadi seorang ayah.Terlebih lagi tuntutan keluarga agar dia menjadi sukses terlebih dahulu semakin membuatnya punya alasan untuk menghindar. Ya. Dia hanya berniat untuk menghindar sementara waktu. Bukan untuk meninggalkan apalagi mengabaikan Tiana dan sang anak untuk selamanya.Bagaimana pun juga Adrian masih sangat mencintai Tiana. Tapi di sisi lain dia juga masih bisa berpikir logis bahwa menikah dan membangun sebuah keluarga tidak cukup hanya dengan cinta. Pada akhirnya dia setuju dengan pemikiran orang tuanya agar tidak menikah sebelum dirinya mapan dan mandiri secara ekonomi.Pertimbangan tersebut yang membuat Adrian setuju untuk dikirim ke luar negeri. Malam itu dia
Sepi memeluk diri. Itulah yang dirasakan Tiana saat membuka mata. Dia tidak mendapati seorang pun di dalam kamar, termasuk laki-laki yang begitu ia cintai.Dia tahu pasti Adrian yang sudah membawanya ke rumah sakit. Tapi entah ke mana laki-laki itu pergi sekarang. Tiana tidak melihatnya lagi.Tubuhnya terasa begitu lemah. Dengan susah payah Tiana menjangkau bel untuk memanggil suster datang ke kamarnya. Benar saja, hanya dalam hitungan menit seorang perempuan berpakaian putih mendatanginya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya suster itu dengan ramah.“Suster, bukankah tadi ada seorang laki-laki yang membawa saya ke sini? Apa suster melihat ke mana dia pergi?” tanya Tiana.“Saya kurang tahu. Tapi sejak dokter keluar dari ruangan untuk memberitahukan hasil pemeriksaan, laki-laki itu memang sudah tidak ada,” jelas suster.“Baiklah kalau begitu. Terima kasih,” ucap Tiana. Dia tidak menyangka Adrian akan pergi meninggalkannya begitu saja.Tiana berusaha menepis pikiran negatifnya. Dia berpikir
Tiana merasa frustasi. Dia sudah pulang dari rumah sakit. Tapi kembali ke rumah rasanya tak lebih baik. Dia justru merasa masuk ke dalam ruang pengadilan. Dirinya harus menghadapi kemarahan orang tua yang tiada henti.Sang ayah bahkan menantang Tiana untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Tiana sudah memberitahu identitas laki-laki yang sudah menghamilinya. Namun dia meminta waktu dan kesempatan untuk membuat laki-laki itu bertanggung jawab atas dirinya. Tiana masih berharap pada Adrian.“Baiklah. Papa beri kamu waktu tiga hari untuk menyeret laki-laki itu kemari dan menikahimu. Kalau sampai tidak terjadi apa-apa selama waktu itu, maka jangan salahkan apa pun keputusan papa nantinya,” tegas sang ayah.Waktu tiga hari terasa sangat singkat bagi Tiana. Dia tidak mau membuang waktu dan mulai memikirkan berbagai cara untuk membuat Adrian kembali kepadanya. Dia harus mencari di mana laki-laki itu berada. Dia hanya berharap semoga Adrian belum berangkat ke luar negeri.Tiana mengambil pons
“Pergi kamu dari sini. Mulai hari ini papa tidak sudi melihat wajahmu lagi. Jangan kotori rumah ini dengan perbuatan hinamu itu,” ucap ayahnya Tiana sembari melempar koper dan tas besar berisi seluruh barang Tiana.Sudah berlalu tiga hari. Itu artinya waktu yang diberikan pada Tiana sudah habis. Sampai saat itu pun Tiana tidak bisa membawa Adrian kembali dan bertanggung jawab atas dirinya. Ketika peristiwa pengusiran itu terjadi, dia tidak bisa berbuat banyak selain memohon rasa kasihan dari sang ayah.“Pa, jangan usir aku dari rumah ini. Bukankah aku anak papa satu-satunya? Kalau aku pergi, lalu siapa yang akan menjaga papa dan mama nanti,” bujuk Tiana.“Aku lebih baik tidak punya anak sama sekali dari pada memiliki seorang putri yang hanya bisa memberikan aib dan mencoreng nama baik keluarga seperti ini,” tegas laki-laki itu tak luluh sama sekali.“Aku sudah mengaku salah dan meminta maaf. Apa papa sama sekali tidak bisa memaafkan aku?” tanya Tiana.“Apa maafku bisa menyelesaikan ma
Adrian tertunduk lemah mengakhiri cerita masa lalunya dengan Tiana. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, dia tetap menyimpan rasa bersalah itu.Bisa dikatakan dia tidak bisa memaafkan perbuatannya sendiri yang sudah menelantarkan Tiana sewaktu mengandung Albert.Adrian juga menambahkan bahwa dia sempat mencari keberadaan Tiana ketika ia pulang dari luar negeri setelah tiga tahun. Dia mendatangi rumah keluarga Tiana dan justru mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Saat itu dia baru mengetahui bahwa Tiana sudah tidak tinggal di rumah itu lagi.Semakin besarlah rasa berdosa Adrian ketika tahu tentang pengusiran Tiana. Dia terus berusaha keras untuk mencari perempuan itu. Bahkan setelah dinobatkan sebagai penerus perusahaan sang ayah dan mendapatkan kekuasaan, dia juga mengerahkan orang-orang bayaran untuk menemukan Tiana.Setelah melewati berbagai usaha, akhirnya Adrian mendapatkan informasi terang tentang keberadaan Tiana. Informannya memberikan alamat rumah Tiana dan mengabari bahwa
Dua hari setelah pertemuan Albert dengan Adrian di kafe, rumah Albert kedatangan seorang tamu pada suatu pagi. Albert dan Akira yang kebetulan sedang di rumah juga tidak mengenal dengan baik tamu mereka. Laki-laki itu berpenampilan sangat formal dan rapi.Akira dan Albert mempersilahkan laki-laki itu duduk di ruang tamu. Bibi Lastri juga diperintahkan untuk membuatkan hidangan. Meski tak mengenal dengan jelas, tapi mereka tetap memperlakukannya dengan baik.“Siapa anda sebenarnya dan ada keperluan apa datang ke rumah saya?” tanya Albert langsung pada intinya setelah sempat mempersilahkan sang tamu untuk menyeruput secangkir kopi yang dibawakan Bibi Lastri.“Mohon maaf jika kedatangan saya ke sini mungkin menyela kesibukan aktivitas Pak Albert. Perkenalkan nama saya Rudi. Saya adalah pengacara kepercayaan Pak Adrian,” jawab laki-laki itu.“Adrian lagi. Sebenarnya apa yang dia rencanakan sekarang hingga dia mengirim seorang pengacara ke rumahku,” keluh Albert. Rasa kesalnya kembali menc
“Aku bayar semua hutangku kepadamu. Aku tidak sudi menerima bantuanmu sedikit pun,” ucap Albert sembari melemparkan selembar cek di atas meja kerja Adrian. Cek itu bertuliskan nominal uang yang digunakan Albert sebagai modal awal perusahaannya.Albert sengaja mengunjungi Prima Enterprise hari itu. Dia benar-benar berniat untuk mengembalikan uang Adrian. Albert tidak ingin berhutang budi apalagi pada orang yang dia benci.“Pak Rudi sudah mengatakan hasil kunjungannya ke rumahmu,” ujar Adrian setelah sempat menghembuskan napas berat. Dia tampak berusaha menghadapi sikap Albert dengan santai.“Kenapa kamu menolaknya, Al? Kamu juga punya hak atas kekayaanku. Apa yang kamu lakukan ini? Kamu memberiku sebuah cek untuk mengganti uangku yang kau pakai. Aku jelas tidak menghutangkannya, Albert. Itu adalah pemberian dan aku tidak butuh pengembalian. Aku bahkan merasa senang setidaknya aku bisa membantu putraku mengembangkan bisnis walau hanya dengan sumbangan kecil secara sembunyi-sembunyi,” tu