Hari pertama kerja dan terjadilah hal tak terduga. Riehla turun dari atas motor, menatap bingung. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba motor-nya mati. Jelas-jelas beberapa saat lalu Riehla baru mengisi bensin.Menoleh ke setiap arah, mencari apakah ada bengkel, namun tidak ada. Riehla pikir ada baiknya ia bertanya pada seseorang letak bengkel terdekat. Belum melangkahkan kaki, terdapat sebuah mobil sport biru tua yang berhenti tepat di belakang motor Riehla.Tentu Riehla tidak memedulikannya. Mencoba melihat dahulu orang yang akan ia hampiri untuk bertanya. "Riehla."Suara berat itu membuat Riehla menoleh dan manik matanya bertemu dengan manik mata milik Ellio. Untuk pertama kalinya lagi mereka bertemu. "Kamu kenapa berdiri saja di sini? Apa ada masalah dengan motor kamu?"Perasaan Riehla masih sama. Tentu sedikit tidak baik-baik saja bertemu Ellio seperti itu. "Gak tahu kenapa tiba-tiba mati.""Aku gak terlalu paham, tapi aku bisa menelepon bengkel langganan aku. Gimana?"Terima atau t
Bukannya melanjutkan perkataan di mana Randy sudah menunggu, Ellio malah meneguk habis wine di dalam gelas yang tinggal sedikit. Menyandarkan kepala ke kepala sofa. Menatap lurus ke depan yang terlihat belum terlalu mabuk.***Riehla nampak sedang berjalan membawa beberapa tumpuk kertas yang berada di salah satu tangan. Saat ia fokus pada jalanan, manik matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Menghentikan langkah kaki, menatap Ellio yang berjalan masuk gedung Kantor dengan sorot mata ke arah Riehla."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Riehla dengan wajah heran."Menemui kamu.""Ellio! Aku lagi kerja. Kamu gak bisa seenaknya masuk ke sini.""Bagaimana kalau aku bisa masuk semau aku?"Riehla semakin dibuat tak habis pikir dengan kelakukan Ellio. Ellio benar-benar masih sama seperti dahulu. Tidak mudah menyerah walau sudah tidak dipedulikan."Sebaiknya ka—""Pak Ellio," ucap Kepala Editor. Berhenti di antara Ellio dan Riehla."Apa ada yang salah sampai Bapak datang tanpa mengabari?
Pagi-pagi Yura bertamu, dan kini sedang sarapan bersama Riehla, Ani dan Zena. Semakin hari Yura semakin dekat dengan Riehla, terlebih saat adanya Zena. Yura sangat menyayangi Keponakan satu-satunya itu."Hali ini kita ke mana, ante Yula?" tanya Zena yang dipangku Riehla."Hari ini kita gak bisa main, sayang. Ante Yura ada kerjaan." Yang duduk tepat di hadapan Riehla.Zena hanya diam seolah ia mengerti. "Oh ya, Rie. Ada hal yang belum aku ceritakan sama kamu pas kemarin Zena ketemu Kakek sama Kak Ellio.""Apa?" Sembari menatap Yura. Lalu, menyuapi Zena."Pas aku balik dari Dapur, Kak Ellio meluk Zena. Entah apa yang terjadi sama dia." Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Mungkin melihat Zena mengingatkannya sama impiannya membangun rumah tangga dengan Riehla," ujar Ani. Sembari menatap Yura."Bisa juga sih, Tan. Kak Ellio kan sangat ingin memiliki keluarga kecil yang indah sama Riehla."Riehla yang mendengar itu hanya diam. Dengan wajah yang nampak sedikit bingung karena
Riehla hendak pergi ke Kantor Polisi, namun saat di teras depan Rumah, langkahnya terhenti dengan Ani yang berada di samping. Menerima panggilan masuk dari Yura."Zena gak ada sama kamu kan?" tanya Yura, tiba-tiba."Iya. Kamu kok bisa tahu? Zena hilang.""Zena ada di Rumah Kak Ellio. Sekarang lagi main sama Kak Ellio.""Gimana bisa?" Dengan wajah bingung."Kak Ellio datang ke Rumah kamu. Dia yang bawa Zena."Tentu saja merasa lega. Helaan nafas pun terdengar dari Riehla. "Seharusnya Ellio bilang. Jadi Ibu sama aku gak panik.""Makanya itu. Bisa-bisanya dia bawa Zena tanpa bilang.""Ya sudah, kalau gitu. Biar Zena main sama Ellio. Tapi, pulangnya jangan malam-malam.""Mm. Nanti aku sampaikan sama Kak Ellio.""Jadi, Zena sama Ellio?" tanya Ani. Sembari menatap Riehla."Iya. Ellio yang bawa Zena.""Walau Ellio gak bilang, cuma Ibu lega kalau Zena sama Ellio."Yura taruh handphone di atas meja. Mendudukkan diri di sofa single. Memperhatikan Ellio yang asik mengajak main Zena. "Lain kali k
Yura yang sudah terlihat cantik pagi itu, habis mandi dan sudah berpakaian rapi, terduduk di tepi ranjang. Mengambil sebuah kartu kunci Kamar dari atas nakas. Melangkah keluar Kamar. Sedikit berjalan hingga di depan pintu Kamar Ellio. Membukanya dengan mudah menggunakan kartu kunci yang sebelumnya ia bawa.Semalam sebelum kembali ke Kamar-nya, Yura sempat mengambil kartu kunci Kamar Ellio. Kenapa Yura melakukan hal itu? Agar lebih mudah menemui Ellio. Bagaimana jika ternyata Ellio kenapa-kenapa di dalam sehingga tidak bisa membukakan pintu?Dilihatnya Ellio yang masih tertidur. Melihat ke arah nakas di mana terdapat gelas kosong dan satu bungkus obat yang kosong. Yura arahkan salah satu tangan pada dahi Ellio. Sudah tidak terlalu panas.Ketika Yura menarik tangannya, terdengar gumaman dari Ellio. "Zena." Dengan nada suara kecil.Tidak tahu mengapa Ellio sampai mengigau Zena, Yura hanya merasa jika ikatan antara Ellio dan Zena sepertinya semakin dalam. Apakah Yura baik-baik saja? Tidak
Bagaimana mungkin masih baik-baik saja tidak ada sedikit pun kemarahan saat diri sudah tidak dihargai lagi. Riehla rasakan rasa kopi yang manis sedikit pahit masuk ke dalam mulut. Wajahnya terasa lengket. Menghela nafas panjang dengan mata terpejam.Ketika mata telah kembali terbuka, Riehla yang sesungguhnya ingin menghujat perempuan di hadapannya itu berusaha sabar. "Saya rasa sudah gak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Bagaimana kalau kamu pulang?""Kamu mengusir saya?!""Bukan begitu. Maksud saya kita bicara sejam, dua jam, atau sampai besok pun kesimpulannya tetap sama. Saya gak bisa mengubah aturan yang sudah saya pegang teguh selama ini."Tentu saja tidak sedikit pun merasa baik dengan penjelasan Riehla yang sangat jelas itu, dengan mata berapi-api, salah satu tangan hampir saja mendarat dengan kasar di pipi Riehla jika tangan kekar yang memegang tangan Penulis perempuan itu telat barang sedetik pun.Semua mata tertuju pada Ellio. Entah di Kantor lama atau di Kantor yang sekar
Mereka berkeliling melihat satu persatu hewan. Hingga Zena terlihat terpaku saat melihat orang hutan bergelantungan di atas. Melompat dari satu tali ke tali lainnya dengan semangat yang terlihat menggebu-gebu. "Habis ini kita ke mana ya?" tanya Ellio sembari menatap Zena yang masih terlihat serius."Sebaiknya kita lihat-lihat yang lain," ujar Riehla. Sembari melihat orang hutan.Ellio melangkahkan kaki disusul Riehla. Riehla perhatikan interaksi Ayah dan anak-nya. Ellio yang sesekali mengajak Zena bercanda. Bukannya itu cukup indah, Rie? Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ellio tidak akan merebut Zena.Langkah mereka berhenti di burung pelikan. Lagi-lagi Zena memperhatikannya dengan serius. "Aku mau punya satu," ujar Zena.Mendengar hal itu Ellio, tersenyum. "Nanti Om Ellio belikan."Riehla pun hanya bisa sedikit menggelengkan kepala. Bagaimana jika Zena menagih janji itu? Melihat betapa indahnya pelikan-pelikan itu, Riehla mengabadikan dengan kamera ponsel.
Di saat Riehla sudah siap mengungkapkan hal yang sepertinya akan membuat Ellio, Kakek serta Zena bahagia, mungkin Tuhan memiliki rencana lain."Dilihat dari diamnya kamu, kamu pasti gak tahu.""Kamu tahu dari mana?" tanya Riehla."Kakek baru saja memberitahu aku. Papa-nya Kak Lily telepon Kakek. Aku juga gak tahu kejelasan ceritanya gimana sampai pada akhirnya Kak Ellio menikahi Kak Lily juga." Yura menceritakan hal itu bukan berarti ia tidak mengerti perasaan Riehla. Lagi pula lambat laun Riehla akan tahu."Mungkin rasa cinta Ellio pada Lily mulai kembali." Dengan nada berusaha terdengar biasa saja. Walau sejujurnya hatinya sedang tidak baik-baik saja."Seharusnya Kak Ellio gak melakukan hal itu. Seharusnya dia lebih berusaha buat kembali sama kamu." Terdengar kekecewaan di sana."Aku gakpapa. Justru seharusnya Ellio melakukan apa yang dia inginkan. Kalau kebahagiaannya Lily maka dia harus menjaganya dengan baik.""Ya sudah, Rie. Aku tutup ya teleponnya.""Mm."Saat meletakkan kembal
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa