Bukannya melanjutkan perkataan di mana Randy sudah menunggu, Ellio malah meneguk habis wine di dalam gelas yang tinggal sedikit. Menyandarkan kepala ke kepala sofa. Menatap lurus ke depan yang terlihat belum terlalu mabuk.***Riehla nampak sedang berjalan membawa beberapa tumpuk kertas yang berada di salah satu tangan. Saat ia fokus pada jalanan, manik matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Menghentikan langkah kaki, menatap Ellio yang berjalan masuk gedung Kantor dengan sorot mata ke arah Riehla."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Riehla dengan wajah heran."Menemui kamu.""Ellio! Aku lagi kerja. Kamu gak bisa seenaknya masuk ke sini.""Bagaimana kalau aku bisa masuk semau aku?"Riehla semakin dibuat tak habis pikir dengan kelakukan Ellio. Ellio benar-benar masih sama seperti dahulu. Tidak mudah menyerah walau sudah tidak dipedulikan."Sebaiknya ka—""Pak Ellio," ucap Kepala Editor. Berhenti di antara Ellio dan Riehla."Apa ada yang salah sampai Bapak datang tanpa mengabari?
Pagi-pagi Yura bertamu, dan kini sedang sarapan bersama Riehla, Ani dan Zena. Semakin hari Yura semakin dekat dengan Riehla, terlebih saat adanya Zena. Yura sangat menyayangi Keponakan satu-satunya itu."Hali ini kita ke mana, ante Yula?" tanya Zena yang dipangku Riehla."Hari ini kita gak bisa main, sayang. Ante Yura ada kerjaan." Yang duduk tepat di hadapan Riehla.Zena hanya diam seolah ia mengerti. "Oh ya, Rie. Ada hal yang belum aku ceritakan sama kamu pas kemarin Zena ketemu Kakek sama Kak Ellio.""Apa?" Sembari menatap Yura. Lalu, menyuapi Zena."Pas aku balik dari Dapur, Kak Ellio meluk Zena. Entah apa yang terjadi sama dia." Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Mungkin melihat Zena mengingatkannya sama impiannya membangun rumah tangga dengan Riehla," ujar Ani. Sembari menatap Yura."Bisa juga sih, Tan. Kak Ellio kan sangat ingin memiliki keluarga kecil yang indah sama Riehla."Riehla yang mendengar itu hanya diam. Dengan wajah yang nampak sedikit bingung karena
Riehla hendak pergi ke Kantor Polisi, namun saat di teras depan Rumah, langkahnya terhenti dengan Ani yang berada di samping. Menerima panggilan masuk dari Yura."Zena gak ada sama kamu kan?" tanya Yura, tiba-tiba."Iya. Kamu kok bisa tahu? Zena hilang.""Zena ada di Rumah Kak Ellio. Sekarang lagi main sama Kak Ellio.""Gimana bisa?" Dengan wajah bingung."Kak Ellio datang ke Rumah kamu. Dia yang bawa Zena."Tentu saja merasa lega. Helaan nafas pun terdengar dari Riehla. "Seharusnya Ellio bilang. Jadi Ibu sama aku gak panik.""Makanya itu. Bisa-bisanya dia bawa Zena tanpa bilang.""Ya sudah, kalau gitu. Biar Zena main sama Ellio. Tapi, pulangnya jangan malam-malam.""Mm. Nanti aku sampaikan sama Kak Ellio.""Jadi, Zena sama Ellio?" tanya Ani. Sembari menatap Riehla."Iya. Ellio yang bawa Zena.""Walau Ellio gak bilang, cuma Ibu lega kalau Zena sama Ellio."Yura taruh handphone di atas meja. Mendudukkan diri di sofa single. Memperhatikan Ellio yang asik mengajak main Zena. "Lain kali k
Yura yang sudah terlihat cantik pagi itu, habis mandi dan sudah berpakaian rapi, terduduk di tepi ranjang. Mengambil sebuah kartu kunci Kamar dari atas nakas. Melangkah keluar Kamar. Sedikit berjalan hingga di depan pintu Kamar Ellio. Membukanya dengan mudah menggunakan kartu kunci yang sebelumnya ia bawa.Semalam sebelum kembali ke Kamar-nya, Yura sempat mengambil kartu kunci Kamar Ellio. Kenapa Yura melakukan hal itu? Agar lebih mudah menemui Ellio. Bagaimana jika ternyata Ellio kenapa-kenapa di dalam sehingga tidak bisa membukakan pintu?Dilihatnya Ellio yang masih tertidur. Melihat ke arah nakas di mana terdapat gelas kosong dan satu bungkus obat yang kosong. Yura arahkan salah satu tangan pada dahi Ellio. Sudah tidak terlalu panas.Ketika Yura menarik tangannya, terdengar gumaman dari Ellio. "Zena." Dengan nada suara kecil.Tidak tahu mengapa Ellio sampai mengigau Zena, Yura hanya merasa jika ikatan antara Ellio dan Zena sepertinya semakin dalam. Apakah Yura baik-baik saja? Tidak
Bagaimana mungkin masih baik-baik saja tidak ada sedikit pun kemarahan saat diri sudah tidak dihargai lagi. Riehla rasakan rasa kopi yang manis sedikit pahit masuk ke dalam mulut. Wajahnya terasa lengket. Menghela nafas panjang dengan mata terpejam.Ketika mata telah kembali terbuka, Riehla yang sesungguhnya ingin menghujat perempuan di hadapannya itu berusaha sabar. "Saya rasa sudah gak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Bagaimana kalau kamu pulang?""Kamu mengusir saya?!""Bukan begitu. Maksud saya kita bicara sejam, dua jam, atau sampai besok pun kesimpulannya tetap sama. Saya gak bisa mengubah aturan yang sudah saya pegang teguh selama ini."Tentu saja tidak sedikit pun merasa baik dengan penjelasan Riehla yang sangat jelas itu, dengan mata berapi-api, salah satu tangan hampir saja mendarat dengan kasar di pipi Riehla jika tangan kekar yang memegang tangan Penulis perempuan itu telat barang sedetik pun.Semua mata tertuju pada Ellio. Entah di Kantor lama atau di Kantor yang sekar
Mereka berkeliling melihat satu persatu hewan. Hingga Zena terlihat terpaku saat melihat orang hutan bergelantungan di atas. Melompat dari satu tali ke tali lainnya dengan semangat yang terlihat menggebu-gebu. "Habis ini kita ke mana ya?" tanya Ellio sembari menatap Zena yang masih terlihat serius."Sebaiknya kita lihat-lihat yang lain," ujar Riehla. Sembari melihat orang hutan.Ellio melangkahkan kaki disusul Riehla. Riehla perhatikan interaksi Ayah dan anak-nya. Ellio yang sesekali mengajak Zena bercanda. Bukannya itu cukup indah, Rie? Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ellio tidak akan merebut Zena.Langkah mereka berhenti di burung pelikan. Lagi-lagi Zena memperhatikannya dengan serius. "Aku mau punya satu," ujar Zena.Mendengar hal itu Ellio, tersenyum. "Nanti Om Ellio belikan."Riehla pun hanya bisa sedikit menggelengkan kepala. Bagaimana jika Zena menagih janji itu? Melihat betapa indahnya pelikan-pelikan itu, Riehla mengabadikan dengan kamera ponsel.
Di saat Riehla sudah siap mengungkapkan hal yang sepertinya akan membuat Ellio, Kakek serta Zena bahagia, mungkin Tuhan memiliki rencana lain."Dilihat dari diamnya kamu, kamu pasti gak tahu.""Kamu tahu dari mana?" tanya Riehla."Kakek baru saja memberitahu aku. Papa-nya Kak Lily telepon Kakek. Aku juga gak tahu kejelasan ceritanya gimana sampai pada akhirnya Kak Ellio menikahi Kak Lily juga." Yura menceritakan hal itu bukan berarti ia tidak mengerti perasaan Riehla. Lagi pula lambat laun Riehla akan tahu."Mungkin rasa cinta Ellio pada Lily mulai kembali." Dengan nada berusaha terdengar biasa saja. Walau sejujurnya hatinya sedang tidak baik-baik saja."Seharusnya Kak Ellio gak melakukan hal itu. Seharusnya dia lebih berusaha buat kembali sama kamu." Terdengar kekecewaan di sana."Aku gakpapa. Justru seharusnya Ellio melakukan apa yang dia inginkan. Kalau kebahagiaannya Lily maka dia harus menjaganya dengan baik.""Ya sudah, Rie. Aku tutup ya teleponnya.""Mm."Saat meletakkan kembal
Lily yang tengah duduk di atas brankar sembari memainkan handphone, melihat Yura melangkah masuk. Lily tersenyum pada perempuan yang sudah seperti adik-nya itu. "Gimana keadaan Kak Lily hari ini?" tanya Yura yang berdiri di dekat Lily."Cukup baik." Seraya tersenyum.Sesungguhnya Yura masih menginginkan pernikahan Ellio dengan Riehla. Tetapi, melihat kondisi Lily, Yura rasa tidak apa perihal keputusan Ellio.*FLASHBACK ONTok tok tokYura buka pintu, melangkah masuk. Mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Kakek yang tengah menatap Cucu-nya itu. "Ada apa dengan wajah itu?" Jelas terlihat wajah cemberut dan kesal Yura."Gak bisakah Kakek kasih tahu Kak Ellio buat membatalkan pernikahan sama Kak Lily? Bukannya Kakek ingin Riehla yang menjadi bagian dari keluarga kita? Kakek sudah lupa sama Riehla ya?"Dilepasnya kacamata yang ditaruh di atas meja. "Kakek gak bisa merubah apa yang sudah menjadi keputusan Ellio, bukan karena Kakek sudah melupakan Riehla. Kamu harus tahu satu hal kenapa