Pagi itu. Elea dibantu oleh Emma, mempersiapkan segala kebutuhannya dalam satu koper besar. Elea sedang bad mood karena barusan ia melihat foto Jamie dan pacar barunya sedang berbaring saling berpelukan diatas tempat tidur. Sudah bisa ditebak apa yang sudah mereka lakukan dan itu membuat Elea semakin kesal.
“Sudah. Tidak perlu memikirkannya lagi. Setidaknya kau tahu kan kalau dia sebenarnya brengsek,” ujar Emma menaruh pakaian Elea ke dalam koper yang terbuka. “Yakinlah, kau di sana pasti akan bertemu pria-pria tampan. Ajak kencan saja salah satunya dan lupakan Jamie.”
“Aku tidak tahu. Saat ini, satu-satunya alasan terkuat aku ikut hanya karena agar aku terkenal. Masuk ke dalam reality show yang berpeluang besar akan ternar, membuatku juga akan tenar, kan?”
Emma tertawa. “Ternyata begitu pikiranmu,” ujarnya. “Ya tidak buruk juga. Yang penting kau harus menikmati acaramu. Dan nikmati para bujangan seksi di sana.”
“Hm pasti.”
“Nama acaranya saja sudah SEXY SINGLES, pasti akan dipenuh pria dan wanita seksi!” seru Emma tertarik. “Jadi karena itu, aku memilihkan pakaian-pakaian terseksi yang kau punya. Tidak apa, kan?”
“Terserah kau saja.”
“Kuharap kau tidak menyesal.” Emma terkekeh. Mungkin nanti Elea akan kesal padanya setelah melihat bagaimana pakaian yang dibawakan Emma. Tapi karena Elea tampak cuek, maka Emma tetap melanjutkan apa yang ia inginkan.
Pukul delapan pagi. Elea turun dari apartemennya ditemani Emma. Seseorang berpakaian rapi dengan jas ditubuhnya berdiri disamping mobil mewah berwarna hitam kilat. Begitu melihat Elea, pria itu langsung sigap membukakan pintu dan tersenyum mengisyaratkan agar Elea segera masuk.
Emma terkikik pelan, tapi Elea tidak kesal karena ia tahu, Emma selalu begitu ketika ia sedih. Ia menutupi kesedihannya dengan pura-pura bahagia. Namun sayangnya, cara Emma itu sudah kadaluarsa untuk Elea.
"Empat belas hari lagi aku akan pulang," ujar Elea. "Lagipula, kan kau sendiri yang mendaftarkan aku ke sini, kan?"
Emma mengangguk. Kesedihannya kini muncul. "Iya. Kau bersenang-senang di sana. Jangan pikirkan Jamie terus sementara ia tidak memikirkanmu. Ia sama sekali tidak pantas. Jadi, carilah yang pantas bersamamu di sana."
"Hm." Elea mengangguk. "Kalau ada."
"Ya, kalau ada." Emma menyetujui dan kemudian memeluk Elea singkat. "Pergilah. Semua urusanmu yang belum terurus akan aku tangani. Jadi, kau tidak perlu memikirkan apapun."
Elea tersenyum manis. "Aku mengandalkanmu," ujarnya terakhir kali sebelum Elea benar-benar masuk ke dalam mobil dan melesat pergi dari sana, meninggalkan Emma yang berdiri sendirian dengan tangan melambai.
Emma menipiskan bibirnya. Ia sedikit memiringkan kepalanya saat ia berbalik masuk ke dalam gedung. Ia penasaran bagaimana rupa-rupa orang-orang yang keterima dalam program ini. Tapi, sepenasaran apapun ia, Emma yakin jika orang-orang itu pasti rupawan. Pasti standarnya seperti Elea, sedangkan Elea sendiri adalah gadis paling cantik yang pernah dilihat Emma sejauh ini.
***
Elea sama sekali tidak tahu bagaimana program ini berproses. Ia juga tidak tahu apa peraturannya, sama sekali tidak tahu apapun selain peserta yang akan ditempatkan di sebuah pulau, bahkan pulaunya saja ia tidak tahu dimana.
Ketika mobil yang ditumpangi Elea berhenti. Ia diarahkan masuk ke dalam bangunan dua lantai yang cukup ramai orang. Di lobi, seorang perempuan dengan pakaian begitu rapi serta name tag yang terkalung di lehernya mendekati Elea dan mengarahkan Elea lebih lanjut untuk masuk ke dalam ruang bernomor sembilan.
"Kopermu letakkan di sini saja. Tim akan segera membawanya dan meletakkannya lebih dulu di vila sebelum kalian semua tiba."
"Vila?" Elea tercengang, karena ia berpikir kalau mereka mungkin akan tinggal di rumah gubuk.
"Ya. Jadi, letakkan saja di sini," ujar perempuan itu, tangannya menunjuk ke tempat tepat disamping pintu ruangan bernomor sembilan dan Elea menurutinya.
Setelah Elea meninggalkan kopernya dan masuk ke dalam ruangan, perempuan tadi ikut masuk dan memperkenalkan dirinya.
"Sebelumnya, aku Mia, salah satu staf di sini. Kau Elea, kan?" tanyanya dan dijawab anggukan oleh Elea. "Oke, aku akan membimbingmu sedikit. Sekarang, aku bisa minta ponselmu?"Mia menengadahkan tangannya.
"Untuk apa?" Elea menatap Mia heran, dahinya mengerut dalam.
"Apa kau belum membaca syarat awal dari program ini?" Mia bertanya balik. "Baik jika kau belum membaca. Aku akan memberitahumu sekarang. Jadi, tidak diperbolehkan membawa ponsel atau benda elektronik apapun di vila. Kalian benar-benar dijauhkan dari teknologi selama empat belas hari ke depan."
Elea menganga tidak percaya. Ia tiba-tiba kehilangan kata-kata. Sehari saja ia tidak memegang ponselnya, ia bisa gila. Bagaimana bisa ia bertahan selama empat belas hari?!
"Kau tidak bisa mundur, Elea. Semuanya sudah dimulai. Bahkan sebentar lagi giliranmu untuk berangkat," ujar Mia turut prihatin. "Kalau begitu, sekarang bisa aku meminta ponselmu? Tenang saja, kami menghargai privasi semua peserta. Ponselmu pasti akan aman dan utuh sampai kau mengambilnya kembali nanti."
Elea benar-benar tidak bisa menolak. Situasinya sekarang benar-benar terjepit, tidak bisa maju ataupun mundur. Karenanya, mau tidak mau ia harus merogoh saku dressnya dan meletakkan ponselnya diatas telapak tangan Mia.
"Baik. Terima kasih, Elea." Mia tersenyum manis. "Dan satu hal lagi. Bersenang-senanglah di sana. Coba pikirkan, selama ini kau selalu bekerja keras, jarang sekali kau punya waktu untuk bahagia. Iya, kan? Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini. Bahagiankanlah dirimu sendiri. Yaa selain mencari pasangan yang cocok denganmu tentunya."
Elea terhipnotis dengan kalimat itu. Amat sangat menggambarkan bagaimana dirinya selama ini.
"Kau pasti akan suka setibanya di sana." Mia berujar meyakinkannya. Ia sempat melirik ponselnya sendiri sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan sekarang ... waktumu untuk berangkat. Ayo!" Mia melambaikan tangannya, menyuruh Elea untuk mengikutinya.
Elea tidak berkata lagi, ia hanya mengikuti kemana Mia melangkah sampai akhirnya mereka berada di rooftop gedung ini. Elea terperangah ketika dirinya melihat sebuah helikopter tengah terparkir diatas helipad.
Apa ia akan menaiki kendaraan satu ini untuk pergi ke pulau? Berapa banyak budget yang dihabiskan KRA untuk program ini? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika muncul didalam kepalanya.
"Elea. Ayo. Naiklah." Mia berbalik dan mempersilahkan Elea, ia juga memberi senyum terbaiknya.
Elea membasahi bibirnya dan mengangguk. "Terima kasih, Mia," ujarnya sembari berjalan melewati Mia.
"Sama-sama, Elea." Senyum itu tidak luntur, bahkan Mia juga melambai pada Elea ketika gadis itu sudah masuk ke dalam helikopter.
Elea tidak sangka kalau Mia seramah itu. Ia pikir Mia begitu kaku tadi, karena tampangnya agak cuek ketika menyambutnya. Tapi, sekarang anggapan itu sudah berubah total.
Elea merasa berdebar. Ini baru pertama kalinya ia naik helikopter. Jadi, agak mendebarkan. Namun, meskipun begitu, Elea dengan cekatan memasangkan sabuk pengaman di tubuhnya dan juga headphone di kepalanya.
Ketika baling-baling diatas mulai berputar dan menciptakan angin kencang, Elea tersenyum lebar, ia mulai suka hal ini. Apalagi ketika helikopter yang ia tumpangi berada di udara dan ia bisa melihat betapa indahnya daratan di bawah sana, jantung Elea rasanya mau keluar dari dadanya.
Saat hendak mendekati pulau. Elea mengernyit heran. Ia tidak tahu persis peta negaranya, jadi ia merasa asing dengan pulau yang akan ia tinggali selama empat belas hari ini. Jangan bilang pulau ini dibuat oleh perusahaan KRA. Tidak, tidak, sangat tidak mungkin.
Dari atas, Elea bisa lihat jika pulau ini punya dua sisi yang amat sangat berbeda. Di sisi kirinya, sama sekali tidak tampak ada perumahan, tidak tampak ada kehidupan. Namun, Elea bisa lihat jika vila itu ada di sana. Sedangkan di sisi kanan, penuh dengan bangunan, kemungkinan besar ada kehidupan di sana, dan tentunya banyak orang juga. Tapi sayangnya, sisi kanan dan sisi kiri dipisahkan oleh hutan yang begitu lebat, jadi tidak mungkin rasanya mereka bisa berkunjung ke area kanan.
Helikopter mendarat tepat diatas helipad kemudian. Elea melepaskan sabuk pengaman dan juga headphonenya. Ia turun dan menundukkan kepalanya.
Posisinya sekarang berada di bibir pantai dan sepanjang Elea memandang, ia tidak melihat apapun. Bahkan vila yang tadi ia lihat dari atas, tidak tampak sama sekali sekarang.
Pilot dari helikopter ikut turun dan mendekati Elea. "Kau lihat jalan setapak yang ada di sana?" Pria itu menunjuk ke salah satu spot dan Elea mengangguk. "Ikuti saja jalannya dan kau akan menemukan vilanya, beserta peserta lain yang sudah tiba lebih dulu."
Elea paham. Ia memberi senyum kecil. "Terima kasih."
"Sama-sama," ujarnya singkat dan kembali ke helikopternya, segera pergi dari sana.
Lagi-lagi, jantung Elea berdegup kencang, memikirkan ia akan bertemu dengan orang-orang baru membuatnya semangat sekaligus cemas.
Ketika Elea melangkah cukup jauh dari helipad. Tiba-tiba ia mendengar suara helikopter yang mendekat. Elea memicingkan matanya mendongak memastikan ada helikopter yang hendak mendarat atau tidak. Dan matanya membesar begitu sadar jika helikopter itu benar-benar akan mendarat. Itu artinya ada satu peserta lagi, bukan?!
Elea diam di tempat, ia menunggu orang itu turun. Kalau begini ceritanya, ia bisa berjalan ke vila bersamaan dengan orang ini, tidak perlu seorang diri lagi.
Rambut brunette Elea yang bergelombang meliuk-liuk tertiup angin kencang. Ia menghalau silau matahari serta kencangnya angin dengan telapak tangannya yang berada didepan wajahnya. Elea juga berusaha melihat orang yang sedang turun itu.
Dan ternyata orang itu adalah seorang gadis, sama sepertinya. Yang membuat Elea terpukau adalah gadis itu begitu cantik! Dia juga sangat seksi dengan dress hitam yang sangat jauh dari lututnya, dress itu juga memiliki potongan dada yang rendah. Walau hanya first impression, Elea bisa yakin kalau gadis ini akan menjadi yang terpopuler diantara mereka nantinya.
"Hai!!"
Dia berseru pada Elea. Melambaikan tangan dan buru-buru berjalan mendekat.
"Kau juga peserta?" tanyanya semangat. "Sangat kebetulan kalau begitu! Kita bisa ke vila bersama."
Dan gadis ini cukup berisik ternyata. Dengan orang yang masih asing saja ia begini, apalagi kalau sudah akrab. Elea tidak bisa membayangkannya.
"Aku Arabella, panggil saja Bella. Kau?"
Elea tersenyum. "Eleanore. Teman-temanku biasa memanggilku hanya dengan Elea."
"Come on, Girl! Kau cantik sekali, Elea." Arabella memujinya dengan wajah menggoda. "Kakimu jenjang sekali, aku jadi iri."
Elea menunduk melihat kakinya dan kaki Arabella sebelum terkekeh pelan. "Aku rasa kakiku dan kakimu sama saja." Elea juga baru sadar kalau antara ia dan Arabella memakai pakaian yang benar-benar betolak belakang. Ia serba putih dan Arabella serba hitam.
"Baiklah baiklah. Sekarang kita harus bergerak. Aku sudah tidak sabar bertemu yang lainnya!"
Elea mengangguk. Ia juga sama tidak sabarnya.
"Tapi ngomong-ngomong setiap pergerakan kita akan diawasi kamera. Iya, kan?" Arabella bertanya ketika mereka mulai berjalan diatas jalan setapak yang mengkolaborasikan antara kayu persegi panjang dengan kerikil.
Elea berjalan dengan hati-hati karena heelsnya agak tinggi, ia juga melangkah di setiap kayu yang berjarak tiga puluh centimeter antara satu kayu dengan kayu lainnya. Selain itu, otaknya berputar memikirkan ucapan Arabella barusan. Ia sama sekali tidak tahu ada kamera. Tapi, mengingat program ini dirancang oleh KRA yang tidak lain adalah stasiun televisi, jelas saja segala tindakan mereka akan direkam dan nantinya diedit lalu ditayangkan.
"Hm. Aku rasa gitu."
"Baiklah."
Arabella dan Elea berjalan bersisian, tidak ada obrolan lagi diantara mereka karena mereka sama-sama fokus pada jalan. Angin lembut yang menerpa, membuat dress dan rambut mereka berdua melambai-lambai. Cara jalan mereka yang anggun menuruni anak tangga juga begitu elegan. Mungkin editor harus membuat slow motion untuk adegan ini nanti.
Lama kelamaan, vila mulai terlihat. Kumpulan orang yang tengah berdiri mengelilingi dua meja bundar di halaman vila juga sudah tampak di mata Arabella dan Elea.
"Oh gosh, mereka rupawan sekali!" gumam Arabella pada Elea.
"Astaga, kalian cantik sekali!!!"
Seorang perempuan yang tak kalah seksinya dengan Arabelle berjalan ke arah mereka berdua. Ia memeluk Arabella dan Elea bergantian.
"Ayo ayo ke sini. Kalian pasti haus."
Tapi sebelum itu. Arabella dan Elea tentu harus menyapa yang lainnya terlebih dahulu. Mereka mulai memeluk satu persatu orang yang ada di sana, mulai dari yang perempuan hingga para pria.
Elea juga tidak akan berbohong jika para pria di sana amat sangat tampan, bahkan Jamie yang begitu ia kagumi pasti akan kalah jauh.
Bukan hanya sekedar memeluk, Elea juga menghitung berapa orang yang sudah tiba di sana dan ia baru sadar jika jumlah mereka sudah sepuluh. Kalau begitu, ia dan Arabella adalah yang terakhir.
"Siapa namamu?" tanya pria kedua yang hendak Elea peluk.
"Elea."
"Senang bertemu denganmu, Elea," ujarnya dan memeluk Elea erat. "Aku Max," lanjutnya dan melepaskan pelukan yang cukup mengejutkan Elea itu.
Elea tersenyum membalasnya. Ia kemudian memeluk pria ketiga dan keempat. Sekarang yang terakhir, pria yang memakai kemeja putih dengan tiga kancing teratas yang terbuka. Elea bahkan bisa melihat otot dadanya sekarang. Pria ini memang yang paling memikat diantara mereka semua.
Tapi Elea tentu tidak akan agresif. Ia hanya akan memberi pelukan singkat sebagai sapaannya. Namun, Elea dibuat terkejut ketika pria ini mengecup pipinya sebelum Elea melepaskan pelukan. Mungkin akan maklum jika ciuman itu biasa saja, tapi Elea bisa menilai mana ciuman biasa dan yang tidak biasa, dan ciuman tadi terasa berbeda.
Ketika Elea mendongak menatapnya, pria itu juga menatap Elea dengan intens, membuat Elea mengalihkan pandangannya secepat mungkin.
Apa-apaan ini?! Baru sebentar ia di sini dan ia sudah menemukan seseorang seperti pria-yang-ia-tidak-tahu-namanya tadi?
***
Angin berhembus lembut di cuaca yang cukup terik. Sepuluh orang dengan aura dan wajah yang bukan main itu saling mengobrol ringan sembari menggoda satu sama lain. Masih belum ada instruksi apapun, membuat mereka masih berdiri di tempat. Elea mengobrol dengan dua pria yang ia ketahui bernama Adrian dan Kevin. Elea tidak akan berbohong jika dua pria didepannya ini amat sangat menyejukkan matanya. Bagaimana tidak jika Adrian dan Kevin sama-sama mempunyai wajah rupawan dan juga dada yang bidang. Tinggi mereka juga lumayan, membuat Elea sedikit mendongak untuk bisa memperhatikan ketika mereka berbicara. Jika dilihat-lihat, kelima pria di sana memang semuanya memiliki tubuh yang menjulang ke atas, bukan hanya Adrian dan Kevin. Pesona mereka juga sungguh tidak bisa dihiraukan begitu saja. Kalau begini ceritanya, Elea sebagai wanita yang normal tidak tahu mampu bertahan atau tidak, entah ia mampu menahan hatinya atau tidak. Karena ini semua ... terlalu besar untuk ia tanggung. "Elea? Mikirk
Ethan punya kebiasaan yang sedari dulu sudah mengakar di dirinya. Ia sebagai seorang pria normal, sering kali tertarik kepada banyak wanita. Tetapi, ketertarikannya bukan berarti ia suka secara keseluruhan, melainkan hanya fisik. Pria mana yang tidak suka melihat seorang wanita dengan tubuh yang begitu ideal? Namun, bukan berarti Ethan tidak pernah merasa tertarik yang benar-benar tertarik. Ia pernah merasakannya dan itu bersama Delphi, sahabatnya sendiri. Ketika ia mencium wanita lain, ia tidak merasakan degupan kencang di jantungnya, meskipun ia tertarik pada wanita itu. Tapi ketika ia melakukannya dengan Delphi, ia merasa jantungnya hendak melompat keluar dari dadanya. Hanya saja, karena terhalang status sahabat, perasaan yang dimiliki Ethan untuk Delphi lama kelamaan memudar.Dan sekarang, ia merasa tertarik kembali pada Elea. Ia merasa harus memastikan apakah ketertarikan ini hanya ketertarikan biasa atau luar biasa. Dan untuk mengetahuinya, Ethan harus memberi kecupannya.Perta
Ini baru hari pertama mereka ada di vila, tapi sudah banyak yang terjadi, sehingga ada beribu rasa didalam hati. Rasa ingin memiliki dan obsesi terasa begitu dominan. Ada peperangan diantara mereka, hanya saja tidak kentara. Bagaimanapun, beberapa dari mereka ada yang menyukai wanita atau pria yang sama dan tentu rasanya seperti sedang berada dalam sebuah kompetisi.Elea duduk di kursi meja riasnya dengan tatapan kosong. Ia bingung dengan perasaannya. Terus terang, ia sedikit cemburu dengan tantangan Freya pada Ethan tadi. Tapi, ini baru hari pertama, mereka baru bertemu dan Elea tidak sangka jika ia akan menyukai seseorang secepat ini.Bertopang dagu, jari-jari Elea mengetuk-ketuk mejanya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti di ranjang. Namun sepertinya ia tidak bisa dekat-dekat dulu dengan Ethan, ia harus jaga jarak. Tidak mungkin di malam pertama ia sudah langsung memeluk Ethan, pria itu pasti akan terheran-heran jika ia melakukannya.Di tengah keruwetan pikiran Elea, tiba
Saat sarapan, mereka bersepuluh berkumpul di dapur dan duduk kursi meja makan. Saat sedang asik menyantap makanan, tiba-tiba Theo bersuara. "Kalian sudah cek kotak surat?" tanyanya yang jelas menyita perhatian mereka karena memang hal yang dikatakan Theo itu penting. "Belum." Adrian menyahut dengan tampang kosong. "Shit." Theo langsung berdiri dan berjalan cepat ke arah pintu belakang vila, merogoh dalam kotak surat dan ketika menemukan selembar surat, ia langsung kembali ke dapur. "Suratnya ada?" tanya Arabella ketika Theo kembali. "Ini." Theo mengangkat surat di tangannya. "Akan kubuka." Menyudahi sarapan, mereka memfokuskan diri pada Theo. Penasaran dengan agenda apa yang harus mereka lakukan hari ini. "Setelah sarapan, sebuah tantangan menanti kalian di halaman belakang vila. Pergilah dengan seseorang yang duduknya berhadapan denganmu." Mata Theo melebar saat ia menyelesaikan ucapannya. Ia langsung melihat ke arah bangkunya dan matanya bergulir menatap wanita yang duduk dih
Jawaban dikunci, lampu pengeras suara juga sudah mati. Kini, dua pasangan yang akan segera menikmati kencan diluar pulau harus bergegas menyiapkan diri karena mereka akan pergi. Tapi, masih ada banyak ketegangan yang yang harus diakhiri. "Brengsek!" Ethan menarik baju Kevin dengan tangan terkepal. Emosinya melambung tinggi hingga ia tidak bisa mengontrolnya. Kevin hanya menatap Ethan santai, tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Karena sejujurnya pun ada banyak hal yang saat ini bersemayam dalam pikirannya. "Ethan, tenanglah." Theo menarik Ethan mundur. Sedangkankan di sisi Kevin, ada Max yang menahannya, berjaga-jaga jika Kevin membalas serangan Ethan. "Padahal kau bisa saja memilih Arabella atau Grace, wanita yang dekat denganmu." Ethan menunjuk Grace dan Arabella yang hanya diam. "Tapi, kau malah memilih Elea," katanya dengan mata bersinar tajam. Emosi Ethan kentara sekali dari wajahnya. "Jangan egois, Ethan. Kau juga tahu sendiri jika aku, Adrian, ataupun Max ingin berbicara
Enam orang tersisa di vila memutuskan untuk menikmati matahari terbenam di sore hari. Pemandangannya begitu indah karena tidak terhalang oleh apapun. Tapi sayangnya keindahan itu tidak sampai ke hati beberapa dari mereka.Adrian dan Grace yang paling kacau hatinya. Dua-duanya sama-sama merasa jika sisa hari-hari mereka di vila tidak akan baik. Hal ini dikarenakan seseorang yang pertama kali menangkap perhatian mereka nyatanya tidak menunjukkan ketertarikan yang sama.Di lain sisi. Azalea dan Max sedang duduk diatas double-bed sun lounger dengan kacamata hitam yang bertengger manis di hidung mancung mereka. Sama-sama diam menikmati cahaya jingga yang terlihat sempurna di ujung laut sana."Jadi," Azalea memulai, "apa ada orang lain yang kau suka di vila ini?" tanyanya dengan pandangan yang terus lurus ke depan."Bukan suka. Tapi, sedari awal mataku tertuju pada dua orang. Kau dan Elea." Max berkata jujur. "Aku ingin mendekatkan diri dengan kalian berdua. Aku juga akan mengambil setiap k
Hari ketiga dimulai. Matahari perlahan beranjak dari ufuk timur. Semua orang mulai bersiap-siap memulai aktivitas yang sama seperti kemarin. Tetapi terkadang, apa yang akan terjadi hari ini bisa berbeda dari yang kemarin. Dan tentu setiap orang menginginkan perbedaan yang mengarah ke hal baik, bukan sebaliknya. Tepat di jam delapan pagi. Ethan dan Freya dipersilahkan untuk keluar dari kamar. Begitu mereka keluar, mereka langsung bertemu dengan pasangan satunya, Elea dan Kevin. Mereka berempat tidak berbicara apapun, hanya mengikuti langkah staf yang mengarahkan mereka ke rooftop hotel. "Bagaimana kencan kalian?" tanya Freya pada Elea dan Kevin. Matanya berbinar, memperlihatkan jika hatinya sedang dalam keadaan bahagia. "Tidak ada masalah, kan?" "Lumayan seru," sahut Elea dan tersenyum kecil. "Kami bermain jenga dan melakukan tantangannya. Malamnya kami hanya berbincang-bincang lalu tidur." "Oh baguslah." Freya tidak ingin menceritakan bagaimana harinya dengan Ethan jika Elea tidak
Hari menjelang sore. Suasana vila seperti hari-hari kemarin yang damai dan menyenangkan. Burung-burung yang bertengger di pohon-pohon sekitar vila berkicau, ditambah suara debur ombak yang terdengar samar-samar membuat semuanya semakin sempurna.Sayangnya, hal itu tidak mampu menjamah hati beberapa orang yang kini dilanda kekacauan. Grace, Kevin, Azalea dan Adrian contohnya. Mereka berempat tidak tahu hal tepat apa yang harus mereka lakukan agar hati mereka lega.Adrian duduk di pinggir kolam sendirian. Ia memeluk kakinya yang menekuk dan menatap lekat pemandangan matahari terbenam. Sampai saat ini, Adrian tidak bisa melihat wanita lain karena pandangannya terus tertuju ke Elea. Dan tadi ia melihat Ethan membawa wanita itu ke atap vila, sudah dua jam dan mereka belum turun juga. Adrian hanya berpikir, hari mereka di vila tidak berasa, tau-tau sudah hari ketiga, keempat atau seterusnya. Adrian juga tahu hal apa saja bisa terjadi di sini, karena memang orang-orang tidak bisa ditebak,