Zee terbangun saat sinar matahari menerpa wajahnya. Tirai jendela yang bergerak tertiup angin, menjadi pemandangan pertama, kala membuka mata. Dinding yang berwarna gelap dengan sentuhan biru gelap, membuatnya merasa sangat asing dengan tempat itu.
Kepala Zee terasa berat dan dia sedikit mual. Beginilah Efek yang harus dia terima setelah minum secara berlebihan kemarin. Perasaan menyesal itu, tentunya memang akan dirasakan belakangan.Zee ingin bangun, tapi lengan seseorang menyadarkannya, jika gadis itu tidaklah sendirian di sana.'Mampus!'Zee menggigit bibir, saat tak merasakan selembar kain pun menutupi tubuhnya dibalik selimut. Dia merutuki kebodohannya, karena mabuk hingga tidak sadarkan diri dan berakhir di ranjang bersama pria asing.Dengan perlahan, Zee memindahkan tangan pria itu, lalu kabur ke kamar mandi dengan cepat. Masa bodoh dia telanjang sekarang. Zee akan mencari sesuatu yang bisa dipakai nanti. 'Semoga pria itu tidak bangun,' harapnya.Waktu satu jam, Zee habiskan di dalam kamar mandi. Dia memberanikan diri keluar, setelah membalut tubuhnya dengan selembar handuk. Beruntung dia menemukan handuk itu.Zee menarik napas beberapa kali, sebelum membuka pintu. Mempersiapkan diri untuk bertemu pria yang pasti tidak dia kenal itu, dengan berani.Ia harus menegaskan, jika dirinya bukan wanita malam yang mudah tidur dengan sembarang pria. Bahkan ini adalah pengalaman pertamanya."Lama amat, sih! Aku kira kamu pingsan di dalam sana," Ketus pria itu.Zee melebarkan matanya. Terkejut karena seorang pria berdiri, tepat di depan pintu kamar mandi dengan tubuh telanjang. Ya, tanpa sehelai benang pun. Memperlihatkan lekukan otot tubuh yang bagus. Pasti dia rajin sekali olahraga."Ya, aku tahu tubuhku bagus. Tapi bisakah kamu menyingkir sebentar? Aku ada jam kuliah hari ini, dan sekarang sudah hampir terlambat." Ujar pria itu, seraya menggeser Zee dari pintu.'Apa tadi katanya? Kuliah?' Zee berharap dia salah dengar. 'Apakah dia lebih muda dariku?' Jika lebih tua, itu pasti mustahil dengan wajah pria tadi.Zee mematung di tempat. Semakin merutuki kecerobohannya. Bagaimana bisa dia berakhir tidur dengan pria yang jauh lebih muda. "Bodoh!" Ucapnya lirih.Zee semakin bingung harus apa. Bisa-bisa nanti dia akan dikatakan tante kesepian yang mengincar daun muda. Apalagi pertemuan mereka bermula di sebuah Club malam."Kamu belum juga pakai baju?" Suara pemuda itu kembali terdengar. Zee berbalik dan masih saja terkejut, karena pria itu masih belum memakai baju."Masih kurang ya semalam? Tapi sayang sekali, aku harus buru-buru ke kampus." Pria itu berujar, sambil melenggang di depan Zee. Tanpa malu-malu memamerkan tubuhnya yang memang bagus. Tapi Zee kesal dengan sikap percaya dirinya. Terlalu arogan."Baju kamu ada di sini!" Tunjuk pemuda itu pada lemari gantung yang sudah dia buka. Sementara dia sedang memakai baju di sana."A-aku lebih tua dari kamu. Sopan sedikit kalau bicara." Akhirnya Zee memberanikan diri bicara. Sejak tadi, pemuda itu memanggilnya dengan kamu, dari pada memakai kata 'Kakak'.Pemuda itu terdiam sejenak. Menatap kaca di depannya yang pasti memantulkan bayangan Zee juga. "Baiklah Kakak, bisa cepat pakai bajumu, dan antar aku ke kampus?" Ucapnya penuh penekanan."Hah?" Sepertinya kerja otak Zee masih terganggu akibat mabuk."Semalam aku pakai mobilmu. Karena aku tanya di mana rumahmu, kamu tidak jawab," Jelas pemuda itu. "Jadi, kubawa saja ke apartemenku." Imbuhnya. "Apalagi kamu tidak mau melepas ciumanmu."Zee mengerutkan dahi. Apa saja yang sudah dia lakukan semalam?"Masa bodohlah!'Zee yang melihat pemuda itu selesai berpakaian, memberanikan diri, untuk mendekat dan mengambil bajunya. Semua lengkap. Bahkan sampai bagian dalam pun masih ada. 'Apa bocah ini yang merapikannya? Ya, ampun. Ini bahkan sudah wangi, apa habis dicuci?' Pikir Zee dalam hati."Cepat pakai, aku tunggu di luar." Ucap pemuda itu dan langsung keluar dari kamar, meninggalkan Zee sendirian."Sialan!" Umpatnya. Zee tidak buang-buang waktu. Dia dengan cepat mengenakan baju, dan mencari barang apa pun yang mungkin saja miliknya. Setelah mengantar bocah itu, dia tidak akan pernah mau menemuinya lagi.Begitu selesai menggunakan riasan tipis, dari peralatan yang ada dalam tasnya. Zee menyusul pemuda itu keluar. Dia celingukan sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu. Khawatir ada yang melihatnya keluar dari apartemen seorang pria. Apalagi pria yang lebih muda darinya."Lama!" Gerutu pemuda itu. Dia sudah siap berangkat dengan mobil milik Zee. Area parkir Apartemen itu terlihat cukup sepi karena hari sudah sangat siang. Pastilah semua orang sibuk bekerja atau melakukan aktivitas lainnya. Tidak seperti Zee yang harus mengendap-endap keluar dari kamar pria asing."Siapa namamu?" Tanya bocah itu."Aku lebih tua darimu," tegas Zee. Menekankan jika dia harusnya berbicara lebih sopan pada Zee. Dia membiarkan pemuda itu membawa mobilnya. Dengan begitu dia tidak akan banyak bicara, karena harus bertanya jalan ke kampus."Galak amat sih, Kak!" Pemuda itu melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sepertinya dia tidak terlalu buru-buru."Namaku Haikal. Nama Kakak?" Tanyanya lagi."Zee." Dia menyahut dengan ketus."Kak Zee, aku minta kakak tanggung jawab."Eh?'Hah? Apa katanya?'"Jangan bilang Kakak mau pergi begitu saja, setelah mengambil malam pertamaku." Haikal memasang wajah tersakiti. 'Apa ini tidak ke balik?' Bukankah seharusnya pihak perempuan yang meminta pertanggung jawaban?"Huh, dengar ya bocah! Ini juga pertama kali buat aku. Dan harusnya, kamu yang tanggung jawab sudah mengambil pertamaku. Sialan." Kesal Zee. Merasa dirinya telah dinilai sebagai tante-tante girang yang suka daun muda."Jadi, aku yang harus tanggung jawab?" Tanya Haikal. Suaranya naik satu oktaf, seperti tidak setuju dengan keputusan Zee."Ya, iyalah!" Zee tak kalah menaikkan suaranya."Okey, aku bakal tanggung jawab. Jadi Kakak tidak boleh lari dariku." Ucap Haikal dengan senyum tengil.Tunggu sebentar! Mengapa Zee merasa ada yang salah, di sini?'Shit!' Sepertinya Zee sudah menggali lubang kuburannya sendiri. Tanpa Ia sadari, akan semakin terjebak dengan bocah itu sekarang. "Kamu!" Belum juga Zee selesai melanjutkan kalimatnya, mobil sudah berhenti di tempat
"Kal!"Haikal menoleh. Dia baru saja keluar dari salah satu kelas dan temannya yang bernama Wira, sedang berlari ke arahnya. "Apa?" Tanya Haikal. Sembari menunggu temannya itu mendekat. Wira merangkul Haikal begitu sampai. "Hari ini kamu sibuk gak? Aku izin telat ke cafe, ya. Ada urusan di BEM." Ujarnya, dengan napas sedikit terengah. Salah satu teman Haikal ini adalah manusia yang paling sibuk. Dia bekerja part time di Cafe, padahal sudah sibuk dengan urusan BEM yang seabrek. "Lama gak?" Haikal sebenarnya ingin pergi ke suatu tempat. "Aku ada urusan nanti malam." Ujarnya."Gak tau juga, sih. Tapi aku bakal balik duluan kalau misal lama." Janjinya. Dia juga tidak enak hati sebenarnya."Santai aja. Aku juga udah gak ada kelas habis ini. Urusanku juga gak begitu mendesak." Haikal ini juga salah satu jenis manusia yang bisa di andalkan."Makasih, ya. Ngomong-ngomong, gimana cewek yang kemarin?" Tanya Wira. Mereka mengobrol sambil menyusuri lorong kampus yang masih ramai dengan aktivitas
"Nanti pulang jam berapa?"Zee mengernyitkan dahinya. "Buat apa tanya aku pulang jam berapa?" Sewotnya."Mau nebeng. Aku tadi berangkatnya kan sama kamu. Ke sini nya naik ojek, jadi buat menghemat biaya, boleh dong numpang lagi." "Dasar gak modal.""Modalnya aku tabung buat masa depan kita. 'Kan tadi kamu minta aku tanggung jawab.""Ah, benar. Untung kamu ingatkan. Aku gak ngerasa sakit apa-apa. Kamu jujur, sebenarnya kita gak ngapa-ngapain semalam 'kan?"Haikal mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu kenapa gak sakit. Itu juga yang pertama kali buat aku. Atau jangan-jangan kamu." Haikal menatap tubuh Zee dari bawah ke atas. Seperti gerakan memindai."Itu juga yang pertama buat aku." Zee marah karena merasa diremehkan."Ya sudah kalau begitu. masih perlu dibahas?" Ucap Haikal dengan wajah tengil.Zee baru pertama kali menghadapi bocah seperti ini. Dia geram dan gemas diwaktu bersamaan."Jadi bisa numpang tidak?""Iya." Entah mengapa Zee mengiyakan hal ini. "Jadi jam berapa pulangnya?"h
Dengan cepat, Haikal membawa tubuh Zee ke atas tempat tidur. "Naya!" Dia masih memanggil Zee. Wajah paniknya sudah berubah menjadi wajah khawatir.Haikal mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Dia mencari nomor telepon seseorang. "Om. Naya pingsan. Aku harus gimana?" Ucapnya langsung, saat panggilannya sudah tersambung."Dokter? Ah, iya. Maaf. Aku sudah kelewatan tadi. Aku tutup dulu dan manggil Dokter. Iya, Om." Haikal mencari nomor lain setelahnya."Maaf, Naya." Haikal duduk di tepi ranjang, sambil menunggu Zee yang sedang diperiksa seorang dokter. "Bagaimana, Kak?" Tanyanya."Tidak apa-apa. Tapi jangan buat dia panik lagi setelah ini. Paham!" Dokter cantik dengan rambut disanggul tinggi itu tersenyum, saat Haikal mengangguk. "Bukankah kamu janji bakalan jaga dia? Jadi, lakukanlah pendekatan awal yang baik itu langkah yang penting! Kalau kamu buru-buru begini, dia cuma bakal mendorong kamu pergi jauh." Haikal menunduk. Dia merasa bersalah karena telah memaksa Zee langsung
Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin. Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini. “Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya. Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah. Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.Haikal turun lebih dulu. Ia memb
Gia merasa jengah. Sejak tadi Zee tak hentinya menghela napas. “Mending kamu kejar aja si berondong, dari pada galau di sini!” ujarnya. Setelah insiden penyerangan oleh Ferdi, Zee membawa seorang pemuda masuk ke dalam ruangannya.Tidak begitu lama, terdengar teriakan dan desahan. Tentu semua bawahan Zee jadi penasaran dan mencoba menguping. Sayangnya, saat mereka bisa mendekat. Pemuda itu pergi dengan wajah sedih. Sementara Zee tidak kunjung keluar.Akhirnya, Gia sebagai asisten manajer, yang di dorong masuk oleh teman-temannya. “Buruan masuk!” Begitulah kiranya dia dipaksa dan dijadikan tumbal untuk mendapatkan berita. Zee mendengus kesal. “Ih, buat apa? Aku sudah berhasil mengusirnya pergi, masa harus kupanggil lagi,” sewotnya.“Habisnya kamu galau sejak dia keluar dari kantor ini. Eh, BTW, kenal di mana?” tanya Gia. Pria itu tampak tak asing untuknya. Zee diserang mata penasaran asistennya. “Di Club,” jawab Zee singkat. “Jelas kenal. Kamu pasti sudah ketemu dia di Cafe depan kant
“Hei , kau! Zee menarik napas, hendak memaki pemuda di sampingnya. Tapi Gia menghentikannya segera.“Zee, sebentar lagi jam makan siang selesai. Kita bicarakan saja lagi, nanti.” Zee mengiyakan. Ia merasa sedikit lega, belum sampai mengucapkan sumpah serapah pada Haikal.“Oh iya, Haikal.”“Ya, Zee?”“Kapan kau akan pergi?”“Sebentar lagi.”“Sekarang, aku mau memesan sesuatu.” Haikal tersenyum maklum, dia berjalan menuju tempat pemesanan, dengan senyuman lebar dan semangatnya.Zee merasa sedikit lega, hah... dia benar-benar harus mencari cara untuk mengusir Haikal secepat mungkin.***Mulai saat itu, Haikal terus mengikutinya, seperti jelmaan hantu yang tidak bisa dibelai. Sekuat apa pun, Zee menghindar. Tetap saja, pemuda itu bisa menemukannya.Padahal Zee sudah tidak lagi mengunjungi Cafe milik Haikal, untuk menghindari pertemuan mereka. Tapi apa? Mereka malah semakin sering bertemu, karena jika ada pesanan makanan dari Cafe itu, Haikal yang akan datang. Bahkan dia tidak ragu untuk
Ferdi tidak memarkir mobilnya di dalam area kantor. Rencananya sudah matang, karena dia pun sudah menyiapkan jalur pelarian setelah berhasil membawa sang mantan pacar.Zee diseret hingga keluar area kantor. Satpam yang hendak menolong pun harus pikir-pikir dulu, karena ada benda tajam yang Ferdi pegang saat ini. “Tolong turunkan senjatamu!” kata Satpam itu. “Kamu bisa di penjara karena melakukan hal ini. Ayo lepaskan dia, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuknya. Berusaha berunding, meskipun diacuhkan.Ferdi yang sudah gelap mata, mana mau mendengarkan bujukan Satpam itu. Ia masih terus menyeret paksa Zee. Gadis itu sudah kelelahan dan tidak bisa lagi berteriak. Di tengah kebingungan dan rasa sakit di lengannya yang di seret. Satu sosok muncul di kepala Zee. ‘Haikal!’ Entah mengapa, nama itu yang dia panggil saat keadaan genting seperti ini.Tiba-tiba saja, Zee terhempas ke trotoar jalan. Cekalan kuat Ferdi lepas karena pukulan seseorang. Zee melihatnya setengah tidak percaya. Ora