Dengan cepat, Haikal membawa tubuh Zee ke atas tempat tidur. "Naya!" Dia masih memanggil Zee. Wajah paniknya sudah berubah menjadi wajah khawatir.
Haikal mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Dia mencari nomor telepon seseorang. "Om. Naya pingsan. Aku harus gimana?" Ucapnya langsung, saat panggilannya sudah tersambung."Dokter? Ah, iya. Maaf. Aku sudah kelewatan tadi. Aku tutup dulu dan manggil Dokter. Iya, Om." Haikal mencari nomor lain setelahnya."Maaf, Naya." Haikal duduk di tepi ranjang, sambil menunggu Zee yang sedang diperiksa seorang dokter. "Bagaimana, Kak?" Tanyanya."Tidak apa-apa. Tapi jangan buat dia panik lagi setelah ini. Paham!" Dokter cantik dengan rambut disanggul tinggi itu tersenyum, saat Haikal mengangguk. "Bukankah kamu janji bakalan jaga dia? Jadi, lakukanlah pendekatan awal yang baik itu langkah yang penting! Kalau kamu buru-buru begini, dia cuma bakal mendorong kamu pergi jauh."Haikal menunduk. Dia merasa bersalah karena telah memaksa Zee langsung menerima keberadaannya. "Aku cuma gak tahan mengingat dia nangis sendirian di club waktu itu. Padahal aku sudah janji bakal menjaganya dia dari jauh saja." Dia benar-benar menyesal.Dokter itu mengelus kepala Haikal dengan sayang. "Kakak akan dukung apapun keinginan kamu. Tapi sebelum terlambat, ayo perbaiki pendekatan kalian."Haikal mengangguk. Dia masih menunduk. Tidak berani menatap mata Kakaknya. Dokter cantik itu adalah kakak kandungnya."Ya sudah. kakak pulang dulu." Pamitnya. Haikal mengantar Kakaknya keluar. Setelah itu, Haikal kembali lagi ke dalam kamarnya. Berbaring di sebelah Zee yang sudah tertidur, setelah diberi sebuah suntikan.***Mata hari bersinar dari celah gorden jendela. Zee merasa Dejavu. Kemarin dia juga terbangun di tempat seperti ini. Pinggangnya yang terasa berat karena pelukan tangan seseorang juga masih sama seperti kemarin.Ah, aku berakhir lagi di ranjang pemuda tengil ini lagi. Batinnya."Sudah bangun? Mau sarapan sekarang? Aku buat bubur tadi. Aku ambil dulu, ya." Haikal tidak menunggu jawaban dari Zee lagi. Pemuda itu sudah keluar dari kamarnya, dan meninggalkan Zee yang masih mengumpulkan kesadarannya."Kok, aku lupa kejadian semalam, ya? Aku ingat pergi ke kamar mandi, terus...?" Gumamnya. Zee sepertinya melupakan sesuatu, tapi saat dia mencoba mengingatnya, dia malah sakit kepala."Kenapa?" Haikal yang baru masuk, langsung panik, saat Zee memegang kepalanya. "Sakit ya? Aku panggil dokter."Zee mencekal tangan Haikal. Berlebihan sekali jika memanggil dokter, hanya karena sakit kepala sedikit seperti ini. Dia masih bisa menahannya. "Mana buburnya?" Tanya Zee."Hah? Ah, ini. Pelan-pelan masih agak panas." Haikal menyiapkan meja kecil untuk tempat makan Zee. Dia juga merapikan rambut Zee yang menjuntai tak beraturan, karena habis bangun tidur."gak kuliah?"Haikal menggelengkan kepalanya. "Aku bolos buat jaga kamu." Jawabnya.Zee keheranan. "Buat apa ngejaga aku? Jangan bilang karena kamu takut aku kabur!" Zee baru ingat, jika kemarin Haikal mengurungnya di sana.Haikal menggeleng kembali. "Kemarin malam kamu pingsan."Zee menatap mata Haikal, mencari kebohongan di sana. Tapi sepertinya memang benar, karena hanya ada kekhawatiran dari mata pemuda itu."Pasti gara-gara aku kelaparan. Kamu sih, pakai nawarin makan, tapi makan tapi malah dimakan sendiri." Sewot Zee. Dia tidak marah karena telah dikurung. Zee lebih khawatir pada mata pemuda itu yang terlihat sedih. Entah mengapa dia jadi merasa tidak tega."Maaf." Haikal menundukkan kepalanya. Dia terlihat begitu menyesal. Wajah tengilnya tiba-tiba saja hilang."Habis ini, antar aku pulang. Aku mau ke kantor."Haikal tidak membantah. Dia mengangguk patuh."Ambilkan tas ku." Zee memberi perintah, dan Haikal langsung melakukannya. Sangat mengasikan.Haikal Kembali dengan benda yang Zee minta. "Siapkan air. Habis ini, aku mau mandi." Titah Zee lagi. Haikal dengan patuh pergi menyiapkannya. Membuat Zee tersenyum senang. Coba bocah itu patuh seperti ini sejak kemarin, pasti Zee tidak akan marah-marah padanya."Sayang. Airnya sudah siap. Apa perlu ku gendong ke sana?"Zee mengangguk. Kapan lagi dia mengerjai bocah tengil itu. Entah sampai kapan sikap patuhnya ini. Jadi Zee harus memanfaatkannya dengan baik.Haikal mengangkat Zee dengan mudahnya. Membawanya masuk ke kamar mandi. "Aku bantu buka bajunya." Ujarnya."Eh, eh.... gak! Sudah cukup. Kamu boleh keluar." Panik Zee."Kata mama, membantu orang itu tidak boleh setengah-setengah. Jadi, ayo sini.""Haikal!" Pekik Zee. Bocah itu sudah kembali ke sifat tengilnya. Lihat senyum miring, mirip seringai itu. Menyebalkan sekali. "Keluar, atau aku teriak nih!"Pemuda itu memanyunkan bibirnya. Tapi kali ini, dia tidak akan memaksa. Haikal keluar dari kamar mandi dengan patuh. Lagi pula, dia sudah cukup senang, karena Zee tidak mendorongnya menjauh. Benar kakaknya. Dia harus melakukan pendekatan dengan pelan-pelan.Haikal menunggu Zee di kamarnya. Merapikan tempat tidur, lalu beralih pada barang-barang milik Zee. Saat itu, ponsel Zee berdering. Menampilkan sebuah nama laki-laki. Haikal menolak panggilannya. Kalaupun penting, orang itu bisa menelepon lagi nanti.Tapi ponsel Zee berdering kembali. Kali ini Haikal mengambilnya, dan mau memberikannya pada Zee. khawatir itu telepon penting, karena sudah dia tolak, tapi menelepon kembali."Tunggu bentar." Haikal melihat nama penelepon itu sekali lagi. Rahangnya mengeras setelah itu. Sepertinya dia baru saja ingat, siapa pemilik nama itu.Haikal mengurungkan niatnya untuk memberikan ponsel itu pada Zee. Dia membawanya keluar, dan menuju balkon. Haikal menerima telepon itu. Suara seorang pria terdengar dari seberang."Maaf ini siapa? Naya lagi di kamar mandi. Anda bisa meninggalkan pesan, saya suaminya."Haikal menyeringai saat ada makian yang pria dari seberang telepon, lontarkan padanya. Jelas pria itu tidak akan percaya begitu saja, meskipun Haikal mengatakan jika dia suami Zee."Sayang, ada telepon dari orang bernama Ferdi. Apa? Dimatikan saja? Orang tidak penting? Oh, okey. Kamu masih sulit jalannya? Butuh bantuan tidak." Haikal berceloteh sendiri. Mengabaikan suara pria itu yang masih memakinya. Lalu mematikan ponsel Zee, agar pria brengsek itu tidak menelepon kembali."Haikal!" Suara panggilan namanya dari dalam kamar, membuat pemuda itu berjengit. Dia kira Zee sudah ada dibelakangnya dan mendengar apa yang dia katakan ditelepon. Untung saja, Zee memanggilnya dari dalam kamar."Apa sayang?" Tanya Haikal begitu kembali ke dalam kamarnya."Lihat ponselku tidak? Tadi ada di sini.""Oh, ini. Tadi kulihat baterainya habis, jadi mau ku charge di luar." Kilahnya. Dia juga sudah menghapus riwayat panggilannya tadi.Zee melihat ponselnya yang sudah mati. Untungnya dia tidak curiga, dan percaya saja pada ucapan Haikal. "Ya, sudah. Nanti ku charge di apartemen saja." Katanya, seraya memasukkan ponsel itu ke dalam tas."Sudah siap? Yuk, aku antar." Haikal mengulurkan tangannya. Tapi tentu saja ditolak."Apa sih. Kayak bocah aja, minta di gandeng. Oh, maaf, memang masih bocah." Cibir Zee.Haikal tidak marah. Tapi dia pura-pura sedih dan merasa tersakiti. "Jahat banget, sih! Biarpun aku lebih muda, tapi gak gitu juga 'kan, ngatain aku bocah." Aktingnya.Berhasil. Zee jadi merasa bersalah, dan Haikal langsung bersorak dalam hati.Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin. Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini. “Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya. Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah. Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.Haikal turun lebih dulu. Ia memb
Gia merasa jengah. Sejak tadi Zee tak hentinya menghela napas. “Mending kamu kejar aja si berondong, dari pada galau di sini!” ujarnya. Setelah insiden penyerangan oleh Ferdi, Zee membawa seorang pemuda masuk ke dalam ruangannya.Tidak begitu lama, terdengar teriakan dan desahan. Tentu semua bawahan Zee jadi penasaran dan mencoba menguping. Sayangnya, saat mereka bisa mendekat. Pemuda itu pergi dengan wajah sedih. Sementara Zee tidak kunjung keluar.Akhirnya, Gia sebagai asisten manajer, yang di dorong masuk oleh teman-temannya. “Buruan masuk!” Begitulah kiranya dia dipaksa dan dijadikan tumbal untuk mendapatkan berita. Zee mendengus kesal. “Ih, buat apa? Aku sudah berhasil mengusirnya pergi, masa harus kupanggil lagi,” sewotnya.“Habisnya kamu galau sejak dia keluar dari kantor ini. Eh, BTW, kenal di mana?” tanya Gia. Pria itu tampak tak asing untuknya. Zee diserang mata penasaran asistennya. “Di Club,” jawab Zee singkat. “Jelas kenal. Kamu pasti sudah ketemu dia di Cafe depan kant
“Hei , kau! Zee menarik napas, hendak memaki pemuda di sampingnya. Tapi Gia menghentikannya segera.“Zee, sebentar lagi jam makan siang selesai. Kita bicarakan saja lagi, nanti.” Zee mengiyakan. Ia merasa sedikit lega, belum sampai mengucapkan sumpah serapah pada Haikal.“Oh iya, Haikal.”“Ya, Zee?”“Kapan kau akan pergi?”“Sebentar lagi.”“Sekarang, aku mau memesan sesuatu.” Haikal tersenyum maklum, dia berjalan menuju tempat pemesanan, dengan senyuman lebar dan semangatnya.Zee merasa sedikit lega, hah... dia benar-benar harus mencari cara untuk mengusir Haikal secepat mungkin.***Mulai saat itu, Haikal terus mengikutinya, seperti jelmaan hantu yang tidak bisa dibelai. Sekuat apa pun, Zee menghindar. Tetap saja, pemuda itu bisa menemukannya.Padahal Zee sudah tidak lagi mengunjungi Cafe milik Haikal, untuk menghindari pertemuan mereka. Tapi apa? Mereka malah semakin sering bertemu, karena jika ada pesanan makanan dari Cafe itu, Haikal yang akan datang. Bahkan dia tidak ragu untuk
Ferdi tidak memarkir mobilnya di dalam area kantor. Rencananya sudah matang, karena dia pun sudah menyiapkan jalur pelarian setelah berhasil membawa sang mantan pacar.Zee diseret hingga keluar area kantor. Satpam yang hendak menolong pun harus pikir-pikir dulu, karena ada benda tajam yang Ferdi pegang saat ini. “Tolong turunkan senjatamu!” kata Satpam itu. “Kamu bisa di penjara karena melakukan hal ini. Ayo lepaskan dia, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuknya. Berusaha berunding, meskipun diacuhkan.Ferdi yang sudah gelap mata, mana mau mendengarkan bujukan Satpam itu. Ia masih terus menyeret paksa Zee. Gadis itu sudah kelelahan dan tidak bisa lagi berteriak. Di tengah kebingungan dan rasa sakit di lengannya yang di seret. Satu sosok muncul di kepala Zee. ‘Haikal!’ Entah mengapa, nama itu yang dia panggil saat keadaan genting seperti ini.Tiba-tiba saja, Zee terhempas ke trotoar jalan. Cekalan kuat Ferdi lepas karena pukulan seseorang. Zee melihatnya setengah tidak percaya. Ora
Zee masih terbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Pagi sekali, Gia sudah pamit pergi. Katanya banyak pekerjaan yang menumpuk, jika dia tidak pergi bekerja. Tinggallah Haikal dan Zee di ruangan itu. Zee juga sudah mengusir Haikal agar pergi, tapi dasar dia itu bocah keras kepala yang bertindak sesukanya.“Yakin tidak mau pulang?”Haikal mengangguk cepat. Ia memosisikan diri untuk duduk di sebelah tempat tidur. “Zee, dengar,” ujar Haikal dengan suara lembut. “Aku punya ide bagus untuk membuatmu tidak bosan,” katanya.Zee menoleh ke arah Haikal, bibirnya tersenyum. Memberikan sedikit respons atas usaha pemuda itu, untuk menghiburnya. Haikal mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya. “Aku akan menyuapimu permen ini. Tapi ada syaratnya, kamu harus menebak rasa permen yang ada di mulutmu.”Zee mengangkat alisnya, tertarik dengan permainan kecil ini. “Baiklah, aku menerimanya. Tapi jangan berharap aku akan kalah begitu saja!” tidak ada salahnya
Zee diizinkan pulang dari rumah sakit hari ini. Semua keperluan administrasi juga sudah Gia selesaikan. Tinggal Zee yang perlu berkemas, apalagi jarum infusnya telas dibuka. Tapi perempuan itu malah melamun di atas brankar sambil menatap pintu.“Kok, belum siap?” tanya Gia. Ia mengikuti arah pandang Zee dan tersenyum saat tahu, apa yang sedang gadis itu tunggu. “Hm," Zee menyahut seadanya. Matanya masih saja menatap pintu tanpa teralih sama sekali.“Dia ada di depan. Kalau kamu lagi cari si Haikal.”Zee menoleh. “Siapa yang cari Haikal,’ sewotnya. Tapi dari cara dia panik, Gia dapat menebak, jika tebakan tadi benar.“Kalau bukan, ayo cepat berkemas. Kasihan si Haikal menunggu kita dari tadi.” Benar saja, Zee yang tadi ogah-ogahan berkemas, sudah bergerak secepat kilat. Gia ingin tertawa, tapi takut Zee marah padanya. Nanti saja dia tertawakan sahabatnya itu, kala Zee dan Haikal sudah memiliki hubungan yang jelas.Haikal sudah siap dengan mobilnya. Ia tersenyum kala melihat Zee dan G
Haikal mengungkung tubuh Zee ke dinding. Kejadian sebelumnya sangat cepat, hingga Zee tidak mampu bereaksi. Saat hendak mengembalikan peralatan makan ke dapur, dia malah terpeleset dan hampir terjatuh. Untung saja Haikal mengekorinya tadi. Jadi pemuda itu dengan sigap menahan pinggang Zee.“Hati-hati,” ujar pemuda itu. Ia membantu Zee untuk berdiri. “Ada yang sakit?” Melihat Zee yang terdiam, Haikal jadi khawatir.Zee terdiam karena salah tingkah. Bisa-bisanya dia ceroboh saat Haikal masih berada di sini. Kalau benar-benar jatuh karena terpeleset, pastilah dia akan sangat malu sekali.Karena tak kunjung meresponnya, Haikal mendorong pelan tubuh Zee ke tembok dan mengungkungnya agar tidak melarikan diri. “Sedang memikir apa?”Jantung Zee langsung berlompatan di dalam sana. Gadis itu meneguk ludah susah payah. Haikal tengah menatapnya, tajam dan dalam. Lagi-lagi, Zee bergeming saat berada dalam tatapan tersebut.“Kamu mau apa?”Zee menegang saat Haikal mengikis jarak di antara mereka. O
Haikal memperhatikan setiap gerakan Zee, apalagi malam ini, ia mengenakan pakaian tidur hitam yang menampilkan lekukan tubuhnya. Dia terlihat begitu cantik dalam pakaian itu.Merasa diperhatikan, Zee menoleh pada pemuda yang sedang menyeringai padanya. “Ada apa?” tanya Zee.“Kamu cantik malam ini,” kata Haikal. Ia menatap Zee penuh cinta. Haikal tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang sesak. Dia menyentuh wajah Zee yang halus dan mengangkatnya untuk mencium bibir Zee. Bibir berwarna merah muda yang lembut.Zee menahan tangan Haikal. "Tidak, Haikal. Kalau kamu melewati batas, silakan keluar sekarang juga.” Hampir saja Zee tergoda oleh tatapan lembut itu. Dia sedikit beringsut untuk memberikan jarak di antara mereka.“Maaf.” Haikal mencoba menenangkan hatinya yang sedang berdegup kencang. Dia terlalu terburu-buru tadi. Harusnya dia lebih sadar dan menunggu Zee lebih membuka hatinya.Haikal duduk dengan diam di samping Zee, mencoba mengirim sinyal-sinyal cintanya kepada Zee sebisa mun