Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin.
Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini.“Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya.Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah.Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.Haikal turun lebih dulu. Ia membukakan pintu untuk Zee. Meskipun sedang dalam mode merajuk, Haikal masih bersikap manis padanya. Tapi begitu Zee sengaja menatap mata bocah itu, ia malah memalingkan wajah. Sungguh menyebalkan sekali tapi lucu di waktu bersamaan.Sebelum Haikal ingin pergi, Zee sudah menahan tangannya lebih dulu. “Katakan dulu apa maumu? Kamu bersikap begini karena menginginkan sesuatu ‘kan?” sudah dapat ditebak apa mau dari bocah ini. Pastinya dia sedang mencari perhatian. Membuat Zee malah gemas sendiri.Merasa menang. Haikal mendekatkan wajahnya. “Cium aku,” ujarnya dengan senyum tengil. “Ayo! Buruan!”Zee jadi menyesal telah berusaha membujuknya. Tahu seperti ini, Zee akan biarkan saja pemuda ini pundung dan menjauhinya saja. Apalagi senyum miring yang menjadi ciri khas dari Haikal, membuat Zee kesal.Dari kejauhan. Tepatnya area parkir kantor pintu gerbang samping. Tanpa sengaja Ferdi melihat Zee dan Haikal dalam posisi yang sangat dekat. Dia baru saja sampai dan melihat hal itu.Bahkan dari sudut pandangnya, keduanya terlihat sedang berciuman saat ini. Dengan membawa kemurkaan, Ferdi mendatangi mereka. Berniat melabrak mantan pacarnya itu.“Oh, jadi dia yang mengangkat telepon dariku?” Katanya, sambil menunjuk-nunjuk muka Haikal. "Kamu membuatku bersalah, karena ingin berpacaran dengan dia 'kan?" Tuduh Ferdi.Zee tidak paham, Telepon apa? Bukankah ponselnya mati sejak tadi pagi? Atau, adakah hal yang dia lewatkan pagi ini?“Kalau iya, memangnya kenapa? Tidak terima? Kami menghabiskan dua hari ini bersama. Lalu kenapa?” Haikal malah mendekat dan menantang Ferdi. Tidak merasa gentar meski badan Ferdi lebih besar darinya.Ferdi semakin murka dan tidak terima karena diremehkan. Ia melayangkan pukulan ke wajah Haikal. Pukulan pertama meleset, Haikal lebih gesit dari Ferdi. Pemuda itu masih sangat energik di usianya.“Sialan!” Ferdi tidak mau kalah. Ia menerjang Haikal dan kembali melayangkan pukulan dengan tinjunya. Dua pukulan berhasil mendarat di wajah tampan Haikal, sementara wajah Ferdi sendiri sudah bengkak, karena pemuda itu tidak tinggal diam. Baku hantam itu berakhir saat satpam berhasil memisahkan mereka.“Haikal!” Zee mengkhawatirkan pemuda itu. Tadi dia berlari memanggil satpam, karena teriakannya tidak keduanya gubris. Ferdi dibawa pergi. Pasti setelah ini, dia akan mendapat sangsi karena berkelahi.Untungnya Haikal masih baik-baik saja. Tadi Zee sangat khawatir akan terjadi sesuatu pada pemuda itu. Mengingat Ferdi memang orang yang temperamental.Zee membawanya Haikal masuk ke kantor untuk diobati. Para karyawan yang menyaksikan pertarungan itu, kini mencuri lirik pada keduanya. Mereka tentu penasaran, siapa yang manajer pemasaran itu bawa ke kantor.Zee duduk di samping Haikal yang terluka, dengan hati yang penuh perhatian. Wajah Haikal terdapat dua memar. Di atas mata kanan dan sudut bibirnya. Zee memegang botol obat dan perlahan mengoleskannya ke luka tersebut.“Aku baik-baik saja.” Haikal masih sempat menolak untuk di obati. “Jauhkan itu! Nanti mukaku perih!” keluhnya. Dia memundurkan wajahnya sedikit menjauh."Tenanglah, Haikal," ucap Zee dengan lembut. "Obat ini akan membantu menyembuhkan luka wajahmu." Haikal ingin menahan rasa sakit karena melihat perhatian Zee tertuju padanya.“Kalau takut perih, jangan berkelahi. Untuk apa kamu tambah menantang pria itu,” Omel Zee. Agar tidak menjadi tontonan lebih lanjut, Zee membawa Haikal masuk ke dalam ruang kantornya.“Habisnya ... dia yang membuatmu menangis ‘kan? Coba saja tidak dilerai, pasti habis dia di tanganku!" Zee tersenyum dan meletakkan botol obat di meja samping mereka.“Dasar bocah!” Tanpa sadar Zee mengucapkan kata itu lagi. Membuat Haikal kembali menekuk wajahnya. Ah, sial!Zee menatap Haikal dengan rasa curiga. "Apa yang kamu rencanakan, Haikal?" Bukan wajah merajuk yang pemuda itu tampilkan, melainkan senyuman tengilnya. Padahal sedetik tadi, ia menekuk mukanya.“Cium aku sebagai permintaan maaf!” tuntutnya. Wajahnya berjarak satu senti dari bibir Zee.Sudah Zee duga. Pasti ada saja ide Haikal untuk mengambil keuntungan padanya. Dua hari ini sudah cukup Zee mengenal karakter pemuda ini.Tapi jangan di kira, Zee akan termakan permainan bocah itu lagi. Kali ini, giliran Zee yang akan membuatnya kesal.Zee menarik tengkuk pemuda itu. Mendekatkan wajah mereka. Membuat Haikal senang, karena merasa keinginannya tercapai.Tapi ia harus kecewa, karena Zee bukan ingin menciumnya, melainkan mengobati wajahnya. Zee malah tertawa melihat raut kecewa pemuda itu.Tidak terima dipermainkan. Haikal menangkup wajah Zee dan menciumnya. “Harusnya begini!” ujarnya.“Kamu!” Zee ingin marah, tapi Haikal kembali melumat bibirnya.“Manis,” ujar Haikal.Wajah Zee memerah. “Haikal!” Serunya.“Ya, sayang?” Haikal menjawab masih dengan senyum tengilnya.Zee memukul lengan Haikal dengan sekuat tenaga. "Sialan! kenapa kamu suka sekali mengambil kesempatan begini!" Kesal Zee."Memang kenapa? Waktu di Club kemarin, kamu malah yang mengambil kesempatan yang banyak dariku. Biar ku ceritakan, saat kamu naik kepangkuan ku dan menciumiku lebih dulu." Haikal semakin tersenyum saat Zee mulai mengingat kejadian di Club.Bodoh! Zee meruntuki kebodohannya. "Itu karena efek mabuk!" Zee mencoba berkilah."Jadi harus mabuk dulu, baru ada Zee yang nakal seperti kemarin?" Haikal menyeringai nakal ke arah Zee."Mana ada!" Sewot Zee.aawwwHaikal berteriak karena Zee menekan lukanya. "Rasakan itu, kalau masih memikirkan hal lain."Pemuda itu meringis. "Jahat banget, sih! Sama pacar sendiri!""Siapa yang pacar kamu?" Seharian kemarin saja, dia sudah dibuat kesal. Hari ini juga sepertinya dia hanya akan kesal."Kamu lah!" Sambil meringis, Haikal memamerkan deretan giginya dengan tersenyum."Kapan aku bilang mau jadi pacarmu?" Dengus Zee."Kalau begitu akan ku ulangi." Haikal mendekatkan wajahnya kembali. "Zenaya, jadilah pacarku. Aku tidak akan seperti pria bajingan itu. Aku hanya akan ada untukmu."Gia merasa jengah. Sejak tadi Zee tak hentinya menghela napas. “Mending kamu kejar aja si berondong, dari pada galau di sini!” ujarnya. Setelah insiden penyerangan oleh Ferdi, Zee membawa seorang pemuda masuk ke dalam ruangannya.Tidak begitu lama, terdengar teriakan dan desahan. Tentu semua bawahan Zee jadi penasaran dan mencoba menguping. Sayangnya, saat mereka bisa mendekat. Pemuda itu pergi dengan wajah sedih. Sementara Zee tidak kunjung keluar.Akhirnya, Gia sebagai asisten manajer, yang di dorong masuk oleh teman-temannya. “Buruan masuk!” Begitulah kiranya dia dipaksa dan dijadikan tumbal untuk mendapatkan berita. Zee mendengus kesal. “Ih, buat apa? Aku sudah berhasil mengusirnya pergi, masa harus kupanggil lagi,” sewotnya.“Habisnya kamu galau sejak dia keluar dari kantor ini. Eh, BTW, kenal di mana?” tanya Gia. Pria itu tampak tak asing untuknya. Zee diserang mata penasaran asistennya. “Di Club,” jawab Zee singkat. “Jelas kenal. Kamu pasti sudah ketemu dia di Cafe depan kant
“Hei , kau! Zee menarik napas, hendak memaki pemuda di sampingnya. Tapi Gia menghentikannya segera.“Zee, sebentar lagi jam makan siang selesai. Kita bicarakan saja lagi, nanti.” Zee mengiyakan. Ia merasa sedikit lega, belum sampai mengucapkan sumpah serapah pada Haikal.“Oh iya, Haikal.”“Ya, Zee?”“Kapan kau akan pergi?”“Sebentar lagi.”“Sekarang, aku mau memesan sesuatu.” Haikal tersenyum maklum, dia berjalan menuju tempat pemesanan, dengan senyuman lebar dan semangatnya.Zee merasa sedikit lega, hah... dia benar-benar harus mencari cara untuk mengusir Haikal secepat mungkin.***Mulai saat itu, Haikal terus mengikutinya, seperti jelmaan hantu yang tidak bisa dibelai. Sekuat apa pun, Zee menghindar. Tetap saja, pemuda itu bisa menemukannya.Padahal Zee sudah tidak lagi mengunjungi Cafe milik Haikal, untuk menghindari pertemuan mereka. Tapi apa? Mereka malah semakin sering bertemu, karena jika ada pesanan makanan dari Cafe itu, Haikal yang akan datang. Bahkan dia tidak ragu untuk
Ferdi tidak memarkir mobilnya di dalam area kantor. Rencananya sudah matang, karena dia pun sudah menyiapkan jalur pelarian setelah berhasil membawa sang mantan pacar.Zee diseret hingga keluar area kantor. Satpam yang hendak menolong pun harus pikir-pikir dulu, karena ada benda tajam yang Ferdi pegang saat ini. “Tolong turunkan senjatamu!” kata Satpam itu. “Kamu bisa di penjara karena melakukan hal ini. Ayo lepaskan dia, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuknya. Berusaha berunding, meskipun diacuhkan.Ferdi yang sudah gelap mata, mana mau mendengarkan bujukan Satpam itu. Ia masih terus menyeret paksa Zee. Gadis itu sudah kelelahan dan tidak bisa lagi berteriak. Di tengah kebingungan dan rasa sakit di lengannya yang di seret. Satu sosok muncul di kepala Zee. ‘Haikal!’ Entah mengapa, nama itu yang dia panggil saat keadaan genting seperti ini.Tiba-tiba saja, Zee terhempas ke trotoar jalan. Cekalan kuat Ferdi lepas karena pukulan seseorang. Zee melihatnya setengah tidak percaya. Ora
Zee masih terbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Pagi sekali, Gia sudah pamit pergi. Katanya banyak pekerjaan yang menumpuk, jika dia tidak pergi bekerja. Tinggallah Haikal dan Zee di ruangan itu. Zee juga sudah mengusir Haikal agar pergi, tapi dasar dia itu bocah keras kepala yang bertindak sesukanya.“Yakin tidak mau pulang?”Haikal mengangguk cepat. Ia memosisikan diri untuk duduk di sebelah tempat tidur. “Zee, dengar,” ujar Haikal dengan suara lembut. “Aku punya ide bagus untuk membuatmu tidak bosan,” katanya.Zee menoleh ke arah Haikal, bibirnya tersenyum. Memberikan sedikit respons atas usaha pemuda itu, untuk menghiburnya. Haikal mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya. “Aku akan menyuapimu permen ini. Tapi ada syaratnya, kamu harus menebak rasa permen yang ada di mulutmu.”Zee mengangkat alisnya, tertarik dengan permainan kecil ini. “Baiklah, aku menerimanya. Tapi jangan berharap aku akan kalah begitu saja!” tidak ada salahnya
Zee diizinkan pulang dari rumah sakit hari ini. Semua keperluan administrasi juga sudah Gia selesaikan. Tinggal Zee yang perlu berkemas, apalagi jarum infusnya telas dibuka. Tapi perempuan itu malah melamun di atas brankar sambil menatap pintu.“Kok, belum siap?” tanya Gia. Ia mengikuti arah pandang Zee dan tersenyum saat tahu, apa yang sedang gadis itu tunggu. “Hm," Zee menyahut seadanya. Matanya masih saja menatap pintu tanpa teralih sama sekali.“Dia ada di depan. Kalau kamu lagi cari si Haikal.”Zee menoleh. “Siapa yang cari Haikal,’ sewotnya. Tapi dari cara dia panik, Gia dapat menebak, jika tebakan tadi benar.“Kalau bukan, ayo cepat berkemas. Kasihan si Haikal menunggu kita dari tadi.” Benar saja, Zee yang tadi ogah-ogahan berkemas, sudah bergerak secepat kilat. Gia ingin tertawa, tapi takut Zee marah padanya. Nanti saja dia tertawakan sahabatnya itu, kala Zee dan Haikal sudah memiliki hubungan yang jelas.Haikal sudah siap dengan mobilnya. Ia tersenyum kala melihat Zee dan G
Haikal mengungkung tubuh Zee ke dinding. Kejadian sebelumnya sangat cepat, hingga Zee tidak mampu bereaksi. Saat hendak mengembalikan peralatan makan ke dapur, dia malah terpeleset dan hampir terjatuh. Untung saja Haikal mengekorinya tadi. Jadi pemuda itu dengan sigap menahan pinggang Zee.“Hati-hati,” ujar pemuda itu. Ia membantu Zee untuk berdiri. “Ada yang sakit?” Melihat Zee yang terdiam, Haikal jadi khawatir.Zee terdiam karena salah tingkah. Bisa-bisanya dia ceroboh saat Haikal masih berada di sini. Kalau benar-benar jatuh karena terpeleset, pastilah dia akan sangat malu sekali.Karena tak kunjung meresponnya, Haikal mendorong pelan tubuh Zee ke tembok dan mengungkungnya agar tidak melarikan diri. “Sedang memikir apa?”Jantung Zee langsung berlompatan di dalam sana. Gadis itu meneguk ludah susah payah. Haikal tengah menatapnya, tajam dan dalam. Lagi-lagi, Zee bergeming saat berada dalam tatapan tersebut.“Kamu mau apa?”Zee menegang saat Haikal mengikis jarak di antara mereka. O
Haikal memperhatikan setiap gerakan Zee, apalagi malam ini, ia mengenakan pakaian tidur hitam yang menampilkan lekukan tubuhnya. Dia terlihat begitu cantik dalam pakaian itu.Merasa diperhatikan, Zee menoleh pada pemuda yang sedang menyeringai padanya. “Ada apa?” tanya Zee.“Kamu cantik malam ini,” kata Haikal. Ia menatap Zee penuh cinta. Haikal tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang sesak. Dia menyentuh wajah Zee yang halus dan mengangkatnya untuk mencium bibir Zee. Bibir berwarna merah muda yang lembut.Zee menahan tangan Haikal. "Tidak, Haikal. Kalau kamu melewati batas, silakan keluar sekarang juga.” Hampir saja Zee tergoda oleh tatapan lembut itu. Dia sedikit beringsut untuk memberikan jarak di antara mereka.“Maaf.” Haikal mencoba menenangkan hatinya yang sedang berdegup kencang. Dia terlalu terburu-buru tadi. Harusnya dia lebih sadar dan menunggu Zee lebih membuka hatinya.Haikal duduk dengan diam di samping Zee, mencoba mengirim sinyal-sinyal cintanya kepada Zee sebisa mun
Masa cuti sakit Zee telah selesai. Wanita cantik itu langsung masuk kerja, begitu luka di area kepalanya, dinyatakan sembuh oleh dokter.Kini Zee sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Suara ketikan dan lembaran kertas, terdengar sejak tadi, dari ruangan manajer itu. Beberapa kali Gia bolak-balik mengantarkan map dan beberapa berkas lainnya ke dalam sana.Selama Zee tidak masuk, banyak pekerjaan yang di tinggalkannya. Sekaranglah wanita itu akan sibuk beberapa hari ke depan. Itu pun, jika dia mengambil lembur.Suara ketukan pintu, membuat Zee menghentikan jarinya dari papan ketiknya. “Masuk,” sahutnya. Seorang gadis dengan rambut sebahu mendorong pintu kaca yang agak gelap tersebut.“Bu, ada pihak HRD mau datang, mengantarkan anak magang,” lapornya. Gadis bernama Naura itu, menunggu jawaban dari Zee yang sudah kembali sibuk dengan papan ketiknya.Zee mendongak sebentar, sebelum menyahut. “Tanya Gia mau ditempatkan di mana. Dan langsung ajari dia aturan di divisi ini, beserta tugas-tugasn