"Nanti pulang jam berapa?"
Zee mengernyitkan dahinya. "Buat apa tanya aku pulang jam berapa?" Sewotnya."Mau nebeng. Aku tadi berangkatnya kan sama kamu. Ke sini nya naik ojek, jadi buat menghemat biaya, boleh dong numpang lagi.""Dasar gak modal.""Modalnya aku tabung buat masa depan kita. 'Kan tadi kamu minta aku tanggung jawab.""Ah, benar. Untung kamu ingatkan. Aku gak ngerasa sakit apa-apa. Kamu jujur, sebenarnya kita gak ngapa-ngapain semalam 'kan?"Haikal mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu kenapa gak sakit. Itu juga yang pertama kali buat aku. Atau jangan-jangan kamu." Haikal menatap tubuh Zee dari bawah ke atas. Seperti gerakan memindai."Itu juga yang pertama buat aku." Zee marah karena merasa diremehkan."Ya sudah kalau begitu. masih perlu dibahas?" Ucap Haikal dengan wajah tengil.Zee baru pertama kali menghadapi bocah seperti ini. Dia geram dan gemas diwaktu bersamaan."Jadi bisa numpang tidak?""Iya." Entah mengapa Zee mengiyakan hal ini."Jadi jam berapa pulangnya?"hari ini dia tidak lembur, jadi ... "jam 7." ucap Zee."Bagus! aku tunggu di sini jam segitu, makasih ya sayang." ucap Haikal, mendaratkan satu kecupan di dahi Zee dan pergi begitu saja. lagi. sama seperti tadi pagi.Sialan itu bocah! Dia kesal tapi tidak begitu marah juga. Apakah ini yang dikatakan mencari pelampiasan? Zee jadi merasa bersalah. dia harus meluruskan hal ini nanti.Jam 7 malam, Zee kembali ke cafe. Dia tidak harus menunggu lama, karena Haikal sudah berdiri di depan cafe."Memangnya jam kerja kamu, dari jam berapa sampai jam berapa?" Tanya Zee."Ah, sebenarnya hari ini gak ada jam kerja, hanya saja tadi ada teman yang tiba-tiba izin datang terlambat, jadi aku yang isi sebentar."Zee mengangguk. Mempersilakan Haikal masuk ke dalam mobilnya. Setelah mereka duduk dengan nyaman, Zee mulai membicarakan hal yang sudah dia pikirkan sejak siang tadi."Soal ini, aku ingin minta maaf lebih dulu sama kamu." Zee menarik napasnya. "Aku baru saja putus dari pacarku, dan mungkin saja aku memperlakukan kamu sebatas pelampiasan saja. Jadi...""Tidak masalah. Anggap aku seperti apapun asalkan bukan sebagai gangguan." Potong Haikal. Dia mendengarkan apa yang Zee katakan dengan wajah tersenyum."Tapi aku lebih berharap kita gak akan ketemu lagi, sih." Ujar Zee."Kenapa? Aku kurang seksi? Kurang memuaskan? kalau gitu sampai di apartemen kita ulangi saja gimana?" Haikal duduk menyamping."Gila ya! Gak mau lah!" Tolak Zee langsung."Tapi kemarin, kamu duluan yang minta di sentuh.""Mana aku ingat." Serunya dengan suara yang nyaris berteriak."Nah, maka dari itu. Ayo lakukan lagi!" Usulnya. Haikal memalingkan wajahnya. dia menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Dia merasa gemas sendiri.Zee malas berdebat. Dia tidak lagi menjawab Haikal, dan lebih memilih mengabaikannya. Sampai mereka tiba di apartemen Haikal dan pemuda itu membuka pintu di mana Zee duduk."Ayo turun.""Jangan gila ya, Haikal.""Gak mau? Gimana kalau di dalam mobil aja?" Dia mencondongkan tubuhnya ke dalam mobil. Posisi Zee yang Masih duduk di dalam."Aku timpuk kamu pakai tas ya?" Ancam Zee."Bercanda sayang." Haikal mengelus kepala Zee dengan lembut."Sayang, sayang. Memangnya hubungan kita ini apa?" Tanya Zee, dengan wajah yang dibuat garang."Apa? Kok masih tanya, ya pacarku lah." Haikal, membulatkan matanya."Sejak kapan? Jangan mengada-ada ya! Hari ini, pokoknya hari terakhir kita ketemu, bicara, dan juga saling kenal.""Oh, jadi gitu. Kamu mau lepas tanggung jawab setelah apa yang kamu lakuin ke aku." Haikal menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Nada bicaranya semakin tinggi.Dia marah?Seharusnya Zee yang berkata begitu 'kan?"Setelah perdebatan di parkiran apartemen. Zee malah berakhir di apartemen Haikal, lagi. Bocah itu mengancamnya akan berteriak, jika Zee tidak mau menurutinya. Dan dengan bodohnya, dia mengikuti Haikal hingga ke apartemennya.Lihat betapa bahagianya, itu bocah. Sejak tadi bersenandung tidak jelas, sambil membereskan apartemennya yang berantakan. Kondisinya masih sama, seperti terakhir mereka tinggalkan."Mau makan malam apa, sayang." Tanya Haikal, begitu selesai beberes. Zee jadi memindai ulang tempat yang sudah di rapikan seadanya. Dia melipat tangannya di depan dada. Tidak berniat menyahut sama sekali."Apa? Mie instan? Okey, tunggu sebentar ya!" Haikal bertanya dan di jawab sendiri. Sepertinya pemuda itu sudah gila. Dia bahkan kembali bersenandung di dapur. Seakan tidak terjadi apa-apa.Zee masih bisa mendengar suara Haikal. Dia ingin sekali pulang. Kalau ditanya mengapa Zee belum pulang?Alasannya, setelah terpaksa mengantar Haikal pulang ke apartemennya, Zee di ancam untuk ikut naik, atau bocah itu akan mengamuk di parkiran bawah yang masih banyak orang berlalu lalang. Demi menjaga gengsinya, dia pun akhirnya mengikuti keinginan Haikal.Lalu, begitu Zee masuk. Pintu apartemennya ternyata di kunci dari dalam dan Haikal menyimpan kuncinya.Ini termasuk penculikan tidak sih? tapi masa iya Zee akan melaporkan, jika dirinya sedang diculik berondong. apa kata orang-orang nantinya.Haikal benar-benar menyajikan mie instan. Dengan telur mata sapi sempurna di tengahnya. Zee yang memang sedang Lapar, jadi tergugah melihatnya."Ayo, dimakan."Sekali lagi, gengsi Zee yang besar, memilih kelaparan dari pada makan satu piring berdua dengan bocah itu. Ya. Haikal hanya menyiapkan sepiring Mie instan. Tapi dari banyaknya, harusnya itu dua porsi yang disatukan."Mau disuapi?" Tanya Haikal lagi. Pemuda itu masih terus berusaha membuat Zee bicara. Harusnya dia mengerti, arti sikap dingin Zee. Tapi Haikal belum juga menyerah untuk menaklukan wanita yang lebih tua darinya itu."Tidak mau? Ya, sudah. Biar aku habiskan."Zee sepertinya sudah salah langkah. Haikal memakan sendiri sepiring besar Mie instan itu. Padahal Zee kira bisa bernegosiasi dulu. Contohnya, jika Haikal terus memintanya makan, dia akan bilang, akan makan asal setelahnya dipulangkan. Tapi lihat bocah itu. Dia malah makan dengan lahapnya, di depan Zee.Mungkinkah pikiran Zee saja yang terlalu polos dan sederhana?"Aku mau ke kamar mandi." Zee beranjak dari ruang tengah, menuju kamar Haikal. Dia tidak tahu, jika di dapur ada kamar mandi juga. Dengan sendirinya, Zee sudah masuk ke kandang singa sekali lagi.Haikal sampai menggigit bibirnya kuat, saking gemasnya pada wanita itu. Tidak apa-apa dia menolak Haikal saat ini, karena pemuda itu sudah menyiapkan banyak sekali rencana.Zee keluar dari kamar mandi kamar Haikal. Dia tidak memperhatikan jika si pemilik kamar, juga sudah berada di dalam sana. Saat Zee hendak membuka pintu kamar, ternyata sudah dikunci."Ayo tidur. Sudah malam."Zee terperanjat kaget, saat tangan Haikal memeluk pinggangnya dari belakang. "Lepas!" Pekik Zee. Haikal tidak memaksa, dia langsung melepaskannya dan mundur."Maaf, sayang. Aku cuma mau ngajak kamu tidur. Besok kerja 'kan? Aku juga ada kuliah." Ucapnya. Meskipun ada permintaan maaf , tapi raut wajah Haikal tidak menunjukkan, dia merasa bersalah. wajahnya masih tengil seperti biasanya.."Aku mau pulang!" Dia sudah lelah, perutnya juga lapar. Tidak ada tenaga lagi untuk meladeni pemuda itu.Haikal mengernyit saat melihat wajah ketakutan dari Zee. Apakah dia sudah keterlaluan? "Hei, lihat aku." Haikal panik saat merasakan tubuh Zee gemetar. "Naya. Lihat aku. Nay!" Dia menopang tubuh Zee yang tiba-tiba tidak sadarkan diri.Dengan cepat, Haikal membawa tubuh Zee ke atas tempat tidur. "Naya!" Dia masih memanggil Zee. Wajah paniknya sudah berubah menjadi wajah khawatir.Haikal mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Dia mencari nomor telepon seseorang. "Om. Naya pingsan. Aku harus gimana?" Ucapnya langsung, saat panggilannya sudah tersambung."Dokter? Ah, iya. Maaf. Aku sudah kelewatan tadi. Aku tutup dulu dan manggil Dokter. Iya, Om." Haikal mencari nomor lain setelahnya."Maaf, Naya." Haikal duduk di tepi ranjang, sambil menunggu Zee yang sedang diperiksa seorang dokter. "Bagaimana, Kak?" Tanyanya."Tidak apa-apa. Tapi jangan buat dia panik lagi setelah ini. Paham!" Dokter cantik dengan rambut disanggul tinggi itu tersenyum, saat Haikal mengangguk. "Bukankah kamu janji bakalan jaga dia? Jadi, lakukanlah pendekatan awal yang baik itu langkah yang penting! Kalau kamu buru-buru begini, dia cuma bakal mendorong kamu pergi jauh." Haikal menunduk. Dia merasa bersalah karena telah memaksa Zee langsung
Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin. Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini. “Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya. Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah. Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.Haikal turun lebih dulu. Ia memb
Gia merasa jengah. Sejak tadi Zee tak hentinya menghela napas. “Mending kamu kejar aja si berondong, dari pada galau di sini!” ujarnya. Setelah insiden penyerangan oleh Ferdi, Zee membawa seorang pemuda masuk ke dalam ruangannya.Tidak begitu lama, terdengar teriakan dan desahan. Tentu semua bawahan Zee jadi penasaran dan mencoba menguping. Sayangnya, saat mereka bisa mendekat. Pemuda itu pergi dengan wajah sedih. Sementara Zee tidak kunjung keluar.Akhirnya, Gia sebagai asisten manajer, yang di dorong masuk oleh teman-temannya. “Buruan masuk!” Begitulah kiranya dia dipaksa dan dijadikan tumbal untuk mendapatkan berita. Zee mendengus kesal. “Ih, buat apa? Aku sudah berhasil mengusirnya pergi, masa harus kupanggil lagi,” sewotnya.“Habisnya kamu galau sejak dia keluar dari kantor ini. Eh, BTW, kenal di mana?” tanya Gia. Pria itu tampak tak asing untuknya. Zee diserang mata penasaran asistennya. “Di Club,” jawab Zee singkat. “Jelas kenal. Kamu pasti sudah ketemu dia di Cafe depan kant
“Hei , kau! Zee menarik napas, hendak memaki pemuda di sampingnya. Tapi Gia menghentikannya segera.“Zee, sebentar lagi jam makan siang selesai. Kita bicarakan saja lagi, nanti.” Zee mengiyakan. Ia merasa sedikit lega, belum sampai mengucapkan sumpah serapah pada Haikal.“Oh iya, Haikal.”“Ya, Zee?”“Kapan kau akan pergi?”“Sebentar lagi.”“Sekarang, aku mau memesan sesuatu.” Haikal tersenyum maklum, dia berjalan menuju tempat pemesanan, dengan senyuman lebar dan semangatnya.Zee merasa sedikit lega, hah... dia benar-benar harus mencari cara untuk mengusir Haikal secepat mungkin.***Mulai saat itu, Haikal terus mengikutinya, seperti jelmaan hantu yang tidak bisa dibelai. Sekuat apa pun, Zee menghindar. Tetap saja, pemuda itu bisa menemukannya.Padahal Zee sudah tidak lagi mengunjungi Cafe milik Haikal, untuk menghindari pertemuan mereka. Tapi apa? Mereka malah semakin sering bertemu, karena jika ada pesanan makanan dari Cafe itu, Haikal yang akan datang. Bahkan dia tidak ragu untuk
Ferdi tidak memarkir mobilnya di dalam area kantor. Rencananya sudah matang, karena dia pun sudah menyiapkan jalur pelarian setelah berhasil membawa sang mantan pacar.Zee diseret hingga keluar area kantor. Satpam yang hendak menolong pun harus pikir-pikir dulu, karena ada benda tajam yang Ferdi pegang saat ini. “Tolong turunkan senjatamu!” kata Satpam itu. “Kamu bisa di penjara karena melakukan hal ini. Ayo lepaskan dia, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuknya. Berusaha berunding, meskipun diacuhkan.Ferdi yang sudah gelap mata, mana mau mendengarkan bujukan Satpam itu. Ia masih terus menyeret paksa Zee. Gadis itu sudah kelelahan dan tidak bisa lagi berteriak. Di tengah kebingungan dan rasa sakit di lengannya yang di seret. Satu sosok muncul di kepala Zee. ‘Haikal!’ Entah mengapa, nama itu yang dia panggil saat keadaan genting seperti ini.Tiba-tiba saja, Zee terhempas ke trotoar jalan. Cekalan kuat Ferdi lepas karena pukulan seseorang. Zee melihatnya setengah tidak percaya. Ora
Zee masih terbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Pagi sekali, Gia sudah pamit pergi. Katanya banyak pekerjaan yang menumpuk, jika dia tidak pergi bekerja. Tinggallah Haikal dan Zee di ruangan itu. Zee juga sudah mengusir Haikal agar pergi, tapi dasar dia itu bocah keras kepala yang bertindak sesukanya.“Yakin tidak mau pulang?”Haikal mengangguk cepat. Ia memosisikan diri untuk duduk di sebelah tempat tidur. “Zee, dengar,” ujar Haikal dengan suara lembut. “Aku punya ide bagus untuk membuatmu tidak bosan,” katanya.Zee menoleh ke arah Haikal, bibirnya tersenyum. Memberikan sedikit respons atas usaha pemuda itu, untuk menghiburnya. Haikal mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya. “Aku akan menyuapimu permen ini. Tapi ada syaratnya, kamu harus menebak rasa permen yang ada di mulutmu.”Zee mengangkat alisnya, tertarik dengan permainan kecil ini. “Baiklah, aku menerimanya. Tapi jangan berharap aku akan kalah begitu saja!” tidak ada salahnya
Zee diizinkan pulang dari rumah sakit hari ini. Semua keperluan administrasi juga sudah Gia selesaikan. Tinggal Zee yang perlu berkemas, apalagi jarum infusnya telas dibuka. Tapi perempuan itu malah melamun di atas brankar sambil menatap pintu.“Kok, belum siap?” tanya Gia. Ia mengikuti arah pandang Zee dan tersenyum saat tahu, apa yang sedang gadis itu tunggu. “Hm," Zee menyahut seadanya. Matanya masih saja menatap pintu tanpa teralih sama sekali.“Dia ada di depan. Kalau kamu lagi cari si Haikal.”Zee menoleh. “Siapa yang cari Haikal,’ sewotnya. Tapi dari cara dia panik, Gia dapat menebak, jika tebakan tadi benar.“Kalau bukan, ayo cepat berkemas. Kasihan si Haikal menunggu kita dari tadi.” Benar saja, Zee yang tadi ogah-ogahan berkemas, sudah bergerak secepat kilat. Gia ingin tertawa, tapi takut Zee marah padanya. Nanti saja dia tertawakan sahabatnya itu, kala Zee dan Haikal sudah memiliki hubungan yang jelas.Haikal sudah siap dengan mobilnya. Ia tersenyum kala melihat Zee dan G
Haikal mengungkung tubuh Zee ke dinding. Kejadian sebelumnya sangat cepat, hingga Zee tidak mampu bereaksi. Saat hendak mengembalikan peralatan makan ke dapur, dia malah terpeleset dan hampir terjatuh. Untung saja Haikal mengekorinya tadi. Jadi pemuda itu dengan sigap menahan pinggang Zee.“Hati-hati,” ujar pemuda itu. Ia membantu Zee untuk berdiri. “Ada yang sakit?” Melihat Zee yang terdiam, Haikal jadi khawatir.Zee terdiam karena salah tingkah. Bisa-bisanya dia ceroboh saat Haikal masih berada di sini. Kalau benar-benar jatuh karena terpeleset, pastilah dia akan sangat malu sekali.Karena tak kunjung meresponnya, Haikal mendorong pelan tubuh Zee ke tembok dan mengungkungnya agar tidak melarikan diri. “Sedang memikir apa?”Jantung Zee langsung berlompatan di dalam sana. Gadis itu meneguk ludah susah payah. Haikal tengah menatapnya, tajam dan dalam. Lagi-lagi, Zee bergeming saat berada dalam tatapan tersebut.“Kamu mau apa?”Zee menegang saat Haikal mengikis jarak di antara mereka. O