"Kal!"
Haikal menoleh. Dia baru saja keluar dari salah satu kelas dan temannya yang bernama Wira, sedang berlari ke arahnya. "Apa?" Tanya Haikal. Sembari menunggu temannya itu mendekat.Wira merangkul Haikal begitu sampai. "Hari ini kamu sibuk gak? Aku izin telat ke cafe, ya. Ada urusan di BEM." Ujarnya, dengan napas sedikit terengah. Salah satu teman Haikal ini adalah manusia yang paling sibuk. Dia bekerja part time di Cafe, padahal sudah sibuk dengan urusan BEM yang seabrek."Lama gak?" Haikal sebenarnya ingin pergi ke suatu tempat. "Aku ada urusan nanti malam." Ujarnya."Gak tau juga, sih. Tapi aku bakal balik duluan kalau misal lama." Janjinya. Dia juga tidak enak hati sebenarnya."Santai aja. Aku juga udah gak ada kelas habis ini. Urusanku juga gak begitu mendesak." Haikal ini juga salah satu jenis manusia yang bisa di andalkan."Makasih, ya. Ngomong-ngomong, gimana cewek yang kemarin?" Tanya Wira. Mereka mengobrol sambil menyusuri lorong kampus yang masih ramai dengan aktivitas."Yang kamu bilang kemarin itu serius gak sih?" Tanya Haikal. Wajahnya berubah serius."Yang mana?""Itu, kata kamu kalau wanita yang lebih tua itu, lebih suka bentuk tubuh bagus ala pria dewasa" Ujarnya."Gak tau juga sih. kan aku bilang katanya. Emang kamu udah praktekkan?Haikal mengangguk."Anjir. Hasilnya?"Di jawab dengan gelengan kepala haikal. "Kayaknya dia gak suka.""kamu buka baju depan dia langsung?"Haikal mengangguk lagi. "Sampai bawah malah.""Anjir, sialan!" Wira memukul lengan Haikal karena gemas dengan apa yang sudah temannya lakukan. "Dan dia gak tertarik?" Sekali lagi Haikal mengangguk."Kasian, kecil kali.""Sialan!" Kali ini Haikal yang memiting kepala Wira.***Hal yang paling Zee syukuri, adalah support dari teman-temannya. Tidak dia duga, mereka akan mendukung keputusannya untuk putus dengan mantan pacarnya yang berselingkuh."Terima kasih semuanya." Ucap Zee dengan tulus."Anda ini jangan terlalu sungkan.""Benar. kita 'kan rekan kerja.""Kita memang tidak suka anda pacaran dengan orang macam itu." Ujar mereka bergantian dengan kompaknya.Zee yang tidak ingin menangis lagi, matanya malah kembali berkaca-kaca karena terharu. "Kalian ...." Zee tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Semua senyum hangat yang terarah padanya membuatnya tidak bisa lagi membendung air matanya."Bagaimana kalau kita pergi ke Cafe depan untuk makan-makan?" Usul Gia. Dia hampir ikut menangis, tapi segera ditahannya. Manajer sekaligus temannya ini, sedang butuh banyak dukungan darinya."Ide bagus!" Seru teman-temannya yang lainnya."Kita rayakan hari putusnya manajer Zee.""Yeay." Mereka jadi tertawa bersama. Ada-ada saja ide mereka untuk makan gratis. Bahkan momen putus pun, mereka rayakan.Cafe yang mereka maksud, adalah tempat kemarin Zee dihampiri wanita muda yang mengaku sebagai kekasih pacarnya. Tapi hal itu bukan lagi masalah bagi Zee karena dia tidak lagi memikirkan pria sialan itu.Jarak kantor dari tempat tujuan mereka lumayan dekat. Tidak perlu membawa mobil, cukup dengan jalan kaki saja mereka sudah sampai. Tempatnya yang nyaman dan luas, terkadang dijadikan tempat rapat atau kegiatan lainnya.Zee berjalan lebih dulu. dia akan mentraktir teman-temannya kali ini. Jadi dia yang akan memesan dan mengantri di kasir."Selamat datang mau pesan a ... pa?""Kamu!"Haikal langsung tersenyum saat tahu siapa yang sedang ada di depannya. Tidak dia duga, karena menggantikan temannya, dia bisa bertemu dengan Zee. Ingatkan Haikal untuk memberi hadiah pada temannya itu nanti.'Kamu!' Ulang Zee tanpa suara. Dia masih mengingat jika teman-temannya masih ada di sana."Kenapa Zee?" Gia bertanya karena Zee tak kunjung memesan.Zee menggeleng. mana mungkin dia akan memberitahu Gia, jika dia terkejut karena Pemuda yang ada di tempat kasir, adalah orang yang sudah tidur bersamanya.padahal Zee sudah tidak mau bertemu dengan orang ini lagi. Kenapa dia malah berada di sini, bahkan mengenakan seragam Cafe ini juga.Zee sering pergi ke sana, tapi baru kali ini, dia bertemu Haikal di sini. Apakah dia pekerja baru?"Mau pesan apa kak?" Haikal mengulang pertanyaannya sambil tersenyum ramah. Saat ini dia adalah seorang pekerja, jadi harus profesional.Karena Haikal pura-pura tidak mengenalnya, jadi Zee juga akan melakukan hal yang sama dan memesan seperti biasanya. Zee menyebutkan beberapa menu pedas dan biasa. Minuman dan juga makanan penutup."Baik kak, saya ulangi lagi pesanannya, ya." Haikal menyebutkan setiap pesanan dengan baik. "Ini totalnya seluruhnya ya, Kak."Haikal mengulurkan tangannya untuk memberikan struk pembayaran. Menunggu Zee, mengulurkan tangannya juga untuk menerimanya.Saat itulah, tangannya memegang erat tangan Zee, dia mengedipkan sebelah matanya. Senyum Haikal terlihat menyebalkan untuk Zee. Dengan tatapan galak, Zee menarik tangannya paksa. Tapi Haikal malah tersenyum puas."Silahkan ditunggu ya kak." Ucap Haikal kembali ramah. Melupakan apa yang baru saja dia lakukan pada Zee. Zee pergi setelah selesai membayar. Tentu dengan mendengus kesal. Haikal masih memperhatikan wanita itu dari balik meja kasir. Memperhatikan tiap langkahnya, bagaimana cara dia duduk, berbicara pada orang lain, dan bagaimana dia tertawa."Maaf kal. aku telat banget nih."Tepukan dari Wira di punggungnya, menyadarkan Haikal dari lamunannya tadi. Untung saja tidak banyak pelanggan hari ini."Gak apa. santai aja." Haikal menoleh pada temannya yang super sibuk itu."Kamu kenal sama orang itu?" Tanya Gia, begitu mereka duduk bersama temannya yang lain."Gak tuh!" Elak Zee. Dia akan pura-pura tidak mengenalnya, pura-pura tidak terjadi apapun semalam, dan pura-pura tidak melihat itu juga.Astaga, Zee jadi teringat tentang tubuh indah pemuda itu, sungguh menyebalkan.Zee harus pergi ke toilet. dia sudah harap-harap cemas takut bertemu pemuda itu lagi. tapi syukurlah dia tidak melihatnya dimanapun.Namun sayangnya, Haikal sudah menunggu Zee keluar dari dalam kamar mandi dan menariknya ke suatu tempat."Lepas atau aku teriak nih!""Teriak aja.""Kamu!" Geram Zee."Nanti pulang jam berapa?"Zee mengernyitkan dahinya. "Buat apa tanya aku pulang jam berapa?" Sewotnya."Mau nebeng. Aku tadi berangkatnya kan sama kamu. Ke sini nya naik ojek, jadi buat menghemat biaya, boleh dong numpang lagi." "Dasar gak modal.""Modalnya aku tabung buat masa depan kita. 'Kan tadi kamu minta aku tanggung jawab.""Ah, benar. Untung kamu ingatkan. Aku gak ngerasa sakit apa-apa. Kamu jujur, sebenarnya kita gak ngapa-ngapain semalam 'kan?"Haikal mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu kenapa gak sakit. Itu juga yang pertama kali buat aku. Atau jangan-jangan kamu." Haikal menatap tubuh Zee dari bawah ke atas. Seperti gerakan memindai."Itu juga yang pertama buat aku." Zee marah karena merasa diremehkan."Ya sudah kalau begitu. masih perlu dibahas?" Ucap Haikal dengan wajah tengil.Zee baru pertama kali menghadapi bocah seperti ini. Dia geram dan gemas diwaktu bersamaan."Jadi bisa numpang tidak?""Iya." Entah mengapa Zee mengiyakan hal ini. "Jadi jam berapa pulangnya?"h
Dengan cepat, Haikal membawa tubuh Zee ke atas tempat tidur. "Naya!" Dia masih memanggil Zee. Wajah paniknya sudah berubah menjadi wajah khawatir.Haikal mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Dia mencari nomor telepon seseorang. "Om. Naya pingsan. Aku harus gimana?" Ucapnya langsung, saat panggilannya sudah tersambung."Dokter? Ah, iya. Maaf. Aku sudah kelewatan tadi. Aku tutup dulu dan manggil Dokter. Iya, Om." Haikal mencari nomor lain setelahnya."Maaf, Naya." Haikal duduk di tepi ranjang, sambil menunggu Zee yang sedang diperiksa seorang dokter. "Bagaimana, Kak?" Tanyanya."Tidak apa-apa. Tapi jangan buat dia panik lagi setelah ini. Paham!" Dokter cantik dengan rambut disanggul tinggi itu tersenyum, saat Haikal mengangguk. "Bukankah kamu janji bakalan jaga dia? Jadi, lakukanlah pendekatan awal yang baik itu langkah yang penting! Kalau kamu buru-buru begini, dia cuma bakal mendorong kamu pergi jauh." Haikal menunduk. Dia merasa bersalah karena telah memaksa Zee langsung
Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin. Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini. “Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya. Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah. Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.Haikal turun lebih dulu. Ia memb
Gia merasa jengah. Sejak tadi Zee tak hentinya menghela napas. “Mending kamu kejar aja si berondong, dari pada galau di sini!” ujarnya. Setelah insiden penyerangan oleh Ferdi, Zee membawa seorang pemuda masuk ke dalam ruangannya.Tidak begitu lama, terdengar teriakan dan desahan. Tentu semua bawahan Zee jadi penasaran dan mencoba menguping. Sayangnya, saat mereka bisa mendekat. Pemuda itu pergi dengan wajah sedih. Sementara Zee tidak kunjung keluar.Akhirnya, Gia sebagai asisten manajer, yang di dorong masuk oleh teman-temannya. “Buruan masuk!” Begitulah kiranya dia dipaksa dan dijadikan tumbal untuk mendapatkan berita. Zee mendengus kesal. “Ih, buat apa? Aku sudah berhasil mengusirnya pergi, masa harus kupanggil lagi,” sewotnya.“Habisnya kamu galau sejak dia keluar dari kantor ini. Eh, BTW, kenal di mana?” tanya Gia. Pria itu tampak tak asing untuknya. Zee diserang mata penasaran asistennya. “Di Club,” jawab Zee singkat. “Jelas kenal. Kamu pasti sudah ketemu dia di Cafe depan kant
“Hei , kau! Zee menarik napas, hendak memaki pemuda di sampingnya. Tapi Gia menghentikannya segera.“Zee, sebentar lagi jam makan siang selesai. Kita bicarakan saja lagi, nanti.” Zee mengiyakan. Ia merasa sedikit lega, belum sampai mengucapkan sumpah serapah pada Haikal.“Oh iya, Haikal.”“Ya, Zee?”“Kapan kau akan pergi?”“Sebentar lagi.”“Sekarang, aku mau memesan sesuatu.” Haikal tersenyum maklum, dia berjalan menuju tempat pemesanan, dengan senyuman lebar dan semangatnya.Zee merasa sedikit lega, hah... dia benar-benar harus mencari cara untuk mengusir Haikal secepat mungkin.***Mulai saat itu, Haikal terus mengikutinya, seperti jelmaan hantu yang tidak bisa dibelai. Sekuat apa pun, Zee menghindar. Tetap saja, pemuda itu bisa menemukannya.Padahal Zee sudah tidak lagi mengunjungi Cafe milik Haikal, untuk menghindari pertemuan mereka. Tapi apa? Mereka malah semakin sering bertemu, karena jika ada pesanan makanan dari Cafe itu, Haikal yang akan datang. Bahkan dia tidak ragu untuk
Ferdi tidak memarkir mobilnya di dalam area kantor. Rencananya sudah matang, karena dia pun sudah menyiapkan jalur pelarian setelah berhasil membawa sang mantan pacar.Zee diseret hingga keluar area kantor. Satpam yang hendak menolong pun harus pikir-pikir dulu, karena ada benda tajam yang Ferdi pegang saat ini. “Tolong turunkan senjatamu!” kata Satpam itu. “Kamu bisa di penjara karena melakukan hal ini. Ayo lepaskan dia, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuknya. Berusaha berunding, meskipun diacuhkan.Ferdi yang sudah gelap mata, mana mau mendengarkan bujukan Satpam itu. Ia masih terus menyeret paksa Zee. Gadis itu sudah kelelahan dan tidak bisa lagi berteriak. Di tengah kebingungan dan rasa sakit di lengannya yang di seret. Satu sosok muncul di kepala Zee. ‘Haikal!’ Entah mengapa, nama itu yang dia panggil saat keadaan genting seperti ini.Tiba-tiba saja, Zee terhempas ke trotoar jalan. Cekalan kuat Ferdi lepas karena pukulan seseorang. Zee melihatnya setengah tidak percaya. Ora
Zee masih terbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Pagi sekali, Gia sudah pamit pergi. Katanya banyak pekerjaan yang menumpuk, jika dia tidak pergi bekerja. Tinggallah Haikal dan Zee di ruangan itu. Zee juga sudah mengusir Haikal agar pergi, tapi dasar dia itu bocah keras kepala yang bertindak sesukanya.“Yakin tidak mau pulang?”Haikal mengangguk cepat. Ia memosisikan diri untuk duduk di sebelah tempat tidur. “Zee, dengar,” ujar Haikal dengan suara lembut. “Aku punya ide bagus untuk membuatmu tidak bosan,” katanya.Zee menoleh ke arah Haikal, bibirnya tersenyum. Memberikan sedikit respons atas usaha pemuda itu, untuk menghiburnya. Haikal mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya. “Aku akan menyuapimu permen ini. Tapi ada syaratnya, kamu harus menebak rasa permen yang ada di mulutmu.”Zee mengangkat alisnya, tertarik dengan permainan kecil ini. “Baiklah, aku menerimanya. Tapi jangan berharap aku akan kalah begitu saja!” tidak ada salahnya
Zee diizinkan pulang dari rumah sakit hari ini. Semua keperluan administrasi juga sudah Gia selesaikan. Tinggal Zee yang perlu berkemas, apalagi jarum infusnya telas dibuka. Tapi perempuan itu malah melamun di atas brankar sambil menatap pintu.“Kok, belum siap?” tanya Gia. Ia mengikuti arah pandang Zee dan tersenyum saat tahu, apa yang sedang gadis itu tunggu. “Hm," Zee menyahut seadanya. Matanya masih saja menatap pintu tanpa teralih sama sekali.“Dia ada di depan. Kalau kamu lagi cari si Haikal.”Zee menoleh. “Siapa yang cari Haikal,’ sewotnya. Tapi dari cara dia panik, Gia dapat menebak, jika tebakan tadi benar.“Kalau bukan, ayo cepat berkemas. Kasihan si Haikal menunggu kita dari tadi.” Benar saja, Zee yang tadi ogah-ogahan berkemas, sudah bergerak secepat kilat. Gia ingin tertawa, tapi takut Zee marah padanya. Nanti saja dia tertawakan sahabatnya itu, kala Zee dan Haikal sudah memiliki hubungan yang jelas.Haikal sudah siap dengan mobilnya. Ia tersenyum kala melihat Zee dan G