'Hah? Apa katanya?'
"Jangan bilang Kakak mau pergi begitu saja, setelah mengambil malam pertamaku." Haikal memasang wajah tersakiti.'Apa ini tidak ke balik?' Bukankah seharusnya pihak perempuan yang meminta pertanggung jawaban?"Huh, dengar ya bocah! Ini juga pertama kali buat aku. Dan harusnya, kamu yang tanggung jawab sudah mengambil pertamaku. Sialan." Kesal Zee. Merasa dirinya telah dinilai sebagai tante-tante girang yang suka daun muda."Jadi, aku yang harus tanggung jawab?" Tanya Haikal. Suaranya naik satu oktaf, seperti tidak setuju dengan keputusan Zee."Ya, iyalah!" Zee tak kalah menaikkan suaranya."Okey, aku bakal tanggung jawab. Jadi Kakak tidak boleh lari dariku." Ucap Haikal dengan senyum tengil.Tunggu sebentar! Mengapa Zee merasa ada yang salah, di sini?'Shit!' Sepertinya Zee sudah menggali lubang kuburannya sendiri. Tanpa Ia sadari, akan semakin terjebak dengan bocah itu sekarang."Kamu!" Belum juga Zee selesai melanjutkan kalimatnya, mobil sudah berhenti di tempat parkir sebuah Universitas. Zee baru sadar, jika mereka sudah masuk ke bagian dalam kampus itu."Nah, sampai ketemu lagi, Kak. Hati-hati di jalan, ya!" Haikal mendaratkan satu ciuman di kening Zee. Membuatnya lagi-lagi mematung dengan tingkah bocah tengil itu. Haikal pergi dengan senyum mengembang."Aaargh, Sialan!" Umpat Zee. Bisa-bisanya dia terbawa perasaan, hanya karena dicium bocah. Hal manis yang tidak pernah mantan pacar sialannya lakukan sejak mereka berpacaran.Zee buru-buru keluar dan pindah ke kursi pengemudi. Dia harus segera pergi, agar tidak bertemu si Haikal itu lagi. Jangan pernah lagi. Anggap semua berakhir di tempat ini.Di sepanjang jalan, Zee bergumam, merutuki, dan juga mengumpat. Dia baru saja sadar dan merasa sangat tertipu. Tidak ada rasa sakit pada bagian bawahnya.Bukankah kata artikel, itu-nya akan terasa sakit saat melakukan untuk pertama kali. Apakah artinya mereka belum melakukan hal itu? Apakah Haikal membohongi dirinya?Zee jadi merasa sangat bodoh. Apa dia sudah tertipu? Zee harus segera memastikan hal ini. Ia akan menganggap semua tidak pernah terjadi, jika Haikal berbohong. "Ya. aku harus lupakan kejadian tadi malam."Zee pulang ke Apartemennya. Berganti pakaian dan sarapan yang tertunda karena hari sudah sedikit siang. Zee mencoba mengalihkan diri dengan menonton video menyenangkan di layar ponselnya. Nyatanya, hati Zee masih belum bisa ia tata dengan baik.Bukannya mendapat ketenangan. Zee malah menemukan sebuah Video pendek tentang para pria yang sedang berolahraga berat."Shit!" Umpatnya, saat bayangan Haikal tanpa busana, melintas di pikirannya. "Aku lagi makan! Masa ingat yang begituan?" Lagi-lagi dia merasa sangat bodoh karena masih mengingat soal bocah itu.Zee yang baru saja menemukan ponselnya di dalam tas. Melihat banyak sekali pesan dan panggilan yang masuk. Salah satunya, dari bos tempat dia bekerja. Pak tua itu, menerornya untuk segera datang ke kantor sekarang juga.Padahal hari ini dia ingin menyendiri di apartemen saja, agar tidak bertemu dengan pria itu. Apalah daya, dirinya seorang manajer sekarang. Jika dia membuat masalah, maka anggota lainnya yang akan terkena imbas.Dua puluh menit perjalanan untuk Zee bisa sampai ke kantor. Cukup cepat, karena saat ini bukan jam sibuk dan jalanan cukup lengang."Zee!"'Oh, yang benar saja!' Belum juga Zee masuk ke dalam gedung kantor, dia sudah di cegat oleh pria paling tidak ingin dia temui. Siapa lagi, jika bukan Mantan pacar yang sudah berselingkuh di belakangnya."Kamu dari mana saja, aku-""Fer, bukannya kita sudah putus, ya? Jadi, jangan sok kenal lagi. Pergi sana!" Ketus Zee. Tapi kalimat itu saja tidak cukup untuk mengusir pria bernama Ferdi itu.Kemarin, sebelum mabuk. Zee mengirimkan pesan pada Mantan pacarnya itu, untuk mengakhiri hubungan mereka. Zee juga sempat memotret wanita muda yang mengaku sebagai selingkuhan dari pria itu, jadi Zee kirim saja pada Ferdi."Zee, aku bisa jelaskan. Itu hanya kecelakaan dan aku tidak akan ulangi lagi."Huh! Zee bisa gila rasanya. Kecelakaan? tidak akan diulangi? Oh, boleh tidak sih, Zee menempeleng pria ini? Setelah berbuat salah, sekarang malah berkilah. sungguh pria brengsek sesungguhnya. Mengapa Zee baru menyadari hal ini?"Berakhir, artinya berakhir. Permisi!" Zee langsung pergi setelah mengatakannya. Sakit hati sisa semalam, kini berubah menjadi kemarahan yang bisa meledak kapan pun. Jadi, dari pada nanti ada berita 'Seorang wanita mencekik mantannya, karena diselingkuhi.' Mending dia menjauh dari pria itu.Zee berdiri di depan meja kerja seorang pria tua. Dia adalah pemilik perusahaan tempat Zee bekerja. Direktur Utama dan juga Ayahnya."Dari mana saja?" Tanyanya. Suara berat dan tegas itu membuat Zee harus menelan ludah kering."Ada urusan.""Sama pacarmu itu?""Sudah putus." Jawab Zee, tak kalah tegasnya."Oh, baguslah! Kau boleh pergi."'Apa? Zee tidak salah dengarkan?' Tumben sekali pria tua itu tidak memberinya pekerjaan yang sulit. Tapi Zee tidak mau bertanya lagi. Ia segera pamit pergi sebelum pak tua itu berubah pikiran.Zee menuju kantor pemasaran, untuk menemui anggotanya. Mereka mengirim banyak pesan, yang menanyakan di mana dia berada. Dua tahun dia menjabat sebagai manajer pemasaran dan mendapatkan rekan kerja yang baik."Bu manajer! Anda dari mana saja?" Sambut seorang wanita dengan rambut panjang terikat asal. Dia asisten Zee yang sudah bekerja bersamanya selama dua tahun ini."Gia!" Zee memeluk Gia dengan erat. Selain menjadi asisten, Gia selama ini sudah menjadi teman dekatnya. mereka seusia, dan senasib."Kenapa? Ada apa?" Khawatir Gia. Dia membawa Zee untuk duduk di kursi. Anggota lain yang melihat hal itu juga ikut khawatir tapi mereka sengaja tidak mendekat untuk memberikan keduanya ruang mengobrol."Dia selingkuh. Kami sudah putus dan-""Baguslah. Buang dia jauh-jauh dan jangan beri kesempatan lagi." Tegas Gia. Temannya itu memang mengatakan dengan jelas, ketidaksukaannya pada Ferdi sejak Zee mengenal pria itu.Apalagi Gia juga pernah mengalami pengkhianatan cinta sama seperti Zee. Bedanya, Gia sejak awal memang sudah ingin putus. Sementara Zee. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja sudah ada wanita datang mengaku padanya."Benar, Bu bos!""Kami mendukungmu!""Dia bakal menyesal cepat atau lambat!""Ayo kita rayakan putusnya Ibu manajer!""Ayo, pergi minum-minum sepulang kerja, bagaimana?"Zee tercengang sejenak. Tidak menyangka jika rekan kerjanya akan sangat mendukung perpisahan mereka.Ia tersenyum, tapi kepalanya menggeleng untuk celetukan terakhir itu. Jangan ingatkan dirinya dengan minuman itu dulu. Dia masih harus melupakan pertemuannya dengan si Haikal bocah tengil itu, gara-gara minum dan berakhir mabuk.Ya. Jangan sampai dia bertemu dengan bocah itu lagi."Kal!"Haikal menoleh. Dia baru saja keluar dari salah satu kelas dan temannya yang bernama Wira, sedang berlari ke arahnya. "Apa?" Tanya Haikal. Sembari menunggu temannya itu mendekat. Wira merangkul Haikal begitu sampai. "Hari ini kamu sibuk gak? Aku izin telat ke cafe, ya. Ada urusan di BEM." Ujarnya, dengan napas sedikit terengah. Salah satu teman Haikal ini adalah manusia yang paling sibuk. Dia bekerja part time di Cafe, padahal sudah sibuk dengan urusan BEM yang seabrek. "Lama gak?" Haikal sebenarnya ingin pergi ke suatu tempat. "Aku ada urusan nanti malam." Ujarnya."Gak tau juga, sih. Tapi aku bakal balik duluan kalau misal lama." Janjinya. Dia juga tidak enak hati sebenarnya."Santai aja. Aku juga udah gak ada kelas habis ini. Urusanku juga gak begitu mendesak." Haikal ini juga salah satu jenis manusia yang bisa di andalkan."Makasih, ya. Ngomong-ngomong, gimana cewek yang kemarin?" Tanya Wira. Mereka mengobrol sambil menyusuri lorong kampus yang masih ramai dengan aktivitas
"Nanti pulang jam berapa?"Zee mengernyitkan dahinya. "Buat apa tanya aku pulang jam berapa?" Sewotnya."Mau nebeng. Aku tadi berangkatnya kan sama kamu. Ke sini nya naik ojek, jadi buat menghemat biaya, boleh dong numpang lagi." "Dasar gak modal.""Modalnya aku tabung buat masa depan kita. 'Kan tadi kamu minta aku tanggung jawab.""Ah, benar. Untung kamu ingatkan. Aku gak ngerasa sakit apa-apa. Kamu jujur, sebenarnya kita gak ngapa-ngapain semalam 'kan?"Haikal mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu kenapa gak sakit. Itu juga yang pertama kali buat aku. Atau jangan-jangan kamu." Haikal menatap tubuh Zee dari bawah ke atas. Seperti gerakan memindai."Itu juga yang pertama buat aku." Zee marah karena merasa diremehkan."Ya sudah kalau begitu. masih perlu dibahas?" Ucap Haikal dengan wajah tengil.Zee baru pertama kali menghadapi bocah seperti ini. Dia geram dan gemas diwaktu bersamaan."Jadi bisa numpang tidak?""Iya." Entah mengapa Zee mengiyakan hal ini. "Jadi jam berapa pulangnya?"h
Dengan cepat, Haikal membawa tubuh Zee ke atas tempat tidur. "Naya!" Dia masih memanggil Zee. Wajah paniknya sudah berubah menjadi wajah khawatir.Haikal mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Dia mencari nomor telepon seseorang. "Om. Naya pingsan. Aku harus gimana?" Ucapnya langsung, saat panggilannya sudah tersambung."Dokter? Ah, iya. Maaf. Aku sudah kelewatan tadi. Aku tutup dulu dan manggil Dokter. Iya, Om." Haikal mencari nomor lain setelahnya."Maaf, Naya." Haikal duduk di tepi ranjang, sambil menunggu Zee yang sedang diperiksa seorang dokter. "Bagaimana, Kak?" Tanyanya."Tidak apa-apa. Tapi jangan buat dia panik lagi setelah ini. Paham!" Dokter cantik dengan rambut disanggul tinggi itu tersenyum, saat Haikal mengangguk. "Bukankah kamu janji bakalan jaga dia? Jadi, lakukanlah pendekatan awal yang baik itu langkah yang penting! Kalau kamu buru-buru begini, dia cuma bakal mendorong kamu pergi jauh." Haikal menunduk. Dia merasa bersalah karena telah memaksa Zee langsung
Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin. Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini. “Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya. Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah. Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.Haikal turun lebih dulu. Ia memb
Gia merasa jengah. Sejak tadi Zee tak hentinya menghela napas. “Mending kamu kejar aja si berondong, dari pada galau di sini!” ujarnya. Setelah insiden penyerangan oleh Ferdi, Zee membawa seorang pemuda masuk ke dalam ruangannya.Tidak begitu lama, terdengar teriakan dan desahan. Tentu semua bawahan Zee jadi penasaran dan mencoba menguping. Sayangnya, saat mereka bisa mendekat. Pemuda itu pergi dengan wajah sedih. Sementara Zee tidak kunjung keluar.Akhirnya, Gia sebagai asisten manajer, yang di dorong masuk oleh teman-temannya. “Buruan masuk!” Begitulah kiranya dia dipaksa dan dijadikan tumbal untuk mendapatkan berita. Zee mendengus kesal. “Ih, buat apa? Aku sudah berhasil mengusirnya pergi, masa harus kupanggil lagi,” sewotnya.“Habisnya kamu galau sejak dia keluar dari kantor ini. Eh, BTW, kenal di mana?” tanya Gia. Pria itu tampak tak asing untuknya. Zee diserang mata penasaran asistennya. “Di Club,” jawab Zee singkat. “Jelas kenal. Kamu pasti sudah ketemu dia di Cafe depan kant
“Hei , kau! Zee menarik napas, hendak memaki pemuda di sampingnya. Tapi Gia menghentikannya segera.“Zee, sebentar lagi jam makan siang selesai. Kita bicarakan saja lagi, nanti.” Zee mengiyakan. Ia merasa sedikit lega, belum sampai mengucapkan sumpah serapah pada Haikal.“Oh iya, Haikal.”“Ya, Zee?”“Kapan kau akan pergi?”“Sebentar lagi.”“Sekarang, aku mau memesan sesuatu.” Haikal tersenyum maklum, dia berjalan menuju tempat pemesanan, dengan senyuman lebar dan semangatnya.Zee merasa sedikit lega, hah... dia benar-benar harus mencari cara untuk mengusir Haikal secepat mungkin.***Mulai saat itu, Haikal terus mengikutinya, seperti jelmaan hantu yang tidak bisa dibelai. Sekuat apa pun, Zee menghindar. Tetap saja, pemuda itu bisa menemukannya.Padahal Zee sudah tidak lagi mengunjungi Cafe milik Haikal, untuk menghindari pertemuan mereka. Tapi apa? Mereka malah semakin sering bertemu, karena jika ada pesanan makanan dari Cafe itu, Haikal yang akan datang. Bahkan dia tidak ragu untuk
Ferdi tidak memarkir mobilnya di dalam area kantor. Rencananya sudah matang, karena dia pun sudah menyiapkan jalur pelarian setelah berhasil membawa sang mantan pacar.Zee diseret hingga keluar area kantor. Satpam yang hendak menolong pun harus pikir-pikir dulu, karena ada benda tajam yang Ferdi pegang saat ini. “Tolong turunkan senjatamu!” kata Satpam itu. “Kamu bisa di penjara karena melakukan hal ini. Ayo lepaskan dia, kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuknya. Berusaha berunding, meskipun diacuhkan.Ferdi yang sudah gelap mata, mana mau mendengarkan bujukan Satpam itu. Ia masih terus menyeret paksa Zee. Gadis itu sudah kelelahan dan tidak bisa lagi berteriak. Di tengah kebingungan dan rasa sakit di lengannya yang di seret. Satu sosok muncul di kepala Zee. ‘Haikal!’ Entah mengapa, nama itu yang dia panggil saat keadaan genting seperti ini.Tiba-tiba saja, Zee terhempas ke trotoar jalan. Cekalan kuat Ferdi lepas karena pukulan seseorang. Zee melihatnya setengah tidak percaya. Ora
Zee masih terbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Pagi sekali, Gia sudah pamit pergi. Katanya banyak pekerjaan yang menumpuk, jika dia tidak pergi bekerja. Tinggallah Haikal dan Zee di ruangan itu. Zee juga sudah mengusir Haikal agar pergi, tapi dasar dia itu bocah keras kepala yang bertindak sesukanya.“Yakin tidak mau pulang?”Haikal mengangguk cepat. Ia memosisikan diri untuk duduk di sebelah tempat tidur. “Zee, dengar,” ujar Haikal dengan suara lembut. “Aku punya ide bagus untuk membuatmu tidak bosan,” katanya.Zee menoleh ke arah Haikal, bibirnya tersenyum. Memberikan sedikit respons atas usaha pemuda itu, untuk menghiburnya. Haikal mengeluarkan sebungkus permen dari saku celananya. “Aku akan menyuapimu permen ini. Tapi ada syaratnya, kamu harus menebak rasa permen yang ada di mulutmu.”Zee mengangkat alisnya, tertarik dengan permainan kecil ini. “Baiklah, aku menerimanya. Tapi jangan berharap aku akan kalah begitu saja!” tidak ada salahnya