Happy reading....
"Kau menyuruhku untuk tinggal bersamamu dan Hera? Apa kau gila, Jayden!" pekik Elena lalu mendengus kesal.
Elena sudah benci pada Hera setengah mati lalu hari ini tiba-tiba saja Jayden datang dan mengatakan dia harus tinggal bersama Hera. Yang benar saja.
"Gila? Justru ini adalah yang terbaik untuk kita, Sayang. Bukankah kau ingin selalu bersamaku?" ujar Jayden meyakinkan Elena jika keputusannya itu benar.
"Ya, itu benar tapi aku tidak bisa tinggal bersama Hera," kata Elena membuang muka tidak ingin menatap Jayden lagi. Dia malah beranjak menuju jendela menatap keluar seakan pemandangan malam yang gelap lebih indah dari kekasihnya yang sekarang duduk di sofa sambil memandangnya.
Balutan dress piyama berbahan sutra itu terlihat sangat cocok di tubuh Elena membuat Jayden tak bisa mengalihkan pandangan. Elena terlihat sangat cantik. Dia lalu mendekat ke arah Elena. Memeluk wanita itu dari belakang.
"Bukankah kau ingin menjadi nyonya Jayden Xavier?" tanya Jayden menyingkirkan rambut panjang dan ikal Elena lalu memberi leher jenjang itu kecupan menggoda.
"Seharusnya memang aku yang menyandang gelar itu, Jayden," kata Elena dengan rahang mengeras.
Saat itu dia dan Jayden sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara lamaran dan pernikahan namun segalanya hancur karena kehadiran Hera. Membuat mimpi dan cinta Elena harus menunggu selama satu tahun.
"Itulah sebabnya kau harus tinggal bersamaku dan Hera," kata Jayden.
"Tapi aku sangat membenci Hera. Bagaimana caraku menghadapinya?" tanya Elena masih dengan nada yang kesal.
Jayden memutar tubuh wanita itu menghadap padanya. Wanita dengan tinggi 160 cm itu menatap Jayden dalam menuntut penjelasan.
"Bukankah kita berniat untuk membalas dendam padanya?"
Elena mengerutkan keningnya bingung namun tiga detik kemudian dia tersenyum. Jadi ini maksud Jayden. Dia ingin menyiksa Hera dengan mengajak Elena tinggal bersamanya.
"Jadi maksudmu aku tinggal di sana untuk membantumu membalas dendam?"
"Tentu saja, Sayang."
"Kurasa dia memang pantas mendapatkan itu," kata Elena pada akhirnya. Wanita itu mengalungkan tangannya di leher Jayden dengan senyum yang merekah di wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung beberapa saat. Wajah Elena kembali mengerut.
"Tapi, Jayden, kenapa kau tidak menceraikan dia saja?" tanya Elena.
"Aku tidak bisa bercerai dengannya?"
"Kenapa? Kau memiliki perasaan padanya karena dia telah memberimu seorang putra?"
Jayden terkekeh pelan. Elena yang sedang cemburu sungguh sangat menggemaskan di mata Jayden.
"Yang benar saja. Aku tidak mungkin memiliki perasaan lebih padanya meskipun dia sudah memberiku seorang putra. Aku tidak peduli. Aku tetap membencinya," alibi Jayden.
"Lalu kenapa kau tidak menceraikannya?" Elene masih menginginkan jawaban yang lebih spesifik agar dia bisa yakin. Satu tahun bersama Hera bukan tidak mungkin jika Jayden merasakan sesuatu yang lain pada wanita itu.
"Karena aku harus memanfaatkan dia selagi dia masih menjadi istriku. Dan jika sudah tidak dibutuhkan aku akan membuangnya. Lalu hidup bahagia bersamamu," kata Jayden tersenyum puas dengan rencana yang telah ia persiapkan sejak dulu.
"Kau memang sangat jahat, Jayden," sarkah Elena ikut tersenyum.
Jayden tersenyum miring. Mengeratkan pelukannya pada Elena lalu berbisik pelan, "Dunia ini yang mengajariku."
***
Hera membuang napas pelan sebelum melanjutkan langkah menuju meja makan. Di mana ada Elena yang sedang menikmati sarapannya. Jayden baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Hera memang sengaja terlambat agar dia tidak melihat Jayden ataupun Elena.
Tapi ternyata dia tetap harus bertemu dengan Elena. Para maid menyapa Hera yang hanya dibalas senyuman tipis.
"Selamat pagi, Hera!" Dan Elena pun ikut menyapa wanita itu.
Hera tidak menjawab hanya menatap Elena sesaat lalu melanjutkan langkahnya untuk mengambil botol susu untuk Juan. Sementara Elena tersenyum puas melihat wajah cemberut Hera.
"Walaupun kau benci padaku, setidaknya jawab jika aku mengajakmu bicara," kata Elena lagi membuat Hera jengah. Wanita itu memang sengaja memancing amarah Hera.
"Kurasa memang ada yang harus kita bicarakan." Akhirnya Hera membuka suara walau masih dalam posisi membelakangi Elena. Dia sedang sibuk mempersiapkan botol susu milik sang anak.
"Apa itu?" kata Elena seakan begitu penasaran dengan apa yang akan disampaikan Hera.
Hera merendam botol susu Juan lalu meninggalkannya untuk menghampiri Elena. Dia duduk di depan wanita itu tanpa ekspresi berarti. Tanpa harus diberitahu, para maid paham jika kedua wanita itu butuh privasi membuat mereka beranjak pergi dari sana.
"Kau harus berhenti melakukan apa yang sedang kau lakukan, Elena," kata Hera setelah ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua.
"Maksudmu?"
"Tinggalkan Jayden."
"Apa? Aku tidak salah dengar 'kan? Kau menyuruhku meninggalkan Jayden?" Tawa Elena meledak setelah dia mengatakan itu. "Kau ternyata bisa bercanda juga ya, Hera," kata Elena di sela tawanya.
"Aku sedang tidak bercanda, Elena," timpal Hera membuat tawa Elena beransur mereda. Elena meneguk air putih yang ada di depannya lalu menatap Hera dengan intens.
"Dan kau pikir aku juga main-main dengan hubunganku dan Jayden? Seharusnya kau yang pergi bukan aku!" kata Elena sedikit meninggikan nada suaranya.
"Aku mengatakan ini sebagai sesama wanita dan juga sebagai seorang ibu. Jayden sudah memiliki istri dan anak. Kau bisa merebut Jayden dariku tapi tidak dari anakku. Jadi sebelum kau menyesal karena hubungan ini, lebih baik kau berhenti dan menyerahkan Jayden pada keluarganya," kata Hera.
Brak!
Elena memukul meja makan itu keras sebagai luapan kekesalannya.
"Ternyata kau lebih menyebalkan dari yang aku kira, Hera," sinis Elena menatap tajam wanita itu.
Hera ikut berdiri. "Jadi kau masih pada pendirianmu untuk tetap tinggal?"
"Tentu saja. Karena sejak awal, Jayden dan rumah ini milikku bahkan seharusnya akulah yang melahirkan anak Jayden bukan dirimu!" pekik Elena keras mengingatkan Hera akan posisinya.
Hera menghela napas cepat. "Ya. Aku tahu, Elena. Tapi tetap saja yang mendapat status sah sebagai istri Jayden itu aku bukan dirimu," balas Hera masih dengan nada yang sangat tenang. Dia tidak boleh gegabah menghadapi wanita di depannya. Api tidak boleh dilawan dengan api.
"Jaga ucapanmu, Hera! Atau aku akan mencabik-cabikmu saat ini juga!" Elena semakin tersulut emosi.
Kembali Hera menghela napas panjang, beranjak mengambil botol susu yang telah selesai ia rendam lalu kembali menghampiri Elena.
Hera tahu jika saja tidak terhalang oleh meja makan mungkin Elena sudah menamparnya beberapa kali. Namun Hera tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia tidak akan mau jika sampai Elena menyentuhnya.
"Terserah kau saja," kata Hera berdiri tepat di samping Elena. Mereka saling menatap di sana. "Karena di sini bukan tentang siapa yang dicintai Jayden tapi tentang siapa yang mendapat status dalam hubungan ini," lanjutnya.
Hera tersenyum tipis, mendekatkan sedikit wajahnya ke arah Elena. "Ingat, Elena. Sampai kapanpun kau akan tetap menyandang status sebagai wanita perebut suami orang."
To be continue....
Happy reading... Hera memejamkan matanya sesaat setelah dia menutup pintu kamar. "Aku tidak salah 'kan?" tanya Hera entah pada siapa. Hera berkata seperti itu pada Elena bukan karena dia tidak ingin berpisah dari Jayden. Sungguh wanita itu ingin lepas dari Jayden namun sekarang bukan hanya ayah dan ibunya yang dia pikirkan namun juga bayi yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. "Aku tidak bisa membiarkan Juan tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh," lirih Hera mendekati Juan lalu mengelus lembut pipinya. Bayi itu sedikit menggeliat membuat Hera tersenyum tipis. "Aku ingin dia tumbuh bersama ayah dan ibunya. Aku tidak mau dia kekurangan kasih sayang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," gumam Hera lagi. Hera sudah tidak peduli lagi. Dia sudah berkorban sejauh ini maka tidak ada lagi kata mundur. Hera akan mempertahankan rumah tangg
Happy reading.... Wajah bahagia terpancar jelas pada Elena. Apalagi saat dia melihat Hera tengah berjalan menghampirinya seraya menggendong Baby Juan. Wanita itu seakan sengaja bermesraan dengan Jayden. "Selamat pagi putra ayah," kata Jayden mengambil alih Juan dari gendongan Hera. Wanita itu tersenyum tipis hampir tak terlihat. Tak bisa dipungkiri Hera bahagia melihat Jayden bersama Juan. Kebersamaan mereka sejenak membuat Hera lupa akan konflik yang sedang dia hadapi. Hera mengambil tempat duduk untuk memulai sarapan. Tidak ada yang membuka suara. Yang terdengar hanya canda dari Jayden yang sedang bermain dengan Juan. Baik Elena atau Hera, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing. Menyibukkan diri menyantap sarapan mereka. "Aku akan pergi sekarang," ujar Jayden menyerahkan Juan pada Hera kembali. Dia mencium pipi sang anak gemas sambi
Happy reading.... "Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga. "Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden. "Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon." "Aku hanya merindukanmu." Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu. "Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu. "Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden. "Baiklah." Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya. &nb
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading.... Jayden menyapu kasar wajahnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Beberapa kali terdengar helaan napas yang begitu berat namun semuanya sirna saat dia tersenyum lembut lalu menghampiri box bayi di mana Juan sedang tertidur lelap. Pria itu mengusap lembut pipi sang anak membuatnya sedikit menggeliat mengundang kekehan kecil. Setelah memberi sebuah kecupan sayang di pipi sang anak, Jayden lalu berbalik menatap Hera yang berbaring membelakanginya. Jika biasanya Elena yang akan berbaring di sana menatapnya dengan tatapan menggoda sekarang yang dia lihat hanya punggung sempit Hera. Jayden ikut berbaring di sana setelah duduk beberapa saat. "Kau sudah tidur?" tanya Jayden pelan namun dia tidak mendapat balasan. Kembali ia menoleh. Sepertinya memang wanita itu sudah tidur karena deru napasnya yang terdengar beraturan dan pelan. Entah kenapa tubu
Happy reading....Hari yang tunggu akhirnya tiba. Pernikahan Haidar dan Hera. Para tamu sudah mulai memenuhi tempat duduk yang disediakan. Pernikahan yang di gelar di luar ruangan itu terlihat begitu mewah nan elegan. Warna putih mendominasi tempat itu. Di ujung altar Haidar sudah terlihat sangat gagah dengan balutan toxedo warna hitamnya. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya namun perasaan gugup juga tak bisa dihindari. Haidar sampai harus menarik napas lalu menghelanya beberapa kali untuk menetralkan degub jantung yang berpacu. Mengobrol dengan beberapa teman juga bisa mengalihkan sedikit rasa gugupnya.Tak jauh beda dengan Haidar, Hera yang terlihat sangat cantik dengan gaun mewah namun tetap terlihat elegan itu pun merasa sangat gugup. Mungkin ini adalah pernikahan kedua untuk Hera, tapi hal itu tak sedikit pun bisa menyingkirkan rasa gelisahnya. Mungkin karena dulu dia menikah karena perjodohan membuat Hera tak terlalu memikirkan pernikahan tersebut namun kali ini dia akan men
Happy reading.....Semuanya beransur membaik setelah kejadian mengerikan malam itu. Viona terpaksa ditembak mati oleh polisi karena dianggap mengancam keselamatan Hera. Kejadian malam itu juga termasuk rencana para polisi. Mereka tahu jika Viona pasti kembali. Namun soal penembakan sama sekali di luar rencana. Mereka tidak menyangka jika Viona memiliki senjata. Dan satu-satunya jalan agar Hera tak lagi terluka, mereka harus membekuk Viona. Dengan menembak mati wanita itu.Sampai saat ini Haidar masih belum menyangka jika Viona kini telah tiada. Belum lagi dia harus meninggal dengan cara yang begitu tragis. Masih teringat dengan jelas dalam benak Haidar bagaimana Viona menyatakan cintanya di saat terakhir. Selama ini Haidar pikir Viona hanya bercanda soal perasaannya. Betapa wanita itu sangat mencintai Haidar. Namun apa yang bisa Haidar lakukan? Haidar hanya mencintai Hera dan tidak akan pernah mencintai wanita lain lagi. Walau itu berarti Haidar harus menyakiti wanita yang juga sanga
Happy reading...."Selamat malam, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanya Viona mengulas senyum miring. Terlihat begitu mengejek Hera yang hanya bisa berbaring lemah. Wanita itu merapikan helai rambutnya yang jatuh di pipi kemudian berjalan ke arah Hera."Aku kecewa karena kau masih saja selamat," kata Viona. "Apakah kau memiliki sembilan nyawa hingga bisa bertahan sampai sekarang?" lanjutnya bertanya.Namun siapa yang bisa menjawab. Bahkan Hera masih harus dibantu banyak alat medis yang hampir menutupi sebagian tubuhnya.Viona menghela napas panjang. Duduk di samping Hera seraya menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan."Kau begitu beruntung. Dicintai banyak orang," kata Viona dengan raut wajah sendu. "Terutama Haidar." Pancaran mata Viona tidak bisa berbohong. Dia begitu iri pada Hera. Wanita itu kemudian bangkit. Mengambil sesuatu dari dalam saku jaket yang ia kenakan.Sebuah pistol yang didapatkannya dari orang asing beberapa hari yang lalu. Barang ilegal yang sebenarn
Happy reading....Polisi terus melacak keberadaan Viona namun hingga tiga hari berlalu setelah kejadian naas itu, mereka tak kunjung menemukan wanita yang menjadi pelaku penculikan Hera dan Elena. Entah ke mana wanita itu kabur. Keluarga Hera dan Haidar juga sudah mengetahui semuanya. Shila dan Thomas adalah orang yang paling kecewa pasalnya mereka sudah menganggap Viona seperti anak sendiri. Awalnya mereka tidak percaya Viona akan berbuat hal sejahat itu namun setelah pihak kepolisian memperlihatkan video yang diberikan Elena, barulah mereka percaya.Shila sampai pingsan tak kuasa menerima kenyataan sosok yang dianggap seperti putrinya sendiri kini menjadi seorang kriminal."Hiks ... ini semua salahku. Aku yang telah gagal mendidik Viona," kata Shila terisak pilu. Thomas membawa tubuh Shila yang bergetar ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan istrinya itu."Ini bukan salahmu," katanya menepuk pelan punggung Shila.Sementara kedua orangtua Haidar larut dalam kekecewaannya, Haidar m
Happy reading....Tubuh Haidar gemetar hebat. Tangannya yang berlumur darah Hera masih belum ia bersihkan. Beberapa juga mengenai baju yang ia kenakan. Keadaan yang tak jauh beda dengan pria yang duduk di sampingnya, Jayden.Kini mereka sudah berada di rumah sakit. Tepatnya di depan UGD. Hera dan Elena yang terluka parah kini sudah ditangani oleh dokter. Keluarga Hera, Haidar dan Elena juga sudah berada di sana. Menunggu kabar putri dan calon menantu mereka.Tak lama kemudian, tiga orang pria menghampiri mereka."Selamat malam. Maaf mengganggu ... tapi kami harus membawa Pak Jayden ke kantor polisi," kata salah satu dari mereka.Mungkin karena sudah terlalu panik mereka jadi lupa jika Jayden masih berstatus buronan polisi. Pria yang sejak tadi menunduk itu kini mendongak. Jayden baru akan bangkit namun Haidar mendahuluinya."Tidak bisakah kalian menunggu sebentar? Istri Jayden sedang berada di dalam sana. Sedang sekarat!" kata Haidar emosi. Menurutnya para polisi itu tidak punya hati
Halo semuanya! Araya di sini. Terima kasih banyak yah udah mampir di ceritaku. Walaupun mungkin cerita ini masih jauh dari kata sempurna namun aku seneng banget jika cerita ini bisa menghibur kalian di sela-sela aktifitas sehari-hari. Aku juga gak nyangka jika cerita ini bisa dibaca sebanyak itu. Jujur aku gak pernah punya ekspetasi yang tinggi karena sadar akan kemampuanku yang belum seberapa. Namun melihat orang-orang menyukai karyaku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku semangat membuat karya yang lebih baik lagi kedepannya Nantikan cerita-cerita lain yang aku publish di sini. Jadi tetap stay yah. Oke deh sampai jumpa dicerita lainnya
Happy reading....Hera masih belum percaya jika wanita yang sedang menatapnya penuh kebencian itu adalah Viona."Sialan! Apa kau sudah gila?!" pekik Elena emosi."Ya. Aku memang sudah gila karena ingin membalas dendam pada Hera. Tapi, kau malah ikut campur," ujar Viona berseringai. Dia melirik ke arah Hera yang tengah menatapnya. "Hai, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanyanya dengan nada mengejek."Membalas dendam? Memangnya apa salah Hera padamu?" tanya Elena.Viona mendengus pelan. Pertanyaan Elena terdengar begitu lucu di rungunya. "Kau masih bertanya? Itu karena wanita tidak tahu diri ini sudah merebut Haidar dariku!" ujarnya memekik sambil menunjuk Hera.Elena dan Hera sampai kehabisan kata-kata mendengar pernyataan Viona. Elena berdiri dari sana lalu menghampiri Hera. Membantu wanita itu untuk bangkit namun karena sudah terlalu lemah Hera memilih untuk tetap duduk saja. Sementara Elena menghampiri Viona."Kau benar-benar sudah gila, Viona! Bagaimana mungkin kau memaksakan perasa
Happy reading..."Baiklah. Ayo kita periksa."Walau sudah berkata seperti itu tak membuat kedua pria itu langsung membuka pintu."Apakah sungguh dia dalam keadaan sekarat?" tanya salah satu dari mereka memastikan."Menurutmu? Dia seorang pasien rumah sakit yang kalian culik. Bahkan keadaannya belum membaik sama sekali!" jawab Elena dari dalam. "Tolong beri obat atau apapun itu yang penting bisa menolongnya untuk saat ini!" katanya lagi.Kedua pria itu saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya membuka pintu dengan perlahan. Keadaan yang cukup gelap membuat dua orang pria itu kesulitan melihat Elena dan Hera. Hingga ....Bugh!!!Satu pukulan keras Elena layangkan pada pria pertama. Yang kedua baru akan menoleh namun dengan cepat Elena juga memukul pria itu. Keduanya tumbang di atas lantai yang kotor. Tangan Elena yang gemetar menjatuhkan balok kayu yang menjadi senjatanya di samping pria-pria tadi."Ya Tuhan! Mereka tidak mati 'kan?" gumam Elena masih saja memperdulikan kedua pria i
Happy reading....Elena mengira dia tidak akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk Hera dalam waktu dekat. Namun kenyataannya tidak, Tuhan lebih baik dari itu karena akhirnya Elena menemukan bukti jika dirinya tidak bersalah. Dia akan memberitahu Haidar semuanya.Mobil Elena---hadiah dari ayah tirinya---sudah terparkir dengan rapih di basement rumah sakit. Elena baru saja akan keluar namun pemandangan di hadapan menyita perhatian wanita pemilik mata hazel itu.Dua orang pria berpakaian dokter dan perawat tengah memindahkan seseorang yang duduk di kursi roda ke dalam mobil. Sosok itu ditutupi kain putih. Entah karena kecerobohan atau apa, tiba-tiba kain yang menutupi sosok di kursi roda tersingkap membuat Elena yang sejak tadi memperhatikan melihat sosok itu. Mata Elena seketika membulat."Ya Tuhan! Hera!" gumam Elena panik saat melihat jika sosok yang sedang dimasukkan ke dalam mobil ternyata Hera. Belum lagi Elena sama sekali tidak tahu siapa dua orang pria itu.Elena keluar dari m