Happy reading....
Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak.
Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden.
"Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah.
Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba.
Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena.
"Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading.... Jayden menyapu kasar wajahnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Beberapa kali terdengar helaan napas yang begitu berat namun semuanya sirna saat dia tersenyum lembut lalu menghampiri box bayi di mana Juan sedang tertidur lelap. Pria itu mengusap lembut pipi sang anak membuatnya sedikit menggeliat mengundang kekehan kecil. Setelah memberi sebuah kecupan sayang di pipi sang anak, Jayden lalu berbalik menatap Hera yang berbaring membelakanginya. Jika biasanya Elena yang akan berbaring di sana menatapnya dengan tatapan menggoda sekarang yang dia lihat hanya punggung sempit Hera. Jayden ikut berbaring di sana setelah duduk beberapa saat. "Kau sudah tidur?" tanya Jayden pelan namun dia tidak mendapat balasan. Kembali ia menoleh. Sepertinya memang wanita itu sudah tidur karena deru napasnya yang terdengar beraturan dan pelan. Entah kenapa tubu
Happy reading.... "Apakah kau tidak punya baju yang lebih sopan?" tanya Haidar pada wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Dia terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. "Tidak," jawab Viona singkat membuat Haidar hanya bisa memutar bola matanya malas. Sekarang mereka sedang berada di dalam lift menuju ruangan Haidar. Pria itu sudah meminta agar Viona tinggal di apartemen saja namun wanita itu menolak dengan alibi ingin melihat kantor Haidar. "Setidaknya kau bisa menghargai sedikit kantorku, Vio," kata Haidar lagi setelah mereka telah sampai di ruangan yang didominasi dengan warna putih dan hitam. Bahkan lukisan yang terletak di dindingnya pun hanya memiliki dua warna netral itu. Sangat menggambarkan seorang Haidar. "Pakaianku 'kan memang selalu seperti ini. Kenapa kau terlihat risih?" tanya Viona kini duduk di sofa yang terletak di depan meja Haidar. &nbs
Happy reading.... "Tolong kau urus semuanya dulu," kata Haidar pada sang asisten yang kini berdiri tegap di depan mejanya. "Kalau boleh tahu, Anda mau ke mana, Pak Haidar?" tanya pria yang memiliki usia sebaya dengan Haidar, Ridwan. Haidar tersenyum tipis setelah selesai memakai kembali jasnya. "Mengurus masa depan," katanya membuat Ridwan ikut tersenyum manis. Baru kali ini dia melihat sang atasan terlihat begitu bahagia. "Tentu, Pak. Saya menunggu kabar baiknya segera," timpal Ridwan membuat senyum Haidar semakin lebar. "Doakan saja semuanya lancar," katanya lalu mengambil kunci mobil. "Kalau begitu saya pergi dulu. Jangan mengecewakanku, Ridwan," lanjut Haidar kemudian berlalu setelah Rindwan mengangguk paham. Tak butuh waktu lama, mobil Haidar telah sampai di tempat tujuannya. Rumah sakit. Haidar membuka jas dan juga rompi yang ia kenakan. Ras
Happy reading.... "Kau sudah selesai?" tanya Haidar sebelum masuk ke dalam mobil. "Sudah," jawab Hera. Setelah mendengar jawaban Hera, Haidar segera masuk ke dalam mobil. Netranya tertuju pada baby Juan yang tertidur dipangkuan Hera. "Dia juga sudah tidur," lanjut Hera tersenyum simpul. "Terimakasih, Haidar atas pengertianmu," kata Hera menatap Haidar tulus. Mungkin jika orang lain mereka pasti sudah marah karena kejadian tadi. "Tidak masalah. Lagi pula aku tidak mungkin diam saja melihat jagoan ini menangis," kata Haidar mencubit pipi Juan gemas namun tak sampai membuatnya terbangun. "Oh iya, kau dari mana?" tanya Hera. Dia sempat melihat tadi Haidar pergi dengan sedikit terburu-buru. "Ah itu, aku membeli minuman dan beberapa makanan," ujar Haidar mengangkat paper bag berwarna coklat di tangannya. Tidak
Happy reading.... "Saya permisi sebentar," kata Jayden pamit. Sejak awal wanita itu datang Haidar sudah merasa jika di antara Jayden dan wanita itu pasti ada sesuatu dan benar saja. Haidar terkekeh kecil melihat adegan di mana rekan bisnisnya itu memeluk erat wanita tadi di luar hotel. "Jadi kau memiliki hubungan gelap di belakang keluargamu, Jayden?" dengus Haidar. Kedua tangannya mengepal kuat. Jika tidak ingat dengan rencananya sudah bisa dipastikan Jayden akan masuk rumah sakit malam ini. Berani sekali pria itu mengkhianati wanita yang Haidar cintai di saat Haidar sudah mengalah untuknya. *** Hera diam seribu bahasa. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Berbohong juga tidak mungkin karena Haidar sudah melihat semuanya. Tangan wanita itu saling mengait satu sama lain dengan mata yang menunduk.
Happy reading.... Saat membuka matanya Viona merasakan sakit luar biasa pada bagian kepala dan beberapa bagian tubuhnya. "Akhh!" ringisnya sambil memegangi kepalanya yang terasa akan pecah. Penglihatannya pun tidak begitu jelas hingga Viona harus duduk diam beberapa detik seraya mengedipkan mata beberapa kali. Setelah merasa tidak begitu pusing lagi, Viona bangun dengan perlahan dari tempat tidur itu. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa ada di sini?" gumam Viona mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Terakhir kali Viona ingat saat dia pergi dari kantor Haidar karena kesal pada pria itu. Padahal Viona tidak punya tujuan sama sekali. Hanya berjalan tanpa arah hingga sore menjelang dan perutnya terasa lapar. Viona memutuskan untuk mampir di sebuah kedai. Awalnya dia hanya ingin makan saja namun karena rasa kesal yang belum hilang di
Happy reading.... Saat itu Jayden masih berumur sepuluh tahun saat pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah itu. Mendengar berita dari semua teman-temannya yang diadopsi membuat anak laki-laki itu begitu antusias. "Mereka akan membelikan semua yang kau inginkan." "Mereka akan membawamu jalan-jalan." "Mereka juga akan mengajakmu makan makanan enak dan lagi kau akan punya kamar sendiri." Semua yang dikatakan teman-temannya benar. Jayden mendapatkan apa yang dia inginkan, jalan-jalan, makan makanan enak serta punya kamar untuk dirinya sendiri. Tidak seperti saat di panti asuhan di mana dia harus berbagi kamar dengan teman-temannya. Namun ternyata kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Wajah asli dari kedua orang tua angkatnya akhirnya terlihat. "Kau harus mendapat nilai yang bagus dan masuk sekolah bergensi. Mengerti!" kata
Happy reading.... "Terima kasih," kata Elena pada Jayden saat pria itu membuka pintu mobil untuknya. "Sama-sama," jawab Jayden lalu menutup kembali pintu mobilnya setelah Elena keluar. Sebelum pulang ke rumah, Jayden sudah menyuruh semua maidnya untuk pulang lebih dulu. Untunglah mereka tidak banyak tanya dan membiarkan rumah dalam keadaan sepi saat Jayden dan Elena tiba. Elena dan Jayden memilih untuk duduk di sofa. Saling menatap satu sama lain seakan sedang meluangkan rasa rindu. Jayden lalu mendekatkan wajahnya ke arah Elena. Bibir tipis milik wanita itu seperti magnet yang menarik Jayden untuk mengecupnya. "Jadi kapan kau akan menceraikan Hera?" tanya Elena setelah tautan mereka terlepas. "Ini belum sampai satu tahun, Elena," jawab Jayden membuat Elena mendengus. "Jadi sungguh a