Happy reading....
Wajah bahagia terpancar jelas pada Elena. Apalagi saat dia melihat Hera tengah berjalan menghampirinya seraya menggendong Baby Juan. Wanita itu seakan sengaja bermesraan dengan Jayden.
"Selamat pagi putra ayah," kata Jayden mengambil alih Juan dari gendongan Hera. Wanita itu tersenyum tipis hampir tak terlihat. Tak bisa dipungkiri Hera bahagia melihat Jayden bersama Juan. Kebersamaan mereka sejenak membuat Hera lupa akan konflik yang sedang dia hadapi. Hera mengambil tempat duduk untuk memulai sarapan.
Tidak ada yang membuka suara. Yang terdengar hanya canda dari Jayden yang sedang bermain dengan Juan. Baik Elena atau Hera, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing. Menyibukkan diri menyantap sarapan mereka.
"Aku akan pergi sekarang," ujar Jayden menyerahkan Juan pada Hera kembali. Dia mencium pipi sang anak gemas sambil berpamitan dengan nada bicara yang sangat lucu.
Jayden lalu beralih pada Elena. "Aku pergi ya," katanya memeluk Elena lalu mengecup kening wanita itu.
"Hati-hati di jalan," balas Elena melambai pada Jayden. Terlihat seperti merekalah yang berstatus suami istri.
Sungguh miris nasib Hera. Harus menyaksikan pemandangan menyakitkan di depan matanya. Bahkan Jayden sama sekali tidak menjatuhkan pandangannya pada Hera tadi. Seakan Hera hanya angin berlalu atau benda tak wujud di sana. Dia seperti orang lain.
Elena berbalik menatap Hera dengan senyum miringnya. Walau tak mengatakan sepatah katapun Hera bisa membaca dari tatapan mata itu.
Kali ini Elena kembali menang atas Hera.
***
"Selamat pagi, Pak Jayden!" sapa beberapa karyawan menyambut sang atasan.
Jayden hanya membalas dengan senyuman tipis sambil terus melanjutkan langkahnya menuju ruang meeting.
"Apakah dia sudah datang?" tanya Jayden pada sekretarisnya, Roy.
"Sudah, Pak. Dia juga---"
"Bagus sekali. Kau sudah menyiapkan apa yang aku minta 'kan sebagai hadiah untuknya?" potong Jayden tak membiarkan Roy melanjutkan ucapannya.
"Sudah, Pak!" jawab Roy.
Mereka pun dengan cepat menuju ruangan di mana sang klien sudah menunggu.
"Selamat pagi, Pak Haidar!"
Ucapan Jayden sedikit memudar di akhir katanya saat melihat sosok yang sedang bersama pria yang dia sebut namanya tadi.
"Ayah?" lirih Jayden pelan dengan wajah bingung.
"Selamat pagi!" balas Haidar Pratama. Pria dengan kulit putih pucat bak vampir itu tersenyum tipis ke arah Jayden. Bahkan beberapa orang sampai bertanya kenapa seorang pria bisa memiliki kulit yang sangat putih bersih seperti itu.
Jayden kembali mengembangkan senyumannya lalu menjabat tangan Haidar.
"Silakan duduk!" ujar Jayden ramah. Haidar mengangguk pelan lalu duduk di sana.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang ke perusahaan kami, Pak Haidar," kata Jayden sebagai pembuka pembicaraan mereka.
"Tidak masalah," jawab Haidar lalu menatap pria paruh baya di sampingnya. "Itu karena Pak Andrew, jika bukan karena Beliau saya tidak mungkin tertarik untuk berbisnis dengan Anda, Pak Jayden," lanjutnya menatap kembali Jayden.
"Ah, begitu. Terima kasih, Ayah," kata Jayden pada mertuanya itu.
"Tidak masalah, Nak. Lagi pula Pak Haidar akan rugi jika tidak bekerja sama dengan kita."
Gelak tawa menghiasi ruangan itu. Jayden memang sudah lama mengincar Haidar Pratama untuk ikut serta menjadi investor dalam rencananya membangun sebuah apartemen mewah di tengah kota Alatha. Berhasil melobi pria itu sama dengan kau merekrut sepuluh orang investor.
Haidar termasuk orang yang sangat loyal jika sudah percaya dengan sebuah bisnis yang menurutnya akan menguntungkan. Dan Jayden menjadi salah satu orang yang beruntung bisa bekerja sama dengan pembisnis muda berumur 30 tahun itu. Pria yang notabennya lebih muda tiga tahun dari Jayden.
"Jadi Anda setuju untuk bergabung dengan kami?" tanya Jayden lagi untuk memastikan.
"Tentu saja, Pak Jayden. Saya tidak akan merubah keputusan yang saya ambil kecuali memang perlu," balas Haidar.
"Baiklah kalau begitu ...." Jayden meminta file kontrak pada Roy untuk ditandatangani Haidar. "Ini kontraknya. Silakan Anda baca dulu," kata Jayden menyerahkan file itu pada Haidar.
"Tidak perlu," kata Haidar membuat Jayden dan Roy saling menatap bingung. "Semuanya sudah dijelaskan oleh mertua Anda, Pak Jayden. Jadi saya tidak perlu lagi membaca file ini," lanjutnya sebagai penjelasan.
Haidar langsung membubuhkan tanda tangannya tanpa ragu diatas materai.
"Nah, sudah selesai!" jawab Haidar menyerahkan kembali file itu pada Jayden.
"Terima kasih banyak, Pak Haidar. Saya harap ini tidak menjadi kerja sama kita yang terakhir," kata Jayden.
"Tentu, Pak. Selama Anda memiliki seseorang yang sangat berkompeten seperti Pak Andrew, saya yakin Anda tidak hanya akan mendapat investor besar namun juga investor tetap yang akan terus bersama Anda," balas Haidar membuat pria baruh baya di sampingnya tersipu malu.
"Anda terlalu memuji saya, Pak Haidar," kata Andrew dengan nada malu-malu.
"Kurasa itu tidak berlebihan," timpal Haidar membuat gelak tawa terdengar antara mereka. "Kalau begitu saya pamit," kata Haidar lagi bangkit dari tempat duduknya. Menjabat tangan Andrew lalu Jayden. Pria itu memajukan sedikit wajahnya.
"Anda sangat beruntung memiliki mertua seperti Pak Andrew. Sungguh saya sangat iri dengan Anda, Pak Jayden," bisik Haidar membuat senyum Jayden sedikit luntur. Namun saat mereka kembali bertatapan, pria itu tersenyum walau terkesan terpaksa.
"Biar ayah saja yang mengantar Pak Haidar," kata Andrew pada menantunya.
"Baik, Ayah," jawab Jayden mengangguk. Sepertinya itu memang lebih baik karena Haidar terlihat lebih akrab dengan sang mertua.
"Pak, bagaimana dengan hadiahnya?" tanya Roy.
Jayden mendengus pelan. Saking senangnya karena mertuanya bisa melobi Haidar, membuat Jayden jadi lupa dengan hadiah yang akan ia berikan pada pria itu.
"Kita bisa memberikannya saat pesta nanti," kata Jayden.
"Baik, Pak!" jawab Roy.
***
Haidar meneguk wine dalam gelas tinggi itu hingga setengahnya. Mata hitam legam itu tak pernah lepas dari beberapa keping foto yang kini berada di atas mejanya.
Dia menatap satu per satu sosok dalam foto itu.
Pada keping pertama ada foto Pak Andrew yang sedang bersama Jayden di kantornya. Keping foto selanjutnya menampakkan sosok Anne, istri dari Andrew. Namun sosok pada lembar selanjutnya membuat Haidar termenung cukup lama.
Bahkan dia mengangkat foto itu untuk melihat lebih dekat. Haidar tersenyum tipis di sana. Tidak ada tahu apa yang sedang dipikirkan pria berbibir tipis itu.
Haidar mengusap lembut foto itu. "Hera Altezza, kau masih secantik saat pertama kali kita bertemu," gumamnya pelan.
To be continue....
Happy reading.... "Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga. "Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden. "Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon." "Aku hanya merindukanmu." Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu. "Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu. "Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden. "Baiklah." Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya. &nb
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading.... Jayden menyapu kasar wajahnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Beberapa kali terdengar helaan napas yang begitu berat namun semuanya sirna saat dia tersenyum lembut lalu menghampiri box bayi di mana Juan sedang tertidur lelap. Pria itu mengusap lembut pipi sang anak membuatnya sedikit menggeliat mengundang kekehan kecil. Setelah memberi sebuah kecupan sayang di pipi sang anak, Jayden lalu berbalik menatap Hera yang berbaring membelakanginya. Jika biasanya Elena yang akan berbaring di sana menatapnya dengan tatapan menggoda sekarang yang dia lihat hanya punggung sempit Hera. Jayden ikut berbaring di sana setelah duduk beberapa saat. "Kau sudah tidur?" tanya Jayden pelan namun dia tidak mendapat balasan. Kembali ia menoleh. Sepertinya memang wanita itu sudah tidur karena deru napasnya yang terdengar beraturan dan pelan. Entah kenapa tubu
Happy reading.... "Apakah kau tidak punya baju yang lebih sopan?" tanya Haidar pada wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Dia terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. "Tidak," jawab Viona singkat membuat Haidar hanya bisa memutar bola matanya malas. Sekarang mereka sedang berada di dalam lift menuju ruangan Haidar. Pria itu sudah meminta agar Viona tinggal di apartemen saja namun wanita itu menolak dengan alibi ingin melihat kantor Haidar. "Setidaknya kau bisa menghargai sedikit kantorku, Vio," kata Haidar lagi setelah mereka telah sampai di ruangan yang didominasi dengan warna putih dan hitam. Bahkan lukisan yang terletak di dindingnya pun hanya memiliki dua warna netral itu. Sangat menggambarkan seorang Haidar. "Pakaianku 'kan memang selalu seperti ini. Kenapa kau terlihat risih?" tanya Viona kini duduk di sofa yang terletak di depan meja Haidar. &nbs
Happy reading.... "Tolong kau urus semuanya dulu," kata Haidar pada sang asisten yang kini berdiri tegap di depan mejanya. "Kalau boleh tahu, Anda mau ke mana, Pak Haidar?" tanya pria yang memiliki usia sebaya dengan Haidar, Ridwan. Haidar tersenyum tipis setelah selesai memakai kembali jasnya. "Mengurus masa depan," katanya membuat Ridwan ikut tersenyum manis. Baru kali ini dia melihat sang atasan terlihat begitu bahagia. "Tentu, Pak. Saya menunggu kabar baiknya segera," timpal Ridwan membuat senyum Haidar semakin lebar. "Doakan saja semuanya lancar," katanya lalu mengambil kunci mobil. "Kalau begitu saya pergi dulu. Jangan mengecewakanku, Ridwan," lanjut Haidar kemudian berlalu setelah Rindwan mengangguk paham. Tak butuh waktu lama, mobil Haidar telah sampai di tempat tujuannya. Rumah sakit. Haidar membuka jas dan juga rompi yang ia kenakan. Ras