Happy reading...
Hera memejamkan matanya sesaat setelah dia menutup pintu kamar.
"Aku tidak salah 'kan?" tanya Hera entah pada siapa.
Hera berkata seperti itu pada Elena bukan karena dia tidak ingin berpisah dari Jayden. Sungguh wanita itu ingin lepas dari Jayden namun sekarang bukan hanya ayah dan ibunya yang dia pikirkan namun juga bayi yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur.
"Aku tidak bisa membiarkan Juan tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh," lirih Hera mendekati Juan lalu mengelus lembut pipinya. Bayi itu sedikit menggeliat membuat Hera tersenyum tipis.
"Aku ingin dia tumbuh bersama ayah dan ibunya. Aku tidak mau dia kekurangan kasih sayang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," gumam Hera lagi.
Hera sudah tidak peduli lagi. Dia sudah berkorban sejauh ini maka tidak ada lagi kata mundur. Hera akan mempertahankan rumah tangganya walau itu berarti dia harus menelan rasa sakit yang lebih banyak lagi.
***
Jayden berharap saat dia pulang ke rumah maka dia akan disambut setidaknya dengan sebuah pelukan atau ciuman namun yang terjadi justru wajah cemberut dari Elena yang dia terima.
"Ada apa, Sayang?" tanya Jayden.
"Tanyakan saja pada istrimu yang tidak tahu diri itu!" katus Elena.
"Apa Hera mengganggumu?"
Elena terkekeh kecil. "Bukan hanya mengganggu, dia juga berlagak seperti seorang penguasa di rumah ini, kau tahu?"
"Apa yang dilakukannya hingga membuatmu sekesal ini, hmm?" tanya Jayden menarik pinggang ramping Elena untuk dipeluk.
Elena tidak menjawab dan malah menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya bergetar karena kesal yang luar biasa. Bahkan napas wanita itu sedikit memburu.
"Dia mengingatkanku tentang statusku," ujar Elena lalu menatap Jayden risau. "Aku hanya wanita perebut suami orang walaupun nanti kau menikahiku orang-orang akan tetap mengingatnya, Jayden. Dan aku tidak bisa menerima itu," lanjut Elena.
Raut wajahnya benar-benar memancarkan kegelisahan yang luar biasa. Jayden meraup kedua pipi Elena untuk mempertemukan mata mereka.
"Hei! Tenanglah!" kata Jayden mencoba menenangkan kekasihnya itu.
"Seharusnya aku yang menyandang status sebagai istrimu," ujar Elena dengan mata berkaca-kaca. "Tapi kenapa malah aku yang menjadi jahat di sini?" Wanita itu menggeleng cepat. "Aku tidak bisa menerimanya, Jayden. Aku tidak bisa!" pekik Elena.
"Apakah dengan aku mencintaimu saja tidak cukup?"
"Tidak, Jayden. Itu tidak cukup."
Jayden melepaskan tangannya dari Elena. Membuang napas gusar. Sialan! Hera ternyata tidak sebodoh yang dia pikirkan selama ini.
"Dia hanya ingin mengguncang dirimu, Elena."
"Dan dia berhasil."
"Elena---"
"Ceraikan Hera jika memang kau ingin aku tetap bersamamu," potong Elena. Ternyata wajah memelas Jayden tidak bisa meluluhkan keras kepala Elena.
"Lalu bagaimana dengan rencana kita?" tanya Jayden.
"Aku tidak peduli dengan itu. Yang aku inginkan hanya kau menceraikan Hera dan menikahiku secara sah," kata Elena final kemudian berlalu meninggalkan Jayden menuju kamarnya.
Jayden mengerang frustasi sedikit menjambak rambutnya. Tampilannya yang sudah berantakan semakin kacau. Tak ada lagi sosok Jayden yang berwibawa seperti saat dia berada di kantornya. Dan itu semua karena istri dan kekasihnya.
Pria bermata sipit itu menoleh ke arah kamar yang di tempati Hera dan putranya. Dia berjalan cepat ke sana. Dia harus bicara dengan Hera. Memberinya sedikit peringatakan mungkin akan membuat wanita itu takut agar tidak mengganggu Elena lagi.
Namun saat akan membuka pintu itu langkah Jayden terhenti. Senandung kecil dari Hera yang sedang menimang sang putra membuat Jayden bergeming.
Jayden melihat Hera dari pintu yang sedikit terbuka itu. Wanita itu tersenyum manis sambil terus bersenandung. Tak lupa dia juga mengelus pipi Juan agar membuat bayi kecil itu semakin nyaman dalam pelukannya.
Perasaan apa ini? Tanya Jayden dalam hati sambil memegangi dadanya. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya.
Tidak. Ini tidak benar.
Jayden kemudian berlalu dari sana tak ingin terjebak lebih lama.
Dan tanpa dia tahu, Hera menyadari kehadiran pria itu. Bahkan dia mendengar dengan jelas pembicaraan Elena dan Jayden di ruang tamu. Wanita itu tersenyum tipis karena telah berhasil mengguncang Elena.
***
"Sudah punya pilihan?"
Kata pertama yang dilontarkan Elena saat Jayden masuk ke dalam kamar. Pria itu menatap Elena sebentar yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil memainkan ponselnya.
Jayden tidak menjawab dan langsung melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Elena hanya bisa memutar bola matanya malas. Bisa dia tebak kekasihnya itu belum punya jawaban atas tuntutannya.
Jayden membiarkan air hangat itu membanjiri tubuhnya. Dia menghela napas gusar sambil menyisir rambutnya dengan tangan ke belakang. Pria itu menatap lurus ke arah pantulan bayangannya di cermin.
"Apa-apaan itu tadi? Kenapa jantungku berdebar kuat hanya karena melihat Hera tersenyum?" lirih Jayden entah pada siapa. Padahal selama ini dia baik-baik saja lalu kenapa hari ini berbeda?
"Ck! Ini pasti karena pikiranku yang sedang kacau," ujar Jayden meyakinkan dirinya sendiri.
Dia kembali menghela napasnya sebelum menyelesaikan acara mandinya.
Saat keluar dari kamar mandi, Elena sudah berdiri tepat di depannya sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Apa kau ma--- uummpptthh!"
Ucapan Elena terhenti karena Jayden langsung menyumpal bibir tipis wanita itu dengan bibir tebal miliknya.
"Hei! Jayden hentikan ... eugh ...," lenguh Elena saat Jayden dengan cepat menghimpit tubuh wanita itu di dinding lalu mencumbuinya dengan brutal.
Jika sebagian wanita tidak suka jika prianya berlaku kasar apalagi saat bercumbu, lain halnya dengan Elena. Dia justru sangat suka jika Jayden menunjukkan dominannya pada dirinya.
Tidak ada lagi yang membuka suara di sana. Mereka begitu larut dalam kegiatan panas itu. Tangan Jayden tak tinggal diam. Menyentuh setiap titik kelemahan di tubuh Elena membuat wanita itu hanya bisa menggigit bibirnya sebagai pelampiasan rasa nikmat.
Jayden yang hanya mengenakan bathrube serta Elena yang mengenakan piyama dress selutut membuat mereka dengan mudah ke permainan inti.
Jayden membalik tubuh Elena. Meja rias yang ada di sampingnya menjadi penyangga tubuh yang mulai lemas itu. Tanpa aba-aba, Jayden memulai permainannya.
"Ahh ... Elena ...."
Ternyata posisi seperti itu membuat keduanya mendapat pengalam baru dalam bercinta. Jayden bisa melihat bagaimana wajah sayu Elene lewat cermin yang di depannya membuat tubuh pria itu semakin terbakar gairah. Mereka bertahan hingga pelepasan dalam posisi itu.
Cukup lama waktu berselang sebelum Jayden menarik miliknya dari inti tubuh Elena. Wanita itu terlihat sangat lelah membuat Jayden harus menggendong bridal Elena ke tempat tidur.
"Kau sudah mengambil keputusan atas permintaanku?" tanya Elena dengan wajah yang masih sayu. Sisa-sisa kenikmatan itu masih terasa.
Jayden tersenyum lembut lalu menyapu kening Elena yang berkeringat. Dia mengambil tempat di sisi kosong lalu membaringkan tubuhnya. Membalik tubuh wanita itu agar dia bisa memeluknya dari belakang.
"Ya. Aku sudah memutuskannya," jawab Jayden. Elena tak lagi bertanya. Dia memilih diam mendengarkan apa yang akan diucapkan pria yang sangat ia cintai itu.
"Aku akan menceraikan Hera secepatnya."
To be continue....
Happy reading.... Wajah bahagia terpancar jelas pada Elena. Apalagi saat dia melihat Hera tengah berjalan menghampirinya seraya menggendong Baby Juan. Wanita itu seakan sengaja bermesraan dengan Jayden. "Selamat pagi putra ayah," kata Jayden mengambil alih Juan dari gendongan Hera. Wanita itu tersenyum tipis hampir tak terlihat. Tak bisa dipungkiri Hera bahagia melihat Jayden bersama Juan. Kebersamaan mereka sejenak membuat Hera lupa akan konflik yang sedang dia hadapi. Hera mengambil tempat duduk untuk memulai sarapan. Tidak ada yang membuka suara. Yang terdengar hanya canda dari Jayden yang sedang bermain dengan Juan. Baik Elena atau Hera, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing. Menyibukkan diri menyantap sarapan mereka. "Aku akan pergi sekarang," ujar Jayden menyerahkan Juan pada Hera kembali. Dia mencium pipi sang anak gemas sambi
Happy reading.... "Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga. "Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden. "Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon." "Aku hanya merindukanmu." Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu. "Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu. "Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden. "Baiklah." Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya. &nb
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading.... Jayden menyapu kasar wajahnya seraya berjalan masuk ke dalam kamar. Beberapa kali terdengar helaan napas yang begitu berat namun semuanya sirna saat dia tersenyum lembut lalu menghampiri box bayi di mana Juan sedang tertidur lelap. Pria itu mengusap lembut pipi sang anak membuatnya sedikit menggeliat mengundang kekehan kecil. Setelah memberi sebuah kecupan sayang di pipi sang anak, Jayden lalu berbalik menatap Hera yang berbaring membelakanginya. Jika biasanya Elena yang akan berbaring di sana menatapnya dengan tatapan menggoda sekarang yang dia lihat hanya punggung sempit Hera. Jayden ikut berbaring di sana setelah duduk beberapa saat. "Kau sudah tidur?" tanya Jayden pelan namun dia tidak mendapat balasan. Kembali ia menoleh. Sepertinya memang wanita itu sudah tidur karena deru napasnya yang terdengar beraturan dan pelan. Entah kenapa tubu
Happy reading.... "Apakah kau tidak punya baju yang lebih sopan?" tanya Haidar pada wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Dia terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. "Tidak," jawab Viona singkat membuat Haidar hanya bisa memutar bola matanya malas. Sekarang mereka sedang berada di dalam lift menuju ruangan Haidar. Pria itu sudah meminta agar Viona tinggal di apartemen saja namun wanita itu menolak dengan alibi ingin melihat kantor Haidar. "Setidaknya kau bisa menghargai sedikit kantorku, Vio," kata Haidar lagi setelah mereka telah sampai di ruangan yang didominasi dengan warna putih dan hitam. Bahkan lukisan yang terletak di dindingnya pun hanya memiliki dua warna netral itu. Sangat menggambarkan seorang Haidar. "Pakaianku 'kan memang selalu seperti ini. Kenapa kau terlihat risih?" tanya Viona kini duduk di sofa yang terletak di depan meja Haidar. &nbs
Happy reading....Hari yang tunggu akhirnya tiba. Pernikahan Haidar dan Hera. Para tamu sudah mulai memenuhi tempat duduk yang disediakan. Pernikahan yang di gelar di luar ruangan itu terlihat begitu mewah nan elegan. Warna putih mendominasi tempat itu. Di ujung altar Haidar sudah terlihat sangat gagah dengan balutan toxedo warna hitamnya. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya namun perasaan gugup juga tak bisa dihindari. Haidar sampai harus menarik napas lalu menghelanya beberapa kali untuk menetralkan degub jantung yang berpacu. Mengobrol dengan beberapa teman juga bisa mengalihkan sedikit rasa gugupnya.Tak jauh beda dengan Haidar, Hera yang terlihat sangat cantik dengan gaun mewah namun tetap terlihat elegan itu pun merasa sangat gugup. Mungkin ini adalah pernikahan kedua untuk Hera, tapi hal itu tak sedikit pun bisa menyingkirkan rasa gelisahnya. Mungkin karena dulu dia menikah karena perjodohan membuat Hera tak terlalu memikirkan pernikahan tersebut namun kali ini dia akan men
Happy reading.....Semuanya beransur membaik setelah kejadian mengerikan malam itu. Viona terpaksa ditembak mati oleh polisi karena dianggap mengancam keselamatan Hera. Kejadian malam itu juga termasuk rencana para polisi. Mereka tahu jika Viona pasti kembali. Namun soal penembakan sama sekali di luar rencana. Mereka tidak menyangka jika Viona memiliki senjata. Dan satu-satunya jalan agar Hera tak lagi terluka, mereka harus membekuk Viona. Dengan menembak mati wanita itu.Sampai saat ini Haidar masih belum menyangka jika Viona kini telah tiada. Belum lagi dia harus meninggal dengan cara yang begitu tragis. Masih teringat dengan jelas dalam benak Haidar bagaimana Viona menyatakan cintanya di saat terakhir. Selama ini Haidar pikir Viona hanya bercanda soal perasaannya. Betapa wanita itu sangat mencintai Haidar. Namun apa yang bisa Haidar lakukan? Haidar hanya mencintai Hera dan tidak akan pernah mencintai wanita lain lagi. Walau itu berarti Haidar harus menyakiti wanita yang juga sanga
Happy reading...."Selamat malam, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanya Viona mengulas senyum miring. Terlihat begitu mengejek Hera yang hanya bisa berbaring lemah. Wanita itu merapikan helai rambutnya yang jatuh di pipi kemudian berjalan ke arah Hera."Aku kecewa karena kau masih saja selamat," kata Viona. "Apakah kau memiliki sembilan nyawa hingga bisa bertahan sampai sekarang?" lanjutnya bertanya.Namun siapa yang bisa menjawab. Bahkan Hera masih harus dibantu banyak alat medis yang hampir menutupi sebagian tubuhnya.Viona menghela napas panjang. Duduk di samping Hera seraya menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan."Kau begitu beruntung. Dicintai banyak orang," kata Viona dengan raut wajah sendu. "Terutama Haidar." Pancaran mata Viona tidak bisa berbohong. Dia begitu iri pada Hera. Wanita itu kemudian bangkit. Mengambil sesuatu dari dalam saku jaket yang ia kenakan.Sebuah pistol yang didapatkannya dari orang asing beberapa hari yang lalu. Barang ilegal yang sebenarn
Happy reading....Polisi terus melacak keberadaan Viona namun hingga tiga hari berlalu setelah kejadian naas itu, mereka tak kunjung menemukan wanita yang menjadi pelaku penculikan Hera dan Elena. Entah ke mana wanita itu kabur. Keluarga Hera dan Haidar juga sudah mengetahui semuanya. Shila dan Thomas adalah orang yang paling kecewa pasalnya mereka sudah menganggap Viona seperti anak sendiri. Awalnya mereka tidak percaya Viona akan berbuat hal sejahat itu namun setelah pihak kepolisian memperlihatkan video yang diberikan Elena, barulah mereka percaya.Shila sampai pingsan tak kuasa menerima kenyataan sosok yang dianggap seperti putrinya sendiri kini menjadi seorang kriminal."Hiks ... ini semua salahku. Aku yang telah gagal mendidik Viona," kata Shila terisak pilu. Thomas membawa tubuh Shila yang bergetar ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan istrinya itu."Ini bukan salahmu," katanya menepuk pelan punggung Shila.Sementara kedua orangtua Haidar larut dalam kekecewaannya, Haidar m
Happy reading....Tubuh Haidar gemetar hebat. Tangannya yang berlumur darah Hera masih belum ia bersihkan. Beberapa juga mengenai baju yang ia kenakan. Keadaan yang tak jauh beda dengan pria yang duduk di sampingnya, Jayden.Kini mereka sudah berada di rumah sakit. Tepatnya di depan UGD. Hera dan Elena yang terluka parah kini sudah ditangani oleh dokter. Keluarga Hera, Haidar dan Elena juga sudah berada di sana. Menunggu kabar putri dan calon menantu mereka.Tak lama kemudian, tiga orang pria menghampiri mereka."Selamat malam. Maaf mengganggu ... tapi kami harus membawa Pak Jayden ke kantor polisi," kata salah satu dari mereka.Mungkin karena sudah terlalu panik mereka jadi lupa jika Jayden masih berstatus buronan polisi. Pria yang sejak tadi menunduk itu kini mendongak. Jayden baru akan bangkit namun Haidar mendahuluinya."Tidak bisakah kalian menunggu sebentar? Istri Jayden sedang berada di dalam sana. Sedang sekarat!" kata Haidar emosi. Menurutnya para polisi itu tidak punya hati
Halo semuanya! Araya di sini. Terima kasih banyak yah udah mampir di ceritaku. Walaupun mungkin cerita ini masih jauh dari kata sempurna namun aku seneng banget jika cerita ini bisa menghibur kalian di sela-sela aktifitas sehari-hari. Aku juga gak nyangka jika cerita ini bisa dibaca sebanyak itu. Jujur aku gak pernah punya ekspetasi yang tinggi karena sadar akan kemampuanku yang belum seberapa. Namun melihat orang-orang menyukai karyaku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku semangat membuat karya yang lebih baik lagi kedepannya Nantikan cerita-cerita lain yang aku publish di sini. Jadi tetap stay yah. Oke deh sampai jumpa dicerita lainnya
Happy reading....Hera masih belum percaya jika wanita yang sedang menatapnya penuh kebencian itu adalah Viona."Sialan! Apa kau sudah gila?!" pekik Elena emosi."Ya. Aku memang sudah gila karena ingin membalas dendam pada Hera. Tapi, kau malah ikut campur," ujar Viona berseringai. Dia melirik ke arah Hera yang tengah menatapnya. "Hai, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanyanya dengan nada mengejek."Membalas dendam? Memangnya apa salah Hera padamu?" tanya Elena.Viona mendengus pelan. Pertanyaan Elena terdengar begitu lucu di rungunya. "Kau masih bertanya? Itu karena wanita tidak tahu diri ini sudah merebut Haidar dariku!" ujarnya memekik sambil menunjuk Hera.Elena dan Hera sampai kehabisan kata-kata mendengar pernyataan Viona. Elena berdiri dari sana lalu menghampiri Hera. Membantu wanita itu untuk bangkit namun karena sudah terlalu lemah Hera memilih untuk tetap duduk saja. Sementara Elena menghampiri Viona."Kau benar-benar sudah gila, Viona! Bagaimana mungkin kau memaksakan perasa
Happy reading..."Baiklah. Ayo kita periksa."Walau sudah berkata seperti itu tak membuat kedua pria itu langsung membuka pintu."Apakah sungguh dia dalam keadaan sekarat?" tanya salah satu dari mereka memastikan."Menurutmu? Dia seorang pasien rumah sakit yang kalian culik. Bahkan keadaannya belum membaik sama sekali!" jawab Elena dari dalam. "Tolong beri obat atau apapun itu yang penting bisa menolongnya untuk saat ini!" katanya lagi.Kedua pria itu saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya membuka pintu dengan perlahan. Keadaan yang cukup gelap membuat dua orang pria itu kesulitan melihat Elena dan Hera. Hingga ....Bugh!!!Satu pukulan keras Elena layangkan pada pria pertama. Yang kedua baru akan menoleh namun dengan cepat Elena juga memukul pria itu. Keduanya tumbang di atas lantai yang kotor. Tangan Elena yang gemetar menjatuhkan balok kayu yang menjadi senjatanya di samping pria-pria tadi."Ya Tuhan! Mereka tidak mati 'kan?" gumam Elena masih saja memperdulikan kedua pria i
Happy reading....Elena mengira dia tidak akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk Hera dalam waktu dekat. Namun kenyataannya tidak, Tuhan lebih baik dari itu karena akhirnya Elena menemukan bukti jika dirinya tidak bersalah. Dia akan memberitahu Haidar semuanya.Mobil Elena---hadiah dari ayah tirinya---sudah terparkir dengan rapih di basement rumah sakit. Elena baru saja akan keluar namun pemandangan di hadapan menyita perhatian wanita pemilik mata hazel itu.Dua orang pria berpakaian dokter dan perawat tengah memindahkan seseorang yang duduk di kursi roda ke dalam mobil. Sosok itu ditutupi kain putih. Entah karena kecerobohan atau apa, tiba-tiba kain yang menutupi sosok di kursi roda tersingkap membuat Elena yang sejak tadi memperhatikan melihat sosok itu. Mata Elena seketika membulat."Ya Tuhan! Hera!" gumam Elena panik saat melihat jika sosok yang sedang dimasukkan ke dalam mobil ternyata Hera. Belum lagi Elena sama sekali tidak tahu siapa dua orang pria itu.Elena keluar dari m