Happy reading....
Selama hampir satu minggu berada di rumah orang tuanya, tak sekalipun Anne mendengar keluhan dari Hera tentang rumah tangganya dan Jayden.
Apakah hanya aku saja yang terlalu paraniod? Batin Anne. Melihat bagaimana Hera sangat bahagia saat mengurus Juan dia jadi ragu jika sang anak memiliki masalah.
"Apakah aku sudah pantas menyandang gelar ibu sekarang?" tanya Hera tersenyum bangga saat dia selesai memakaikan baju pada Baby Juan. Dia begitu puas karena akhirnya bisa mengurus Juan dengan baik. Mulai dari memandikan hingga memakaikan Baby Juan popok dan baju, Hera melakukannya sendiri tanpa bantuan dari sang ibu lagi.
"Juan sangat beruntung punya ibu seperti dirimu, Nak," kata Anne membuat senyum Hera semakin merekah.
"Benarkah?"
"Iya, putriku sayang."
Hera langsung memeluk sang ibu dengan erat. Begitu bahagia mendapat banyak pelajaran berharga untuk mengurus Juan. Terlepas dari itu soal masalah rumah tangganya, Hera bukannya tidak ingin bercerita pada sang ibu tapi ucapan Anne beberapa hari yang lalu membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
"Bagaimana keadaan perusahaan ayah, Bu?" tanya Hera pelan.
"Sejak bergabung dengan perusahaan suamimu, bisnis ayah semakin lancar. Bahkan ayahmu bisa menaikkan gaji karyawannya," jawab Anne dengan wajah berseri-seri tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Hera tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia senang karena bisnis ayahnya semakin baik namun di sisi lain itu berarti Hera akan makin terikat dengan Jayden.
Lalu bagaimana caranya Hera berpisah dengan Jayden?
"Memangnya kenapa, Nak?" tanya Anne.
Hera menggeleng pelan menampilkan senyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu." Pupus sudah harapan Hera untuk lepas dari Jayden dalam waktu dekat.
"Kurasa aku harus bertahan sebentar lagi," lirih Hera hampir tak terdengar.
"Selamat sore!" sapa seseorang membuat kedua wanita itu mengurai pelukan lalu menoleh.
Hera menghela napas cepat. Baru saja dia melupakan masalahnya sebentar, pria dengan surai coklat itu sudah datang seakan memberitahu Hera jika dia tidak akan lepas semudah itu.
"Selamat sore, Jayden," sambut Anne menghampiri menantunya. Memberikan pelukan hangat lalu membawanya menghampiri Hera.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Sayang?" tanya Jayden setelah dia menghadiahi dahi Hera sebuah kecupan singkat. Hal yang selalu dia lakukan saat datang ke sana.
Hera sempat berpikir jika Jayden tidak akan datang dan peduli padanya seperti saat di rumah sakit. Namun ternyata Hera salah. Setiap hari pria itu akan datang mengunjunginya bahkan menginap bersamanya di sana.
Seperti biasa Jayden selalu menjalankan perannya dengan baik. Sosok menantu idaman keluarganya.
"Aku baik-baik saja." Sebelum kau datang menghancurkan semuanya. Kesal Hera dalam hati.
"Syukurlah. Karena hari ini aku ingin kau pulang ke rumah," kata Jayden.
"Apa?"
"Kenapa kau terlihat sangat terkejut, Sayang?"
Hera menatap sang ibu lalu tersenyum tipis. "Tidak ada," jawabnya cepat kemudian menunduk.
Jayden menghampiri Anne. "Tidak apa 'kan, Bu. Jika hari ini aku membawa Hera pulang?" tanya Jayden dengan nada sedikit membujuk.
Anne menatap Hera terlebih dahulu sebelum mengangguk. "Tentu. Ibu tidak punya hak menahannya lebih lama di sini," kata Anne.
"Terima kasih, Bu. Aku yakin Hera sudah bisa mengurus Juan sendirian mulai sekarang," kata Jayden menatap Hera penuh kemenangan. Karena akhirnya dia bisa membawa Hera pergi dari sana.
***
Tidak ada yang membuka suara selama dalam perjalanan. Hera sibuk dengan Juan sementara Jayden sibuk di balik kemudi mobil. Mereka benar-benar telah terpisah oleh dinding yang dibangun keduanya dalam hubungan pernikahan itu.
Saat sampai di rumah, Hera tak lantas turun untuk masuk ke dalam. Bayangan malam menyakitkan itu masih membayangi Hera. Seandainya malam itu terjadi sesuatu pada bayinya, dia mungkin akan membunuh Jayden dengan tangannya sendiri. Syukurlah semuanya baik-baik saja.
Hera membuang napas pelan menatap rumah itu. Dia seakan punya trauma tersendiri dengan rumah itu. Dan sialnya dia harus tinggal di sana entah sampai kapan.
"Kau akan turun atau tidak?" tanya Jayden yang sudah berada di luar mobil.
Hera hanya menoleh sebentar kemudian turun dari mobil. Wanita yang sedang menggedong buah hatinya itu menghela napas panjang sebelum mengikuti langkah Jayden masuk ke dalam rumah.
Setiap langkah terasa begitu berat. Namun tangisan dari bayi dalam gendongannya seakan menjadi pendorong agar Hera segera masuk. Mungkin Baby Juan mulai merasa kedinginan.
Saat sampai di dalam dia disambut dengan antusias oleh para maid. Terutama Ara. Gadis berusia 22 tahun, maid yang paling dekat dengan Hera.
"Nona Hera sudah pulang!" ujar Ara dengan senyum merekah di wajahnya. Hera membalas senyuman itu tipis. "Boleh aku menggendongnya?" tanya wanita itu menatap Juan.
"Tentu," jawab Hera menyerahkan Juan pada Ara. Walau bagaimanapun nanti memang Aralah yang akan menjaga Juan.
"Aku ingin istirahat," gumam Hera berniat untuk segera ke kamarnya tapi Jayden menahan langkah Hera.
"Ada apa?" tanya Hera bingung.
"Kamar itu sudah menjadi kamarku dan Elena. Kau bisa pakai kamar tamu mulai sekarang," jawab Jayden membuat Hera menganga. Apa katanya? Kamarnya dan Elena.
"Selamat datang kembali, Hera!"
Wanita yang baru saja disebut namanya itu muncul dari arah belakang Jayden. Merangkul bahkan memberikan kecupan singkat di pipi Jayden.
Hera terkekeh kecil. Betapa tidak tahu malunya dua manusia di depannya itu. Di sini bahkan masih ada Ara dan beberapa maid namun mereka tak segan beradegan mesra. Ya Tuhan.
"Apa-apaan ini, Jayden? Kau membiarkan wanita ini tinggal di rumah kita?" tanya Hera menunjuk wanita itu.
"Apa katamu? Rumah kita?" Jayden terkekeh remeh. "Ini rumahku. Jangan salah sangka. Jadi terserah padaku ingin membawa siapa kemari," lanjutnya.
"Ya itu benar sekali. Lagi pula sudah seharusnya aku memang tinggal di rumah ini," ujar Elena. "Tapi kau malah merebutnya. Tapi sekarang aku sudah merebut kembali hakku," lanjutnya tersenyum lebar.
Hera menatap Jayden. Sekarang dia tahu tujuan pria itu membawanya pulang. Dia ingin menunjukkan jika dirinya sekarang sudah menang atas Hera dengan membawa selingkuhannya tinggal bersama mereka.
Hera dengan kuat menahan air matanya. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Karena dia yakin itulah yang diinginkan Jayden dan Elena. Walau sebenarnya Hera sudah tidak tahan lagi.
"Terserah kalian saja!" kata Hera berlalu dari sana. Diikuti oleh Ara.
"Nona Hera!" panggil Ara lirih sesaat setelah mereka sampai di dalam kamar.
"Tolong, Ara. Bisakah kau biarkan aku sendirian?" pinta Hera dengan posisi membelakangi Ara.
"Baik, Nona." Ara mengangguk pelan. Meletakkan Baby Juan di atas tempat tidur kemudian keluar dari kamar meninggalkan Hera yang sudah bercucuran air mata.
Samar terdengar suara tawa dari luar kamarnya. Pasangan itu seperti tengah mengejek Hera yang menangis sendirian di dalam kamar. Hera terduduk sambil bersandar di tempat tidur. Memeluk lututnya agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Ya Tuhan, apakah aku bisa bertahan?" tanya Hera. Sungguh dia merasa tidak akan sanggup menghadapi Jayden dan Elena sendirian.
To be continue....
Happy reading.... "Kau menyuruhku untuk tinggal bersamamu dan Hera? Apa kau gila, Jayden!" pekik Elena lalu mendengus kesal. Elena sudah benci pada Hera setengah mati lalu hari ini tiba-tiba saja Jayden datang dan mengatakan dia harus tinggal bersama Hera. Yang benar saja. "Gila? Justru ini adalah yang terbaik untuk kita, Sayang. Bukankah kau ingin selalu bersamaku?" ujar Jayden meyakinkan Elena jika keputusannya itu benar. "Ya, itu benar tapi aku tidak bisa tinggal bersama Hera," kata Elena membuang muka tidak ingin menatap Jayden lagi. Dia malah beranjak menuju jendela menatap keluar seakan pemandangan malam yang gelap lebih indah dari kekasihnya yang sekarang duduk di sofa sambil memandangnya. Balutan dress piyama berbahan sutra itu terlihat sangat cocok di tubuh Elena membuat Jayden tak bisa mengalihkan pandangan. Elena terlihat sangat cantik. Dia lalu mendeka
Happy reading... Hera memejamkan matanya sesaat setelah dia menutup pintu kamar. "Aku tidak salah 'kan?" tanya Hera entah pada siapa. Hera berkata seperti itu pada Elena bukan karena dia tidak ingin berpisah dari Jayden. Sungguh wanita itu ingin lepas dari Jayden namun sekarang bukan hanya ayah dan ibunya yang dia pikirkan namun juga bayi yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. "Aku tidak bisa membiarkan Juan tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh," lirih Hera mendekati Juan lalu mengelus lembut pipinya. Bayi itu sedikit menggeliat membuat Hera tersenyum tipis. "Aku ingin dia tumbuh bersama ayah dan ibunya. Aku tidak mau dia kekurangan kasih sayang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," gumam Hera lagi. Hera sudah tidak peduli lagi. Dia sudah berkorban sejauh ini maka tidak ada lagi kata mundur. Hera akan mempertahankan rumah tangg
Happy reading.... Wajah bahagia terpancar jelas pada Elena. Apalagi saat dia melihat Hera tengah berjalan menghampirinya seraya menggendong Baby Juan. Wanita itu seakan sengaja bermesraan dengan Jayden. "Selamat pagi putra ayah," kata Jayden mengambil alih Juan dari gendongan Hera. Wanita itu tersenyum tipis hampir tak terlihat. Tak bisa dipungkiri Hera bahagia melihat Jayden bersama Juan. Kebersamaan mereka sejenak membuat Hera lupa akan konflik yang sedang dia hadapi. Hera mengambil tempat duduk untuk memulai sarapan. Tidak ada yang membuka suara. Yang terdengar hanya canda dari Jayden yang sedang bermain dengan Juan. Baik Elena atau Hera, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing. Menyibukkan diri menyantap sarapan mereka. "Aku akan pergi sekarang," ujar Jayden menyerahkan Juan pada Hera kembali. Dia mencium pipi sang anak gemas sambi
Happy reading.... "Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga. "Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden. "Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon." "Aku hanya merindukanmu." Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu. "Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu. "Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden. "Baiklah." Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya. &nb
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading.... Elena menatap dalam diam pria yang masih larut dalam mimpinya itu. Dia sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu namun masih enggan untuk beranjak. Elena masih bingung dan bertanya-tanya apa yang membuat Jayden menangis. Bahkan dia bisa melihat sorot takut luar biasa dari mata hitam Jayden. "Hah ...." Helaan napas yang terdengar sangat lelah. Tentu saja. Membawa Jayden pulang ke rumahnya berarti mereka akan melewati malam yang panjang dan penuh gairah. Elena baru bisa memejamkan matanya saat fajar akan tiba. Wanita itu bangkit dari tempat tidur dengan sangat hati-hati. Tak ingin membuat Jayden terganggu. Membersihkan diri lalu menyiapkan sarapan. Hingga beberapa saat berlalu, Jayden tiba dengan balutan jas berwarna navi yang telah disediakan oleh Elena. "Selamat pagi, sayang!" sapa Elena yang dibalas kecupan singkat di pipi ol
Happy reading....Hari yang tunggu akhirnya tiba. Pernikahan Haidar dan Hera. Para tamu sudah mulai memenuhi tempat duduk yang disediakan. Pernikahan yang di gelar di luar ruangan itu terlihat begitu mewah nan elegan. Warna putih mendominasi tempat itu. Di ujung altar Haidar sudah terlihat sangat gagah dengan balutan toxedo warna hitamnya. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya namun perasaan gugup juga tak bisa dihindari. Haidar sampai harus menarik napas lalu menghelanya beberapa kali untuk menetralkan degub jantung yang berpacu. Mengobrol dengan beberapa teman juga bisa mengalihkan sedikit rasa gugupnya.Tak jauh beda dengan Haidar, Hera yang terlihat sangat cantik dengan gaun mewah namun tetap terlihat elegan itu pun merasa sangat gugup. Mungkin ini adalah pernikahan kedua untuk Hera, tapi hal itu tak sedikit pun bisa menyingkirkan rasa gelisahnya. Mungkin karena dulu dia menikah karena perjodohan membuat Hera tak terlalu memikirkan pernikahan tersebut namun kali ini dia akan men
Happy reading.....Semuanya beransur membaik setelah kejadian mengerikan malam itu. Viona terpaksa ditembak mati oleh polisi karena dianggap mengancam keselamatan Hera. Kejadian malam itu juga termasuk rencana para polisi. Mereka tahu jika Viona pasti kembali. Namun soal penembakan sama sekali di luar rencana. Mereka tidak menyangka jika Viona memiliki senjata. Dan satu-satunya jalan agar Hera tak lagi terluka, mereka harus membekuk Viona. Dengan menembak mati wanita itu.Sampai saat ini Haidar masih belum menyangka jika Viona kini telah tiada. Belum lagi dia harus meninggal dengan cara yang begitu tragis. Masih teringat dengan jelas dalam benak Haidar bagaimana Viona menyatakan cintanya di saat terakhir. Selama ini Haidar pikir Viona hanya bercanda soal perasaannya. Betapa wanita itu sangat mencintai Haidar. Namun apa yang bisa Haidar lakukan? Haidar hanya mencintai Hera dan tidak akan pernah mencintai wanita lain lagi. Walau itu berarti Haidar harus menyakiti wanita yang juga sanga
Happy reading...."Selamat malam, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanya Viona mengulas senyum miring. Terlihat begitu mengejek Hera yang hanya bisa berbaring lemah. Wanita itu merapikan helai rambutnya yang jatuh di pipi kemudian berjalan ke arah Hera."Aku kecewa karena kau masih saja selamat," kata Viona. "Apakah kau memiliki sembilan nyawa hingga bisa bertahan sampai sekarang?" lanjutnya bertanya.Namun siapa yang bisa menjawab. Bahkan Hera masih harus dibantu banyak alat medis yang hampir menutupi sebagian tubuhnya.Viona menghela napas panjang. Duduk di samping Hera seraya menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan."Kau begitu beruntung. Dicintai banyak orang," kata Viona dengan raut wajah sendu. "Terutama Haidar." Pancaran mata Viona tidak bisa berbohong. Dia begitu iri pada Hera. Wanita itu kemudian bangkit. Mengambil sesuatu dari dalam saku jaket yang ia kenakan.Sebuah pistol yang didapatkannya dari orang asing beberapa hari yang lalu. Barang ilegal yang sebenarn
Happy reading....Polisi terus melacak keberadaan Viona namun hingga tiga hari berlalu setelah kejadian naas itu, mereka tak kunjung menemukan wanita yang menjadi pelaku penculikan Hera dan Elena. Entah ke mana wanita itu kabur. Keluarga Hera dan Haidar juga sudah mengetahui semuanya. Shila dan Thomas adalah orang yang paling kecewa pasalnya mereka sudah menganggap Viona seperti anak sendiri. Awalnya mereka tidak percaya Viona akan berbuat hal sejahat itu namun setelah pihak kepolisian memperlihatkan video yang diberikan Elena, barulah mereka percaya.Shila sampai pingsan tak kuasa menerima kenyataan sosok yang dianggap seperti putrinya sendiri kini menjadi seorang kriminal."Hiks ... ini semua salahku. Aku yang telah gagal mendidik Viona," kata Shila terisak pilu. Thomas membawa tubuh Shila yang bergetar ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan istrinya itu."Ini bukan salahmu," katanya menepuk pelan punggung Shila.Sementara kedua orangtua Haidar larut dalam kekecewaannya, Haidar m
Happy reading....Tubuh Haidar gemetar hebat. Tangannya yang berlumur darah Hera masih belum ia bersihkan. Beberapa juga mengenai baju yang ia kenakan. Keadaan yang tak jauh beda dengan pria yang duduk di sampingnya, Jayden.Kini mereka sudah berada di rumah sakit. Tepatnya di depan UGD. Hera dan Elena yang terluka parah kini sudah ditangani oleh dokter. Keluarga Hera, Haidar dan Elena juga sudah berada di sana. Menunggu kabar putri dan calon menantu mereka.Tak lama kemudian, tiga orang pria menghampiri mereka."Selamat malam. Maaf mengganggu ... tapi kami harus membawa Pak Jayden ke kantor polisi," kata salah satu dari mereka.Mungkin karena sudah terlalu panik mereka jadi lupa jika Jayden masih berstatus buronan polisi. Pria yang sejak tadi menunduk itu kini mendongak. Jayden baru akan bangkit namun Haidar mendahuluinya."Tidak bisakah kalian menunggu sebentar? Istri Jayden sedang berada di dalam sana. Sedang sekarat!" kata Haidar emosi. Menurutnya para polisi itu tidak punya hati
Halo semuanya! Araya di sini. Terima kasih banyak yah udah mampir di ceritaku. Walaupun mungkin cerita ini masih jauh dari kata sempurna namun aku seneng banget jika cerita ini bisa menghibur kalian di sela-sela aktifitas sehari-hari. Aku juga gak nyangka jika cerita ini bisa dibaca sebanyak itu. Jujur aku gak pernah punya ekspetasi yang tinggi karena sadar akan kemampuanku yang belum seberapa. Namun melihat orang-orang menyukai karyaku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku semangat membuat karya yang lebih baik lagi kedepannya Nantikan cerita-cerita lain yang aku publish di sini. Jadi tetap stay yah. Oke deh sampai jumpa dicerita lainnya
Happy reading....Hera masih belum percaya jika wanita yang sedang menatapnya penuh kebencian itu adalah Viona."Sialan! Apa kau sudah gila?!" pekik Elena emosi."Ya. Aku memang sudah gila karena ingin membalas dendam pada Hera. Tapi, kau malah ikut campur," ujar Viona berseringai. Dia melirik ke arah Hera yang tengah menatapnya. "Hai, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanyanya dengan nada mengejek."Membalas dendam? Memangnya apa salah Hera padamu?" tanya Elena.Viona mendengus pelan. Pertanyaan Elena terdengar begitu lucu di rungunya. "Kau masih bertanya? Itu karena wanita tidak tahu diri ini sudah merebut Haidar dariku!" ujarnya memekik sambil menunjuk Hera.Elena dan Hera sampai kehabisan kata-kata mendengar pernyataan Viona. Elena berdiri dari sana lalu menghampiri Hera. Membantu wanita itu untuk bangkit namun karena sudah terlalu lemah Hera memilih untuk tetap duduk saja. Sementara Elena menghampiri Viona."Kau benar-benar sudah gila, Viona! Bagaimana mungkin kau memaksakan perasa
Happy reading..."Baiklah. Ayo kita periksa."Walau sudah berkata seperti itu tak membuat kedua pria itu langsung membuka pintu."Apakah sungguh dia dalam keadaan sekarat?" tanya salah satu dari mereka memastikan."Menurutmu? Dia seorang pasien rumah sakit yang kalian culik. Bahkan keadaannya belum membaik sama sekali!" jawab Elena dari dalam. "Tolong beri obat atau apapun itu yang penting bisa menolongnya untuk saat ini!" katanya lagi.Kedua pria itu saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya membuka pintu dengan perlahan. Keadaan yang cukup gelap membuat dua orang pria itu kesulitan melihat Elena dan Hera. Hingga ....Bugh!!!Satu pukulan keras Elena layangkan pada pria pertama. Yang kedua baru akan menoleh namun dengan cepat Elena juga memukul pria itu. Keduanya tumbang di atas lantai yang kotor. Tangan Elena yang gemetar menjatuhkan balok kayu yang menjadi senjatanya di samping pria-pria tadi."Ya Tuhan! Mereka tidak mati 'kan?" gumam Elena masih saja memperdulikan kedua pria i
Happy reading....Elena mengira dia tidak akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk Hera dalam waktu dekat. Namun kenyataannya tidak, Tuhan lebih baik dari itu karena akhirnya Elena menemukan bukti jika dirinya tidak bersalah. Dia akan memberitahu Haidar semuanya.Mobil Elena---hadiah dari ayah tirinya---sudah terparkir dengan rapih di basement rumah sakit. Elena baru saja akan keluar namun pemandangan di hadapan menyita perhatian wanita pemilik mata hazel itu.Dua orang pria berpakaian dokter dan perawat tengah memindahkan seseorang yang duduk di kursi roda ke dalam mobil. Sosok itu ditutupi kain putih. Entah karena kecerobohan atau apa, tiba-tiba kain yang menutupi sosok di kursi roda tersingkap membuat Elena yang sejak tadi memperhatikan melihat sosok itu. Mata Elena seketika membulat."Ya Tuhan! Hera!" gumam Elena panik saat melihat jika sosok yang sedang dimasukkan ke dalam mobil ternyata Hera. Belum lagi Elena sama sekali tidak tahu siapa dua orang pria itu.Elena keluar dari m