Happy reading....
Hera sebisa mungkin tersenyum tanpa beban saat kedua orang tuanya dan orang tuan Jayden datang berkunjung. Mereka terlihat begitu bahagia walau hanya bisa melihat bayi Hera dan Jayden dari balik kaca transparan. Bayi lucu itu masih dalam inkubator. Bahkan Hera sendiri masih belum diizinkan untuk melihat sang anak dari dekat.
"Dia tampan sekali," puji Elvis, ayah Jayden merangkul bangga sang anak yang sedang berdiri di sampingnya.
"Tentu saja. Bukankah dia putraku?" kata Jayden juga ikut memuji bayi kecil itu mengundang tawa dari mereka semua.
"Jayden, Hera, apakah kalian sudah punya nama untuk bayi tampan kalian itu?" tanya ibunda Hera, Anne.
Jayden dan Hera saling menatap. Setelah kepergian Jayden hari itu dia tidak pernah datang ke rumah sakit untuk menjenguk Hera. Dia terlalu sibuk menghabiskan waktu bersama Elena dan juga mengurus pekerjaannya. Hingga dua hari berlalu, barulah dia datang bersama orang tuanya dan orang tua Hera. Itu pun karena terpaksa.
Hera dan Jayden tidak punya waktu untuk berdiskusi tentang nama anak mereka. Bahkan Hera berpikir Jayden tidak akan peduli sama sekali.
"Tentu saja."
Namun jawaban Jayden membuat Hera menatapnya bingung.
"Juan Xavier," lanjut Jayden.
"Wah! Nama yang sangat bagus, Jayden," kata Jane, ibunda Jayden.
Mereka semua tersenyum puas dengan jawaban Jayden. Namun tidak dengan Hera. Dia malah menatap tajam Jayden di sana.
Seharusnya aku yang memberi nama pada putraku, bukan pria brengsek itu. Jerit batin Hera. Dia tidak terima Jayden yang memberi nama pada anaknya. Walau tak bisa dipungkiri Jayden ayah dari anak itu. Dia juga punya hak.
***
"Jadi kapan kau bisa pulang, Nak?" tanya Anne seraya memegang tangan putrinya yang masih terlihat pucat.
"Hanya tinggal menunggu keadaan bayiku membaik, Ibu," jawab Hera tersenyum tipis.
Orang tua Jayden dan Jayden sudah pulang lebih dulu. Hera yakin jika Jayden tidak akan kembali lagi ke sana, jadi dia harus mempersiapkan jawaban jika sampai orang tuanya bertanya.
Anne mengelus pipi sang anak pelan. "Kau baik-baik saja, Nak?" tanya wanita itu dengan nada sedikit khawatir.
"Aku baik-baik saja, Bu. Memangnya kenapa?" Hera sebisa mungkin menyembunyikan rasa paniknya. Apakah sangat terlihat jelas jika dia sedang tidak baik-baik saja? Padahal Hera sudah merasa menyembunyikan masalahnya dengan baik.
"Tapi kau tidak terlihat seperti itu, Nak. Apa kau ada masalah dengan Jayden?"
Naluri seorang ibu memang tidak pernah salah. Jika saja Hera sudah tidak memikirkan apapun, dia pasti sudah menceritakan segala apa yang diperbuat Jayden padanya. Namun Hera tidak bisa melakukannya membuat dia hanya memeluk sang ibu. Bersembunyi di balik tubuh wanita yang telah melahirkannya.
"Aku tidak apa-apa, Ibu. Sungguh. Aku baik-baik saja," lirih Hera mulai terisak.
Anne sangat tahu jika putrinya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Tapi sebagai seorang ibu dia tidak bisa memaksa Hera untuk bercerita apalagi jika itu menyangkut rumah tangganya dengan Jayden.
Anne sebisa mungkin tidak ikut campur. Hal yang juga diminta pada besannya. Biarlah anak-anak mereka sendiri yang membereskan masalah mereka. Tapi jika mereka yang datang untuk bercerita, Anne juga tidak akan keberatan.
"Baiklah jika kau tidak ingin bercerita. Ibu hanya berharap agar kau selalu bahagia. Apalagi sekarang kau sudah punya Juan," kata Anne mengelus lembut rambut Hera.
"Iya, Bu. Hera juga selalu mengharapkan hal yang sama," kata Hera. Itu bukan hanya kata-kata namun sebuah doa.
Mereka mengurai pelukan saat mendengar suara riuh dari dua orang pria menghampiri ruang inap Hera. Itu suara Jayden dan Andrew, ayah Hera.
Hera dan sang ibu hanya tersenyum tipis melihat kedua pria itu masuk. Jika sedang berada dalam situasi seperti sekarang, Hera seakan lupa jika dia dan Jayden sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Mereka terlihat seperti keluarga besar yang bahagia. Penuh canda dan tawa. Hera terkekeh miris seperti sedang mengejek takdirnya sendiri.
"Sayang, kata dokter kau sudah bisa pulang lusa," kata Jayden mendekat ke arah Hera lalu mengelus rambut wanita itu lembut.
Hera mendongak. Tersenyum miring melihat sang suami dengan segala sandiwaranya. Mungkin jika Hera belum tahu kebusukan Jayden keadaannya pasti akan berbeda. Di mana dia akan sangat bersyukur memiliki Jayden bersamanya.
"Apakah anak kita sudah baik-baik saja?"
Seperti Jayden, Hera pun memainkan perannya dengan baik.
"Ya, karena dia anakku jadi dia harus kuat," jawab Jayden.
Dalam tatapan Hera, Jayden sudah bisa menebak wanita itu sedang menyumpahserapahi dirinya dalam hati. Dan hal itu yang memang diinginkan Jayden. Hera terluka dalam permainannya sendiri.
"Dia memang harus seperti itu." Hera berkata penuh penekanan.
"Kalian ini membuat ayah dan ibu iri saja," kata Andrew menatap bahagia anak dan menantunya itu tanpa tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Jayden tiba-tiba merangkul Hera. "Kau tahu 'kan ayah jika aku sangat mencintai putrimu ini?"
Bullshit!
"Tentu saja, Nak. Dan ayah juga yakin jika Hera pun demikian. Iya 'kan, Hera?"
Dua pria itu menatap Hera menuntut jawaban. Dengan senyum tipis wanita itu mengangguk pelan. Mereka bisa saja tersenyum bahagia namun Anne tidak bisa tertipu dengan semua itu. Dia mengenal putrinya lebih dari siapapun.
Senyum yang dipancarkan Hera bukanlah yang sebenarnya. Ada sesuatu yang coba dia tutupi di balik senyum itu.
"Hera, bagaimana jika kau tinggal bersama ibu dan ayah beberapa hari ke depan?"
Dan Anne tidak akan bisa diam saja melihat putrinya seperti itu. Dia harus mencari tahu. Walau dia harus tetap bersabar menunggu Hera mengatakan semuanya.
"Kenapa tiba-tiba ibu ingin Hera tinggal bersama ibu dan ayah?" tanya Jayden heran.
"Ibu sangat merindukan Hera. Lagipula menjadi ibu baru bukan hal yang mudah. Ibu akan mengajari Hera bagaimana caranya merawat bayi dengan baik," kata Anne. Itu adalah alasan paling masuk akal. "Bagaimana, Hera. Kau mau 'kan tinggal bersama ibu dulu?" tanya Anne menatap Hera.
Bagai sedang bersama dewi keberuntungan, Hera langsung mengangguk. "Tentu, Bu." Hera lalu menatap Jayden. "Bagaimana, Jay. Tidak apa-apa 'kan aku tinggal bersama ibu dulu?" tanya Hera.
Sial!
Jayden tidak punya pilihan lain. Jika menolak, alasan apa yang harus dia berikan.
Sekarang kau menang Hera.
"Baiklah. Jika memang itu yang kalian inginkan," jawab Jayden pada akhirnya.
To be continue....
Happy reading.... Selama hampir satu minggu berada di rumah orang tuanya, tak sekalipun Anne mendengar keluhan dari Hera tentang rumah tangganya dan Jayden. Apakah hanya aku saja yang terlalu paraniod? Batin Anne. Melihat bagaimana Hera sangat bahagia saat mengurus Juan dia jadi ragu jika sang anak memiliki masalah. "Apakah aku sudah pantas menyandang gelar ibu sekarang?" tanya Hera tersenyum bangga saat dia selesai memakaikan baju pada Baby Juan. Dia begitu puas karena akhirnya bisa mengurus Juan dengan baik. Mulai dari memandikan hingga memakaikan Baby Juan popok dan baju, Hera melakukannya sendiri tanpa bantuan dari sang ibu lagi. "Juan sangat beruntung punya ibu seperti dirimu, Nak," kata Anne membuat senyum Hera semakin merekah. "Benarkah?" "Iya, putriku sayang." Hera langsung memeluk sang ibu denga
Happy reading.... "Kau menyuruhku untuk tinggal bersamamu dan Hera? Apa kau gila, Jayden!" pekik Elena lalu mendengus kesal. Elena sudah benci pada Hera setengah mati lalu hari ini tiba-tiba saja Jayden datang dan mengatakan dia harus tinggal bersama Hera. Yang benar saja. "Gila? Justru ini adalah yang terbaik untuk kita, Sayang. Bukankah kau ingin selalu bersamaku?" ujar Jayden meyakinkan Elena jika keputusannya itu benar. "Ya, itu benar tapi aku tidak bisa tinggal bersama Hera," kata Elena membuang muka tidak ingin menatap Jayden lagi. Dia malah beranjak menuju jendela menatap keluar seakan pemandangan malam yang gelap lebih indah dari kekasihnya yang sekarang duduk di sofa sambil memandangnya. Balutan dress piyama berbahan sutra itu terlihat sangat cocok di tubuh Elena membuat Jayden tak bisa mengalihkan pandangan. Elena terlihat sangat cantik. Dia lalu mendeka
Happy reading... Hera memejamkan matanya sesaat setelah dia menutup pintu kamar. "Aku tidak salah 'kan?" tanya Hera entah pada siapa. Hera berkata seperti itu pada Elena bukan karena dia tidak ingin berpisah dari Jayden. Sungguh wanita itu ingin lepas dari Jayden namun sekarang bukan hanya ayah dan ibunya yang dia pikirkan namun juga bayi yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. "Aku tidak bisa membiarkan Juan tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh," lirih Hera mendekati Juan lalu mengelus lembut pipinya. Bayi itu sedikit menggeliat membuat Hera tersenyum tipis. "Aku ingin dia tumbuh bersama ayah dan ibunya. Aku tidak mau dia kekurangan kasih sayang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi," gumam Hera lagi. Hera sudah tidak peduli lagi. Dia sudah berkorban sejauh ini maka tidak ada lagi kata mundur. Hera akan mempertahankan rumah tangg
Happy reading.... Wajah bahagia terpancar jelas pada Elena. Apalagi saat dia melihat Hera tengah berjalan menghampirinya seraya menggendong Baby Juan. Wanita itu seakan sengaja bermesraan dengan Jayden. "Selamat pagi putra ayah," kata Jayden mengambil alih Juan dari gendongan Hera. Wanita itu tersenyum tipis hampir tak terlihat. Tak bisa dipungkiri Hera bahagia melihat Jayden bersama Juan. Kebersamaan mereka sejenak membuat Hera lupa akan konflik yang sedang dia hadapi. Hera mengambil tempat duduk untuk memulai sarapan. Tidak ada yang membuka suara. Yang terdengar hanya canda dari Jayden yang sedang bermain dengan Juan. Baik Elena atau Hera, mereka hanya larut dalam pikiran masing-masing. Menyibukkan diri menyantap sarapan mereka. "Aku akan pergi sekarang," ujar Jayden menyerahkan Juan pada Hera kembali. Dia mencium pipi sang anak gemas sambi
Happy reading.... "Halo!" ujar Elena menempelkan ponselnya di telinga. "Kau sedang apa?" tanya sang penelpon. Siapa lagi jika bukan Jayden. "Aku baru saja selesai mandi. Kenapa? Tumben kau menelpon." "Aku hanya merindukanmu." Wanita itu terkekeh kecil. Walau sudah bersama Jayden cukup lama, Elena selalu tersipu setiap kali mendengar ucapan manis dari pria itu. "Lalu kau ingin aku melakukan apa?" tanya Elena seakan menantang pria itu. "Datanglah ke hotel malam ini. Aku akan mengirim alamatnya," kata Jayden. "Baiklah." Setelah mendapatkan kesepakatan, sambungan telpon itu pun terputus. Elena begitu berharap jika pertemuannya dengan Jayden malam ini untuk membahas tentang perceraiannya dengan Hera. Lalu membahas pernikahannya. &nb
Happy reading.... Suasana pagi itu begitu indah. Ditemani secangkir teh hangat serta angin yang tertiup sedang menghantarkan rasa sejuk. Elena tersenyum tipis seraya memejamkan matanya. "Kau tidak ingin pulang?" tanya sosok itu setelah sepasang tangannya sudah melingkar dengan sempurna di pinggang Elena. "Nanti saja. Aku ingin berada di sini dulu," ujar Elena menikmati betapa hangat tubuh kekasihnya itu dengan menempelkan tubuhnya lebih erat. Jayden bak dinding yang sangat kokoh tempat Elena bersandar. "Baiklah," kata Jayden mengambil teh dalam tangan Elena lalu menaruhnya di atas meja. Memutar tubuh ramping wanita itu agar mata mereka bertemu. "Aku sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan malam ini di pesta," ujarnya lagi. "Apakah aku harus datang?" tanya Elena ragu. "Tentu saja. Kau akan menjadi tamu paling spesial," kata Jayden me
Happy reading.... Pandangan Haidar tak pernah lepas dari sosok yang baru saja memasuki aula hotel. Senyum itu tak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Tidak ada lagi bau alkohol dan racau tak jelas keluar dari mulutnya. Yang Haidar lihat saat ini adalah sosok wanita yang sangat cantik dan anggun. Bahkan sampai wanita itu kini telah berdiri di hadapannya, Haidar masih setia menatapnya dalam diam. Terpesona. "Oh, iya, Hera ... perkenalkan ini Pak Haidar Pratama." Akhirnya Haidar sadar dari lamunan panjangnya saat pria paruh baya itu menepuk pundaknya. "Hera Altezza, istri Jayden Xavier," ujar wanita itu mengulurkan tangannya. Haidar sedikit mendengus. Kenapa Hera harus menyebut nama Jayden saat perkenalan mereka? Membuatnya kesal saja. Namun hal itu tak membuat Haidar mengurungkan niat untuk me
Happy reading.... Kilat kemarahan itu terpancar jelas dari mata coklat Elena. Bahkan genggaman tangannya pada gelas semakin kuat. "Sungguh kekompakan keluarga kalian membuatku sangat iri," ujar Elena dengan senyum yang ia buat untuk menutupi emosi yang sudah sampai ubun-ubun. "Kalau begitu saya permisi!" pamit Elena sesaat setelah menatap kecewa Jayden. "Sebenarnya siapa wanita itu?" tanya Jane setelah kepergian Elena. "Dia salah partner bisnis, Ma," jawab Jayden. "Sepertinya dia terobsesi pada Anda, Pak Jayden." Haidar yang sejak tadi hanya diam saja akhirnya bersuara. "Benarkah?" Jayden terkekeh kecil. "Kurasa tidak," katanya mencoba mengelak. "Walau dia terobsesi dengan menantuku, itu tidak akan membuatnya berpaling," tambah Andrew terlihat begitu percaya pada Jayden. "Benar sekali, Pak Andrew. Lagi
Happy reading....Hari yang tunggu akhirnya tiba. Pernikahan Haidar dan Hera. Para tamu sudah mulai memenuhi tempat duduk yang disediakan. Pernikahan yang di gelar di luar ruangan itu terlihat begitu mewah nan elegan. Warna putih mendominasi tempat itu. Di ujung altar Haidar sudah terlihat sangat gagah dengan balutan toxedo warna hitamnya. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya namun perasaan gugup juga tak bisa dihindari. Haidar sampai harus menarik napas lalu menghelanya beberapa kali untuk menetralkan degub jantung yang berpacu. Mengobrol dengan beberapa teman juga bisa mengalihkan sedikit rasa gugupnya.Tak jauh beda dengan Haidar, Hera yang terlihat sangat cantik dengan gaun mewah namun tetap terlihat elegan itu pun merasa sangat gugup. Mungkin ini adalah pernikahan kedua untuk Hera, tapi hal itu tak sedikit pun bisa menyingkirkan rasa gelisahnya. Mungkin karena dulu dia menikah karena perjodohan membuat Hera tak terlalu memikirkan pernikahan tersebut namun kali ini dia akan men
Happy reading.....Semuanya beransur membaik setelah kejadian mengerikan malam itu. Viona terpaksa ditembak mati oleh polisi karena dianggap mengancam keselamatan Hera. Kejadian malam itu juga termasuk rencana para polisi. Mereka tahu jika Viona pasti kembali. Namun soal penembakan sama sekali di luar rencana. Mereka tidak menyangka jika Viona memiliki senjata. Dan satu-satunya jalan agar Hera tak lagi terluka, mereka harus membekuk Viona. Dengan menembak mati wanita itu.Sampai saat ini Haidar masih belum menyangka jika Viona kini telah tiada. Belum lagi dia harus meninggal dengan cara yang begitu tragis. Masih teringat dengan jelas dalam benak Haidar bagaimana Viona menyatakan cintanya di saat terakhir. Selama ini Haidar pikir Viona hanya bercanda soal perasaannya. Betapa wanita itu sangat mencintai Haidar. Namun apa yang bisa Haidar lakukan? Haidar hanya mencintai Hera dan tidak akan pernah mencintai wanita lain lagi. Walau itu berarti Haidar harus menyakiti wanita yang juga sanga
Happy reading...."Selamat malam, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanya Viona mengulas senyum miring. Terlihat begitu mengejek Hera yang hanya bisa berbaring lemah. Wanita itu merapikan helai rambutnya yang jatuh di pipi kemudian berjalan ke arah Hera."Aku kecewa karena kau masih saja selamat," kata Viona. "Apakah kau memiliki sembilan nyawa hingga bisa bertahan sampai sekarang?" lanjutnya bertanya.Namun siapa yang bisa menjawab. Bahkan Hera masih harus dibantu banyak alat medis yang hampir menutupi sebagian tubuhnya.Viona menghela napas panjang. Duduk di samping Hera seraya menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan."Kau begitu beruntung. Dicintai banyak orang," kata Viona dengan raut wajah sendu. "Terutama Haidar." Pancaran mata Viona tidak bisa berbohong. Dia begitu iri pada Hera. Wanita itu kemudian bangkit. Mengambil sesuatu dari dalam saku jaket yang ia kenakan.Sebuah pistol yang didapatkannya dari orang asing beberapa hari yang lalu. Barang ilegal yang sebenarn
Happy reading....Polisi terus melacak keberadaan Viona namun hingga tiga hari berlalu setelah kejadian naas itu, mereka tak kunjung menemukan wanita yang menjadi pelaku penculikan Hera dan Elena. Entah ke mana wanita itu kabur. Keluarga Hera dan Haidar juga sudah mengetahui semuanya. Shila dan Thomas adalah orang yang paling kecewa pasalnya mereka sudah menganggap Viona seperti anak sendiri. Awalnya mereka tidak percaya Viona akan berbuat hal sejahat itu namun setelah pihak kepolisian memperlihatkan video yang diberikan Elena, barulah mereka percaya.Shila sampai pingsan tak kuasa menerima kenyataan sosok yang dianggap seperti putrinya sendiri kini menjadi seorang kriminal."Hiks ... ini semua salahku. Aku yang telah gagal mendidik Viona," kata Shila terisak pilu. Thomas membawa tubuh Shila yang bergetar ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan istrinya itu."Ini bukan salahmu," katanya menepuk pelan punggung Shila.Sementara kedua orangtua Haidar larut dalam kekecewaannya, Haidar m
Happy reading....Tubuh Haidar gemetar hebat. Tangannya yang berlumur darah Hera masih belum ia bersihkan. Beberapa juga mengenai baju yang ia kenakan. Keadaan yang tak jauh beda dengan pria yang duduk di sampingnya, Jayden.Kini mereka sudah berada di rumah sakit. Tepatnya di depan UGD. Hera dan Elena yang terluka parah kini sudah ditangani oleh dokter. Keluarga Hera, Haidar dan Elena juga sudah berada di sana. Menunggu kabar putri dan calon menantu mereka.Tak lama kemudian, tiga orang pria menghampiri mereka."Selamat malam. Maaf mengganggu ... tapi kami harus membawa Pak Jayden ke kantor polisi," kata salah satu dari mereka.Mungkin karena sudah terlalu panik mereka jadi lupa jika Jayden masih berstatus buronan polisi. Pria yang sejak tadi menunduk itu kini mendongak. Jayden baru akan bangkit namun Haidar mendahuluinya."Tidak bisakah kalian menunggu sebentar? Istri Jayden sedang berada di dalam sana. Sedang sekarat!" kata Haidar emosi. Menurutnya para polisi itu tidak punya hati
Halo semuanya! Araya di sini. Terima kasih banyak yah udah mampir di ceritaku. Walaupun mungkin cerita ini masih jauh dari kata sempurna namun aku seneng banget jika cerita ini bisa menghibur kalian di sela-sela aktifitas sehari-hari. Aku juga gak nyangka jika cerita ini bisa dibaca sebanyak itu. Jujur aku gak pernah punya ekspetasi yang tinggi karena sadar akan kemampuanku yang belum seberapa. Namun melihat orang-orang menyukai karyaku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku semangat membuat karya yang lebih baik lagi kedepannya Nantikan cerita-cerita lain yang aku publish di sini. Jadi tetap stay yah. Oke deh sampai jumpa dicerita lainnya
Happy reading....Hera masih belum percaya jika wanita yang sedang menatapnya penuh kebencian itu adalah Viona."Sialan! Apa kau sudah gila?!" pekik Elena emosi."Ya. Aku memang sudah gila karena ingin membalas dendam pada Hera. Tapi, kau malah ikut campur," ujar Viona berseringai. Dia melirik ke arah Hera yang tengah menatapnya. "Hai, Hera. Apakah kau merindukanku?" tanyanya dengan nada mengejek."Membalas dendam? Memangnya apa salah Hera padamu?" tanya Elena.Viona mendengus pelan. Pertanyaan Elena terdengar begitu lucu di rungunya. "Kau masih bertanya? Itu karena wanita tidak tahu diri ini sudah merebut Haidar dariku!" ujarnya memekik sambil menunjuk Hera.Elena dan Hera sampai kehabisan kata-kata mendengar pernyataan Viona. Elena berdiri dari sana lalu menghampiri Hera. Membantu wanita itu untuk bangkit namun karena sudah terlalu lemah Hera memilih untuk tetap duduk saja. Sementara Elena menghampiri Viona."Kau benar-benar sudah gila, Viona! Bagaimana mungkin kau memaksakan perasa
Happy reading..."Baiklah. Ayo kita periksa."Walau sudah berkata seperti itu tak membuat kedua pria itu langsung membuka pintu."Apakah sungguh dia dalam keadaan sekarat?" tanya salah satu dari mereka memastikan."Menurutmu? Dia seorang pasien rumah sakit yang kalian culik. Bahkan keadaannya belum membaik sama sekali!" jawab Elena dari dalam. "Tolong beri obat atau apapun itu yang penting bisa menolongnya untuk saat ini!" katanya lagi.Kedua pria itu saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya membuka pintu dengan perlahan. Keadaan yang cukup gelap membuat dua orang pria itu kesulitan melihat Elena dan Hera. Hingga ....Bugh!!!Satu pukulan keras Elena layangkan pada pria pertama. Yang kedua baru akan menoleh namun dengan cepat Elena juga memukul pria itu. Keduanya tumbang di atas lantai yang kotor. Tangan Elena yang gemetar menjatuhkan balok kayu yang menjadi senjatanya di samping pria-pria tadi."Ya Tuhan! Mereka tidak mati 'kan?" gumam Elena masih saja memperdulikan kedua pria i
Happy reading....Elena mengira dia tidak akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk Hera dalam waktu dekat. Namun kenyataannya tidak, Tuhan lebih baik dari itu karena akhirnya Elena menemukan bukti jika dirinya tidak bersalah. Dia akan memberitahu Haidar semuanya.Mobil Elena---hadiah dari ayah tirinya---sudah terparkir dengan rapih di basement rumah sakit. Elena baru saja akan keluar namun pemandangan di hadapan menyita perhatian wanita pemilik mata hazel itu.Dua orang pria berpakaian dokter dan perawat tengah memindahkan seseorang yang duduk di kursi roda ke dalam mobil. Sosok itu ditutupi kain putih. Entah karena kecerobohan atau apa, tiba-tiba kain yang menutupi sosok di kursi roda tersingkap membuat Elena yang sejak tadi memperhatikan melihat sosok itu. Mata Elena seketika membulat."Ya Tuhan! Hera!" gumam Elena panik saat melihat jika sosok yang sedang dimasukkan ke dalam mobil ternyata Hera. Belum lagi Elena sama sekali tidak tahu siapa dua orang pria itu.Elena keluar dari m