Clarabel Grachiela, gadis cantik berwajah imut itu menggamit mesra tangan suaminya, Naresh Mahendra, menuruni panggung pernikahan megah bertaburan banyak bunga dan lampu kristal.
Tak selayaknya pengantin yang sumringah, lelaki itu hanya menampilkan raut murungnya saja. Sedangkan Clara, wanita cantik itu berusaha menampilkan senyum walaupun hatinya juga hancur.***Layaknya pasangan pengantin pada umumnya, Naresh mengajak Clara ke sebuh hotel untuk beristirahat malam ini. Tentu Clara menyetujuinya, ia berjanji akan berbakti pada suaminya walaupun belum ada cinta di antara mereka."Kamu mandi dulu, setelah ini mau ada yang ingin aku bicarakan.""Iya, Mas."Clara melepas gaun pernikahannya dengan susah, gaun besar yang membalut tubuhnya itu sangatlah berat. Manik indahnya beberapa kali melirik kepada Naresh, namun jangankan membantu. Melihatnya saja tidak.Laki-laki itu masih asyik dengan ponselnya, senyumnya mengulas lebar saat menatap benda pipih itu. Menghiraukan Clara yang sudah berdiri di sana selama lima menit dengan jubah mandi."Mas, aku sudah selesai," ujarnya lirih."Oh," jawabnya sembari menaruh ponsel. Naresh bangkit menuju sebuah meja kecil di samping tempat tidur, tangannya mengulur pada laci mengambil sebuah map berwarna merah yang ada di sana."Ini, kamu baca!"Jemari lentik Clara mulai membukanya, sekejap kemudian keningnya mengkerut."Perjanjian pernikahan?" gumamnya."Kita menikah karena perjodohan, kamu nggak ada niatan buat menikah selamanya 'kan?"Clara terhenyak. Tentu ia berniat menikah selamanya, kenapa hal ini patut di pertanyakan?"Aku nggak mencintai kamu, Cla. Malam ini kita memang menikah, tapi aku nggak menganggap kamu sebagai istri. Aku nggak akan nyentuh kamu!"Hening! Clara tidak menjawab, gadis itu masih berusaha memahami ucapan suaminya."Jangan pernah gantungkan harapanmu dalam pernikahan ini, Cla! Karena pernikahan ini akan selesai saat Mama memberikan warisannya padaku, dan kamu akan mendapatkan bagian separuh," lanjutnya lagi.Clara semakin terkejut, ia berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang hampir luruh dari pelupuk netranya. Kata-kata yang di lontarkan Naresh sangat sakit."Kamu nggak perlu lakuin kewajiban sebagai istri, kamu nggak usah layanin aku layaknya istri. Kamu nggak usah masak, nggak usah cuci bajuku, bahkan kamu nggak usah kerjain pekerjaan rumah. Mudah 'kan?"Clara masih tidak menjawab. Beberapa kali ia menguatkan batinnya. Jika bukan karena permintaan mendiang orang tuanya, mustahil dia mau menerima perjodohan ini."Terus, nanti kita akan pindah rumah. Aku nggak mau kita satu rumah sama Mama, dan kamu ngadu kalo aku nggak nyentuh kamu!"Clara mengalihkan pandangannya dari kertas di depannya. Gadis cantik pemilik iris coklat itu berusaha mengatur deru nafasnya agar tidak ketahuan menahan sesak."Pernikahan ini hanya akan bertahan sampai satu tahun, setelahnya kita akan bercerai. Selain aku nggak mencinta kamu, aku juga mempunyai kekasih asal kamu tahu. Aku ada yang menunggu di sana, Cla, tapi Mama malah memaksaku dalam perjodohan konyol ini!""Kenapa nggak kamu ceraikan aku sekarang?"Naresh menoleh, memandang pada wajah ia yang benci itu. Badannya setengah menunduk, memperhatikan setiap detail wajah yang tidak pernah ia inginkan."Kalau aku menceraikanmu sekarang, Mama nggak akan kasih warisannya buat aku!"Jahat. Yeah, itulah kata pertama yang Clara gambarkan untuk Naresh. Laki-laki yang hanya memainkan pernikahan untuk tujuannya sendiri."Cepat kamu tanda tangani surat itu. Setelahnya aku akan keluar, aku nggak akan tidur di sini."Clara meraih bolpion yang tergeletak di atas meja, tangannya mengulur meraihnya dan segara membubuhkan sebuah tanda tangan di atas materai. Sejenak ia menatap Naresh, laki-laki itu kembali asyik dengan ponselnya. Tanpa peduli dengan perasaannya yang hancur."Sudah?"Clara hanya mengangguk."Satu lagi. Kalau kamu sampai buka mulut tentang ini, sepeserpun harta nggak akan kamu terima setelah perceraian!""Aku bahkan nggak berharap hartamu," jawabnya lirih.Naresh tegelak, "iya kah? Wanita murahan sepertimu nggak berharap harta?! Bukannya orang tuamu yang menjualmu kepada Mama?!"Clara tertegun. Menjual? Menjual bagaimana maksudnya? Bukankah Ibu Mertuanya sendiri yang meminang dirinya? Sungguh, Clara sangat muak atas apa yang di tuduhkan Naresh."Aku keluar sekarang. Lakukanlah apa pun yang mau kamu lakukan, dan beristirahatlah karena besok kita akan pindah rumah."Naresh melenggang pergi setelah mengatakan hal demikian, menyisakan Clara yang masih menatapnya dengan nanar. Naresh meninggalkanya di malam pertama mereka.Malam pertama yang harusnya penuh belai nikmat kasih sayang dan desahan manja, malah menjadi malam pertama terburuk bagi Clara. Ia menerima kalimat kasar dan penghinaan dari mulut suaminya sendiri."Mama, demi apapun ini rasanya sangat sakit. Aku nggak nyangka akan nikah sama dia, apa Mama bisa lihat sakitnya aku dari atas sana? Kalo bisa, aku pengen ikut pergi sama Mama, aku nggak sanggup," lirihnya di sela-sela isak tangis.Kecelakaan yang merenggut nyawa Mamanya beberapa bulan yang lalu belum mampu Clara lupakan begitu saja. Ingatan kepedihan yang selalu membayanginya setiap malam, di tambah sekarang ia harus menerima perlakuan tidak mengenakkan dari suaminya semakin menambah sempurna penderitaannya.Gadis cantik itu harus menanggungnya seorang diri, tidak ada tempatnya untuk berkeluh kesah selain sang Maha Pencipta. Sementara di luar kamar tanpa Clara sadari, Naresh masih berdiri di sana dan mendengarkan semua yang ia ucapkan. Laki-laki itu menautkan alisnya seolah bingung."Kenapa dia malah sedih? Bukannya merasa senang dia akan mendapatkan bagian harta?" gumamnya bingung.Pagi ini Naresh mengajak Clara pindah ke sebuah rumah minimalis dua lantai yang terletak di kawasan elit pusat kota. Rumah dengan desain kekinian yang sangat indah, namun tidak juga mampu membuat Clara menerbitkan senyumnya."Masuk aja, di dalam ada Bibi yang akan bantu kamu."Gadis itu mengangguk singkat. Selanjutnya ia lekas masuk tanpa menunggu suaminya, tidak seperti layaknya pasangan pengantin baru yang selalu bergandengan tangan.Clara masuk sendirian ke dalam rumah itu, di pandanginya lekat setiap sudutnya. Banyak furniture dengan desian modern di dalamnya."Nona, mari saya antarkan ke atas. Kamar Nona ada di lantai atas," ucap seorang wanita paruh baya yang cukup mengagetkan Clara."Ah, iya," jawabnya singkat.Kedua wanita berbeda usia tersebut menaiki tangga bersamaan, sementara nampak Naresh baru saja memasuki rumah. Laki-laki itu asyik bertelepon tanpa memperdulikan sekelilingnya."Ya nanti kamu ke rumah saja, aku sudah nggak tinggal sama Mama ... Gimana? Ah, iya. Hati-hati
Deru nafas Naresh masih tidak beraturan, ia memandang sejanak pada kekasihnya yang masih berdiri di sampingnya."Sebaiknya kamu pulang saja, Bel. Lain kali saja kita keluarnya.""Sayang, kamu kenapa jadi gini? Kamu nggak pernah, loh, nolak aku.""Aku lagi nggak mood mau keluar, lain kali bisa 'kan? Aku harap kamu jadi wanita yang penurut, aku nggak suka wanita pembangkang."Glek!Dengan susah payah Bella meneguk salivanya, gadis itu mau tidak mau harus menurut jika tidak ingin kehilangan kekasihnya. Setelah memastikan Bella pulang, barulah Naresh naik ke lantai atas menuju kamar Clara. Tangannya menekan handle pintu, namun sayangnya pintu itu terkunci.Tok! Tok! Tok!"Buka pintunya, Clara!"Hening! Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Naresh mengayunkan tangan dan mengetuk pintu lebih keras lagi sembari meneriaki nama istrinya."Aku hitung sampai tiga, pintu ini bakal aku dobrak kalau kamu nggak buka," ancamnya."Satu ... Dua..." Ceklek! "Ada apa, Mas?""Kenapa pintunya di kun
Naresh melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia memutuskan menuju apartemen Bella. Mengingat siang tadi kebersamaan mereka harus terhenti. Tidak perlu waktu lama, mobil mewahnya sudah berhenti tepat di depan gedung pencakar langit yang merupakan unit apartemen kekasihnya itu. Laki-laki itu segera turun dan melangkah dengan gagahnya menuju lift untuk naik ke lantai atas.Ting! Pintu lift terbuka. Naresh segera menuju salah satu unit dan menempelkan kartu aksesnya di smart lock hingga pintu itu terbuka."Sayang, kok kamu nggak ngabarin dulu?" tanya Bella yang cukup terkejut dengan kehadiran Naresh."Aku sengaja mau kasih kejutan, Bel."Bella mengulas senyumnya, "istri kamu tahu?""Nggak." Naresh merengkuh prosesif Bella, bibirnya mulai mengecup basah leher jenjang itu, "aku menginginkanmu, Bella," ucapnya serak."Aaahh...," Sebuah desahan lolos begitu saja saat Naresh mulai menggoda bagian sensitif Bella.Laki-laki itu mulai melayang mendengar desahan demi desahan yang keluar dar
Clara memilih berbelanja beberapa bahan masakan dan juga makanan ringan untuk menjamu Mama mertuanya, wanita cantik itu pergi dengan berjalan kaki. Clara menuju supermarket seberang rumahnya seorang diri, tidak mungkin juga ia akan meminta bantuan suaminyaSaat ini, ia tengah memilih beberapa sayur dan juga daging, dirinya sudah berangan-angan akan memasak banyak menu. Pasti Mama mertuanya akan sangat senang. Entah karena terlalu asyik memilih sayur atau bagaimana, sehingga ia tidak sengaja menyenggol seseorang di sampingnya."Maaf, maaf ... Saya nggak lihat," ucapnya refleks."Clara, kamu belanja di sini juga?"Clara sontak menegakkan kepalanya saat mendengar suara bariton yang sangat di kenalinya itu. Netranya tak ayal melebar saat melihat Kenzie berdiri di depannya."Eh, Ken. Maaf aku nggak sengaja nyenggol tadi.""Iya, nggak papa. Kamu sama siapa?""Aku sendirian, Mama Anne mau datang ke rumah dan nanti aku mau masak besar. Kamu kesana saja kalau nggak sibuk.""Sebenernya aku peng
"Minum dulu, Mas." Clara menyodorkan segelas air dingin kepada Naresh.Lihatlah! Betapa baiknya wanita cantik itu masih mau melayani suaminya setelah tadi di bentak habis-habisan.Dengan sisa nafas yang masih tersengal, Naresh meraihnya dan langsung menenggaknya habis. Laki-laki itu beberapa kali menghela nafas kasar."Kapan Mama akan sampai?""Mungkin sebentar lagi, Mas. Kamu mau mandi dulu atau nanti saja?""Nanti saja, aku mau naik dulu ke atas."Clara menangguk, setelahnya ia memutuskan menuju dapur untuk memasak. Mama Mertuanya sangat baik, ia harus melayani setulus mungkin untuk membalas kenaikannya. Sebenarnya wanita itu juga bingung, sifat suaminya menurun dari siapa?tiga puluh menit berkutat di dapur, Clara sudah merampungkan masakannya. Masih dengan memakai celemek, ia menata semua masakannya di meja makan. Tok! Tok! Tok!"Ah, itu pasti Mama," gumamnya.Gegas kakinya melangkah menuju pintu dan membukakannya. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan dandanan simpel namun s
"Sana! Jangan deket-deket aku. Pinter banget ambil kesempatan.""Iya, Mas. Galak banget.""Aku dengar, Clara!"Clara tidak menimpali, ia memilih merebahkan tubuh mungilnya ke atas sofa. Suaminya ini benar-benar tidak berperikemanusiaan, seharusnya ia lah yang tidur di kasur. Namun ingin protes pun dirinya sudah malas.***Pagi hari."Kamu yang masak semua ini, Sayang?" tanya Anne yang baru saja keluar dari kamarnya."Eh, Mama ... Iya, Mah. Aku memang suka masak,"Anne mengulas senyum, "memang nggak salah Mama milih kamu. Naresh mana? Kok belum turun buat sarapan?""Sebentar, Mah, aku panggil dulu,"Anne mengangguk dan Clara bergegas naik ke lantai atas. Padahal tadi dia sudah membangunkan suaminya itu, apa mungkin dia tidur lagi? Pikirnya.Benar saja! Naresh masih betah memeluk guling dengan kelopak matanya yang terpejam. Gegas Clara menepuk-nepuk bahu kekar itu berharap supaya sang suami terbangun."Mama sudah nunggu buat sarapan, Mas.""Eugh...""Mas, bangun dulu..," tanpa aba-aba N
Naresh menyetir dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan wajah pucat istrinya. Clara mempunyai trauma dari kecelakaan yang menimpa orang tuannya, sehingga ia takut kebut-kebutan. Jantungnya berderu kencang seiring dengan suaminya yang terus menambah kecepatan lajunya."M-Mas, tolong. Aku nggak bisa kebut-kebutan, aku takut," lirih Clara."Takut? Kamu bilang takut? Kamu lebih takut ini dari pada berduaan dengan lelaki lain?!""Kenzie cuma mau nganterin aku aja, Mas. Tadi hampir hujan dan aku nggak bawa mobil.""BODOH!" makinya, "bilang aja kamu sudah janjian dengan Kenzie!"Clara hanya menggeleng lirih. Sungguh! Demi apapun dirinya sudah tidak mampu menimpali lagi, lambungnya terasa bergejolak. Bahkan ia hampir saja mutah.Kilas bayang kecelakaan orang tuanya kembali memutar, itu semakin membuat Clara pusing. Keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya. Namun suaminya tetap tidak peduli.Darah!Teriakan!Tangisan pilu!Kembali hadir di memori wanita cantik itu. Tidak tahu kah Naresh
Lelaki dengan tubuh kekar dan kulit putih itu dengan gagahnya mengukung tubuh polos Bella. Lelaki yang tak lain bernama Sean Emmanuel, salah satu musuh terbesar dari Mahendra Group.Sean sudah lama menjalin hubungan gelap dengan Bella di balik Naresh. Keduanya menjadikan Naresh bahan tertawaan saat lelaki itu begitu mudahnya di bohongi. "Aaahh..," entah sudah ke berapa kali Bella meloloskan desahannya. Wanita itu menatap wajah Sean penuh damba. Wajah penuh peluh itu menurutnya sangatlah tampan. Dia sudah berulang kali melakukan ini dengan lelaki itu, apalagi saat Naresh tidak bisa menemaninya.Benar-benar wanita yang licik!"Le-lebih cepat lagi, Sean," pintanya parau."Yeah, Baby. Aaahh kenapa kau bisa senikmat ini?""Aku memang sering yoga, Sean. Jangan banyak bertanya, lebih baik kau percepat lagi hujamanmu."Sean tidak menjawab. Laki-laki itu terus menambah ritme gerakan pinggulnya. Hingga keduanya sama-sama mengerang dengan ekspresi wajah yang penuh nikmat. Mereka berdua merengg