Deru nafas Naresh masih tidak beraturan, ia memandang sejanak pada kekasihnya yang masih berdiri di sampingnya.
"Sebaiknya kamu pulang saja, Bel. Lain kali saja kita keluarnya.""Sayang, kamu kenapa jadi gini? Kamu nggak pernah, loh, nolak aku.""Aku lagi nggak mood mau keluar, lain kali bisa 'kan? Aku harap kamu jadi wanita yang penurut, aku nggak suka wanita pembangkang."Glek!Dengan susah payah Bella meneguk salivanya, gadis itu mau tidak mau harus menurut jika tidak ingin kehilangan kekasihnya.Setelah memastikan Bella pulang, barulah Naresh naik ke lantai atas menuju kamar Clara. Tangannya menekan handle pintu, namun sayangnya pintu itu terkunci.Tok! Tok! Tok!"Buka pintunya, Clara!"Hening! Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Naresh mengayunkan tangan dan mengetuk pintu lebih keras lagi sembari meneriaki nama istrinya."Aku hitung sampai tiga, pintu ini bakal aku dobrak kalau kamu nggak buka," ancamnya."Satu ... Dua..."Ceklek!"Ada apa, Mas?""Kenapa pintunya di kunci?"Clara menghela nafas sejenak guna mengusir rasa sesaknya karena bentakan dari Naresh."Bukannya lantai atas memang hakku? Kamu yang bilang sendiri kalau kamu lupa.""Tapi rumah ini tetep jadi milikku, kamu nggak bisa lakuin seenaknya!"Clara tidak menjawab, gadis itu menatap lekat sosok tampan di hadapannya. Kenapa juga sosok tampan ini harus mempunyai sifat yang sangat menyebalkan, padahal mertuanya sangat baik."Jangan kira aku bebaskan kamu menempati lantai atas lalu kamu sesuka hati melakukan apapun! Aku nggak suka kayak gitu, Cla!""Mau kamu apa, sih, Mas?! Kamu sendiri yang bilang nggak akan ikut campur masalah aku, kamu juga bilang aku boleh ajak siapapun naik. Kamu lupa apa gimana?!""DIAM!" sentaknya yang tak ayal membuat Clara refleks memejamkan mata, "jangan pernah bantah apa yang aku ucapkan."Clara tertawa sumbang mendengarnya, "jangan kira aku diam saja itu artinya nurut. Nggak, Mas! Jangan samakan aku kayak istri-istri sinetron yang akan nangis saat di tindas gitu saja, aku nggak kayak gitu! Mentang-mentang kamu yang punya rumah, lalu bikin aturan nggak jelas, dan sekarang kamu juga yang melanggar.""Clara!""Apa?! Kamu mau apa, hah?!"Naresh mengatup rapat bibirnya, laki-laki itu tidak menyangka istri yang dia kira lemah akan melawannya seperti ini."Pelankan nada bicaramu di depanku, Clara! Jangan pernah meninggikan nadamu di hadapanku," desisnya sambil menempelkan kedua tangan pada dinding.Naresh mengunci pergerakan Clara sehingga membuat kedua wajah itu semakin dekat. Di dalam hatinya laki-laki itu menyadari istrinya sangatlah cantik, namun ia sudah terlanjur membenci wanita itu.Naresh semakin mendekatkan wajahnya pada wajah cantik di depannya, kepalanya miring seolah ingin menyapa bibir merah itu.Plakkk!"Argh..!" pekiknya saat merasakan tamparan panas mendarat di pipinya."Jangan kurang ajar, Mas!" ucapnya sembari menunjuk wajah suaminya itu.Clara membalik badan dan lekas masuk kamar, ia menghempaskan kencang pintu kamarnya. Sementara Naresh masih berdiri di sana dengan tatapan yang sulit di artikan."Rupanya gadis itu tidak seperti yang aku bayangkan," gumamnya.Sedangkan di dalam kamarnya, Clara sudah menumpahkan air matanya. Gadis itu tidak sekuat yang terlihat, ia hanya barusaha kuat untuk membela dirinya saja.Yang sebenarnya terjadi adalah dia begitu rapuh, hatinya begitu sakit menerima kenyataan pahit ini. Namun apa yang bisa di lakukannya selain pasrah? Bahkan Clara tidak punya teman berbagi kesedihannya.Entah jam berapa Clara tertidur, gadis itu menggeliat dan melihat jam yang bertengger di dinding sudah menunjukkan waktu malam. Rupanya ia sangat lelah dengan tangisannya sehingga membuat tidurnya begitu pulas.Clara melangkahkan kakinya menapaki tangga, ia memutuskan akan memasak untuk makan malam. Walaupun Naresh tidak memintanya untuk melakukan itu, namun ini adalah bukti baktinya sebagai seorang istri."Ada yang Nona butuhkan? Atau Nona mau makan sesuatu? Biar Bibi buatkan.""Enggak, Bi. Aku mau masak buat makan malam.""Masak, Non?" tanya Bibi dengan raut bingung."Iya, ada bahan-bahannya 'kan?""Ada, Non, ada. Semuanya ada di kulkas, mau Bibi bantu?"Clara menggeleng lirih, "nggak usah, Bi. Aku cuma mau masak simpel aja, kok.""Oh, ya sudah kalau begitu, Non. Kalau ada apa-apa jangan lupa panggil Bibi, ya. Bibi mau nerusin setrika bajunya Mas Naresh dulu.""Iya, Bi. Makasih."Clara mulai membuka kulkas dan mencari bahan yang bisa ia olah. Netranya menangkap potongan daging segar di sana, juga ada banyak jenis sayuran. Akhirnya ia memudahkan untuk membuat sup daging sayur, makanan kesukaannya yang sering di masakkan oleh mendiang Ibunya.Tidak perlu waktu lama bagi Clara untuk berkutat di dapur, karena ini sudah sering ia lakukan. Sup daging sayur lengkap dengan lauk pauk yang lain dan juga sambal sudah tersaji rapi di meja makan.Netranya melirik pada kamar Naresh, ia ingin mengetuk pintu kamarnya namun urung. Beruntungnya tidak lama kemudian Naresh keluar, mungkin laki-laki itu juga merasakan lapar."Bibi mana? Kok nggak ada?""Bibi lagi beresin kerjaan yang lain.""Terus ini yang masak siapa?""Aku yang masak," jawabnya singkat sambil mengambil piring dan mulai menyendokkan nasi."Kamu mau nasinya seberapa?"Naresh malah tergelak, "kamu ngapain ngelakuin cara ini? Mau rayu aku? Apa mau minta maaf atas kejadian siang tadi?""Kok kamu mikirnya gitu, Mas? Aku masak karena aku mau.""Nggak usah bohong. Aku hapal sama trik tarik ulur wanita kayak kamu."Clara mengatup rapat bibirnya saat kata-kata menyakitkan itu keluar lagi dari bibir suaminya."Lagian aku nggak nyuruh kamu lakuin ini 'kan? Nggak usah jadi sok baik dan cari perhatian!"Brakkk!"Mas..!" pekik Clara saat melihat Naresh menumpahkan semangkuk sup besar itu.Dengan kurang ajarnya laki-laki itu membuang semua masakan Clara yang masih tersisa di atas meja. Tanpa memperdulikan istirnya yang telah susah payah membuatnya. Benar-benar tidak punya hati!"Aku nggak akan pernah mau sentuh makanan kamu! Jadi jangan pernah coba-coba lakuin ini buat ambil hati aku, Clara!"Naresh menyambar kunci mobilnya dan lekas keluar rumah tanpa menghiraukan Clara yang sudah meluruhkan air matanya.'Niatku menikahimu memang untuk membuatmu menderita, Cla! Jadi bersiaplah dengan air mata yang lebih banyak lagi,' batin Naresh.Naresh melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia memutuskan menuju apartemen Bella. Mengingat siang tadi kebersamaan mereka harus terhenti. Tidak perlu waktu lama, mobil mewahnya sudah berhenti tepat di depan gedung pencakar langit yang merupakan unit apartemen kekasihnya itu. Laki-laki itu segera turun dan melangkah dengan gagahnya menuju lift untuk naik ke lantai atas.Ting! Pintu lift terbuka. Naresh segera menuju salah satu unit dan menempelkan kartu aksesnya di smart lock hingga pintu itu terbuka."Sayang, kok kamu nggak ngabarin dulu?" tanya Bella yang cukup terkejut dengan kehadiran Naresh."Aku sengaja mau kasih kejutan, Bel."Bella mengulas senyumnya, "istri kamu tahu?""Nggak." Naresh merengkuh prosesif Bella, bibirnya mulai mengecup basah leher jenjang itu, "aku menginginkanmu, Bella," ucapnya serak."Aaahh...," Sebuah desahan lolos begitu saja saat Naresh mulai menggoda bagian sensitif Bella.Laki-laki itu mulai melayang mendengar desahan demi desahan yang keluar dar
Clara memilih berbelanja beberapa bahan masakan dan juga makanan ringan untuk menjamu Mama mertuanya, wanita cantik itu pergi dengan berjalan kaki. Clara menuju supermarket seberang rumahnya seorang diri, tidak mungkin juga ia akan meminta bantuan suaminyaSaat ini, ia tengah memilih beberapa sayur dan juga daging, dirinya sudah berangan-angan akan memasak banyak menu. Pasti Mama mertuanya akan sangat senang. Entah karena terlalu asyik memilih sayur atau bagaimana, sehingga ia tidak sengaja menyenggol seseorang di sampingnya."Maaf, maaf ... Saya nggak lihat," ucapnya refleks."Clara, kamu belanja di sini juga?"Clara sontak menegakkan kepalanya saat mendengar suara bariton yang sangat di kenalinya itu. Netranya tak ayal melebar saat melihat Kenzie berdiri di depannya."Eh, Ken. Maaf aku nggak sengaja nyenggol tadi.""Iya, nggak papa. Kamu sama siapa?""Aku sendirian, Mama Anne mau datang ke rumah dan nanti aku mau masak besar. Kamu kesana saja kalau nggak sibuk.""Sebenernya aku peng
"Minum dulu, Mas." Clara menyodorkan segelas air dingin kepada Naresh.Lihatlah! Betapa baiknya wanita cantik itu masih mau melayani suaminya setelah tadi di bentak habis-habisan.Dengan sisa nafas yang masih tersengal, Naresh meraihnya dan langsung menenggaknya habis. Laki-laki itu beberapa kali menghela nafas kasar."Kapan Mama akan sampai?""Mungkin sebentar lagi, Mas. Kamu mau mandi dulu atau nanti saja?""Nanti saja, aku mau naik dulu ke atas."Clara menangguk, setelahnya ia memutuskan menuju dapur untuk memasak. Mama Mertuanya sangat baik, ia harus melayani setulus mungkin untuk membalas kenaikannya. Sebenarnya wanita itu juga bingung, sifat suaminya menurun dari siapa?tiga puluh menit berkutat di dapur, Clara sudah merampungkan masakannya. Masih dengan memakai celemek, ia menata semua masakannya di meja makan. Tok! Tok! Tok!"Ah, itu pasti Mama," gumamnya.Gegas kakinya melangkah menuju pintu dan membukakannya. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan dandanan simpel namun s
"Sana! Jangan deket-deket aku. Pinter banget ambil kesempatan.""Iya, Mas. Galak banget.""Aku dengar, Clara!"Clara tidak menimpali, ia memilih merebahkan tubuh mungilnya ke atas sofa. Suaminya ini benar-benar tidak berperikemanusiaan, seharusnya ia lah yang tidur di kasur. Namun ingin protes pun dirinya sudah malas.***Pagi hari."Kamu yang masak semua ini, Sayang?" tanya Anne yang baru saja keluar dari kamarnya."Eh, Mama ... Iya, Mah. Aku memang suka masak,"Anne mengulas senyum, "memang nggak salah Mama milih kamu. Naresh mana? Kok belum turun buat sarapan?""Sebentar, Mah, aku panggil dulu,"Anne mengangguk dan Clara bergegas naik ke lantai atas. Padahal tadi dia sudah membangunkan suaminya itu, apa mungkin dia tidur lagi? Pikirnya.Benar saja! Naresh masih betah memeluk guling dengan kelopak matanya yang terpejam. Gegas Clara menepuk-nepuk bahu kekar itu berharap supaya sang suami terbangun."Mama sudah nunggu buat sarapan, Mas.""Eugh...""Mas, bangun dulu..," tanpa aba-aba N
Naresh menyetir dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan wajah pucat istrinya. Clara mempunyai trauma dari kecelakaan yang menimpa orang tuannya, sehingga ia takut kebut-kebutan. Jantungnya berderu kencang seiring dengan suaminya yang terus menambah kecepatan lajunya."M-Mas, tolong. Aku nggak bisa kebut-kebutan, aku takut," lirih Clara."Takut? Kamu bilang takut? Kamu lebih takut ini dari pada berduaan dengan lelaki lain?!""Kenzie cuma mau nganterin aku aja, Mas. Tadi hampir hujan dan aku nggak bawa mobil.""BODOH!" makinya, "bilang aja kamu sudah janjian dengan Kenzie!"Clara hanya menggeleng lirih. Sungguh! Demi apapun dirinya sudah tidak mampu menimpali lagi, lambungnya terasa bergejolak. Bahkan ia hampir saja mutah.Kilas bayang kecelakaan orang tuanya kembali memutar, itu semakin membuat Clara pusing. Keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya. Namun suaminya tetap tidak peduli.Darah!Teriakan!Tangisan pilu!Kembali hadir di memori wanita cantik itu. Tidak tahu kah Naresh
Lelaki dengan tubuh kekar dan kulit putih itu dengan gagahnya mengukung tubuh polos Bella. Lelaki yang tak lain bernama Sean Emmanuel, salah satu musuh terbesar dari Mahendra Group.Sean sudah lama menjalin hubungan gelap dengan Bella di balik Naresh. Keduanya menjadikan Naresh bahan tertawaan saat lelaki itu begitu mudahnya di bohongi. "Aaahh..," entah sudah ke berapa kali Bella meloloskan desahannya. Wanita itu menatap wajah Sean penuh damba. Wajah penuh peluh itu menurutnya sangatlah tampan. Dia sudah berulang kali melakukan ini dengan lelaki itu, apalagi saat Naresh tidak bisa menemaninya.Benar-benar wanita yang licik!"Le-lebih cepat lagi, Sean," pintanya parau."Yeah, Baby. Aaahh kenapa kau bisa senikmat ini?""Aku memang sering yoga, Sean. Jangan banyak bertanya, lebih baik kau percepat lagi hujamanmu."Sean tidak menjawab. Laki-laki itu terus menambah ritme gerakan pinggulnya. Hingga keduanya sama-sama mengerang dengan ekspresi wajah yang penuh nikmat. Mereka berdua merengg
"Jangan keluar-keluar, kalau ada perlu apa-apa bilang saja sama Bibi," titah Naresh, saat ini ia dan Clara sudah sampai rumah."Iya, Mas.""Aku mau ke kantor, sekalian nanti mau ketemu sama klien. Kamu masih pusing apa nggak?""Pusing sedikit tapi nggak papa, Mas.""Bagus. Kalau gitu aku tenang ninggalin kamu ke kantor."Clara menatap tersenyum pada suaminya yang berjalan keluar kamar. Tidak ada salam ataupun ciuman hangat seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan wajah Naresh masih saja datar.Clara hanya bisa pasrah, gadis itu akhirnya memilih memejamkan mata. Berharap siang nanti kondisinya bisa lebih baik, karena rencananya ia akan memasak dan mengantarkan makan siang untuk Naresh.***Mahendra Company.Di sisi lain, Naresh tengah berada di dalam ruangannya bersama Bella. Dengan posisi Bella yang berada di atas pangkuan lelaki itu, wanita itu bergelayut manja di leher kekasih gelapnya. Sambil sesekali ia menciumi wajah lelaki itu."Kau sudah tidak marah?""Aku memang sedar
Clara melangkahkan kaki dengan gontai, netranya memandang lurus pada petak makam kedua orang tuanya. Wanita cantik itu berjongkok, mengusap lembut nisan bertuliskan nama yang selalu ia rindukan."Papa, Mama ... Aku nggak bahagia. Mas Naresh nggak hanya memiliki kekasih, tapi dia juga berhubungan jauh. Mata kepalaku melihatnya sendiri, mereka melakukan hubungan terlarang itu, dan aku ... Aku sakit banget," lirihnya di sela-sela isak tangis.Clara menaburkan bunga yang sebelumnya ia beli, tidak lupa wanita cantik itu juga membersihkan beberapa dedaunan kering di atas makam kedua orang tuanya."Apa aku bisa meluluhkan hati Mas Naresh, Pah, Mah? Namun, kenapa rasanya sakit sekali? Aku hampir menyerah jika tidak mengingat ini amanat dari kalian."Jemarinya lentiknya menghapus titik air mata yang luruh begitu saja. Beginilah ia, hanya mampu menangis dan terus menangis karena batinnya yang terus terkoyak. Clara tidak memiliki sahabat, Naresh yang di harapkan bisa menjadi tempat tumpuannya ma