Clara memilih berbelanja beberapa bahan masakan dan juga makanan ringan untuk menjamu Mama mertuanya, wanita cantik itu pergi dengan berjalan kaki. Clara menuju supermarket seberang rumahnya seorang diri, tidak mungkin juga ia akan meminta bantuan suaminya
Saat ini, ia tengah memilih beberapa sayur dan juga daging, dirinya sudah berangan-angan akan memasak banyak menu. Pasti Mama mertuanya akan sangat senang. Entah karena terlalu asyik memilih sayur atau bagaimana, sehingga ia tidak sengaja menyenggol seseorang di sampingnya."Maaf, maaf ... Saya nggak lihat," ucapnya refleks."Clara, kamu belanja di sini juga?"Clara sontak menegakkan kepalanya saat mendengar suara bariton yang sangat di kenalinya itu. Netranya tak ayal melebar saat melihat Kenzie berdiri di depannya."Eh, Ken. Maaf aku nggak sengaja nyenggol tadi.""Iya, nggak papa. Kamu sama siapa?""Aku sendirian, Mama Anne mau datang ke rumah dan nanti aku mau masak besar. Kamu kesana saja kalau nggak sibuk.""Sebenernya aku pengen banget, tapi aku harus buru-buru pulang. Ini tadi di suruh adik aku beliin bahan-bahan buat bikin salad."Clara tertawa kecil, "kamu penyayang banget, ya, sama adik kamu. Pasti dia seneng banget punya Kakak baik kayak kamu, Ken.""Ah, dia doang yang seneng. Sukanya nyuruh-nyuruh aku beliin ini itu."Clara semakin tergelak, dalam pandangan Kenzie melihat Clara tertawa adalah sebuah anugrah. Laki-laki tampan itu memang mengagumi wanita yang sudah menjadi istri sepupunya ini. Sayang sekali Naresh malah menyia-nyiakannya."Kamu kenapa nggak sama Naresh, Cla?" Kenzie kembali bertanya sembari meneruskan kegiatannya memilih sayuran."Mas Naresh lagi bersih-bersih kamar buat Mama Anne.""Oh, gitu," jawabnya singkat.***Menit berlalu...Kenzie dan Clara sudah selesai dengan belanjaannya, keduanya berjalan bersama menuju kasir. Saat tiba waktunya membayar, laki-laki itu meminta kasir untuk memasukkan tagihan Clara ke kartunya.Awalnya Clara menolak karena ia merasa tidak enak hati. Namun karena Kenzie yang terus memaksanya, akhirnya ia menerima. Berulang kali wanita itu mengucapkan terima kasih, ia sungguh merasa tidak enak hati."Ayo sekalian aku antar pulang, Cla.""Nggak usah, Ken. Tinggal nyebrang gitu aja, kok.""Kali ini aku maksa lagi, Cla, dan kamu harus mau."Clara menghela nafas lirih, "ya sudah. Aku jadi banyak berhutang sama kamu jadinya.""Ngomong apa, sih? Santai aja nggak usah kayak gitu, kita sudah berteman lama 'kan?"Clara lantas mengangguk. Jujur saja ia memang menyukai sifat baik Kenzie, laki-laki itu tidak pernah membedakan saat berteman. Bahkan dengan dirinya yang berekonomi pas-pasan.Dengan telaten Naresh membantunya menaikkan barang belanjaan ke dalam bagasi mobil, selanjutnya ia lantas duduk di samping Kenzie. Mobil itu mulai bergerak pelan, dan tidak butuh waktu lama akhirnya mereka tiba di kediaman Naresh.Clara bergegas turun dan mengambil barang belanjaannya, begitu pula dengan Kenzie yang sigap membantu. Tanpa keduanya sadari, sedari tadi Naresh mengawasi mereka dari balik kaca jendela. Pandangannya tidak suka dengan rahangnya yang mengetat sempurna seolah menahan emosi."Dari mana kalian?!" tanya Naresh saat kedua orang itu baru saja memasuki rumah."Mas, aku tadi belanja di supermarket depan dan nggak sengaja ketemu sama Kenzie. Dia bantuin aku bawa barang belanjaan.""Nggak sengaja apa memang janjian, Cla?!""Nggak sengaja, Mas. Aku saja nggak tahu ada Kenzie di sana.""Masuk! Aku nggak suka kamu dekat dengan laki-laki lain.""Naresh, aku sama Clara...""DIAM!" sentaknya, "aku nggak bicara sama kamu, Kenzie!""Mas, jangan marah-marah kayak gitu.""Aku bilang masuk, Clara! Kamu harus dengar apa kata suami!"Clara masih tidak bergeming, ia masih mematung di sana menatap Naresh yang nampak kesetanan."MASUK SIALAN!" sentaknya sekali lagi yang sontak membuat Clara terhenyak kaget.Wanita itu masuk ke dalam rumah dengan bulir air mata yang luruh di pipinya. Siapapun pasti akan sakit hati melihatnya, bayangkan saja ia di bentak di hadapan orang lain oleh suaminya sendiri."Naresh..."Bugh!Sebuah bogeman mentah mendarat sempurna di perut Kenzie, Naresh tidak peduli bahwa Kenzie adalah sepupunya.Bugh!Lagi, Naresh meninju wajah tampan itu hingga membuat hidung mancungnya berdarah. Laki-laki itu lalu mencengkeram erat pipi Kenzie dan menatapnya sengit."Sekali lagi aku lihat kamu dekat sama Clara, aku akan jadi malaikat mautmu!"Kenzie tidak menjawab, ia menatap Naresh dengan mata memerah menahan rasa nyeri di perut dan wajahnya."Jangan memandangku seperti itu atau aku akan mencongkel matamu! Kau paham?! Jangan berani-beraninya dekati Istriku, Ken!""KAU PAHAM, SIALAN!" sentaknya sekali lagi dan langsung mendorong tubuh Kenzie sampai terjerembab ke tanah.Brakkk!Naresh menutup pintu dengan kasar, nafasnya terengah-engah. Laki-laki mendudukkan dirinya di ruang tamu. Entah apa yang dia rasakan, kenapa hatinya seperti tidak rela melihat Clara dengan laki-laki lain? Dan apa tadi? Ia menyebut Clara sebagai istri?Oh, tidak! Ini pasti karena efek kelelahan setelah membereskan barang-barangnya. Dirinya tidak mungkin cemburu. Yeah, dirinya membenci Clara dan ini adalah karena ia tidak mau melihat Clara bahagia dengan laki-laki lain."Minum dulu, Mas." Clara menyodorkan segelas air dingin kepada Naresh.Lihatlah! Betapa baiknya wanita cantik itu masih mau melayani suaminya setelah tadi di bentak habis-habisan.Dengan sisa nafas yang masih tersengal, Naresh meraihnya dan langsung menenggaknya habis. Laki-laki itu beberapa kali menghela nafas kasar."Kapan Mama akan sampai?""Mungkin sebentar lagi, Mas. Kamu mau mandi dulu atau nanti saja?""Nanti saja, aku mau naik dulu ke atas."Clara menangguk, setelahnya ia memutuskan menuju dapur untuk memasak. Mama Mertuanya sangat baik, ia harus melayani setulus mungkin untuk membalas kenaikannya. Sebenarnya wanita itu juga bingung, sifat suaminya menurun dari siapa?tiga puluh menit berkutat di dapur, Clara sudah merampungkan masakannya. Masih dengan memakai celemek, ia menata semua masakannya di meja makan. Tok! Tok! Tok!"Ah, itu pasti Mama," gumamnya.Gegas kakinya melangkah menuju pintu dan membukakannya. Terlihat seorang wanita paruh baya dengan dandanan simpel namun s
"Sana! Jangan deket-deket aku. Pinter banget ambil kesempatan.""Iya, Mas. Galak banget.""Aku dengar, Clara!"Clara tidak menimpali, ia memilih merebahkan tubuh mungilnya ke atas sofa. Suaminya ini benar-benar tidak berperikemanusiaan, seharusnya ia lah yang tidur di kasur. Namun ingin protes pun dirinya sudah malas.***Pagi hari."Kamu yang masak semua ini, Sayang?" tanya Anne yang baru saja keluar dari kamarnya."Eh, Mama ... Iya, Mah. Aku memang suka masak,"Anne mengulas senyum, "memang nggak salah Mama milih kamu. Naresh mana? Kok belum turun buat sarapan?""Sebentar, Mah, aku panggil dulu,"Anne mengangguk dan Clara bergegas naik ke lantai atas. Padahal tadi dia sudah membangunkan suaminya itu, apa mungkin dia tidur lagi? Pikirnya.Benar saja! Naresh masih betah memeluk guling dengan kelopak matanya yang terpejam. Gegas Clara menepuk-nepuk bahu kekar itu berharap supaya sang suami terbangun."Mama sudah nunggu buat sarapan, Mas.""Eugh...""Mas, bangun dulu..," tanpa aba-aba N
Naresh menyetir dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan wajah pucat istrinya. Clara mempunyai trauma dari kecelakaan yang menimpa orang tuannya, sehingga ia takut kebut-kebutan. Jantungnya berderu kencang seiring dengan suaminya yang terus menambah kecepatan lajunya."M-Mas, tolong. Aku nggak bisa kebut-kebutan, aku takut," lirih Clara."Takut? Kamu bilang takut? Kamu lebih takut ini dari pada berduaan dengan lelaki lain?!""Kenzie cuma mau nganterin aku aja, Mas. Tadi hampir hujan dan aku nggak bawa mobil.""BODOH!" makinya, "bilang aja kamu sudah janjian dengan Kenzie!"Clara hanya menggeleng lirih. Sungguh! Demi apapun dirinya sudah tidak mampu menimpali lagi, lambungnya terasa bergejolak. Bahkan ia hampir saja mutah.Kilas bayang kecelakaan orang tuanya kembali memutar, itu semakin membuat Clara pusing. Keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya. Namun suaminya tetap tidak peduli.Darah!Teriakan!Tangisan pilu!Kembali hadir di memori wanita cantik itu. Tidak tahu kah Naresh
Lelaki dengan tubuh kekar dan kulit putih itu dengan gagahnya mengukung tubuh polos Bella. Lelaki yang tak lain bernama Sean Emmanuel, salah satu musuh terbesar dari Mahendra Group.Sean sudah lama menjalin hubungan gelap dengan Bella di balik Naresh. Keduanya menjadikan Naresh bahan tertawaan saat lelaki itu begitu mudahnya di bohongi. "Aaahh..," entah sudah ke berapa kali Bella meloloskan desahannya. Wanita itu menatap wajah Sean penuh damba. Wajah penuh peluh itu menurutnya sangatlah tampan. Dia sudah berulang kali melakukan ini dengan lelaki itu, apalagi saat Naresh tidak bisa menemaninya.Benar-benar wanita yang licik!"Le-lebih cepat lagi, Sean," pintanya parau."Yeah, Baby. Aaahh kenapa kau bisa senikmat ini?""Aku memang sering yoga, Sean. Jangan banyak bertanya, lebih baik kau percepat lagi hujamanmu."Sean tidak menjawab. Laki-laki itu terus menambah ritme gerakan pinggulnya. Hingga keduanya sama-sama mengerang dengan ekspresi wajah yang penuh nikmat. Mereka berdua merengg
"Jangan keluar-keluar, kalau ada perlu apa-apa bilang saja sama Bibi," titah Naresh, saat ini ia dan Clara sudah sampai rumah."Iya, Mas.""Aku mau ke kantor, sekalian nanti mau ketemu sama klien. Kamu masih pusing apa nggak?""Pusing sedikit tapi nggak papa, Mas.""Bagus. Kalau gitu aku tenang ninggalin kamu ke kantor."Clara menatap tersenyum pada suaminya yang berjalan keluar kamar. Tidak ada salam ataupun ciuman hangat seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan wajah Naresh masih saja datar.Clara hanya bisa pasrah, gadis itu akhirnya memilih memejamkan mata. Berharap siang nanti kondisinya bisa lebih baik, karena rencananya ia akan memasak dan mengantarkan makan siang untuk Naresh.***Mahendra Company.Di sisi lain, Naresh tengah berada di dalam ruangannya bersama Bella. Dengan posisi Bella yang berada di atas pangkuan lelaki itu, wanita itu bergelayut manja di leher kekasih gelapnya. Sambil sesekali ia menciumi wajah lelaki itu."Kau sudah tidak marah?""Aku memang sedar
Clara melangkahkan kaki dengan gontai, netranya memandang lurus pada petak makam kedua orang tuanya. Wanita cantik itu berjongkok, mengusap lembut nisan bertuliskan nama yang selalu ia rindukan."Papa, Mama ... Aku nggak bahagia. Mas Naresh nggak hanya memiliki kekasih, tapi dia juga berhubungan jauh. Mata kepalaku melihatnya sendiri, mereka melakukan hubungan terlarang itu, dan aku ... Aku sakit banget," lirihnya di sela-sela isak tangis.Clara menaburkan bunga yang sebelumnya ia beli, tidak lupa wanita cantik itu juga membersihkan beberapa dedaunan kering di atas makam kedua orang tuanya."Apa aku bisa meluluhkan hati Mas Naresh, Pah, Mah? Namun, kenapa rasanya sakit sekali? Aku hampir menyerah jika tidak mengingat ini amanat dari kalian."Jemarinya lentiknya menghapus titik air mata yang luruh begitu saja. Beginilah ia, hanya mampu menangis dan terus menangis karena batinnya yang terus terkoyak. Clara tidak memiliki sahabat, Naresh yang di harapkan bisa menjadi tempat tumpuannya ma
Bella yang sudah hampir pingsan dengan susah payah bersandar di luar pagar kediaman Naresh, tangannya mengulur mengambil ponselnya, jemarinya menggulir layar mencari nomor Sean dan lekas meneleponnya."Halo, Bell.""To-Tolong," lirihnya."Bella! Kamu kenapa?! Sekarang kamu di mana?" cecar Sean di seberang telepon."Rumah Naresh, jemput aku.""Iya, lima menit lagi aku sampai di sana."TUT!Sambungan telepon terputus. Bella memilih memejamkan mata sambil menunggu Sean, untung jalanan di sini sepi. Jika tidak, pasti wanita itu akan sangat malu keluar dalam keadaan hancur seperti ini.Lima menit kemudian, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan wanita cantik itu, Sean turun dengan tergesa dan langsung membopong tubuh Bella memasuki mobil. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tujuannya kini adalah rumah sakit.***Menit berlalu...Bella sudah mendapatkan penanganan dari Doktor. Namun, wanita itu masih tampak lemah dengan wajahnya yang memucat."Sekarang kamu ceritakan,
Beberapa saat yang lalu Bella sempat menghubungi Naresh dan menceritakan kondisinya yang mengenaskan. Wanita itu tentu saja menceritakannya dengan penuh emosional dan berlebihan.Wanita itu meminta Naresh untuk datang menemuinya, dan kini Naresh sudah berada di ruang rawat kekasih gelapnya itu. Setelah beberapa saat lalu Sean berpamitan pulang.Naresh menggenggam erat tangan Bella, lelaki itu menguatkan kekasihnya. Padahal beberapa saat lalu ia menghancurkan hati istrinya, sekarang ia malah menemani kekasih gelapnya."Mau makan sesuatu, Bell? Kebetulan aku lagi lapar.""Kamu tadi ke sini belum makan, Mas?""Belum," jawab Naresh, singkat."Kasihan benget, sih? Kamu nggak di masakin, ya, sama istri kamu itu?"Naresh hanya menimpalinya dengan senyuman tipis."Ya sudah kamu pesan makanan saja, aku ikut saja kamu pesan apa," lanjut Bella.Naresh mengangguk, selanjutnya lelaki itu mengambil ponselnya dan lantas memesan beberapa makanan. Tidak perlu menunggu lama, akhirnya makanan itu sampai