"Sana! Jangan deket-deket aku. Pinter banget ambil kesempatan."
"Iya, Mas. Galak banget.""Aku dengar, Clara!"Clara tidak menimpali, ia memilih merebahkan tubuh mungilnya ke atas sofa. Suaminya ini benar-benar tidak berperikemanusiaan, seharusnya ia lah yang tidur di kasur. Namun ingin protes pun dirinya sudah malas.***Pagi hari."Kamu yang masak semua ini, Sayang?" tanya Anne yang baru saja keluar dari kamarnya."Eh, Mama ... Iya, Mah. Aku memang suka masak,"Anne mengulas senyum, "memang nggak salah Mama milih kamu. Naresh mana? Kok belum turun buat sarapan?""Sebentar, Mah, aku panggil dulu,"Anne mengangguk dan Clara bergegas naik ke lantai atas. Padahal tadi dia sudah membangunkan suaminya itu, apa mungkin dia tidur lagi? Pikirnya.Benar saja! Naresh masih betah memeluk guling dengan kelopak matanya yang terpejam. Gegas Clara menepuk-nepuk bahu kekar itu berharap supaya sang suami terbangun."Mama sudah nunggu buat sarapan, Mas.""Eugh...""Mas, bangun dulu..," tanpa aba-aba Naresh langsung menarik Clara, hingga tubuh mungil itu jatuh ke atas dada bidangnya. Namun lelaki itu malah merapatkan pelukannya."Mas ... A-Aku nggak bisa napas."Dengan perlahan Naresh membuka matanya, sekejap kemudian ia langsung melotot saat menyadari dirinya tengah memeluk Clara."Dasar cewek murahan! Pinter banget, ya, ngambil kesempatan waktu aku tidur!"Clara tertegun. Apakah suaminya sudah tidak waras hingga lupa kejadian barusan. Oh, andai saja di sini ada CCTV pasti Clara sudah melemparkannya pada wajah datar suaminya."Kamu ngapain di atas tubuhku! Aku sudah bilang nggak akan nyentuh kamu, Clara! Dan sekarang kamu malah mau perkosa aku?!"Wanita cantik itu memejamkan matanya saat Naresh lagi-lagi membentaknya."JAWAB! Kamu mau apa, hah?! Kamu mau apa tiduran di atas tubuhku!""Diam, Mas! Diam!" napas Clara naik turun, "kamu lupa?! kamu yang sudah narik aku barusan. Aku bangunin kamu karena Mama sudah nunggu kita sarapan. Sekarang kamu malah nuduh aku?!"Naresh tidak bergeming. Ia terpaku saat melihat air mata yang menggenang di pelupuk netra istrinya. Dirinya baru teringat beberapa jam lalu Clara memintanya bangun, tapi dia malah tidur lagi."Kamu mau turun atau nggak terserah, Mas. Tapi jangan bentak aku waktu Mama ada di sini, bukannya kamu sendiri yang bilang jangan sampai Mama tahu? Beruntung kamar ini ada alat kedap suaranya," lirihnya.Hening! Naresh masih betah mengatup rapat mulutnya. Namun pandangannya tetap terpaku di netra indah istrinya."Aku turun dulu, Mas." Clara mengusap kasar air matanya dan lantas turun untuk menemani mertuanya sarapan.Mood paginya sangat hancur. Apalagi saat melihat sikap Naresh yang hanya diam tanpa merasa berdosa.Selang beberapa menit kemudian Naresh menyusul turun untuk sarapan. Clara tetap melayani suaminya dengan baik, wanita itu memaksakan senyumnya yang sebenernya sangat perih. Ini semua demi Mama mertuanya.***Seperti yang telah di rencana kemarin, hari ini Clara mulai masuk kantor di temani oleh Anne. Anne membawa menantunya itu ke ruang utama, yang juga termasuk ruangan Naresh."Nah, nanti kamu akan di sini, Cla, membantu Naresh memegang perusahaannya.""Iya, Mah.""Nanti ada Lala yang akan bantu kamu, dia yang akan menjadi asisten kamu di sini."Clara mengangguk, "iya, Mah.""Ya sudah, Mama tinggal dulu kalau begitu. Kalau ada apa-apa kamu panggil saja Lala.""Hati-hati, ya, Mah."Anne mengangguk dan lantas membalikkan badannya untuk keluar ruangan. Sementara Clara langsung mendudukkan dirinya di sofa kebesaran milik Naresh. Wanita itu nampak telaten membaca setiap berkas yang sudah di siapkan sebelumnya oleh Lala. Dia memang sudah belajar untuk hal ini sebelum menikah, dan sekarang hanya tinggal mematangkannya saja.Beberapa menit kemudian, Clara tersentak saat melihat pintu di buka. Ia berpikir itu suaminya, tapi ternyata Bella yang berdiri di sana."Kamu ngapain di sini?" tanya Bella."Aku yang seharusnya tanya kamu mau apa ke sini? Kenapa nggak ketuk pintu dulu?""Aku? Aku ya cari kekasihku, lah. Emangnya kamu yang hanya jadi istri tapi nggak di anggap," jawab Bella, angkuh."Mas Naresh nggak ada di sini.""Aku akan tunggu dia di sini saja. Aku sudah biasa kok kalau Naresh kerja, terus aku tungguin dia di sofa.""Nggak bisa! Selama nggak ada Mas Nareh, berarti aku yang bikin peraturan di sini. Dan aku nggak mengizinkan kamu masuk, Bella. Jadi, silakan keluar sekarang juga!"Bella menatap geram pada Clara yang begitu berani padanya. Padahal dia yang lebih lama menginjakkan kakinya di ruangan ini dan menemani Naresh. Baginya Clara adalah orang baru yang datang sebagai pengganggu.Ceklek! Pintu terbuka."Loh, Bella. Kamu di sini?" ucap Naresh."Iya, Sayang. Aku mau temenin kamu, tapi nggak tahunya malah dia yang ada di sini."Naresh melirik ke arah Clara yang langsung mengalihkan pandangan saat Bella mengecup singkat pipinya. Dia menduga pasti istrinya itu cemburu."Mau keluar saja?" tawarnya pada Bella."Yeah, mungkin akan lebih baik dari pada kita bermesraan di sini, dan Clara akan cemburu." Bella tertawa lirih.Tawa yang semakin membuat Clara merasa jijik. Wanita itu memilih kembali ke kursinya dan menghiraukan dua manusia yang menurutnya sama-sama tidak punya rasa malu itu."Cla, kamu bisa pegang semuanya 'kan?""Bisa," jawabnya singkat."Bagus. Aku mau keluar dulu sama Bella, mungkin akan lama karena kita juga akan mampir ke markas komunitas.""Iya, Mas."Naresh mengangguk, selanjutnya lelaki itu menggandeng tangan kekasihnya untuk keluar. Membiarkan Clara seorang diri di sana mengerjakan dokumen yang sebenernya bukan pekerjaannnya.Benar-benar tidak bertanggung jawab! Entah apa yang di katakan Anne jika ia tahu putranya memperlakukan menantunya seperti ini, yang dengan sengaja Naresh melemparkan pekerjaannya.***Kini, tidak terasa hari sudah mulai petang. Clara sudah berdiri di depan lobby sedari tadi menunggu jemputan, namun supir belum juga datang menjemputnya. Wanita cantik itu mulai gelisah. Ah, kalau tahu begini tadi dia pergi naik mobil sendiri saja.Hingga tiba-tiba dari arah belakang ada yang menepuk bahunya. Clara tak ayal tersentak, ia menoleh setelahnya, dan mendapati Kenzie berdiri di sana."Kamu bikin kaget saja, Ken."Kenzie tak ayal tergelak, "maaf, Cla. Aku juga kaget lihat kamu masih ada di sini, kamu lagi ngapain? Ini aku baru aja serahin berkas ke Manager.""Aku nungguin supir, tapi lama banget. Tadi pagi aku berangkat sama Mama.""Mau aku antar pulang? Sekalian gitu, kita 'kan searah.""Eum..."Clara bingung. Ia takut nanti Naresh akan marah dan menghajar Kenzie lagi, tapi langit juga nampaknya semakin mendung. Dirinya lebih takut jika terjebak hujan."Gimana?""Nggak usah, aku pesen taksi aja.""Kenapa? Takut Naresh marah? Gampang kalau itu, dia nggak akan berani kalau ada Tante Anne. Ayo aku antar sekarang, langitnya udah mau hujan."Akhirnya Clara menurut, sebenernya hatinya masih bimbang. Selain takut Naresh akan marah, ia juga khawatir Mama mertuanya salah paham kalau dia pulang bersama lelaki lain. Namun apa boleh buat?Clara sudah membuka pintu mobil dan bersiap masuk, namun tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti begitu saja tepat di depan mobil milik Kenzie. Wanita itu memicing, sepersekian detik kemudian matanya melotot saat menyadari bahwa sosok di balik kemudi itu adalah Naresh.Blurp!Naresh keluar dengan tampang garangnya. Matanya mengkilat ngeri menatap tajam pada Kenzie. Langkahnya semakin cepat, hingga sebuah bogeman mentah di hadiahkan olehnya pada wajah tampan Kenzie.Bugh!Bugh!"NARESH!" pekik Clara."Udah gue bilang jangan pernah deketin Clara! Dia itu istri gue! Apa lo emang laki-laki pecinta istri orang, hah?!""Naresh! Cukup, Naresh!" teriak Clara yang tidak di hiraukan oleh suaminya.Laki-laki itu hanya menatap datar pada wajah istrinya yang juga menatapnya nanar. Gegas ia melepaskan Kenzie dan meninggalkannya begitu saja, tanpa memperdulikan hidung sepupunya yang sudah berdarah."Mas, kamu...""DIAM!" sentaknya, "diam dan masuk mobil sekarang juga! Jangan jadi pembangkang, Clara!""Tapi Kenzie luka parah, Mas!""AKU BILANG DIAM, CLARA!"Wanita cantik itu sontak mengatup rapat bibir tipisnya, ia langsung masuk mobil setelah Naresh membukakan pintu untuknya."Lihat bagaimana nanti aku hukum kamu di rumah karana kamu masih berani dekat lelaki lain, Clara!"Deg!Naresh menyetir dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan wajah pucat istrinya. Clara mempunyai trauma dari kecelakaan yang menimpa orang tuannya, sehingga ia takut kebut-kebutan. Jantungnya berderu kencang seiring dengan suaminya yang terus menambah kecepatan lajunya."M-Mas, tolong. Aku nggak bisa kebut-kebutan, aku takut," lirih Clara."Takut? Kamu bilang takut? Kamu lebih takut ini dari pada berduaan dengan lelaki lain?!""Kenzie cuma mau nganterin aku aja, Mas. Tadi hampir hujan dan aku nggak bawa mobil.""BODOH!" makinya, "bilang aja kamu sudah janjian dengan Kenzie!"Clara hanya menggeleng lirih. Sungguh! Demi apapun dirinya sudah tidak mampu menimpali lagi, lambungnya terasa bergejolak. Bahkan ia hampir saja mutah.Kilas bayang kecelakaan orang tuanya kembali memutar, itu semakin membuat Clara pusing. Keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya. Namun suaminya tetap tidak peduli.Darah!Teriakan!Tangisan pilu!Kembali hadir di memori wanita cantik itu. Tidak tahu kah Naresh
Lelaki dengan tubuh kekar dan kulit putih itu dengan gagahnya mengukung tubuh polos Bella. Lelaki yang tak lain bernama Sean Emmanuel, salah satu musuh terbesar dari Mahendra Group.Sean sudah lama menjalin hubungan gelap dengan Bella di balik Naresh. Keduanya menjadikan Naresh bahan tertawaan saat lelaki itu begitu mudahnya di bohongi. "Aaahh..," entah sudah ke berapa kali Bella meloloskan desahannya. Wanita itu menatap wajah Sean penuh damba. Wajah penuh peluh itu menurutnya sangatlah tampan. Dia sudah berulang kali melakukan ini dengan lelaki itu, apalagi saat Naresh tidak bisa menemaninya.Benar-benar wanita yang licik!"Le-lebih cepat lagi, Sean," pintanya parau."Yeah, Baby. Aaahh kenapa kau bisa senikmat ini?""Aku memang sering yoga, Sean. Jangan banyak bertanya, lebih baik kau percepat lagi hujamanmu."Sean tidak menjawab. Laki-laki itu terus menambah ritme gerakan pinggulnya. Hingga keduanya sama-sama mengerang dengan ekspresi wajah yang penuh nikmat. Mereka berdua merengg
"Jangan keluar-keluar, kalau ada perlu apa-apa bilang saja sama Bibi," titah Naresh, saat ini ia dan Clara sudah sampai rumah."Iya, Mas.""Aku mau ke kantor, sekalian nanti mau ketemu sama klien. Kamu masih pusing apa nggak?""Pusing sedikit tapi nggak papa, Mas.""Bagus. Kalau gitu aku tenang ninggalin kamu ke kantor."Clara menatap tersenyum pada suaminya yang berjalan keluar kamar. Tidak ada salam ataupun ciuman hangat seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan wajah Naresh masih saja datar.Clara hanya bisa pasrah, gadis itu akhirnya memilih memejamkan mata. Berharap siang nanti kondisinya bisa lebih baik, karena rencananya ia akan memasak dan mengantarkan makan siang untuk Naresh.***Mahendra Company.Di sisi lain, Naresh tengah berada di dalam ruangannya bersama Bella. Dengan posisi Bella yang berada di atas pangkuan lelaki itu, wanita itu bergelayut manja di leher kekasih gelapnya. Sambil sesekali ia menciumi wajah lelaki itu."Kau sudah tidak marah?""Aku memang sedar
Clara melangkahkan kaki dengan gontai, netranya memandang lurus pada petak makam kedua orang tuanya. Wanita cantik itu berjongkok, mengusap lembut nisan bertuliskan nama yang selalu ia rindukan."Papa, Mama ... Aku nggak bahagia. Mas Naresh nggak hanya memiliki kekasih, tapi dia juga berhubungan jauh. Mata kepalaku melihatnya sendiri, mereka melakukan hubungan terlarang itu, dan aku ... Aku sakit banget," lirihnya di sela-sela isak tangis.Clara menaburkan bunga yang sebelumnya ia beli, tidak lupa wanita cantik itu juga membersihkan beberapa dedaunan kering di atas makam kedua orang tuanya."Apa aku bisa meluluhkan hati Mas Naresh, Pah, Mah? Namun, kenapa rasanya sakit sekali? Aku hampir menyerah jika tidak mengingat ini amanat dari kalian."Jemarinya lentiknya menghapus titik air mata yang luruh begitu saja. Beginilah ia, hanya mampu menangis dan terus menangis karena batinnya yang terus terkoyak. Clara tidak memiliki sahabat, Naresh yang di harapkan bisa menjadi tempat tumpuannya ma
Bella yang sudah hampir pingsan dengan susah payah bersandar di luar pagar kediaman Naresh, tangannya mengulur mengambil ponselnya, jemarinya menggulir layar mencari nomor Sean dan lekas meneleponnya."Halo, Bell.""To-Tolong," lirihnya."Bella! Kamu kenapa?! Sekarang kamu di mana?" cecar Sean di seberang telepon."Rumah Naresh, jemput aku.""Iya, lima menit lagi aku sampai di sana."TUT!Sambungan telepon terputus. Bella memilih memejamkan mata sambil menunggu Sean, untung jalanan di sini sepi. Jika tidak, pasti wanita itu akan sangat malu keluar dalam keadaan hancur seperti ini.Lima menit kemudian, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan wanita cantik itu, Sean turun dengan tergesa dan langsung membopong tubuh Bella memasuki mobil. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tujuannya kini adalah rumah sakit.***Menit berlalu...Bella sudah mendapatkan penanganan dari Doktor. Namun, wanita itu masih tampak lemah dengan wajahnya yang memucat."Sekarang kamu ceritakan,
Beberapa saat yang lalu Bella sempat menghubungi Naresh dan menceritakan kondisinya yang mengenaskan. Wanita itu tentu saja menceritakannya dengan penuh emosional dan berlebihan.Wanita itu meminta Naresh untuk datang menemuinya, dan kini Naresh sudah berada di ruang rawat kekasih gelapnya itu. Setelah beberapa saat lalu Sean berpamitan pulang.Naresh menggenggam erat tangan Bella, lelaki itu menguatkan kekasihnya. Padahal beberapa saat lalu ia menghancurkan hati istrinya, sekarang ia malah menemani kekasih gelapnya."Mau makan sesuatu, Bell? Kebetulan aku lagi lapar.""Kamu tadi ke sini belum makan, Mas?""Belum," jawab Naresh, singkat."Kasihan benget, sih? Kamu nggak di masakin, ya, sama istri kamu itu?"Naresh hanya menimpalinya dengan senyuman tipis."Ya sudah kamu pesan makanan saja, aku ikut saja kamu pesan apa," lanjut Bella.Naresh mengangguk, selanjutnya lelaki itu mengambil ponselnya dan lantas memesan beberapa makanan. Tidak perlu menunggu lama, akhirnya makanan itu sampai
Clara tengah mondar-mandir di dalam ruang kerjanya dengan raut wajah cemas, beberapa saat lagi adalah meeting dengan klien penting dari Inggris. Bukan karena tidak bisa bahasa Inggris masalahnya, namun wanita cantik itu takut klien tersebut akan merasa tidak puas dengan pemaparannya.Ceklek! Pintu terbuka.Kenzie berdiri di tengah pintu dengan setelan rapi, lelaki tampan itu menatap lurus pada Clara dengan senyum yang tersemat manis di bibirnya."Ayo, Cla. Sepuluh menit lagi mereka akan sampai, dan kita harus sudah siap di ruangan," ucapnya lembut."Mas Naresh belum kembali, aku telepon juga nggak di angkat, Ken. Aku takut mereka kurang puas, terus nanti siapa yang jelasin materinya?!" tanyanya gelisah."Kamu. Kamu yang bakalan jelasin ke mereka, karena kamu istrinya Naresh."Ucapan Kenzie semakin membuat Clara menganga. Dirinya? Yang benar saja?! "Jangan ngawur, Ken!""Sudah nggak usah berdebat. Kamu sudah baca materinya 'kan? Sudah biasa presentasi 'kan? Anggap saja nanti kayak pre
"Bu, ponsel Ibu dari tadi bunyi terus. Kayaknya ada telepon, Bu," lirih Lala yang takut Bosnya terganggu."Coba kamu lihat, La. Kalau yang telepon Pak Naresh jangan di angkat, aku masih capek."Lala menganggukkan kepala, ia lantas merogoh tas dan mengambil ponsel milik Clara. Gadis cantik itu menahan napas sejenak sebelum membuka mulut."Bu, ini dari Pak Kenzie."Clara lantas membuka mata. Ia batu sadar kalau suaminya pasti sedang sibuk dengan Bella, mana mungkin Naresh akan menghubunginya? Wanita cantik itu meraih ponsel yang di sodorkan Lala, ibu jarinya menggeser tombol hijau, lalu mendekatkan ponselnya ke telinga."Halo, Ken. Ada apa?""Kamu lagi di mana, Cla? Aku tadi masih angkat telepon, maaf kalau nggak ngomong dulu," ujar Kenzie di seberang telepon."Nggak papa, Ken. Aku sama Lala udah balik, ada barangku tadi yang ketinggalan. Maaf nggak kasih tahu kamu dulu, ya.""Loh, pulang? Ya sudah nggak papa. Aku kira kamu masih keliling di sini, Cla. Ya sudah kalau begitu aku tutup du