Di sisi lain, Bella tengah berada di dalam mobil dengan Sean. Wanita itu memang meminta kekasihnya untuk menjemputnya di markas komunitas, dan seperti biasa Bella akan mengajak Sean ke apartemen miliknya."Aku mau mampir ke supermarket dulu, Sean. Nanti kita berhenti di depan sana, ya.""Iya, Sayang."Sekitar seratus meter kemudian, mobil tersebut berhenti. Bella lantas turun setelah Sean membukakan pintu untuknya. Keduanya lantas melangkah bersama dengan bergandengan tangan.Brakkk!Karena tidak fokus, Sean menyenggol seseorang yang mengakibatkan barang belanjaan orang itu jatuh berantakan. Lelaki itu tak ayal merasa tidak enak hati dan langsung membantu."Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja," ujar Sean."Tidak papa, Pak. Saya juga tidak terlalu melihatnya tadi," jawab seseorang tersebut sambil melemparkan senyum tulusnya ke arah Sean.Lelaki itu juga mengalihkan pandangannya kepada Bella, tak ayal keningnya mengerut dengan bibirnya yang sedikit menganga kaget."Bella?" lirihnya."
Berbeda dengan Naresh yang tengah memuaskan ereksinya dengan bermain solo, Clara masih mematung di ruang kerja sang suami. Netranya menatap pada layar komputer yang masih menyala, akhirnya wanita cantik itu memutuskan merampungkan sisa pekerjaan yang belum selesai."Huh ... Heran banget sama Mas Naresh, dikit-dikit baik, dikit-dikit marah. Apa dia punya kepribadian ganda, ya? Ah, mana nyebelin banget nggak umum," gerutu Clara.Wanita cantik itu beberapa kali menghela napas berat. Netranya masih fokus mengecek data di komputer, untung dia belum mengantuk karena sore tadi tidur agak lama."Sebenarnya aku juga takut kalau Mas Naresh marah, aku takut nggak bisa jalanin amanat Papa dan Mama untuk selalu bikin hati suami merasa senang. Namun, kalau suaminya macam Mas Naresh ... Dosa apa nggak, ya, kalau aku membangkang?" gumamnya lagi.Setiap malam pikirannya memang negatif karena memikirkan biduk rumah tangganya yang hampir hancur di depan mata. Perceraian itu jelas akan suaminya layangkan
Clara tengah mampir ke sebuah restoran bergaya Italia yang cukup terkenal di kota ini, wanita itu memesan Panna Cotta kesukaan suaminya. Yeah, kali ini dirinya tidak sempat memasak untuk Naresh. Kendati demikian, ia tetap ingin mengirim makan siang untuk suaminya. Mengingat hari ini cuaca sangat panas, Clara merasa suaminya itu akan suka kalau ia membawa Panna Cotta yang nikmat. Wanita cantik itu membeli cukup banyak, karena ia juga akan membagikannya kepada Lala.Setelah selesai, gegas ia menyuruh supir untuk melajukan lagi mobilnya menuju gedung Mahendra Company. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil mewah tersebut sudah sampai. Clara bergegas turun dan memasuki gedung pencakar langit tersebut. Wanita cantik itu berjalan menuju lift dengan senyum yang merekah membayangkan suaminya akan suka dengan apa yang ia bawa.Ting! Pintu lift terbuka."Selamat siang, Lala," sapanya pada asisten pribadinya yang nampak serius menatap layar komputer.Lala sontak bangkit dari duduknya guna menya
Apartemen Bella.Wanita itu terduduk di depan kaca dengan penampilan berantakan. Rambutnya acak-acakan, riasannya juga tidak karuan, dan ada bekas air mata yang sudah mengering di pipinya.Ia tidak hanya menahan sakit karena Clara menyeretnya keluar, wanita itu juga sakit hati dengan sifat Naresh yang hanya diam saja tanpa membantunya. Benar-benar wanita tidak tahu diri! Bisa-bisanya ia mengharapkan Naresh akan melindunginya dari amukan istri sah.Ceklek! Pintu terbuka."Bell," sapa Sean yang baru saja datang."Kamu dari mana saja, Sean?! Aku sudah menelepon dari tadi tapi kamu nggak kunjung datang.""Maaf, Bell. Aku tadi ada banyak pekerjaan," jawabnya.Sean berjalan mendekati Bella, lelaki itu mengecup singkat pipi kekasihnya. Tangannya juga mengelus lembut rambut wanita itu yang masih berantakan. "Kepalamu masih pusing?"Bella mengangguk."Kenapa nggak tidur saja? Kok malah duduk di depan kaca, Sayang?""Aku ingin mengingat betapa berantakannya aku, Sean. Suatu saat aku akan buat
Clara terduduk di ranjang dengan tangan memegang album foto pernikahannya dengan Naresh. Netranya berembun, ternyata suaminya tidak sama sekali menampilkan senyumnya saat itu. Kenapa saat itu dia tidak menyadari?Beberapa kali Clara menghela napas, dirinya memang tidak terlalu peka. Mungkin saja jika sebelum menikah mereka menjalin pendekatan, rasanya tidak akan sesulit ini. Tugasnya bukan hanya membuat Naresh jatuh cinta, tetapi memikirkan bagaimana caranya agar suami tampannya itu bisa terlepas dari Bella."Aku tanya siapa, ya, kalau masalah ini? Nggak mungkin aku akan tanya mama. Kalau aku cari tahu sendiri, kayaknya bakal butuh waktu lama." gumamnya bingung.Pikirannya terus bergelut, hingga nama Kenzie melintas di pikirannya. Apa Clara harus menemuinya untuk menanyakan ini? Namun siapa lagi kalau bukan Kenzie. Akhirnya Clara turun setelah menyambar ponselnya, wanita cantik itu akan menemui Kenzie di kantor. Tidak mungkin dia akan mengajak bertemu di luar rumah, ia takut kalau sua
"Ternyata tubuhmu mulus juga, Cla. Nggak rugi aku nikahin kamu," ucap Naresh dengan seringai senyum yang menyeramkan.Clara berusaha menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan. Matanya sudah berembun, titik airnya hampir jatuh dan menangis melihat sisi lain suaminya."Sudah ada berapa laki-laki yang menjamahnya, Cla?!""Jaga bicaramu, Mas! Dan jangan lupakan kata-katamu dulu, kamu nggak akan nyentuh aku!"Lelaki itu malah tergelak-gelak. Tangannya meraih sisi rok yang di kenakan Clara dan menyobeknya paksa. Hingga paha mulus wanita cantik itu terpampang jelas di depan mata Naresh. Telapak tangannya mengelus lembut di sana, dengan pandangan tajam yang masih menatap lurus pada iris coklat istrinya. "Aku punya hak untuk mencabut atau tetep membiarkan keputusanku, Cla! Kamu nggak ada hak buat mengaturnya!""MAS!""Jangan berteriak atau aku akan benar-benar melakukannya, Cla!"Clara menganga, yang benar saja Naresh melarangnya berteriak? Tangan lelaki itu sudah hampir menjangkau pa
Clara masih memejamkan matanya di bawah guyuran air. Air matanya yang bercampur itu pilu luruh membentuk genangan di bawah kakinya. Semua dukanya ia luapkan, bersama sesak yang kian meradang karena bayangan Naresh melecehkannya begitu jelas tergambar.Tangannya menggosok paksa area yang di jamah suaminya, meninggalkan bercak merah yang terasa perih saat terkena tetesan air. Wanita cantik itu tidak peduli dengan luka merah di kulit putihnya, ini tidak lebih sakit dari apa yang barusan ia terima.Sekitar satu jam akhirnya Clara menyudahi aktivitasnya, ia merasakan tubuhnya dingin dan agak menggigil. Dirinya keluar dari ruangan itu dan lantas meninggalkan kantor, tujuannya saat ini adalah rumah. Ia ingin membaringkan tubuhnya di kamar.***Sore hari."Bi, aku mau keluar dulu. Mungkin pulang larut malam, Bibi masak buat Clara saja.""Baik, Mas Naresh. Oh, iya ... Non Clara belum turun dari tadi siang."Naresh mendongakkan kepala melihat pada arah tangga, lelaki itu mengembuskan napas gusa
Pagi hari.Semalam Naresh sempat mampir ke sebuah club untuk menghilangkan stresnya. Entah kenapa di dalam otaknya penuh dengan bayangan akan rasa bersalah kepada Clara. Lelaki itu sekuat mungkin mengelak, namun bayangan itu malah semakin jelas.Hingga dini hari, Naresh baru pulang ke rumahnya. Ia menatap pada tangga, dan lampu di lantai sudah mati seluruhnya. Akhirnya dia memilih masuk kamar dan akan berbicara dengan Clara besok.Namun, bahkan sampai pagi ini istrinya itu tidak juga turun untuk sarapan. Naresh sebenarnya ingin naik, tapi ia ragu."Bi, coba panggil Clara. Suruh dia turun buat sarapan. Nggak mungkin 'kan jam segini dia masih tidur?""Sebenarnya dari semalam Non Clara belum mengisi perutnya, Mas Naresh. Bibi sudah ketuk-ketuk pintu bolak-balik tapi nggak di respon. Bibi juga taruh makanannya di meja dekat pintu, tapi sampai tadi padi makanan itu masih utuh. Bibi panggil-panggil juga nggak di sahut sama Non Clara," jelas Bibi.Sontak saja Naresh menegang kaku. Tanpa menj
Paris, Prancis."Aku tidak bisa menunggu lagi, Ray. Aku harus pulang!""Kondisimu sudah stabil?""Bahkan aku sudah merasa sehat dari satu minggu yang lalu."Seorang lelaki berbadan besar itu tak ayal terkekeh mendengar jawaban sahabatnya tersebut. Akhirnya ia memutuskan mengantarkan sahabatnya ke Bandara pagi ini."Jangan lupa hubungi aku kalau kau sudah sampai, Naresh," ucapnya."Aku akan langsung menghubungimu. Terima kasih atas bantuannya," jawab Naresh seraya memeluk erat tubuh besar Raymond.Yeah! Setelah kejadian kebakaran itu Naresh mengalami luka bakar lumayan parah dan juga benturan yang membuatnya tidak sadarkan diri. Sedangkan Raymond juga mengalami luka bakar, tetapi masih tergolong ringan. Itulah yang membuat Raymond berinisiatif membawa sahabatnya ke Prancis.Naresh mengalami koma selama satu Minggu, lelaki tampan itu meraih kesadarannya pada Minggu kedua, dan itu bertepatan saat Clara meninggalkan Italia. Makanya Raymond masih menahan sahabatnya.Namun, Raymond tetap me
Clara menuju ruang meeting bersama dengan Anne, kedua wanita berbeda usia itu sepakat untuk melantik petinggi perusahaan yang baru. Sebenarnya ini adalah tugas Naresh, tetapi lagi-lagi Clara yang harus melakukannya.Beberapa kali wanita cantik itu tampak menghela napas. Bohong kalau ia tidak rapuh. Justru saat ini hatinya sudah hancur berkeping-keping, dan kepingannya pula yang menusuknya hingga berdarah-darah."Kamu baik-baik saja, Cla?" tanya Kenzie yang turut hadir dalam rapat ini."Iya," jawab Clara, singkat."Kalau dulu, mungkin aku akan mengatakan kamu harus mengikhlaskan Naresh dan mulailah menata hidup baru denganku. Namun, sekarang ... aku ingin mengatakan kamu harus kuat. Jika kamu percaya Naresh akan kembali, maka tidak ada yang mustahil. Semesta pasti mendengar doamu, Cla. Dan setiap doa pasti dikabulkan. Jika bukan sekarang, berarti nanti."Clara mengulas senyum tipis. Lelaki yang sempat membuatnya trauma ini sudah berubah menjadi lebih baik. Bahkan beberapa minggu lalu K
Clara menyembunyikan alat tes kehamilannya di dalam tas, kemudian ia lekas keluar kamar guna mencari Hilda. Beruntung pengawalnya itu masih duduk di ruang tamu. "Hilda ...."Wanita itu terperanjat saat melihat Nona-nya sedang berlari menuruni tangga. "Hati-hati, Nona!" ucapnya dan langsung menghampiri Clara."Kenapa wajahmu?" tanya Clara."Saya khawatir kalau Nona jatuh.""Ah, kamu ini. Sudah, ayo antarkan aku ke rumah sakit."Hilda membelalakkan mata."Nona sakit?!" tanyanya dengan nada serius."Ish! Apaan, sih?! Sudahlah nggak usah banyak tanya. Lebih baik kamu cepat siapkan mobil, mumpung Mama lagi tidur.""Baik, Nona," sahutnya dan lantas berlari menuju parkiran.Clara yang melihatnya tak ayal tersenyum, meskipun hanya senyuman tipis. Karena wanita cantik tentu juga memikirkan kondisi janinnya. Kasihan kalau ikut stres.•Beberapa menit kemudian, Clara sudah sampai di rumah sakit. Ia langsung menuju Dokter Kandungan tanpa ditemani oleh Hilda. Sengaja, karena wanita cantik itu be
Keadaan berubah gaduh saat beberapa Polisi kembali masuk ke dalam restoran, sementara Clara sudah tidak sadarkan diri. Namun, Hilda dengan sigap memberitahukan kepada teman-temannya untuk segera mencari jawaban atas cincin itu.Clara membuka mata dan mendapati bahwa dirinya sedang terbaring di kamar hotel. Perlahan wanita cantik itu berusaha menegakkan tubuhnya, sesekali netranya menelisik ke sekeliling."Hilda ...!"Hening! Sama sekali tidak ada jawaban."Hilda ...!" Clara kembali berteriak lebih lantang.Sekejap kemudian pengawal wanitanya itu masuk kamar dengan napas terengah-engah dan langsung menuju ke dekatnya."Ada apa, Nona? Ada sesuatu yang Anda butuhkan?""Bagaimana pencariannya? Apa ada titik terang?!" tanyanya dengan raut penuh harap."Maaf, Nona. Mereka mengatakan belum mendapatkan apa-apa," jawabnya dengan kepala menunduk."Apa?! Dari tadi masih belum mendapatkan apa-apa?! Sebenarnya kalian bisa bekerja tidak?!"Hilda semakin dalam menundukkan kepalanya. Sementara Clara
Clara terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing, bola mata coklatnya mengedar ke sekeliling, dan hanya menemukan Hilda yang duduk di samping ranjangnya. Wanita cantik itu menekan sisi pelipis dengan sebelah tangan, sekejap kemudian tangisnya kembali meledak saat teringat Naresh."Nona, apa ada yang sakit? Sebentar, saya akan panggilkan Dokter.""Aku mau suamiku, Hilda."Deg!Hilda yang tadinya hendak beranjak, langsung mendudukkan dirinya di kursi, tangannya menggenggam erat lengan Clara."Para bodyguard dan kepolisian sudah mencari Tuan Naresh dan Tuan Raymond, tapi kebanyakan korban tidak dikenali, Nona. Saat ini mereka sedang menunggu hasil DNA, dan semoga saja Tuan Naresh tidak termasuk salah satu korban. Semoga Tuan Naresh selamat," ucap Hilda berusaha menenangkan."Tapi kemana perginya suamiku kalau dia masih selamat, Hilda?!""Nona, besok kita akan mencari tahu. Ini masih gelap, dan mereka berjanji subuh nanti hasil DNA korban sudah keluar. Jika tidak ada yang cocok den
Matahari tepat berada di atas kepala, Clara melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan jarumnya menunjukkan pukul setengah dua belas. Pesawat yang ia dan Naresh tumpangi baru saja mendarat di Bandara.Naresh dan Clara langsung menuju mobil yang menjemputnya, keduanya langsung dibawa ke sebuah hotel yang terletak di kawasan ellite pusat kota. Hotel bintang lima ini berdiri menjulang di tengah-tengah hiruk pikuk dan gemerlapnya Ibu kota Italia.Yeah! Negara itu menjadi tujuan bulan madu mereka. Clara sudah membayangkan akan mengunjungi banyak tempat wisata dan tempat bersejarah. Ia juga ingin mencoba banyak restoran pasta bersama suaminya."Mau istirahat sekarang?" tanya Naresh.Clara menggeleng. Ia lantas menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk berwarna putih itu dan memejamkan matanya sejenak."Aku nggak capek, kok, Mas. Lagian aku tadi udah tidur di pesawat.""Yakin? Atau kamu mau bercinta?" Naresh langsung mengungkung tubuh mungil itu, hal itu tak ayal membuat Clara ter
Matahari sudah tenggelam sepenuhnya di ujung barat, Naresh dan Clara baru saja keluar dari kamar lantaran pelayan yang memanggilnya atas perintah Anne. Ternyata wanita paruh baya itu sudah bersiap di meja makan."Mama ternyata sudah menunggu kita, Mas," ucap Clara saat hendak menuruni tangga."Memang sudah jamnya makan malam 'kan? Wajar kalau Mama menunggu kita.""Ih! Dasar nggak peka. Aku tuh nggak enak sama Mama," ucap Clara dengan berbisik."Kenapa memangnya?""Harusnya kita duluan yang hadir di meja makan, bukan malah Mama yang menunggu. Ini semua gara-gara kamu!"Naresh menoleh dengan pandangan tidak terima. Bisa-bisanya dirinya malah disalahkan."Kok malah aku?""Iya, lah. Kamu dari tadi nahan aku buat keluar, dan akhirnya kita telat 'kan? Sudahlah, aku mau turun duluan."Naresh masih melongo melihat Clara yang meninggalkannya seorang diri di sini. Lelaki itu menatap punggung istrinya yang semakin jauh dengan pandangan penuh tanda tanya.Memangnya apa salahnya? Bukankah Clara ta
"Eugh ..."Clara melenguh sambil mengerjapkan kelopak matanya. Wanita cantik itu merasakan sesuatu yang berbeda pada area sensitifnya, sebuah sentuhan yang membuatnya sontak bergairah. Benar saja. Saat ia membuka lebar kelopak matanya, suami tampannya itu tengah bermain-main di puncak dadanya. Layaknya bayi yang kelaparan, lelaki tampan itu menyusu dengan begitu lahap."M-Mas ...""Kenapa, Cla?" tanya Naresh dengan masih terus menyusu di sana."Kamu nggak tidur?"Naresh menggeleng. Mulutnya masih penuh dengan buah kenyal itu, sementara tangan sebelahnya asyik memelintir buah stroberi ranum pada buah satunya."Aaaahh ...."Desahan itu tak dapat terelakkan. Clara sungguh menikmatinya, apalagi saat merasakan celana dalamnya lembab. Iris coklat itu menoleh ke arah meja, keningnya mengerut saat mendapati masih jam satu siang. Berarti dirinya hanya tidur tiga puluh menit."Mas, a-aku masih ngantuk," ujar Clara."Tidur saja, Cla. Kenapa malah bangan kalau masih ngantuk?""Aku mau pipis, mak
Clara meraup bibir merah alami milik Naresh. Menyesapnya dan sesekali memberikan gigitan manjanya di bibir kenyal itu. Naresh yang terhenyak tentu saja kelabakan, apalagi saat Clara memasukkan lidah hangatnya, dan menyapu seluruh rongga mulut lekaki itu."Aku juga mencintaimu, Mas. Sangat mencintaimu. Aaahh ... kita akan memulainya lagi. Yeah, kau dan aku. Kita akan memulai lagi dari awal," ucap Clara saat baru saja melapas pagutannya."I-Itu artinya?""Kita tidak akan bercerai, karena kita saling mencinta. Bukankah tugas dua orang yang saling mencintai adalah saling menjaga? Kita juga saling menyayangi 'kan, Mas? Itu artinya kita harus bersama-sama melewati badai ini. Kita juga akan membuat Naresh junior dan Clara junior lagi," ujar Clara dengan suara lirih.Naresh sontak tergelak mendengarnya, tidak terasa air matanya juga menetes. Seluruh beban yang menghimpit dadanya beberapa saat lalu telah terangkat. Semua ketakutan akan perpisahan yang menghantuinya beberapa saat lalu juga tela