"Ternyata tubuhmu mulus juga, Cla. Nggak rugi aku nikahin kamu," ucap Naresh dengan seringai senyum yang menyeramkan.Clara berusaha menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan. Matanya sudah berembun, titik airnya hampir jatuh dan menangis melihat sisi lain suaminya."Sudah ada berapa laki-laki yang menjamahnya, Cla?!""Jaga bicaramu, Mas! Dan jangan lupakan kata-katamu dulu, kamu nggak akan nyentuh aku!"Lelaki itu malah tergelak-gelak. Tangannya meraih sisi rok yang di kenakan Clara dan menyobeknya paksa. Hingga paha mulus wanita cantik itu terpampang jelas di depan mata Naresh. Telapak tangannya mengelus lembut di sana, dengan pandangan tajam yang masih menatap lurus pada iris coklat istrinya. "Aku punya hak untuk mencabut atau tetep membiarkan keputusanku, Cla! Kamu nggak ada hak buat mengaturnya!""MAS!""Jangan berteriak atau aku akan benar-benar melakukannya, Cla!"Clara menganga, yang benar saja Naresh melarangnya berteriak? Tangan lelaki itu sudah hampir menjangkau pa
Clara masih memejamkan matanya di bawah guyuran air. Air matanya yang bercampur itu pilu luruh membentuk genangan di bawah kakinya. Semua dukanya ia luapkan, bersama sesak yang kian meradang karena bayangan Naresh melecehkannya begitu jelas tergambar.Tangannya menggosok paksa area yang di jamah suaminya, meninggalkan bercak merah yang terasa perih saat terkena tetesan air. Wanita cantik itu tidak peduli dengan luka merah di kulit putihnya, ini tidak lebih sakit dari apa yang barusan ia terima.Sekitar satu jam akhirnya Clara menyudahi aktivitasnya, ia merasakan tubuhnya dingin dan agak menggigil. Dirinya keluar dari ruangan itu dan lantas meninggalkan kantor, tujuannya saat ini adalah rumah. Ia ingin membaringkan tubuhnya di kamar.***Sore hari."Bi, aku mau keluar dulu. Mungkin pulang larut malam, Bibi masak buat Clara saja.""Baik, Mas Naresh. Oh, iya ... Non Clara belum turun dari tadi siang."Naresh mendongakkan kepala melihat pada arah tangga, lelaki itu mengembuskan napas gusa
Pagi hari.Semalam Naresh sempat mampir ke sebuah club untuk menghilangkan stresnya. Entah kenapa di dalam otaknya penuh dengan bayangan akan rasa bersalah kepada Clara. Lelaki itu sekuat mungkin mengelak, namun bayangan itu malah semakin jelas.Hingga dini hari, Naresh baru pulang ke rumahnya. Ia menatap pada tangga, dan lampu di lantai sudah mati seluruhnya. Akhirnya dia memilih masuk kamar dan akan berbicara dengan Clara besok.Namun, bahkan sampai pagi ini istrinya itu tidak juga turun untuk sarapan. Naresh sebenarnya ingin naik, tapi ia ragu."Bi, coba panggil Clara. Suruh dia turun buat sarapan. Nggak mungkin 'kan jam segini dia masih tidur?""Sebenarnya dari semalam Non Clara belum mengisi perutnya, Mas Naresh. Bibi sudah ketuk-ketuk pintu bolak-balik tapi nggak di respon. Bibi juga taruh makanannya di meja dekat pintu, tapi sampai tadi padi makanan itu masih utuh. Bibi panggil-panggil juga nggak di sahut sama Non Clara," jelas Bibi.Sontak saja Naresh menegang kaku. Tanpa menj
"Mama..," gumam Clara saat melihat sang Mama mertua berjalan ke arahnya.Anne mengecup dalam kening Clara, tangannya membelai lembut rambut menantunya itu. Pandangan teduhnya seakan tidak tega melihat sang menantu kesayangannya terbaring lemah."Jangan banyak bergerak dulu, ya, Sayang. Fokus dulu sama kesehatan kamu, selama beberapa hari ini Mama akan tinggal di rumah kalian untuk menjaga kamu, Cla. Atau kamu saja yang pindah ke rumah Mama?""Mah, Cla--" ucap Naresh terjeda saat Anne langsung memotongnya."Diam, Naresh! Mama sedang berbicara dengan Clara dan tidak membutuhkan pendapatmu."Naresh mendengus kesal. Kemudian Anne mengalihkan lagi pandangannya kepada Clara."Gimana, Sayang?""Aku tetap di rumah Mas Naresh saja, Mah. Takutnya nanti Mas Naresh kesepian," jawabnya lirih."Benar?""Iya, Mama. Kami masih pengantin baru, nggak mungkin kalau aku tinggal di rumah Mama," ucap Clara dengan tertawa pelan meskipun dirinya masih hancur.Anne mengangguk. Ia tahu Clara sedang menutupi bi
Keesokan harinya.Pagi tadi, Clara sudah pulang ke rumah setelah Dokter memberikan izin. Wanita cantik itu hanya pulang bersama suaminya. Awalnya memang Anne menawarkan untuk ikut, namun Naresh menolak. Lelaki itu mengatakan bahwa kondisi Clara sudah baik-baik saja dan dia akan menjaga istrinya itu dengan sepenuh hati.Tentu itu hanya kebohongan belaka. Naresh menolak Mamanya lantaran ia punya maksud dan tujuan lain. Kalau sang Mama, Anne, ikut ke rumahnya pasti ia tidak akan bebas. Lelaki itu juga tidak bisa leluasa membawa Bella ke rumah.Huh, ada Clara saja Bella sudah babak belur di buatnya. Bagaimana kalau ada sang Mama? Bisa-bisa wajah tampannya juga ikut di buat babak belur."Kamu mau tidur 'kan? Mau aku temani apa nggak?" tanya Naresh pada Clara yang sudah merebahkan diri di ranjang."Kamu keluar saja, Mas. Aku mau tidur sendiri."Naresh mengangguk, "nanti kalau butuh sesuatu kamu telepon saja, nggak perlu turun."Clara hanya menimpalinya dengan anggukan singkat, wanita cantik
Satu minggu telah berlalu, kondisi Clara juga sudah lebih baik dari sebelumnya. Namun tidak dapat di pungkiri masih ada ketakutan yang membekas saat ia berdekatan dengan Naresh. Banyak kegiatan positif yang ia lakukan guna menghilangkan bayangan mengerikan itu, dan hari ini bertepatan dengan jadwalnya ke psikiater.Naresh sudah bersiap di mobil. Sebenarnya Clara bisa merasakan perubahan Naresh selama satu minggu ke belakang ini. Suaminya itu menjadi lebih lembut dan tidak terlalu memaksakan kehendaknya."Sudah siap?" tanya Naresh saat Clara baru saja duduk di sampingnya.Wanita itu hanya menimpalinya dengan anggukan. "Jangan khawatirkan apapun, aku akan menemanimu, Cla. Kalau perlu aku nanti akan ikut masuk.""Kalau Dokter bilang aku harus menjauhi penyebab stres, berarti kita harus berjauhan.""Tidak! Aku akan meminta Dokter menyarankan hal lain. Pokoknya kamu nggak boleh menjauhiku, Cla.""Dasar gila," gumam Clara, lirih.Sementara Naresh hanya mengedikkan bahunya cuek, lelaki itu
Pagi ini Naresh di kejutkan dengan kedatangan Mamanya, apalagi saat Anne datang dengan Kenzie, semakin menambah jantungnya yang berdetak kencang. Rencananya mengunjungi Bella sontak saja batal, ingin membuat alasan pekerjaan pun rasanya percuma jika sang Mama ada di sini."Loh, Mama sudah datang? Kok cepet banget?" ucap Clara yang baru saja turun dari lantai atas. Naresh semakin bingung di buatnya. Jadi Clara juga tahu? Berarti di sini hanya dirinya yang nampak seperti orang bingung yang tidak tahu apa-apa? Ah, benar-benar situasi yang menyebalkan bagi Naresh."Gimana kondisi kamu, Sayang? Kamu nggak lupa minum obatnya 'kan?"Clara mengulas senyum lebar, "semuanya aman, Mah. Aku juga nggak lupa, kok. Ayo langsung ke ruang makan saja, Mah, Ken, pasti kalian belum sarapan 'kan?" "Sebenarnya aku tadi sudah mau sarapan di tempat Tante Anne, Cla. Namun sayang sekali Tante sangat merindukan menantunya, jadi kita langsung kemari tanpa sempat sarapan," tutur Kenzie.Anne sontak meninju leng
Beberapa hari kemudian.Siang ini Clara sudah bersiap dengan setelan santainya dan dandanan cantik. Ia sadar, tidak mungkin dirinya akan terus terjebak dalam trauma. Ia harus bisa bangkit, tetap bersinar, dan memperbaiki pernikahannya yang memilukan."Aku akan niatkan kejadian itu untuk melayani Mas Naresh yang pertama kalinya. Setelah ini aku harus bisa bangkit dan membuat Mas Naresh takluk. Aku akan membuat Mas Naresh tidak bisa lepas dariku!" gumamnya.Lihatlah! Wanita cantik itu sudah menyadari kekuatannya. Clara sudah mengambil keputusan besar sesuai arahan sang Mama mertua untuk biduk rumah tangganya, ia sudah pernah jatuh, mustahil kalau dirinya akan menyerah semudah ini."Jika aku menyerah, maka hanya aku yang akan terpuruk. Mas Naresh akan mendatangi Bella dan mengajak wanita itu menikah, lalu mereka akan hidup bahagia. Aku sudah lemah selama beberapa hari ini, maka sekarang akan aku tunjukkan kekuatan istri sah yang sebenarnya," gumamnya lagi.Clara menatap pantulan wajahnya