Berbeda dengan Naresh yang tengah memuaskan ereksinya dengan bermain solo, Clara masih mematung di ruang kerja sang suami. Netranya menatap pada layar komputer yang masih menyala, akhirnya wanita cantik itu memutuskan merampungkan sisa pekerjaan yang belum selesai."Huh ... Heran banget sama Mas Naresh, dikit-dikit baik, dikit-dikit marah. Apa dia punya kepribadian ganda, ya? Ah, mana nyebelin banget nggak umum," gerutu Clara.Wanita cantik itu beberapa kali menghela napas berat. Netranya masih fokus mengecek data di komputer, untung dia belum mengantuk karena sore tadi tidur agak lama."Sebenarnya aku juga takut kalau Mas Naresh marah, aku takut nggak bisa jalanin amanat Papa dan Mama untuk selalu bikin hati suami merasa senang. Namun, kalau suaminya macam Mas Naresh ... Dosa apa nggak, ya, kalau aku membangkang?" gumamnya lagi.Setiap malam pikirannya memang negatif karena memikirkan biduk rumah tangganya yang hampir hancur di depan mata. Perceraian itu jelas akan suaminya layangkan
Clara tengah mampir ke sebuah restoran bergaya Italia yang cukup terkenal di kota ini, wanita itu memesan Panna Cotta kesukaan suaminya. Yeah, kali ini dirinya tidak sempat memasak untuk Naresh. Kendati demikian, ia tetap ingin mengirim makan siang untuk suaminya. Mengingat hari ini cuaca sangat panas, Clara merasa suaminya itu akan suka kalau ia membawa Panna Cotta yang nikmat. Wanita cantik itu membeli cukup banyak, karena ia juga akan membagikannya kepada Lala.Setelah selesai, gegas ia menyuruh supir untuk melajukan lagi mobilnya menuju gedung Mahendra Company. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil mewah tersebut sudah sampai. Clara bergegas turun dan memasuki gedung pencakar langit tersebut. Wanita cantik itu berjalan menuju lift dengan senyum yang merekah membayangkan suaminya akan suka dengan apa yang ia bawa.Ting! Pintu lift terbuka."Selamat siang, Lala," sapanya pada asisten pribadinya yang nampak serius menatap layar komputer.Lala sontak bangkit dari duduknya guna menya
Apartemen Bella.Wanita itu terduduk di depan kaca dengan penampilan berantakan. Rambutnya acak-acakan, riasannya juga tidak karuan, dan ada bekas air mata yang sudah mengering di pipinya.Ia tidak hanya menahan sakit karena Clara menyeretnya keluar, wanita itu juga sakit hati dengan sifat Naresh yang hanya diam saja tanpa membantunya. Benar-benar wanita tidak tahu diri! Bisa-bisanya ia mengharapkan Naresh akan melindunginya dari amukan istri sah.Ceklek! Pintu terbuka."Bell," sapa Sean yang baru saja datang."Kamu dari mana saja, Sean?! Aku sudah menelepon dari tadi tapi kamu nggak kunjung datang.""Maaf, Bell. Aku tadi ada banyak pekerjaan," jawabnya.Sean berjalan mendekati Bella, lelaki itu mengecup singkat pipi kekasihnya. Tangannya juga mengelus lembut rambut wanita itu yang masih berantakan. "Kepalamu masih pusing?"Bella mengangguk."Kenapa nggak tidur saja? Kok malah duduk di depan kaca, Sayang?""Aku ingin mengingat betapa berantakannya aku, Sean. Suatu saat aku akan buat
Clara terduduk di ranjang dengan tangan memegang album foto pernikahannya dengan Naresh. Netranya berembun, ternyata suaminya tidak sama sekali menampilkan senyumnya saat itu. Kenapa saat itu dia tidak menyadari?Beberapa kali Clara menghela napas, dirinya memang tidak terlalu peka. Mungkin saja jika sebelum menikah mereka menjalin pendekatan, rasanya tidak akan sesulit ini. Tugasnya bukan hanya membuat Naresh jatuh cinta, tetapi memikirkan bagaimana caranya agar suami tampannya itu bisa terlepas dari Bella."Aku tanya siapa, ya, kalau masalah ini? Nggak mungkin aku akan tanya mama. Kalau aku cari tahu sendiri, kayaknya bakal butuh waktu lama." gumamnya bingung.Pikirannya terus bergelut, hingga nama Kenzie melintas di pikirannya. Apa Clara harus menemuinya untuk menanyakan ini? Namun siapa lagi kalau bukan Kenzie. Akhirnya Clara turun setelah menyambar ponselnya, wanita cantik itu akan menemui Kenzie di kantor. Tidak mungkin dia akan mengajak bertemu di luar rumah, ia takut kalau sua
"Ternyata tubuhmu mulus juga, Cla. Nggak rugi aku nikahin kamu," ucap Naresh dengan seringai senyum yang menyeramkan.Clara berusaha menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan. Matanya sudah berembun, titik airnya hampir jatuh dan menangis melihat sisi lain suaminya."Sudah ada berapa laki-laki yang menjamahnya, Cla?!""Jaga bicaramu, Mas! Dan jangan lupakan kata-katamu dulu, kamu nggak akan nyentuh aku!"Lelaki itu malah tergelak-gelak. Tangannya meraih sisi rok yang di kenakan Clara dan menyobeknya paksa. Hingga paha mulus wanita cantik itu terpampang jelas di depan mata Naresh. Telapak tangannya mengelus lembut di sana, dengan pandangan tajam yang masih menatap lurus pada iris coklat istrinya. "Aku punya hak untuk mencabut atau tetep membiarkan keputusanku, Cla! Kamu nggak ada hak buat mengaturnya!""MAS!""Jangan berteriak atau aku akan benar-benar melakukannya, Cla!"Clara menganga, yang benar saja Naresh melarangnya berteriak? Tangan lelaki itu sudah hampir menjangkau pa
Clara masih memejamkan matanya di bawah guyuran air. Air matanya yang bercampur itu pilu luruh membentuk genangan di bawah kakinya. Semua dukanya ia luapkan, bersama sesak yang kian meradang karena bayangan Naresh melecehkannya begitu jelas tergambar.Tangannya menggosok paksa area yang di jamah suaminya, meninggalkan bercak merah yang terasa perih saat terkena tetesan air. Wanita cantik itu tidak peduli dengan luka merah di kulit putihnya, ini tidak lebih sakit dari apa yang barusan ia terima.Sekitar satu jam akhirnya Clara menyudahi aktivitasnya, ia merasakan tubuhnya dingin dan agak menggigil. Dirinya keluar dari ruangan itu dan lantas meninggalkan kantor, tujuannya saat ini adalah rumah. Ia ingin membaringkan tubuhnya di kamar.***Sore hari."Bi, aku mau keluar dulu. Mungkin pulang larut malam, Bibi masak buat Clara saja.""Baik, Mas Naresh. Oh, iya ... Non Clara belum turun dari tadi siang."Naresh mendongakkan kepala melihat pada arah tangga, lelaki itu mengembuskan napas gusa
Pagi hari.Semalam Naresh sempat mampir ke sebuah club untuk menghilangkan stresnya. Entah kenapa di dalam otaknya penuh dengan bayangan akan rasa bersalah kepada Clara. Lelaki itu sekuat mungkin mengelak, namun bayangan itu malah semakin jelas.Hingga dini hari, Naresh baru pulang ke rumahnya. Ia menatap pada tangga, dan lampu di lantai sudah mati seluruhnya. Akhirnya dia memilih masuk kamar dan akan berbicara dengan Clara besok.Namun, bahkan sampai pagi ini istrinya itu tidak juga turun untuk sarapan. Naresh sebenarnya ingin naik, tapi ia ragu."Bi, coba panggil Clara. Suruh dia turun buat sarapan. Nggak mungkin 'kan jam segini dia masih tidur?""Sebenarnya dari semalam Non Clara belum mengisi perutnya, Mas Naresh. Bibi sudah ketuk-ketuk pintu bolak-balik tapi nggak di respon. Bibi juga taruh makanannya di meja dekat pintu, tapi sampai tadi padi makanan itu masih utuh. Bibi panggil-panggil juga nggak di sahut sama Non Clara," jelas Bibi.Sontak saja Naresh menegang kaku. Tanpa menj
"Mama..," gumam Clara saat melihat sang Mama mertua berjalan ke arahnya.Anne mengecup dalam kening Clara, tangannya membelai lembut rambut menantunya itu. Pandangan teduhnya seakan tidak tega melihat sang menantu kesayangannya terbaring lemah."Jangan banyak bergerak dulu, ya, Sayang. Fokus dulu sama kesehatan kamu, selama beberapa hari ini Mama akan tinggal di rumah kalian untuk menjaga kamu, Cla. Atau kamu saja yang pindah ke rumah Mama?""Mah, Cla--" ucap Naresh terjeda saat Anne langsung memotongnya."Diam, Naresh! Mama sedang berbicara dengan Clara dan tidak membutuhkan pendapatmu."Naresh mendengus kesal. Kemudian Anne mengalihkan lagi pandangannya kepada Clara."Gimana, Sayang?""Aku tetap di rumah Mas Naresh saja, Mah. Takutnya nanti Mas Naresh kesepian," jawabnya lirih."Benar?""Iya, Mama. Kami masih pengantin baru, nggak mungkin kalau aku tinggal di rumah Mama," ucap Clara dengan tertawa pelan meskipun dirinya masih hancur.Anne mengangguk. Ia tahu Clara sedang menutupi bi