“Sudah mau pulang?”Sashi terkejut begitu mendengar suara Zidan saat dirinya baru saja keluar dari ruangannya. Dia menoleh dan langsung tersenyum ke pria itu.“Iya,” jawab Sashi sambil membetulkan letak tali tas di pundak.“Mau kuantar? Kulihat tadi kamu diantar suamimu,” ujar Zidan menawari.Sashi tampak terkejut mendengar tawaran Zidan, hingga ingat bagaimana Nanda kesal karena dirinya terlalu dekat dengan seniornya itu.“Tidak usah. Suamiku sudah dalam perjalanan ke sini,” ucap Sashi menolak tawaran Zidan.“Ah … begitu.” Zidan hanya bisa mengangguk-angguk.“Oh ya, apa besok kamu jadi bertukar shift denganku?” tanya Sashi memastikan karena takut Zidan berubah pikiran.“Tentu,” jawab Zidan dengan seulas senyum manis di wajah.Sashi begitu lega mendengar jawaban Zidan. Dia pun berterima kasih ke pria itu.“Aku pergi dulu.” Sashi pamit lebih dulu pergi meninggalkan Zidan.Zidan hanya diam tak bisa mencegah, memandang punggung Sashi yang berjalan menjauh darinya.Sashi sendiri bernapas
“Kalian memintaku datang hanya untuk memperlihatkan ini sambil menekanku. Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu mengatakan soal perasaanku kepadanya?”Clara begitu emosi hingga bicara sambil menunjuk ke Sashi sedangkan tatapan tertuju ke Nanda.“Kamu tidak bisa sopan, memanggil kakakmu sendiri dengan kamu apa tidak bisa pakai kak? Bukan kakakmu yang mengatakan itu, tapi sikapmu yang membuatku menyadari, bagaimana perasaanmu yang tak wajar kepada suamiku!” hardik Sashi meski dengan suara yang tak lantang.Nanda memilih diam karena ingin melihat sampai mana Sashi meluruskan masalah ini.Clara semakin kesal mendengar ucapan Sashi, hingga kemudian membalas, “Suka-suka aku mau menyebutnya bagaimana. Kamu tidak berhak mengaturku! Bahkan termasuk perasaanku!”“Aku tidak mengaturmu, tapi aku melindungi suamiku. Aku tidak bisa melihatmu tak sopan ke suamiku yang jauh lebih tua darimu, juga aku tidak bisa melihatmu menyukai pria yang tak seharusnya kamu sukai!” balas Sashi sengit. Bahkan dia m
Nanda dan Sashi terlihat canggung sejak kejadian tadi. Bahkan keduanya saling diam padahal tak ada masalah di antara keduanya. Kini mereka sudah di kamar. Nanda baru saja mandi karena pakaiannya lengket terkena jus. “Soal--” “Besok--” Sashi dan Nanda ingin bicara, tapi keduanya bicara secara bersamaan, hingga mereka pun sama-sama menghentikan apa yang hendak diucapkan. Sashi tersenyum tipis saat menyadari keduanya hendak bicara bersamaan, hingga kemudian berkata, “Kamu saja dulu. Mau bicara apa?” “Tidak, kamu saja dulu,” balas Nanda mempersilakan istrinya bicara lebih dulu. “Soal Runa, aku tidak tahu apakah benar jika harus kamu yang bicara ke dia. Urusan kami denganmu dan Clara jelas berbeda. Aku hanya tidak yakin, apakah dengan dirimu yang bicara dengannya, akan menyelesaikan masalah atau menambah masalah,” ujar Sashi. Nanda berdiri mendengarkan Sashi bicara, hingga kemudian membalas, “Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa tahu? Memangnya kamu ingin terus salah paham dengan Runa
“Besok lagi, kasih tembok di tengah kasur.”“Bagaimana caranya membangun tembok di tengah kasur?” tanya Nanda sambil memandang Sashi yang berdiri dengan kedua pipi menggelembung, sangat lucu tapi Nanda mencoba menahan senyumnya.“Gara-gara kamu, tanganku kesemutan,” ujar Sashi membalas pertanyaan Nanda.“Kenapa tanganmu kesemutan, aku yang disalahkan?” Nanda menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Sashi, padahal sebenarnya dia paham maksud dari istrinya itu.Sashi menggelembungkan pipi, mana mungkin dia bicara terus terang semalam lelah dipeluk pria itu. Entah sempat dilepas atau tidak, saat bangun Sashi pun masih menempel ke pria itu.“Sudahlah.” Sashi memilih pergi ke ruang ganti karena harus bersiap ke rumah sakit.Nanda hanya mengulum bibir menahan tawa, sungguh kini dirinya menyadari betapa lucu dan menggemaskan istrinya itu.Saat Nanda ingin ke kamar mandi, terdengar suara ketukan pintu hingga membuat Nanda memandang ke pintu, bahkan Sashi yang berada di kamar ganti pun ikut
“Ke mana Mama? Kenapa sepagi ini tidak terlihat?” tanya Nana saat tak melihat Rihana di ruang makan. Melvin sedang di luar kota, karena itu Rihana berani pergi di pagi hari. “Entah, tidak biasanya juga Mama tidak ada di rumah di pagi hari,” balas Bastian. Clara terlihat santai saat melihat kedua kakaknya mencari orang tua mereka. Dia memilih duduk di kursi untuk bersiap sarapan. “Kamu ga lihat Mama?” tanya Nana ke Clara. “Tidak,” jawab Clara tanpa menoleh sang kakak. Bastian melihat sikap adiknya itu semakin keterlaluan, tak hanya kepada Nanda kini kepada Nana pun Clara tak sopan. “Kenapa sikapmu berubah?” tanya Bastian. Clara memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Bastian, lantas memandang sang kakak yang duduk berhadapan dengannya. “Apanya yang berubah? Biasanya juga gini,” jawab Clara tak acuh, kemudian memilih memakan rotinya. Bastian ingin kembali bicara, tapi Nana buru-buru menggenggam telapak tangan Bastian untuk memberi isyarat agar tak bicara lagi. Bastian me
“Minum dulu, Ma.” Nanda dan Bastian membawa Rihana ke kamar karena sang mama hampir pingsan akibat mengamuk. Kini Nanda berusaha membujuk Rihana agar mau minum. Rihana menggelengkan kepala menolak tawaran air dari Nanda. “Ma, minumlah sedikit. Kumohon.” Nanda bicara dengan lembut ke Rihana. Bastian sangat mencemaskan sang mama. Dia duduk di tepian ranjang sambil memijat kaki sang mama. Rihana akhirnya mau minum setelah Nanda membujuk, lantas duduk bersandar dengan mata terpejam. “Berbaringlah kalau pusing. Aku panggilan dokter untuk mengecek tekanan darah Mama,” kata Nanda yang siap mengeluarkan ponsel untuk menghubungi dokter pribadi keluarga. Rihana menahan tangan Nanda, menggelengkan kepala sebagai isyarat agar tak perlu memanggil dokter. Nanda dan Bastian pun hanya diam memandang Rihana, menunggu sampai sang mama mau bicara. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal, Nan. Setidaknya kalau mama tahu sejak awal, mama bisa menasihatinya,” ujar Rihana sambil membuka mata lantas me
“Kamu sudah memastikannya?” Sashi bicara dengan tatapan tak percaya. Bahkan cara duduknya pun terlihat lemas sampai menyandarkan punggung. “Sudah. Bahkan dia memberikan buktinya. Saya akan kirim fotonya, biar Anda yang memutuskan.” Suara seseorang bicara dengan Sashi. Sashi diam sejenak, kemudian mengangguk sambil mengatakan agar dikirimi foto sebagai bukti. Sashi pun menerima sebuah foto, hingga terdiam melihat foto itu. “Bagaimana sekarang? Apa Anda mau menemuinya?” tanya seorang wanita dari seberang panggilan. “Setelah sekian lama, haruskah? Kupikir dia pun lupa denganku. Berikan saja, tidak perlu bertemu. Aku masih sibuk di sini,” jawab Sashi memberikan sebuah keputusan meski sangat berat. “Baik, saya mengerti.” Panggilan itu pun berakhir, Sashi memandang nama di layar yang baru saja menghubunginya. “Dok, Anda baik-baik saja?” tanya asisten Sashi karena melihat dokternya itu melamun. Sashi terkejut mendengar pertanyaan asisten, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Aku
“Ini ….”Bola mata Sashi terus memandang lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan yang dipajangnya di galeri, hingga siang tadi ada yang mengaku memilikinya, kini berada di depan matanya.“Indah bukan?”Sashi sangat terkejut mendengar suara Nanda. Dia menoleh hingga mundur dengan cepat karena pria itu berada tepat di hadapannya.“Ak-aku tak sengaja masuk sini,” ucap Sashi tergagap antara panik dan syok melihat Nanda memergoki dirinya di sana.“Tak masalah, aku yang salah karena membuka lebar pintu,” balas Nanda lantas mengalihkan pandangan dari lukisan ke Sashi.Sashi hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Nanda. Jujur dia bingung, ingin menanyakan sesuatu tapi kata demi kata yang siap meluncur terasa tersekat di tenggorokan.“Bagaimana menurutmu lukisan itu?” tanya Nanda memancing reaksi Sashi, meski tahu jika istrinya itu sedang syok berat.“Ak-aku … lukisan itu indah,” jawab Sashi tergagap.Nanda memulas senyum mendengar jawaban Sashi, lantas maju satu langkah hingga berdiri tep