“Kenapa wajahmu masam begitu?” tanya Nanda saat melihat Sashi hanya diam sejak mereka berangkat hingga kini sampai di tempat acara.“Siapa yang berwajah masam? Itu perasaanmu saja,” balas Sashi sambil melepas seat belt.Nanda mengulum senyum, berpikir jika Sashi kesal karena percakapan mereka tadi.“Kalau tidak ikhlas dan tak mengizinkan aku menyukai wanita lain, bilang saja. Aku takkan menoleh kanan-kiri kalau kamu tak mengizinkan,” ujar Nanda menggoda istrinya itu.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Nanda, hingga menoleh suaminya dengan ekspresi wajah tak percaya.“Enak saja, siapa yang bilang tidak ikhlas?” Sashi mengelak, meski perasaan itu benar singgah di hatinya.“Sikapmu,” balas Nanda sambil menatap Sashi dengan seulas senyum. Dia melepas seat belt kemudian turun dari mobil.Sashi menggelembungkan pipi, kesal karena semua ucapan pria itu. Seharusnya dia bahagia menghadiri pameran itu, tapi kini moodnya buruk karena ulang Nanda.“Ayo.” Nanda membuka pintu agar Sashi tinggal
“Maaf?” Wanita pemilik acara langsung memastikan apakah yang didengarnya memang benar.Pria itu tersenyum kemudian mendekat, lantas memperjelas, “Saya suka lukisannya. Saya ingin membelinya.”Wanita itu dan Sashi terkejut, bahkan tak menyangka jika sudah ada yang ingin membeli padahal acara lelangnya belum dimulai.Pria itu menoleh ke Sashi yang terdiam karena masih tak percaya.“Ah … apa lukisan ini sudah dipesan Nona ini?” tanya pria itu kemudian.Sashi tersadar dari keterkejutannya, hingga kemudian membalas, “Tidak, saya hanya sedang melihatnya saja.”“Seperti itu. Kalau begitu, bisa saya membelinya. Saya suka lukisan dan memiliki banyak koleksi di rumah,” ujar pria itu penuh harap ke pemilik lukisan.Sashi memperhatikan pria itu, jika dilihat juga dinilai dari sikap serta aura yang terpancar dari tubuh pria itu, sangat aneh jika pria berwajah tegas dengan aura penuh wibawa itu menyukai lukisan yang Sashi buat.“Maaf, kenapa Anda suka lukisan ini? Itu padahal lukisan biasa, bahkan
Sashi begitu terkejut dengan permintaan Nanda, tapi berusaha tenang agar Nanda tak curiga.“Ya, jangan mengada-ada kalau itu. Lagi pula, orangnya siapa, seperti apa, aku juga tidak tahu di mana orangnya, bagaimana bisa kamu memintaku mempertemukanmu dengan SEA itu. Minta yang lain, pasti aku turuti,” ujar Sashi mencoba mengalihkan keinginan Nanda ke hal lain.Nanda terus memperhatikan Sashi yang sedang bicara, tatapannya jelas berbeda dari sebelum-belumnya.“Pasti akan kamu turuti? Apa pun itu?” tanya Nanda memastikan.“Ya, apa pun. Asal bukan memintaku mempertemukanmu dengan SEA,” jawab Sashi tanpa memikirkan luasnya makna jawaban yang mungkin dimaksud Nanda.Nanda maju satu langkah, hingga membuat keduanya berdiri begitu dekat.“Kenapa harus sedekat ini kalau hanya untuk bicara?” tanya Sashi sambil mundur satu langkah.“Apa pun bukan? Kalau begitu tidur denganku,” ujar Nanda menyampaikan permintaannya.Sashi membulatkan bola mata lebar mendengar ucapan Nanda, tapi dia mencoba menepi
“Masih sakit?” tanya Nanda saat mereka sudah sampai rumah.“Tidak,” jawab Sashi yang duduk di tepian ranjang.Nanda berdiri di hadapan Sashi. Dia langsung melipat kedua tangan di dada setelah mendengar jawaban istrinya itu.“Aku tidak menuntut lebih, hanya saja kenapa kamu tidak mengakui kalau kamu adalah gadis itu? Kenapa harus tetap menyembunyikannya, sedangkan aku sudah membahasnya secara gamblang?” tanya Nanda penasaran dengan alasan Sashi.Sashi mengusap tengkuk, hingga kemudian menjawab pertanyaan Nanda. Dia juga tidak punya alasan untuk mengelak.“Bukannya tak ingin mengakui atau jujur, hanya saja aku tidak mudah percaya ke orang kecuali keluargaku. Aku hanya takut profesiku sebagai dokter terganggu, sedangkan melukis sebenarnya hanya hobi, aku menjual karyaku pun untuk lelang amal, bukan kepentingan pribadiku,” ujar Sashi mencoba menjelaskan.Nanda mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir Sashi. Dia kemudian mengurai kedua tangan yang terlipat di dada, lantas berjongk
Sashi tak pernah menyangka jika semua sandiwara akan berakhir seperti ini. Dia bisa saja menolak dengan pendiriannya, tapi dia tak mampu menolak karena tanpa disadari mulai tertarik dengan pria dari masa lalu yang kini menjadi suaminya.“Jadi, kenapa kamu pergi tanpa mengambil lukisanmu dulu? Jujur, aku merasa beban serta takut lukisan itu rusak sebelum kamu melihatnya,” ujar Sashi sambil menoleh Nanda yang duduk di sampingnya.Keduanya kini duduk bersama di ranjang, setelah percakapan panjang mereka. Mereka sama-sama sedikit canggung, hingga akhirnya tak bisa tidur dan memilih duduk bersama.Nanda menoleh Sashi, lantas membalas, “Karena Mama dan Papa mendapat kabar kalau Oma kami di Amerika sakit keras dan dalam kondisi kritis.”“Hm … lalu setelah itu, kenapa tidak kembali dan menemuiku, padahal aku masih sekolah di sana sampai umurku 11 tahun?” tanya Sashi penasaran.“Oma sakit keras dan harus dirawat intensif. Keluargaku akhirnya memutuskan untuk pindah ke sana, karena Oma tak bisa
“Ada apa, Na? Kenapa wajahmu pucat?” tanya Bastian ketika bertemu Nana di dapur. Nana menggelengkan kepala kemudian memilih duduk sambil memegang gelas. “Ada apa?” tanya Bastian cemas dengan Nana yang sedikit murung seharian. Nana menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada orang, lantas menatap Bastian yang berdiri di dekatnya. “Bicara di samping kolam saja,” ajak Nana. Dia takut jika ada yang mendengar percakapan mereka. Bastian mengangguk, keduanya pun memilih keluar rumah, lantas duduk di kursi ayunan yang ada di dekat kolam, menghadap rumah, sehingga jika ada yang datang, mereka bisa melihat. “Ada apa?” tanya Bastian setelah mereka duduk berdua. Nana mengamati sekitar, hingga kemudian bersiap menjawab pertanyaan Bastian. “Aku sebenarnya cemas, Bas.” Nana menatap Bastian dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Soal?” Bastian menaikkan satu sudut alis. Nana mengembuskan napas kasar, hingga kemudian menjawab, “Tentu saja soal ucapan Mama. Aku tidak bisa mengabaikan itu.” B
“Kenapa bisa panas begini? Bukankah tadi baik-baik saja?” Rihana sangat cemas melihat Nana yang sakit. “Aku juga tidak tahu, Ma. Nana mengirimiku pesan, makanya aku tahu kalau dia sakit,” jawab Bastian yang juga panik karena kondisi Nana. Rihana sangat cemas saat merasakan suhu tubuh Nana yang sangat tinggi. Dia pun meminta Nana minum obat penurun panas, sambil menunggu Sashi datang. “Aku sudah menelepon kakakmu, semoga mereka cepat sampai agar bisa segera memeriksa Nana,” ujar Rihana yang tak mampu menyembunyikan kecemasannya. Nana demam tinggi, wajahnya sampai merah karena panasnya suhu tubuh gadis itu. Bastian begitu cemas, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sehingga kini hanya berharap Nanda dan Sashi cepat datang. “Ambilkan kompres, air hangat jangan dingin.” Bastian langsung mengangguk kemudian pergi melaksanakan perintah sang mama. Rihana mengompres kening Nana, berharap suhu tubuhnya turun. Nana memejamkan mata, tapi terlihat jelas kelopak matanya yang berkerut menan
“Panasnya sudah turun, biarkan dia istirahat dulu. Kita lihat besok bagaimana,” kata Sashi setelah mengecek kondisi Nana ketika adik iparnya itu sudah tidur. Nanda dan Bastian bernapas lega. Mereka adalah dua pria yang akan selalu mencemaskan Nana. “Aku akan tidur di sini menjaganya, kalian istirahatlah,” ujar Bastian sambil menatap Nanda dan Sashi bergantian. Nanda menoleh Sashi, istrinya itu terlihat lelah sehingga Nanda pun setuju membiarkan Bastian tidur menjaga Nana. “Ya sudah, kalau ada apa-apa bangunkan kami,” kata Nanda. Nanda menggandeng tangan Sashi, mengajak istrinya itu masuk ke kamarnya. “Tidak apa ‘kan jika menginap?” tanya Nanda meminta persetujuan, kali ini dia tidak ingin bersikap gegabah atau sesuka hati mengambil keputusan jika itu menyangkut Sashi. “Tidak apa, aku juga cemas lihat Nana yang sangat panas seperti tadi. Lagian besok aku masuk shift malam untuk menggantikan jatah shift temanku yang menggantikan ‘ku,” jawab Sashi menjelaskan. Nanda mengangguk-ang