Sashi tak pernah menyangka jika semua sandiwara akan berakhir seperti ini. Dia bisa saja menolak dengan pendiriannya, tapi dia tak mampu menolak karena tanpa disadari mulai tertarik dengan pria dari masa lalu yang kini menjadi suaminya.“Jadi, kenapa kamu pergi tanpa mengambil lukisanmu dulu? Jujur, aku merasa beban serta takut lukisan itu rusak sebelum kamu melihatnya,” ujar Sashi sambil menoleh Nanda yang duduk di sampingnya.Keduanya kini duduk bersama di ranjang, setelah percakapan panjang mereka. Mereka sama-sama sedikit canggung, hingga akhirnya tak bisa tidur dan memilih duduk bersama.Nanda menoleh Sashi, lantas membalas, “Karena Mama dan Papa mendapat kabar kalau Oma kami di Amerika sakit keras dan dalam kondisi kritis.”“Hm … lalu setelah itu, kenapa tidak kembali dan menemuiku, padahal aku masih sekolah di sana sampai umurku 11 tahun?” tanya Sashi penasaran.“Oma sakit keras dan harus dirawat intensif. Keluargaku akhirnya memutuskan untuk pindah ke sana, karena Oma tak bisa
“Ada apa, Na? Kenapa wajahmu pucat?” tanya Bastian ketika bertemu Nana di dapur. Nana menggelengkan kepala kemudian memilih duduk sambil memegang gelas. “Ada apa?” tanya Bastian cemas dengan Nana yang sedikit murung seharian. Nana menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada orang, lantas menatap Bastian yang berdiri di dekatnya. “Bicara di samping kolam saja,” ajak Nana. Dia takut jika ada yang mendengar percakapan mereka. Bastian mengangguk, keduanya pun memilih keluar rumah, lantas duduk di kursi ayunan yang ada di dekat kolam, menghadap rumah, sehingga jika ada yang datang, mereka bisa melihat. “Ada apa?” tanya Bastian setelah mereka duduk berdua. Nana mengamati sekitar, hingga kemudian bersiap menjawab pertanyaan Bastian. “Aku sebenarnya cemas, Bas.” Nana menatap Bastian dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Soal?” Bastian menaikkan satu sudut alis. Nana mengembuskan napas kasar, hingga kemudian menjawab, “Tentu saja soal ucapan Mama. Aku tidak bisa mengabaikan itu.” B
“Kenapa bisa panas begini? Bukankah tadi baik-baik saja?” Rihana sangat cemas melihat Nana yang sakit. “Aku juga tidak tahu, Ma. Nana mengirimiku pesan, makanya aku tahu kalau dia sakit,” jawab Bastian yang juga panik karena kondisi Nana. Rihana sangat cemas saat merasakan suhu tubuh Nana yang sangat tinggi. Dia pun meminta Nana minum obat penurun panas, sambil menunggu Sashi datang. “Aku sudah menelepon kakakmu, semoga mereka cepat sampai agar bisa segera memeriksa Nana,” ujar Rihana yang tak mampu menyembunyikan kecemasannya. Nana demam tinggi, wajahnya sampai merah karena panasnya suhu tubuh gadis itu. Bastian begitu cemas, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sehingga kini hanya berharap Nanda dan Sashi cepat datang. “Ambilkan kompres, air hangat jangan dingin.” Bastian langsung mengangguk kemudian pergi melaksanakan perintah sang mama. Rihana mengompres kening Nana, berharap suhu tubuhnya turun. Nana memejamkan mata, tapi terlihat jelas kelopak matanya yang berkerut menan
“Panasnya sudah turun, biarkan dia istirahat dulu. Kita lihat besok bagaimana,” kata Sashi setelah mengecek kondisi Nana ketika adik iparnya itu sudah tidur. Nanda dan Bastian bernapas lega. Mereka adalah dua pria yang akan selalu mencemaskan Nana. “Aku akan tidur di sini menjaganya, kalian istirahatlah,” ujar Bastian sambil menatap Nanda dan Sashi bergantian. Nanda menoleh Sashi, istrinya itu terlihat lelah sehingga Nanda pun setuju membiarkan Bastian tidur menjaga Nana. “Ya sudah, kalau ada apa-apa bangunkan kami,” kata Nanda. Nanda menggandeng tangan Sashi, mengajak istrinya itu masuk ke kamarnya. “Tidak apa ‘kan jika menginap?” tanya Nanda meminta persetujuan, kali ini dia tidak ingin bersikap gegabah atau sesuka hati mengambil keputusan jika itu menyangkut Sashi. “Tidak apa, aku juga cemas lihat Nana yang sangat panas seperti tadi. Lagian besok aku masuk shift malam untuk menggantikan jatah shift temanku yang menggantikan ‘ku,” jawab Sashi menjelaskan. Nanda mengangguk-ang
“Kenapa menatapku begitu?” Nanda merasa sangat aneh ditatap iba oleh Sashi.“Tidak ada,” jawab Sashi, “aku hanya sedang melihat pria yang baru kusadari begitu perhatian ke orang tersayangnya,” imbuh Sashi kemudian. “Jangan menatapku iba, seolah aku ini sangat menyedihkan,” ujar Nanda.Semua sikap angkuh, dingin, juga tegas yang dibangunnya, untuk memperlihatkan jika dia tidak memiliki celah dan alasan untuk bisa dihancurkan.“Aku tidak menganggap kamu menyedihkan, aku hanya sedang melihat perjuangan seorang anak yang sedang berusaha menyenangkan orang tua dan sekelilingnya,” balas Sashi lagi tak gentar meski Nanda memperingatkan.Nanda diam menatap Sashi yang tersenyum tipis untuknya.“Aku tahu bagaimana rasanya saat melihat orang yang kamu sayangi pergi. Aku tahu bagaimana rasanya takut kehilangan hingga melakukan segala cara agar tak terbuang. Aku tahu bagaimana rasanya bertahan tetap berdiri tanpa ada yang menggoyahkan. Aku tahu rasanya dipandang sebelah mata, yang membuat terus b
“Suhu tubuhnya sudah normal, tapi tetap harus beristirahat dan jangan kena angin malam lagi,” ucap Sashi dengan senyum manis ke Nana. Nana tersenyum tipis di balik wajah pucatnya. Dia pun menganggukkan kepala mendengar ucapan Sashi. “Siang ini aku harus kerja. Pastikan Nana meminum obatnya, kalau ada apa-apa hubungi aku,” ujar Sashi ke Bastian yang berdiri di samping ranjang. “Iya,” balas Bastian. Nanda mengusap kasar rambut bagian depan adiknya itu. Dia sangat lega melihat Nana sudah membaik. “Jangan sakit-sakit lagi,” ucap Nanda ke Nana. Nana mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan sang kakak. Rihana juga ada di sana. Dia memandang Nana yang tersenyum ke Nanda, hingga tatapannya beralih ke Bastian yang berdiri sambil melihat ke Nana dan Nanda. Sashi, Nanda, dan Rihana turun ke lantai bawah, mereka membiarkan Bastian mengurus Nana. “Kami pulang dulu, Ma.” Nanda pamit ke Rihana. “Ya, hati-hati,” ucap Rihana dengan ekspresi wajah yang tidak seperti biasanya. “Mama sakit?”
Sashi mendorong dada Nanda, membuat pagutan bibir mereka terlepas.“Tunggu, aku kehabisan napas,” ucap Sashi dengan wajah memerah, napasnya tersengal hingga wanita itu meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi stok udara di dada.Nanda memandang Sashi dengan tatapan penuh gairah, ciuman pertama mereka sungguh membuatnya menginginkan sesuatu yang lebih dari istrinya itu.“Sashi,” ucap Nanda dengan suara berat.“Hm ….” Sashi menatap Nanda yang sudah memandangnya.“Boleh aku melakukannya?” tanya Nanda. Dia sadar ini terlalu cepat, tapi terus menahan diri saat bersentuhan dengan wanita itu cukup membuatnya tersiksa.Sashi terkejut mendengar pertanyaan Nanda. Namun, meski menolak sekarang, dia tidak akan bisa menolak di lain waktu. Lagi pula, bukankah mereka pasangan sah secara agama dan hukum, perjanjian mereka pun kini sudah tak berlaku lagi.“Boleh,” jawab Sashi meski sedikit ragu karena takut.Nanda memulas senyum mendapat jawaban dari Sashi. Dia menekan tengkuk istrinya itu, lanta
“Besok aku jemput.”Nanda mengantar Sashi ke rumah sakit karena harus shift malam menggantikan Zidan yang bertukar dengannya kemarin.“Kamu besok masuk kerja. Aku bisa pulang naik taksi,” ujar Sashi sambil merapikan rambut sebelum keluar.Nanda menoleh lantas membalas, “Aku akan menjemputmu.”Sashi berhenti gerakan tangannya mendengar ucapan Nanda.“Baiklah, terserah kamu saja asal tidak menganggu jam kerjamu,” ujar Sashi pada akhirnya.Meski mereka sudah saling memiliki satu sama lain, tetap saja Nanda menerapkan sikap otoriternya ke sang istri.“Aku keluar dulu,” ucap Sashi sambil bersiap membuka pintu mobil.“Tunggu!” Nanda menahan tangan Sashi, hingga membuat Sashi berhenti bergerak.“Ada apa?” tanya Sashi menoleh Nanda.Nanda mendekat dengan cepat, hingga kemudian mengecup bibir Sashi.Sashi melotot dengan yang dilakukan Nanda, bisa-bisanya pria itu menciumnya di depan lobi rumah sakit. Meskipun di mobil, tetap saja Sashi was-was ada yang melihat.“Nanda!” Sashi memberikan tatapa